kmlml

25
Makalah PBL Blok 24 Marlina Putri 10.2013.041 [email protected] Mahasiswi Fakultas Kedokteran Ukrida Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 Pendahuluan Seorang perempuan berusia 25 tahun , datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3 minggu ini , dan wajahnya terlihat agak pucat . dilihat dari gejala yang dialami wanita ini diduga ,wanita tersebut mengalami anemia . Anemia merupakan suatu keadaan yang di tandai dengan adanya penurunan atau berkurangnya kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau bisa juga jumlah dari sel darah eritrosit di dalam sirkulasi darah. Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dL pada pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita menurut (WHO). Sehingga mengakibatkan kemampuan darah untuk berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan pun berkurang maka dapat terjadinya hipoksia yang bisa ringan sampai berat. Anemia dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari tiga mekanisme independen yaitu: berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah. 1 Untuk menegakkan diagnosis anemia pada kasus ini perlu dilakukan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang , agar kita dapat mengetahui etiologi penyebab dari anemia yang dialami oleh wanita tersebut selain itu perlu dijelaskan mengenai patofisologi , perjalanan penyakit , manifestasi klinis dan juga penatalkasaan dari pada kasus anemia tersebut . Anamnesis Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk alasan berobat. Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien, misalnya pertanyaan tentang identitas ( nama , umur , alamat dan pekerjaan ) , keluhan utama, Riwayat penyakit sekarang ,riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat

Upload: putripekpekai

Post on 11-Jul-2016

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

knnknknknknk

TRANSCRIPT

Page 1: kmlml

Makalah PBL Blok 24

Marlina Putri10.2013.041

[email protected] Fakultas Kedokteran UkridaJl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Seorang perempuan berusia 25 tahun , datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3 minggu ini , dan wajahnya terlihat agak pucat . dilihat dari gejala yang dialami wanita ini diduga ,wanita tersebut mengalami anemia . Anemia merupakan suatu keadaan yang di tandai dengan adanya penurunan atau berkurangnya kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau bisa juga jumlah dari sel darah eritrosit di dalam sirkulasi darah. Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dL pada pria dan di bawah 12 g/dL pada wanita menurut (WHO). Sehingga mengakibatkan kemampuan darah untuk berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan pun berkurang maka dapat terjadinya hipoksia yang bisa ringan sampai berat. Anemia dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari tiga mekanisme independen yaitu: berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.1

Untuk menegakkan diagnosis anemia pada kasus ini perlu dilakukan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang , agar kita dapat mengetahui etiologi penyebab dari anemia yang dialami oleh wanita tersebut selain itu perlu dijelaskan mengenai patofisologi , perjalanan penyakit , manifestasi klinis dan juga penatalkasaan dari pada kasus anemia tersebut .

Anamnesis Anamnesis merupakan deskripsi pasien tentang penyakit atau keluhannya, termasuk

alasan berobat. Terdapat sejumlah pertanyaan rutin yang harus diajukan kepada semua pasien, misalnya pertanyaan tentang identitas ( nama , umur , alamat dan pekerjaan ) , keluhan utama, Riwayat penyakit sekarang ,riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit menahun, riwayat penyakit sekarang yang spesifik terhadap diagnosa sementara, riwayat pengobatan , riwayat pribadi dan riwayat social. 2

Anamnesis yang terkait kasus anemia adalah : 1,2

Keluhan utama Riwayat penyakit Sekarang : Sejak kapan ? Apakah terjadi setiap saat atau tidak ?

apakah muncul saat aktivitas ringan , sedang atau berat ? Apa yang dirasakan pasien? Lelah, malaise, demam , sesak napas, nyeri dada, atau tanpa gejala ? Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali? factor pemicu ? Apakah sejak muncul gejala, gejala bertambah parah seiring waktu?

Riwayat pengobatan : Sudah pernah diobati sebelumnya ? atau sedang dalam pengobatan obat – obat antikoagulan

Riwayat penyakit dahulu : Apakah sebelumnya pernah mengalami hal seperti ini? Adakah mempunyai riwayat hipertensi ? Batuk lama ? Kencing manis ? Maag kronis ?ginjal kronis ? hepatitis ? penyakit terkait kelainan pembuluh darah dan jantung ? riwayat jika luka perdarahan sulit berhenti ? Tubuh mudah lebam , atau memar kebiruan ? epiktasis ?

Page 2: kmlml

Riwayat penyakit Keluarga : Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama pada saat ini? Ataukah dikeluarga ada menderita penyakit keganasan ? Anemia ? thalassemia ?

Riwayat Pribadi dan social : Apakah konsumsi cukup makanan mengandung Fe? . Adakah gejala yang konsisten dengan malabsorpsi? Adakah tanda – tanda kehilangan darah dari saluran cerna ? jika wanita tanyakan kehilangan darah menstruasi berlebihan? Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut. Riwayat BAB dan BAK ? adakah riwayat trauma ? Gusi mudah berdarah apabila menyikat gigi ? minum minuman beralkohol , merokok ?

Hasil Anamnesis : keluhan utama pasien adalah mudah lelah sejak 2 -3 minggu ini , pasien tidak merasakan demam , mual- muntah , BAK- BAB dalam batas normal .

Pemeriksaan Fisik Perhatikan Keadaan umum pasien , apakah pasien datang dengan keaaan tampak sakit ringan , sedang atau berat . Kesadaran pasien , apakah pasien datang dengan kesadaran kompos mentis , somnolen , delirium , stupor atau koma . 3

Selanjutnya lakukan pemeriksaan tanda – tanda vital meliputi pemeriksaan suhu badan dengan nilai normal 36,5⁰ C – 37,2⁰ C , nadi dengan nilai normal pada dewasa 70 – 80 x/ menit , tekanan darah dengan nilai normal pada dewasa muda 110 – 125 / 60-70 mmHg , dan Pernafasan dengan nilai normal pada dewasa 16 – 20 x/ menit.4 Setelah memastikan keadaan umum dan tanda – tanda vital dari pasien lakukan pemeriksaan fisik berupa Inspeksi , palpasi dan perkusi terkait keluhan pasien . 3

Inspeksi Melihat keadaan kulit dan kedua sklera berwarna kuning atau tidak. Pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%. Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL. Adakah Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia. Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe. Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infiltratif (seperti pada leukemia mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker). Petekhie, ekimosis, itu perdarahan lain.1,3

Palpasi Lakukan palpasi pada setiap kuadran abdomen secara berurutan, awalnya tanpa

penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ seperti hati, lien, limpa dan lain-lain.1,3

PerkusiPerkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,

menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat).1,3

Page 3: kmlml

Hasil Pemeriksaan Fisik : KU dan TTV dalam batas normal , konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik , Lien : S I – II

Pemeriksaan PenunjangUntuk memperoleh diagnosis kerja, selain hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,

dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan hapus darah tepi, dan pemeriksaan bilirubin (terutama bilirubin indirek). 4

Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai normal dapat berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan tetapi, nilai rujukan yang dapat digunakan secara universal adalah : 4

Hitung sel darah merah : Pria (4,7-6,1 juta sel/mikroliter); wanita (4,2-5,4 juta sel/mikroliter).

Hitung sel darah putih : 4.000-10.000 sel/mikroliter. Hemoglobin : pria (13,8-17,2 mg/dL); wanita (12,1-15,1 mg/dL). Hematokrit : pria (40,7%-50,3%); wanita (36,1%-44,3%). Hitung trombosit : 150.000-400.000 trombosit /mikroliter. Laju Edap Darah (LED) : pria (0-15mm/jam); wanita (0-20mm/jam). Hitung jenis leukosit : Neutrofil (55-70%); Eosinofil(1-3%); Basofil (0-1%); Limfosit

(20-40%); Monosit (2-8%).

Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah eritrosit. MCH adalah kadar hemoglobin dibadingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan MCHC adalah kadar hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan tersebut menunjukkan nilai eritrosit rata-rata. Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut adalah : 4

MCV = 82-92 fL MCH = 27-37 pg MCHC = 32-37%

MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom yang biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia megaloblastik. Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis. Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dlakukan secara otomatis, maka red cell distrbution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalny adalah 11,5-14,5 coeffecient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik. Selain itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit, namun bukan ciri khas dari anema hemolitik. 5

Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari hapus darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan eritrosit, yang perlu diperhatikan adalah ukuran, warna dan bentuknya. Sedangkan pada keadaan limfosit dan trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan darah tepi inilah dapat ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti sferosit, sel sabit, sel target, dan semacamnya. Pada anemia hemolitik secara umum dapat dijumpai eritrosit normositik, polikromasi, kelainan morfologi, dan dapat pula dijumpai eritrosit berinti. Jumlah leukosit meningkat dengan pegeseran ke kiri.1,4,5

Pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air dan

Page 4: kmlml

hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total adalah 0,2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0-0,2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0,2-o,8 mg%. pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih tinggi merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis.1,4,5

Retikulosit merupakan SDM yang tidak berinti dan belum matang, serta tetap berada dalam darah perifer selama 24 – 48jam pada saat proses pematangan SDM terjadi. Retikulosit umumnya lebih besar dari SDM yang matang. Pada hitung retikulosi, retikulosit dalam sampel darah lengkap dihitung dan ditunjukan dalam presentasi dari hitung SDM total. Karena metode penghitungan retikulosit manual menggunakan hanya sedikit sampel, nilainya mungkin tidak tepat dan harus dibandingkan dengan hitung SDM atau hematokrit. 4.5

Tujuan penghitungan retikulosit adalah untuk membantu membedakan anemia hipoproloferatif dari anemia hiperproloferatif. Juga untuk membantu menilai kehilangan darah, respons sumsum tulang terhadap anemia, dan terapi anemia. 4,5

Nilai Rujukan Retikulosit membetuk 0,5%-2,5% hitung SDM total. Pada bayi, hitung retikulosit yang normal berkisar dari 2%-6% pada saat lahir, yang menurun ke kadar dewasa dalam 1-2 minggu. 2 Hitung retikulosit yang rendah menunjukkan sumsum tulang yang hipoproliferatif (anemia hipoplastik) atau reitropoiesis yang tidak efektif (anemia pernisiosa). Hitung retikulosit yang tinggi menunjukkan adanya respons sumsum tulang terhadap anemia yang disebabkan oleh hemolisis atau kehilangan darah. Hitung retikulosit mungkin juga meningkat setelah terapi anemia defisiensi besi atau anemia pernisiosa. 4,5

Untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit dapat digunakan Direct Antiglobulin Test (Direct Coomb’s test) dan Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb’s test). Pada Direct Coomb’s Sel eritrosit pasien dicuci dari protein – protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.pada anemia hemolitik autoimun pemeriksaan com direk biasanya positif. Sedangkan pada indirect Untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel – sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel – sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Pada anemia hemolitik autoimun, tes DAT (Direct Antiglobulin Test) akan memberikan hasil (+) dan pada IAT (Indirect Antiglobulin Test) memberikan hasil (+) atau (-). Hasil Coomb’s test juga memberikan hasil (+) pada anemia hemolitik imun diinduksi obat.4,5

Hasil Pemeriksaan Penunjang : Hb : 9,5 g /dl , Ht : 30% , L : 8900/uL, T: 230.000/uL MCV: 82 fL , MCH : 30 pg, MCHC : 34% , hitung retikulosit : 6 %

Diagnosis Berdasarkan dari hasil anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapati bahwa pasien wanitaa 25 tahun tersebut mengalami anemia dikarenakan Hb yang dibawah batas normal . Anemia tersebut dapat disebabkan oleh beberapa penyakit diantaranya adalah anemia hemolitik autoimun , anemia deffisiensi G6PD, Sickles cells anemia , anemia hemolitik karena obat , sferositosis herediter dan anemia et causa perdarahan.

Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun

Page 5: kmlml

Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA) adalah suatu penyakit anemia yang di sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini yaitu permukaan sel darah merah (SDM). 6

Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) belum jelas. Dikatakan kemungkinan terjadi karena gangguan sentral toleransi dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. Selain itu Sejumlah faktor dapat meningkatkan penghancuran sel darah merah: Pembesaran limpa (splenomegali), sumbatan dalam pembuluh darah Antibodi bisa terikat pada sel darah merah dan menyebabkan sistem kekebalan menghancurkannya dalam suatu reaksi autoimun, kadang sel darah merah hancur karena adanya kelainan dalam sel itu sendiri (misalnya kelainan bentuk dan permukaan, kelainan fungsi atau kelainan kandungan hemoglobin), penyakit tertentu (misalnya lupus eritematosus sistemik dan kanker tertentu, terutama limfoma) dan obat-obatan (misalnya metildopa, dapson dan golongan sulfa).6

Patofisiologi Patosiologi disebabkan oleh perusakan se-sel eritrosit yang di perantarai antibody ini

terjadi melalui aktivasi sistem komplemen,aktifasi mekanisme seluler,atau kombinasi keduanya.6

Aktivasi sistem komplemenSecara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya

membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler (RBClisis-hemoglobin-ginjal-hemoglobinuria,hemosiderinuria) yang di tandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan di aktifkan menuju jalur klasik atau pun jalur alternative.Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,IgG1,IgG2,IgG3.IgM di sebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibody ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.Antibodi IgG di sebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan anti gen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.6

Aktivasi komplemen jalur klasik . Reaksi di awali dengan aktivitas C1suatu protein yang di kenal sebagai recognition unit.C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibody dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b ( di kenal sebagai C3 convertase).C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen ( sel darah merah berlabel antibody).C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c.C3d dan C3g akan berikatan pada membrane sel darah merah dan merupakan prroduk final aktivasi C3.C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b( convertase).c5 convertase akan memecah menjadi C5a (anflatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membrane.Kompleks penghancur membrane terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8,dan beberapa molekul C9.Kompleks ini akan menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran transmembran normal akan terganggu.Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan rupture.6

Aktivasi komplemen jalur alternatif . Aktifator jalur alternative akan mengaktifkan C3,dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membrane sel darah merah.faktor B kemudian melekat pada C3b,dan oleh faktor D faktor B di pecah menjadi Bad an Bb.Bb merupakan suatu protease serin,dan tetap melekat pada C3b.Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan c3b.C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb di pecah menjadi C5a dan C5b.Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membrane.6

Page 6: kmlml

Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskularJika sel darah di sensitasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau

berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut,maka sel darah merah tersebut akan di hancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.Proses immine adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang di perantarai sel.Immunoadherence terutama yang di perantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.6

Gejala Klinis Gejala yang dirasakan oleh penderita AIHA adalah gejala umum anemia (lemah, letih,

lesu), seringkali disertai demam dan jaundice (sakit kuning). Urin berwarna gelap sering ditemukan. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda jaundice, pembesaran limpa, pembesaran hati, dan pembesaran kelenjar getah bening.

Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah. Jika pasien  memiliki  kelainan  lain  seperti  SLE  atau  leukemia  limfositik  kronik,  dijumpai  juga  gambaran penyaki-penyakit  tersebut.6

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium seperti: DL (darah lengkap) dan hapusan darah. Dari DL bisa dilihat adanya penurunan Hb (anemia) dan hematokrit. Penurunan Hb biasanya berat dengan kadar kurang dari 7 g/dl. Kadar trombosit dan leukosit biasanya masih normal. Bisa juga didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Pada hapusan darah dapat ditemukan bentukan eritrosit yang bervariasi (poikilositosis), sferosit, polikromasi dan kadang autoaglutinasi. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan peningkatan kadar LDH. Sedangkan pada urinalisis bisa ditemukan hemoglobinuria. Hasil pemeriksaan tes coombs direk positif bila terdapat sel eritrosit yang dilapisi oleh IgG, IgG dan komplemen atau IgA. Jarang sekali disebabkan oleh eritrosit yang dilapisi oleh IgM. Pada beberapa kasus kita dapat jumpai autoantibodi dari sistem Rhesus (anti c, anti e), antibodi pada permukaan eritrosit dan antibodi bebas dalam plasma. Pemeriksaan terhadap antibodi ini yang terbaik dilakukan pada suhu 370C untuk tipe hangat sedangkan tipe dingin pada suhu 40C.6

Klasifikasi AIHA yaitu : Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37˚C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. Eritrosit biasanya dilapisi oleh imunoglobulin (Ig), yaitu umumnya imunoglobulin G (IgG) saja atau dengan komplemen dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk frakmen FCIgG. Bagian dari membran yang terlapis hilang sehingga sel makin sferis secara progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya dihancurkan secara prematur terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem RE.6

Anemia Hemolitik AutoImun tipe Dingin Terjadinya hemolisis diperantarai antibodidingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi

Donath-Landsteiner. Kelainan ini secara karakteristik memliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah antigen I/i. Sebagain besar IgM yang punya spesifitas tergadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi, Pada limfoma sel B, aglutinin

Page 7: kmlml

dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan SDM dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. 6

Paroxymal cold hemoglobinuria penyakit anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Katanya penyakit ini dulunya sering ditemukan karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi yang ektrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan protei komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali ke 370C terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lainnya. Akan memberikan gambaran klinis yaitu: dengan AIHA 2-5%, hemolisis paroksimal disertai mengigil, panas, mielgia, sakit kepala, hemoglubinuria berlangsung beberap jam. Sering disertai urtikaria. Laboratorium seperti: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos, tes coombs positif, antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah. Dengan prognosis dan survivalnya, pengobatan penyakit yang mendasarinya akan memperbaiki prognosisnya. Pengobatan dengan menghindari faktor pencetus. Terus dengan obat gunakan glukokortikoid dan plenektomi dikatakan tidak begitu memberi manfaat.1,4,6

Epidemiologi Dilaporkan insidens anemia hemolitik imunn sebesar 0,8 / 100.000/ tahun dan prevalensinya sebesar 17/100.000 . Insiden dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di USA. AIHA tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yangseringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold  Hemoglobinuria(PCH) yang melibatkan usia kanak.6,7

Penatalaksanaan

Medika MentosaKortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan

menunjukkan responklinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positif lemah, tes coombindirek negatif). Nilai normal dan stabil akan mencapai pada hari ke- 30 sampai hari ke- 90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. 6,7

Terapi steroid dosis <30 mg/hari diberikan secara selang 1 hari. Beberapa pasien akan memerlukan terapirumatan dengan dosis steroid rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2), siklofostamid 50-150 mg/hari (60mg/m2).6,7

Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bilaterjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400 mg/hari. Terapi imunoglobulin (400 mg/hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberpa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responnya bersifat sementara. Terapi plasmaferesismasih kontroversial.6,7

Non Media MentosaSplenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tappering

dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempatutama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelahsplenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan erotrosit yang sama. Remisi komplit pascasplenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendahmasih sering digunakan setelah splenektomi.

Page 8: kmlml

Terapi tranfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontra indikasi mutlak. Pada kondisi yangmengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid danimunoglobulin untuk berefek.6,7

Pencegahannya dapat dilihat berdasarkan klasifikasi penyakit. Kalau anemia hemolitik autoimun itu dengan memilih pasangan hidup yang baik tidak mempunyai gen yang homosigot atau heterosigot. Supaya memiliki keturunan yang sehat. Sedangkan yang untuk tipe hangat dan dingin usahakan untuk tidak terlalu sering tepapar pada suhu hangat atau dingin. Dan harus minum obat yang teratur. Itu saja pencegahan yang dapat dilakukan karena penyakit ini bersifat autoimmun yang sudah ada pada tubuh pasien.6,7

Prognosis Hanya sedikit pasien yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.6

Penyakit Anemia Sel Sabit (sickle cell anemia)

Anemia sel sabit adalah sejenis anemia kongenital di mana banyak sel darah merah berbentuk menyerupai sabit.8

Epidemiologi Dikatakan bahwa penyakit ini khusus didapat pada orang-orang negro atau yang berdarah negro. Seseorang yang bernama Iskandar wahidiyat mencatat sebanyak 16 kasus Hb S yang terjadi di Jakarta (campuran talasemia-HbS dan trait HbS) ini sangat jarang terjadi. Di Amerika di katakan kasusnya paling banyak, dimana pembawah sifat diturunkan secara dominan. Insidennya antara orang Amerika berkulit hitam adalah 8,5%, sedangkan yang statusnya homosigot diturunkan secara resisif berkisar antara 0,3-1,3%. Individu yang memiliki darah keturunan dari area Afrika tersebut: mencapai sekitar 10% keturunan Afro-Amerika membawa sifat ini, dan kira-kira satu dari setiap 375 anak Afro-Amerika lahir dengan penyakit ini.8

Etiologi Disebabkan karena adanya mutasi pada rantai β-globin dari hemoglobin, yang menyebabkan pertukaran asam glutamat (suatu asam amino) dengan asam amino hidrofobik valin pada posisi rantai ke 6. Gen yang bertanggung jawab menyebabkan Sickle call anemia merupakan gen autosom yang dapat ditemukan di kromosom nomor 11. Penggabungan dari dua subunit α-globin normal dengan dua subunit β-globin mutan akan membentuk hemoglobin S (HbS). Sehingga pada kondisi kadar oksigen yang rendah, serta ketidakhadiran asam amino polar pada posisi ke 6 dari rantai β-globin menyebabkan terbentuknya ikatan non-kovalen di hemoglobin yang menyebabkan perubahan bentuk dari sel darah merah menjadi bentuk sabit selain itu menurunkan elastisitasnya.8

Patofisiologi Proses dimana dapat terbentuknya sel sabit ini karena terjadinya tekanan oksigen yang

rendah atau berkurang terutama pada Ph yang rendah. Selain itu sel sabit ini memiliki sifat kurang melarut pada bentuk deoxygeneted sehingga viskositas darah akan meningkat dan mengakibatkan statis serta obstruksi aliran darah dalam sistem kapiler sehingga terjadi oklusi vaskuler dan edema perivaskuler menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan organ yang bersangkutan. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya terperangkap di

Page 9: kmlml

dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran darah ke jaringan di bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan. Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk semula jika saturasi hemoglobin kembali normal, namun sel sabit ini sangat rapuh dan banyak yang sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga menyebabkan anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari sirkulasi ke dalam limpa. Kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat. Terbentuk jaringan parut dan kadang-kadang infrak (sel yang sudah mati) dari berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan sering terjadi setelah beberapa tahun. Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia, ansietas, demam, dan terpajan dingin.6,8

Gejala klinis Kebanyakan pada kasus anemia sel sabit ini disertai anemia yang agak berat. Namun pada umumnya tidak terlalu menjadi masalah karena dikatakan suplai oksigen ke jaringan masih baik saja. Karena shift ke arah kanan dan adanya output jantung yang meninggi. Kalau anemia yang sudah berat akan terdapat ikterus, ada episode artralgia dengan demam, serangan sakit perut dan muntah, sakit pinggang dan sakit pada sendi-sendi. Trombosis serebral dapat mengakibatkan hemiplegia, gangguan urat syaraf kranial dan bisa ada kelainan neurologis lainnya. Pertumbuhan tubuh dapat terganggu biasanya badan pendek dengan kaki dan tangan yang panjang disertai tengkorak berbentuk menara.8

Pemeriksaan laboratorium Hemoglobin menurun(6-9 g/dL), jumlah sel eritosit biasanya antara 2-3 juta/ul.

Pemeriksaan laboratorium yang patognomonik adalah berupa sickling pada sedian tetes darah yang tidak di warnai. Pemeriksaan penyaring yang capat yang tidak memerlukan mikroskop hanya berdasarkan perbedaan daya larut dari Hb S. Jumlah retikulosit biasanya meninggi (10-40%) dan sering dijumpai sel normoblas dalam darah tepi. Nilai konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (MCHC) dapat meningkat hingga 40g/dL, terutama bila sickling bersifat ireversibel. Laju endap darah (LED) akan menurun, jumlah leukosit akan meningkat mencapai 25.000/ul, trombosit juga akan meningkat. Pada sum-sum tulang akan hiperplastik. Kadar bilirubin dalam serum neninggi (2-4 mg/dL), sehingga ekskresi urobilinogen melalui feses dan urin meningkat. Kadar besi dalam serum bisa normal atau meningkat juga. LDH semuanya jelas meningkat dan haptoglobin tidak ada. Hb dalam plasma sedikit meninggi dan survival sel eritrosit sekitar 10 hari.8

Penatalaksanaan Orang dewasa dengan anemia sel sabit sebaiknya di imunisasi terhadap pneumonia karena pneumokok. Tiap infeksi harus di obati dengan antibiotik yang sesuai. Pengobatan hanya bersifat simtomatik saja. Tranfusi darah hanya diberikan pada anemia yang berat atau krisis aplastik. Rehidrasi obat-obat analgetik perlu diberikan juga. Kadar Hb sebaiknya di naikan juga hingga 12-14 g/dL. Jenis obat lain yang dapat diberikan seperti: pirasetam telah digunakan dengan sukse untuk mengobati kasus-kasus tertentu anemia sel sabit. Dengan dosis yang diberikan adalah 3x1 g/ hari, secara oral namun akan lebih efektif bila diberikan secara IM dan IV karena obat ini nontoksik. Selain itu yang penting juga dengan penyuluhan sebelum memilih pasangan hidup untuk mencegah keturunan yang homosigot dan mengurangi kemungkinan heterosigot.8

Komplikasi dan PrognosisTerjadi penurunan faal paru-paru dan ginjal yang berlangsung perogresif. Kolelitiasis,

infrak pada tulang, osteomielitis dan hematuria berat yang dapat kambuh. Hanya sedikit saja kasus ini yang dapat mencapai umur 40 tahun. Jadi prognosisnya buruk.8

Page 10: kmlml

Penyakit defesiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

Defesiensi G6PD adalah penyakit turunan yang dibawah oleh kromosom X (X-linked disease). Dimana pertama kali terkana yaitu pria yang hemizigot yang kromosom X-nya mengandung gen defesiensi G6PD. Namun bisa juga di jumpai pada wanita yang homozigot. Wanita yang heterozigot biasanya hanya berupa karier, karena pada sel eritrositnya hanya di jumpai satu sel defesiensi G6PD sedangkan yang satunya sel normal. Maka masih dapat mengkompensasi kebutuhan enzim G6PD tersebut. 9

Menurut WHO dibagi atas 5 kelas yaitu: 1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) dengan anemia hemolitik kronis. 2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis. 3. Klas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan anemi hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi. 4. Klas IV: varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas enzim G6PD. 5. Klas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat. Varian klas IV dan klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.9

Epidemiologi Menurut WHO scientific Group, diperkirakan lebih kurang 100 juta penduduk didunia mendrita penyakit ini, dengan angka yang cukup tinggi diberbagai negara di afrika, misalnya Angola 17-27%, dan Gana 24%. Di India didapatkan 1,37%, di Irak dan Turki dilaporkan sebesar 12,4% dan 7,6%. Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia, Asia Tenggara maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria, kelainan ini dapat memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk survive terhadap malaria.9

Etiologi Untuk itu ada 2 faktor yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami defesiensi

enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase) yaitu: 1. Kekurangan jumlah molekul enzim G6PD. 2. Kekurangan aktivitas enzim G6PD. 9

Patofisiologi Energi utama dihasilkan oleh proses glikolisis anaerob. Sebanyak 95% glukosa dimetabolisme menjadi asam laktat, sisanya 5% melalui siklus fosfat pentosa akan mereduksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat ( NADP) menjadi reduced NADP (NADPH). NADPH ini akan berperan dalam mempertahankan jumlah reduced glutathion yang cukup dan berguna untuk melindungi sel eritrisit dari zat oksidan. Jadi kalau enzim tersebut berkurang akan menimbulkan gangguan pada pembentukan NADPH sehingga berkurangnya kadar reduced glutathion maka sel eritrosit akan sensitif terhadap zat oksidan dan mengalami hemolisis. 8,9

Mekanisme terjadinya hemolisis yaitu. Apabila aktivitas enzim G6PD dibawah nilai kritis, bahkan oksidatif internal atau eksternal akan menimbulkan berkurangnya produksi NADPH dan GSH. Bersama dengan ini terjadi presipitasi hemoglobin denaturasi dan pembentukan Heinz body. Produk penghancur hemoglobin ini akan mengikat membran sel eritrosit, sehingga menjadi lisis. Namun dikatakan juga bahwa ada pengaruh langsung dari zat oksigen terhadap membran sel eritrosit sehingga menjadi lisis. Dan keadaan hemolisis biasanya dapat berhenti sendiri, karena masih ada sel eritrosit mudah yang mempunyai aktivitas enzim G6PD yang relatif tinggi dibandingkan dengan sel eritrosit yang tua.9

Selain itu ada obat-obatan yang dapat bersifat oksidan sebagai berikut: golongan antipiretik dan analgetik, asam salisilat, asetalinid. Golongan sulfa, sulfanilamid, sulfasetamid dan lain-lain. Golongan antimalaria, primakuin, pimakuin, atebrin, kuinin, pentakuin.

Page 11: kmlml

Golongan anti bakterial non-sulfonamid, kloramfenikol, nitrofurason. Golongan lain, probenesid, isoniasid, vitamin K, kuinidin dan dimetkaptrol. Ahkir-ahkir ini sudah dilaporkan pula bahwa radiasi, obat-obat anti kanker seperti BCNU dan doksorubisin, keracunan besi, air minum yang diberi clorine dioxide sebagai desinfektan, hapatitis virus, obat tradisional Cina, dapat menimbulkan hancurnya sel eritrosit penderita defesiensi G6PD.9

Gejala klinis Menifestasi klinis dari defesiensi G6PD ini sangat bervariasi mulai dari yang paling

ringan tanpa gejala klinis sampai yang paling berat berupa hemolitik kronik dan ikterus neonatus spontan. Keadaan tergantung pada derajat kekurangan dan aktivitas enzim G6PD tersebut. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai dengan demam yang disertai jaundice (kuning) dan pucat di seluruh tubuh dan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan. Ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda kelelahan umum.9

Pemeriksaan laboratoriumPada sediaan darah tepi akan ditemukan polikromasi poikilositosis, basophylic

stippling, dan heinz bodies.9

Penatalaksanaan Pengobatan untuk penyembuhan penyakit belum ada. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi penyakit dengan defesiensi G6PD yaitu: 1. Menghindari pemakaian obat-obatan yang bersifat aoksidan dan infeksi pada kasus-kasus dnegan defesiensi G6PD. 2. Dengan mengadakan srreening test pada pasangan-pasangan yang ini menikah terutama pada daerah yang tinggi prevalensi defesiensi G6PD. Tes penyaringan dan enzymatic assay, yaitu: briliant cresyl blue linked test, methemoglobine test. Enzymatic assey dilakukan dengan cara T.P.N linked test, DICP linked assey.9

Komplikasi dan Prognosis Bila terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava beans mempunyai potensi

terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum (neonatal jaundice) yang sering mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu dapat juga menimbulkan katarak, kelelahan otot dan infeksi berulang.9

Anemia hemolitik imun diinduksi obat

Pada kasus ini ada beberapa cara obat dapat menimbulkan anemia hemolitik imun. Hapten atau penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu,serta oksidasi hemoglobin.6,7,9

Patofisiologi Penyerapan atau absorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes

coombs positif tanpa terjadi kerusakan pada sel eritrosit. Pada mekanisme hapten, obat akan melapisi sel eritrosit. Dengan kuat antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan sel eritosit. Sel eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak dilimpa.6,7,9

Page 12: kmlml

Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrositnya hanya bereasksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama misalnya obat penisilin. Sedangkan mekanisme pembentukan kompleks, melibatkan obat atau metabolit obat. Tempat ikat obat yaitu pada permukaan sel target, antibodi dan aktifasi komplemen. Antibodi akan melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target itu lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. 6

Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti: Rh, Kell,Kidd atau I/i. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Biasanya pada obat-obat kinin, kuinidin, sulfonamide, dulfonylurea dan tiazide. Selain itu banyak obat yang dapat menginduksi pembentukan autoantobodi terhadap sel eritrosit autolog, seperti obat methyldopa.6

Obat ini bersirkulasi didalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidasif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidasi. Eritrosit yang sudah tua mudah mengalami oksidatif. Tanda hemolisis karena suatu proses oksidatif yaitu: ditemukan methemoglobin, sulfhemoglobin dan heinz badies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obatnya itu nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien dengan terapi sefalosporin biasanya tes coombsnya akan positif karena absorpsi nonimunologis, immunoglobin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran sel eritrosit. 6,7

Epidemiologi 12,4% dari penderita anemia hemolitik imun dapat disebabkan oleh obat. Antara

kasus anemia hemolitik yang ada hubungannya dengan obat, metildopa mengambil peranan terbesar. Alfa metildopa (aldoment) dan beberapa obat lainnya seperti: kuinidin, sulfanilamid, isoniazid dan banyak lagi bila diberika bersama sekurang-kurangnya 3 bulan dapat mengakibatkan tes reaksi antiglobulin positif yang dose dependent pada 15-20% penderita-penderita tersebut. Dan 1% pada penderita akan mendapat anemia hemolitik. 6

Gambaran klinis Apabila riwayat pemakaian obat-obat tertentu positif. Pasien yang timbul hemolisis

melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila sudah sampai pada kompleks yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemapamar dengan dosis tunggal.6

Pemeriksaan laboratorium Terlihat anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes coombs positif. Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria. 6

Penatalaksanaan Dengan menghentikan pemakain obat-obat tersebut yang menjadi pemicu, terjadinya hemolisis pada sel darah merah dapat mengurangi. Obat kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi yang berat.6

Anemia pasca perdarahan

Page 13: kmlml

Anemia pasca perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan ekternal, misalnya: ada trauma, perdarahan pasca bedah. Ataupun perdarahan interna, misalnya: perdarahan pada kehamilan ektopik terganggu, perdarahan rongga abdomen, dan lain-lainnya. Di katakan pada seorang pria dewasa yang sehat, kehilangan darah melebihi 10% ( sekitar 500mL) baru akan menimbulkan gejala klinis. Bila perdarahan terjadi secara perlahan-lahan selama beberapa jam atau beberapa minggu, pasien dapat beradaptasi sampai kehilangan darah mencaiap sekitar 50% dari jumlah total eritrosit. Sebaliknya bila perdarahan terjadi secara akut, kehilangan darah sebanyak 40-50% akan diikuti dengan syok berat sampai kematian.8

Gejala klinis Pasien dengan timbul rasa lelah, pusing, haus, berkeringat, sinkop sampai syok atau

bisa juga sampai meninggal dunia. Gejala yang timbul ini biasanya tergantung dari beberapa faktor yaitu: jumlah darah yang hilang, cepat atau lambatnya perdarahan yang terjadi, lokasi perdarahan, dan adanya penyakit sebelum perdarahan. Bila terjadi anemia ringan-sedang, terjadi hipoksia ringan dan terjadi perangsangan proses hemopoiesis dalam sumsum tulang.8

Patofisiologi Segera setelah perdarahan, volume darah total akan berkurang tetapi kadar HB dan

nilai Ht belum menurun yaitu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi perdarahan. Dua puluh jam samapi 60 jam setelah perdarahan, terjadi perpindahan cairan dari ruang ektrasel kedalam ruang intravaskuler (stadium hemodilusi). Pada saat itulah jumlaj eritrosit/uL, kadar Hb dan nilai Ht dapat menurun. Stadium hemodilusi terjadi selama 1-3 hati setelah perdarahan dan timbul anemia normositik normokrom. Dengan demikian anemia dengan pasca perdarahan akan merangsang sumsum tulang melalui eritropoetin (EPO). 8

Peningkatan kadar EPO plasma terjadi 6 jam setelah perdarahan dan mencapai puncak pada hari ke 2 dan 3. Bila sumsum tulang dalam keadaan noemal, akan terjadi diferensiasi stem sel menjadi sel-sel yang selanjutnya akan membentuk sel darah merah. Regenerasi erotrosit terjadi 6-12 jam setelah perdarahan dan akan tampak sebagai polikromasi dan erotrosit berinti di darah tepi. Jumlah retikulosit akan meningkat. Peningkatannya dapat mencapai 5-10%, tergantung cadangan besi tibuh. Peningkatan retikulosit terjadi pada hari ke 2 dan 3, mencapai puncak pada hari ke 4-6 dan akan normal kembali pada hari ke 10-14 pasca perdarahan. Pada sedian hapus darah tepi akan tampak polikromasi sehingga hasil pemeriksaan volume eritrosit rata-rata (VER) meningkat. Selain makrositosis dapat di jumpai pulaleukositosis, neutrofilia dan trombositosis. 8

Bila tidak terjadi perdarahan ulang dan semua bahan untuk proses eritropoisis cukup, maka semua nilai parameter hematologi dapat kembali normal dalm 3-6 minggu. Namun beberapa jam setelah perdarahan, jumlah leukosit akan meningkat, dapat mencapai 20.000/uL darah seperti batang dan metamiolosit. Terjadi juga trombositosis yang dapat mencapai 500.000-1 juta/uL darah. Pada pemeriksaan sumsum tulang di jumpai yang hiperseluler dan aktivitas ketiga seri sel darah meningkat. Pada perdarahan yang internal dapat terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek serum. Keadaan ini terjadi akibat dari reabsorpsi hasil eritrosit kedalam sirkulasi darah.8

Penatalaksanaan Pulihkan volume darah dengan memberikan infus plasma expanders. Indikasi

diberikan tranfusi darah kalau Hbnya kurang dari 7g/dL. Kemudian pemberian 1 unit (PCR) packed red cell dapat meningkatkan nilai Ht 3% atau meningkatkan Hg 1g/dL.8

Sferositosis herediter (SH)

Page 14: kmlml

Merupakan salah satu jenis anemia hemolitik yang disebabkan oleh kerusakan pada membrane eritrosit . Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molecular pada satu atau lebih protein sitoskeletal sel darah merah yang terdiri dari spektrin , ankirin , band 3 protein , dan protein 4.2. 10

Sferositosis merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai di Eropa dengan insidens 1 kasus per 500 jiwa. Lembaga biologi molecular ejikman menemukan 12 pasien yang terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008 . Sebagian besar kasus SH diturunkan secara autosomal dominan , namun 25% kasus disebabkan oleh mutase spontan atau diturunkan secara resesif . 10

Patofisiologi Membran eritrosit terdiri atas lapisan lemak dan protein yang saling berinteraksi. Lapisan protein pada membran eritrosit dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu protein integral dan protein perifer. Protein integral melekat pada lapisan lemak membran sel karena interaksi hidrofobik. Glikoporin dan band 3 protein adalah protein terbanyak dalam kelompok ini. Protein perifer disebut juga protein sitoskeletal, terdapat dalam sitoplasma dari lapisan lemak membran eritrosit. Protein perifer terdiri atas spektrin, aktin, protein 4.1, protein 4.2 (palidin), ankirin, adusin, tropomiosin, dan tropomodulin . Defek selular primer pada SH adalah berkurangnya luas permukaan membran relatif terhadap volume intraselular sel eritrosit. Sehingga menyebabkan bentuk sel menjadi bulat dan deformabilitas sel berkurang. Selain itu, defek protein pada membran sel meningkatkan fragilitas membran sehingga sel menjadi mudah lisis terutama di limpa. Limpa memiliki pH dan kadar glukosa yang rendah serta kadar toksin radikal bebas yang tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan pada membran eritrosit. Defek molekular yang terjadi pada SH adalah defisiensi spektrin, ankirin, band 3 protein atau palidin pada membran sel. Kualitas dan kuantitas membran eritrosit pasien SH berkurang karena defisiensi protein-protein tersebut.10

Sferositosis herediter diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat atas dasar kadar hemoglobin, retikulosit dan bilirubin. Proses hemolisis pada SH terjadi ekstravaskular yaitu di limpa sehingga ukuran limpa dapat menjadi indikator derajat anemia pasien SH.10

Gejala klinis Splenomegali dijumpai pada semua kasus SH, namun pada umumnya baru ditemukan

pada anak besar dan dewasa. Usia eritrosit pada SH menjadi lebih pendek, sehingga jumlah eritrosit yang beredar menurun. Kadar eritropoietin akan meningkat dan merangsang aktivitas sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Aktivitas sumsum tulang yang meningkat ditandai dengan peningkatan jumlah retikulosit dalam darah. Pada pemecahan hemoglobin terbentuk bilirubin indirek. Kadar bilirubin indirek lebih dari 3 mg/dL menunjukkan hemolisis yang berat. Enam puluh lima persen pasien SH mengalami ikterus neonatorum dan beberapa kasus di antaranya memerlukan transfusi tukar.10

Pasien menunjukkan gejala klinis anemia hemolitik yang sesuai dengan SH yaitu pucat, riwayat ikterus neonatorum, dan splenomegali. Gejala tersebut sesuai dengan laporan bahwa anemia, splenomegali dan ikterus neonatorum merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada SH.10

Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium awal yang dilakukan pada anemia meliputi pemeriksaan

darah tepi lengkap termasuk retikulosit. Anemia dengan peningkatan retikulosit sering ditemukan pada anemia hemolitik termasuk SH. Derajat anemia pada SH bervariasi mulai dari ringan (Hb 11-15 g/dL) sampai berat (Hb 6-8 g/ dL). Nilai MCHC meningkat hingga 35%-38% pada sebagian besar pasien SH.1,2 Kombinasi pemeriksaan MCHC >35 g/dL dan

Page 15: kmlml

Red cell Distribution Width (RDW) >14% mempunyai sensitivitas 63% dan spesifisitas hingga 100% (Tabel 2).13 Pada gambaran darah tepi SH ditemukan sferosit dalam jumlah banyak. Sferosit adalah sel eritrosit berbentuk bulat, tanpa central pallor dengan ukuran yang lebih kecil daripada eritrosit normal . Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah uji fragilitas osmotik (resistensi NaCl). Fragilitas eritrosit pasien SH akan meningkat, sehingga jumlah sel yang lisis akan lebih banyak dibandingkan control.10

Penatalaksanaan

Tala laksana SH secara garis besar sama dengan anemia hemolitik pada umumnya. Asam folat diberikan pada pasien anemia hemolitik kronis untuk merangsang eritropoiesis, namun tidak ada bukti kuat yang mendukung suplementasi asam folat pada SH. Walaupun demikian, asam folat dibutuhkan pada pasien SH dengan anemia berat mengingat kemungkingan defisiensi pada keadaan tersebut. Dosis yang direkomendasikan pada SH dengan anemia sedang sampai berat 2,5 mg/hari untuk anak di bawah 5 tahun dan 5 mg/hari untuk usia lebih tua. 10

Transfusi rutin diberikan pada pasien SH dengan anemia berat, krisis aplasia, dan hipersplenisme. Pasien pernah mengalami anemia berat sehingga membutuhkan transfusi darah merah, namun dalam pengamatan selanjutnya kadar Hb pasien berkisar 8-9 g/dL, sehingga tidak dilakukan transfusi secara rutin. Kontrol teratur bagi pasien SH sangat penting, demikian pula edukasi pada orangtua serta tindak lanjut terhadap keadaan umum, pertumbuhan, ukuran limpa dan pemantauan terhadap komplikasi. Hemolisis kronis yang terjadi pada SH merupakan faktor risiko terjadinya kolelitiasis. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hemosiderosis atau hemokromatosis akibat transfusi darah berulang. Oleh karena itu pemeriksaan berkala kadar besi harus dilakukan terutama pada SH berat. Splenoktomi dilakukan pada kasus berat .10

Prognosis Sebagaimana pada sebagian besar pasien SH, prognosis pasien baik karena anemia yang dialami masih dapat dikompensasi oleh sumsum tulang.10

Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik , pasien wanita 25 tahun tersebut mengalami anemia , dilihat dari hasil yang didapati yaitu pemeriksaan : konjungtiva anemis, sklera ikterik, lien schufner 1-2, Hb: 9,5, Ht: 30, leukosit: 8900, trombosit: 23000, MCV: 82, MCH: 30, MCHC: 34 dan retikulosit: 6%.wajah terlihat agak pucat. Pasien tidak merasa demam, mual, muntah, BAK frekuensi serta warna dalam batas normal, dan BAB frekuensi, warna, konsistensi masih dalam batas. Akan tetapi untuk penentuan working diagnosis terlebih mencari etiologi dari penyebab anemia pada kasus ini , perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang lebih detail lagi untuk menyingkirkan Diferrential diagnosis yang ada.

Daftar Pustaka

1. Bakta IM . Pendekatan klinis terhadap pasien anemia . Dalam : Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014 .h. 2575-7

Page 16: kmlml

2. Supartondo, Setiyohadi B : Anamnesis . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M , Setiati S [editor]. Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing ;2014.h.25-8

3. Morton PG . Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi soapie . Edisi 2 . Jakarta : EGC ; 2003.h.54

4. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit EGC; 2005. h.256.

5. Atul BM, Victor H. At a glance hematologi. Edisi ke-2.Jakarta:Penerbit Erlangga; 2006. h.19.

6. Parjono E, Hariadi KWT. Anemia hemolitik autoimun .Dalam : Setiati S ,Alwi I , Sudoyo AW, Simadibrata MK , Setiyohadi B , Syam AF [ editor] . Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2014. h. 2608 - 13

7. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius;2008. Hal 550-2.

8. Sudiono H , Iskandar I , Edward H , halim SK , Kosasih R . Penuntun patologi klinik hematologi . Jakarta : Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA ; 2014 .h .121-2

9. Rinaldi I , Sudoyo AW . Anemia hemolitik nonimun . Dalam : Setiati S ,Alwi I , Sudoyo AW, Simadibrata MK , Setiyohadi B , Syam AF [ editor] . Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2014. h. 2615-7

10. Sari TT , Ismail IC . Sferositosis herediter : laporan kasus . Sari Pediatri 2009;11(4):298-304