lapsus ok app fia
DESCRIPTION
anastesiTRANSCRIPT
![Page 1: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Nn.YU
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Alamat : Punduh, RT 008 RW 004 Sidoagung, Kec. Tempuran
Diagnosis Pre-Op : Appendicitis Akut
Tindakan Op : Appendictomi
Jenis Anestesi : Anestesi Regional Spinal
Tanggal Masuk : 30 November 2015
Tanggal Operasi : 1 Desember 2015
II. Pemeriksaan Pre Anestesi
BB : 49 Kg IMT : 19,14
TB : 160 cm (Normoweight)
III. Anamnesis
a. Subjektif
Keluhan Utama
Nyeri pada perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada perut kanan bawah sejak tiga bulan SMRS, awalnya nyeri pada perut
bagian tengah dan menjalar ke kanan bawah. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien
tiba-tiba dan hilang timbul. Nyeri timbul bila pasien bergerak dan berkurang saat
pasien beristirahat. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri yang dirasakan
pasien adalah 6. Nyeri timbul biasanya 2 kali dalam 2 minggu, lama nyeri antara 5-
10 menit dan hilang dengan istirahat. 1 bulan yang lalu keluhan nyeri makin
bertambah, nyeri semakin sering dirasakan, bisa 2 kali seminggu dan nyeri tidak
hilang dengan istirahat, pasien sudah pernah ke IGD RST Sardjono namun keluhan
belum berkurang. Pasien lupa nama obat yang telah di berikan. Keluhan mual (+)
dan muntah (+) dirasakan sejak tiga bulan SMRS, mual dan muntah dirasakan hilang
timbul, timbul saat nyeri perut dan hilang saat sudah tidak nyeri perut, keluhan
![Page 2: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/2.jpg)
demam disangkal oleh pasien. BAB setiap hari sekali, tidak keras, BAK 3-4 kali
sehari, warna urin kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Tifoid (+), HT (-), DM (-), Alergi (-) Asma (-) Paru (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah berobat ke IGD RST, (pasien lupa apa saja obat yang diberikan)
tapi tidak ada perubahan.
b. Objektif
B1 : RR 22 x/menit
Teeth : gigi molar ke 3 bawah kanan kiri sudah
tumbuh, bolong (-), caries gigi (-)
Tongue : papil lidah (+)
Tonsil : T1-T1
Tumor : tidak ada
Tiroid : tidak membesar, nyeri tekan (-)
Temporo madibua joint : dapat membuka 3 jari
Tiromental distance : 6 cm
Trakea : ditengah
Mallampati score : Skor kelas II, terlihat palatum molle
dan uvula
Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki /, wheezing /
B2 : BP 110/80 mmHg
HR 78 x/menit
![Page 3: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/3.jpg)
Capillary refill time : < 1 detik
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V
misclavicularis sinistra, kuat angkat, thrill
(-)
Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea
parasternal dekstra, batas jantung kiri ICS
IV 2 jari ke medial linea midclavicularis
dekstra, pinggang jantung ICS III linea
parasternal sinistra
Auskultasi : BJ S1- S2 reguler, murmur (), gallop
()
Riwayat hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal
PARAMETER HASIL NILAI NORMAL
WBC 10.5 4.0 – 10.0
RBC 4.91 3.50 – 5.50
HGB 12.5 11.0 – 15.0
HCT 39.5 36.0 – 48.0
MCV 80.5 80.0 – 99.0
MCH 25.4 26.0 – 32.0
MCHC 31.6 31.0 – 36.0
RDW_CV 11.4 10.0 – 16.0
RDW_SD 31.9 39.0 - 46.0
PLT 296 150 – 450
MPV 12.5 7.4 – 10.4
PCT 0.37 0.10 – 0.28
PDW 10.0 10.0 – 14.0
GLUKOSA 104 70.0 - 115.0
CT/ BT : 3’/1’30’’
![Page 4: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/4.jpg)
B3 : GCS 15 (E4 M6V5)
Kejang (-)
Reflek Cahaya direk +/+, Reflek Cahaya indirek +/+, Isokor ∅ 3 mm
- NERVUS CRANIALIS :
a. N. okulomotorius, troklearis, abducen (N. III, IV,VI)
Kedudukan mata saat diam : ptosis (-)
Gerakan bola mata : nistagmus (-)
Pupil:
Bentuk, lebar, perbedaan lebar : bulat, isokor, ∅ 3 mm
Reaksi cahaya langsung dan tidak langsung : +/+ (terjadi miosis)
Reaksi akomodasi dan konvergensi : tidak dievaluasi
b. N. Trigeminus (N. V)
Sensorik : Dapat merasakan sensasi halus, nyeri
Motorik : Pasien bisa mengunyah
Pasien bisa merapatkan gigi
Pasien bisa membuka mulut
Pasien bisaMenggerakkan rahang
Refleks :
Kornea : terjadi kedipan mata
c. N. Facialis (N. VII)
Sensorik : masih bisa merasakan rasa manis
Motorik
Kondisi diam : Simetris
Kondisi bergerak : Simetris
d. N. Vestibulokoklearis (N. VIII)
Pasien dapat mendengar suara bisik
Pasien dapat mendengar suara detak arloji
Pemeriksaan garpu tala tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
![Page 5: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/5.jpg)
Stapping test : tidak dilakukan
Pointing test : pasien dapat menyentuh telunjuk pemeriksa dengan
menggunakan telunjuknya
e. N. Glosopharingeus, Vagus (N.IX, X)
Inspeksi oropharing keadaan istirahat : hiperemis -, edema -
Inspeksi oropharing saat berfonasi : uvula bergerak
Pasien dapat menyebutkan AAAA
Refleks : muntah (+), batuk (+)
Sensorik khusus :
Suara serak atau parau : tidak ada
Menelan : pasien dapat menelan makanan padat maupun cairan
f. N. Acesorius (N.XI)
Kekuatan m. trapezius : pasien dapat melawan tahanan
yang diberikan pemeriksa saat
menekan bahu pasien
Kekuatan m. sternokleidomastoideus : pasien dapat melawan tahanan
yang diberikan pemeriksa saat
menoleh
g. N. hipoglosus (N. XII)
Inspeksi : Posisi lidah simetris saat dijulurkan atau tidak
Kekuatan : Pasien dapat menekan pipi dengan lidahnya
- REFLEKS FISIOLOGIS
a. Refleks Superficial
Dinding perut /BHR : (+)
Cremaster : tidak dilakukan
b. Refleks tendon / periostenum :
BPR / Biceps : +/ +
![Page 6: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/6.jpg)
TPR / Triceps : +/ +
KPR / Patella : +/ +
APR / Achilles : + / +
B4 : BAK (+) normal
Kateter ()
B5 : Mual (+), muntah (+)
BAB (+) lancar
Abdomen :
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus (+) 5 x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada perut kanan
bawah, hepar dan lien tidak teraba.
Nyeri tekan titik Mc Burney (+)
Rovsing sign: (+)
Blumberg sign (+)
Psoas sign (+)
Obturator sign (-)
B6 : Ekstremitas
Akral hangat +/+/+/+
Edema ///
Sianosis ///
Deformitas ///
Suhu axila 36.5 ºC
Assesment
Pasien perempuan, usia 20 tahun dengan diagnosis Appendisitis kronik eksaserbasi
akut ASA II
Planning
Jenis Pembedahan : Appendectomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi – Spinal
![Page 7: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/7.jpg)
Permasalahan
Permasalahan medis Nyeri perut kanan bawah
Leukositosis
Permasalahan bedah Perdarahan
Dehidrasi
Permasalahan anestesi Dehidrasi
Muntah
Aspirasi
Persiapan Pre-Operasi
1. Persiapan pasien :
a. Informed Consent
b. Pasien puasa 6 – 12 jam pre op
c. Infuse RL 20 tpm
d. Tanda vital
2. Persiapan alat anestesi :
a. STATIC :
S : Scope Stetoskop, laringoskop
T : Tubes pipa trakea. ETT No. 7,0 (cuffed)
A : Airway orofaring airway support Guedel no.3
T : Tape plester
I : Introducer mandrin atau stilet
C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia
S : Sucstion, Spuit 10 cc, spray lidocain, Gel
b. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, EKG, SpO2
c. Spinal set
1) Jarum spinal ujung tajam
2) Kassa, betadine dan alkohol
3) Spuit 5cc
![Page 8: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/8.jpg)
3. Persiapan obat anestesi:
a. Lidocain 2%
b. Bupivacain 0,5%
c. Pethidin 100 mg/ 2cc amp
d. Fentanyl 0,05 mg/ cc amp
e. Propofol 200 mg/ 20 cc amp
f. Ketamin 100 mg/ cc vial
g. Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial
h. Tramus 10 mg/cc amp
i. Efedrin HCl 50 mg/ cc amp
j. Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp
k. Ondansentron 4 mg/ 2cc amp
l. Aminofilin 24 mg/ cc amp
m. Dexamethason 5 mg/ cc amp
n. Adrenalin 1 mg/ cc amp
o. Neostigmin 0,5 mg/ cc amp
p. Midazolam 5 mg/ 5 cc amp
q. Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp
r. Difenhiframin 5 mg/ cc amp
Durante Operasi
a. Anastesi : Lidocain 2 ml, Bupivacain 4 ml
b. Lama operasi : 13.55 – 14.15
c. Lama anestesi : 13.50 – 13.55
d. Obat yang digunakan
1) Pre-Medikasi :
Inj. Midazolam 1mg
Inj. Clopedine 50 mg
Inj. Ondansetron 4 mg
Inj. Ketorolac 30 mg
2) Induksi Bupivacaine HCL 3 ml
3) Maintenance : O2 3 liter/menit
![Page 9: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/9.jpg)
e. Teknik Anastesi:
1) Jam 13.10 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja
operasi, manset dan monitor dipasang.
2) Jam 13.50 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:
a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan
b) Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan lakukan
anestesi di daerah tusukan dan diperluas menggunakan lidocain 2 mL.
c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus sampai
ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS, barbotage positif,
dimasuki induksi bupivacain 3 mL
d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal
oksigen 3L/m
e) Nilai level blok sensorik hasilnya blok setinggi vertebra toracal VI.
3) Monitoring
Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap
lima menit
Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit
Waktu Tekanan
Darah
Nadi SpO2 Keterangan
13.10 130/72 93 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.15 130/75 95 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.20 120/73 89 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.25 120/80 90 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.25 120/82 88 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.35 130/72 95 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.40 130/75 90 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.45 128/77 83 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm
13.50 129/80 85 99 Posisikan pasien untuk tindakan
anestesi
Penyuntikan Lidocain 2 mL
Induksi dengan Bupivacain 3 mL
Pemasangan kanul nasal O2 3
Lmenit
![Page 10: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/10.jpg)
13.55 125/80 86 99 Pelaksanaan operasi
Injeksi Midazolam 2 mg (iv)
Injeksi Fentanyl 50 mg (iv)
- Injeksi ondansetron 4 mg (iv)
14.00 120/78 88 99
14.05 125/80 83 99
14.10 130/79 87 99
14.15 127/79 Pemberian injeksi Keorolac 30
mg (iv)
Operasi selesai
Pasien dipindahkan ke recovery
room
4) Jam 14.15 operasi selesai
5) Jam 14.20 pasien dipindahkn ke recovery room dalam keadaan sadar
dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan nasal kanul O2 3
liter/menit, dan tanda vital di monitoring tiap 10 menit
Post-Operasi
Keluhan:
Nyeri pada luka operasi (+), mual (-), muntah (-), pusing (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-
B2 : akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80 mmHg,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+
B4 : kateter (-)
B5 : flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.
B6 : mobilitas (-), mampu menggerakkan kedua ekstremitas secara
spontan, edema -|-, sianosis -|-, anemis -|-, ikterik -|-, CRT<2 detik
Monitoring (Recovery Room)
Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :
Point Nilai Pada Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2
2 ekstremitas 1 √
- 0
![Page 11: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/11.jpg)
Respirasi Spontan+batuk 2 √
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2 √
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2 √
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 √
Pucat 1
Sianosis 0
Total 9
Bromage Score
0 Gerak penuh dari tungkai
1 Tidak mampu ekstensi tungkai
2 Tidak mampu flexi lutut √
3 Tidak mampu flexi pergelangan kaki
Monitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR Keterangan
12.20 110/70 64 22 O2 3 L/menit, Monitoring
tanda vital
12.30 120/80 62 20 Monitoring tanda vital
12.40 120/80 64 22 Monitoring tanda vital
Aldrette score 9, dan Bromage
score = 2, pasien pindah ke
bangsal Cempaka
FOLLOW UP 2/12/2015
![Page 12: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/12.jpg)
S : Nyeri pada luka operasi (+), pusing saat berdiri (+), mual (-), muntah (-), nafsu
makan baik (+)
O :
B1 : airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-
B2 : akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80 mmHg,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+
B4 : kateter (-)
B5 : flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.
B6 : mobilitas (-), mampu menggerakkan kedua ekstremitas secara
spontan, edema -|-, sianosis -|-, anemis -|-, ikterik -|-, CRT<2 detik
A : Post Operasi Appendiktomi
P : Infus RL 500 ml 20 tpm
Ceftriaxon 1 gr
![Page 13: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/13.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Manajemen Anastesi Pre-Operatif
II.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
preoperasi, salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah
sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi.
Tujuannya adalah :
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anastesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dispneu amupun
urtikaria)
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anastesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi
(pemeriksaan tambahan dan atau terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anastesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis induksi
Kunjungan preoperative dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anastesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis.
Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anastesi bisa
![Page 14: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/14.jpg)
menentukan cara anastesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan
preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah
operasi. Evaluasi preoperative mliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, EKG, USG, foto thoraks, dll.3
II.1.1.1 History Taking
History Taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit
sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), Karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anastesi. Riwayat
operasi dan anastesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anastesi bila ada.
II.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimptomatik
setidaknya meliputi tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan
pemeriksaan airway, jantung, paru-paru dan system musculoskeletal. Pemeriksaan
neurologis juga penting terutama pada anastesi regional sehingga bisa diketahui ada
deficit neurologis sebelum dilakukan anastesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar, leher pendek dan kaku sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Skoring Mallampati :
I. Terlihat tonsil, uvula dan pallatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat pallatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat pallatum mole dan durum dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat pallatum durum
![Page 15: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/15.jpg)
Gambar 1. Skoring Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat untuk perkiraan risiko anastesi, karena
efek samping anastesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke 6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas preioperatif. Karena underlying disease
hanyalah satu dari banyak factor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperative,
amaka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.
K
lasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam
tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
f. ASA VI: Pasien dengan kematan batang otak yang organ tubuhnya akan
diambil untuk tujuan donor
g. E : Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I-VI di atas
![Page 16: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/16.jpg)
II.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanastesi tergantung pada umur pasien,
ada tidaknya kondisi kormobid saat ini.
Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang yang Dibutuhkan
Pemeriksaan Rutin Indikasi
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita, pria > 40 tahun,
semua bedah mayor
ECG Umur > 50 tahun
Foto Thoraks Umur > 60 tahun
Tes Fungsi Hati Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun
Ureum, Creatinin, elektrolit Bedah mayor
II. 1. Anestesi Regional – Spinal
II. 1. 1. Persiapan Pra-Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah:
2. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
3. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
4. Menentukan status fisik dengan
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.2
II. 1. 2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain (Muhardi, 1989)1:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
![Page 17: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/17.jpg)
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hoisin
II. 1. 3. Anestesi Regional
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari
suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal).
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang epidural
durameter ruang subarachnoid.
![Page 18: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/18.jpg)
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. 2
Indikasi
Anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah,
perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat
dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain,
sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam
Kontra Indikasi Anestesi Spinal
Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam penggunaan
anestesi spinal
Kontra indikasi absolut :
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi
Kontra indikasi relatif :
a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
Persiapan anestesi spinal
Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar
tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan
![Page 19: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/19.jpg)
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut dan
EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja operasi
tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.3
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk
dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-
Jarum pinsil (whitecare)
Jarum tajam (Quincke-
Babcock)
![Page 20: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/20.jpg)
L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang
epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keuntungan anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural :
1. Obat anestesi lokal lebih sedikit
2. Onset lebih singkat
3. Level anestesi lebih pasti
4. Teknik lebih mudah
Tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut3:
a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
![Page 21: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/21.jpg)
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di
sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks bawah,
lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah thoraks
segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
Keuntungan dan kerugian anestesi spinal2
a. Keuntungan
1) Respirasi spontan
2) Lebih murah
3) Ideal untuk pasien kondisi fit
4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien
dengan perut penuh
5) Tidak memerlukan intubasi
6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7) Fungsi usus cepat kembali
8) Tidak ada bahaya ledakan
9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2) Menyebabkan post operatif headache.
Komplikasi tindakan anestesi spinal
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai
T-2.
c. Hipoventilasi
![Page 22: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/22.jpg)
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
II. 1. 4. Terapi Cairan6,7
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml / kgBB/jam
b. Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c. Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
![Page 23: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/23.jpg)
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:10
a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari
b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari
c. K : 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor trauma
atau stress (Prawirohardjo, 2007).
II. 1. 5. Pemullihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.
II.2 Apendisitis1
II.2.1 Pengertian
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering di Negara maju. Apendiks
disebut juga umbai cacing. 11
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.
Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari.5
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
![Page 24: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/24.jpg)
II.2.2 Anatomi Appendix
Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang
lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen
yang sempit pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal, kapasitas appendix
sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan
bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissue). Lokasi appendix
terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction.
Appendix sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut
mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum
terminalis. Posisi terbanyak dari appendix sendiri adalah retrocaecal, namun demikian
ada variasi dari lokasi appendix ini.8
65% dari posisi appendix terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Di sini variasi posisi appendix menentukan gejala yang akan muncul
saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi appendix terhadap caecum adalah
sebagai berikut :
![Page 25: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/25.jpg)
1. Retrocaecal (65%)
2. Pelvinal
3. Antecaecal
4. Preileal
5. Postileal
Gambar 1. Variasi Posisi Appendix
Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi appendix dapat
ditemukan dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon),
yaitu taenia colica, taenia libera, dan taenia omental.5
Vaskularisasi appendix berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang
dari arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri
appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali
ke vena mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga
ketika terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren,
hingga akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang
mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus.
25
![Page 26: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/26.jpg)
II.2.3 Fisiologi Appendix
Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per
hari, di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya
obstruksi pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendix.
Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan
Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.
Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran
cerna dan di seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan
perubahan yang bermakna.8
II.2.4 Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras
(fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam
tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun,
diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering
terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa
apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian
konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.8
26
![Page 27: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/27.jpg)
II.2.5 Patogenesis8
Appendicitis akut biasanya disebebkan oleh penyumbatan lumen appendiks
yang diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hyperplasia limfoid, benda asing, parasite,
neoplasma atau striktur karena fibrosis. Jaringan mukosa pada apendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan
pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama
mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di
dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal
tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini
pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan
istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
27
![Page 28: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/28.jpg)
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
II.2.6 Gambaran Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan
jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya
karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
28
![Page 29: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/29.jpg)
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-
ulang (diare).
b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian
akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa
yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
29
![Page 30: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/30.jpg)
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
II.2.7 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi
pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :1,4,6
Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang
terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.
Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis.
Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus
abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.
Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri
sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan
organ dalam terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada apendiks
yang meradang.
Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.
30
![Page 31: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/31.jpg)
Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama kali
di regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar berpindah
ke regio iliaka dextra.
Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang terletak
retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa :
i. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di perut kanan
bawah.
ii. Pasif : Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian
pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul
kanan penderita (tanda bintang).
Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena
peradangan appendiks menyentuh m. Obturator Internus yang merupakan
dinding panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak
pada rongga pelvis.
c. Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan
pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus.
31
![Page 32: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/32.jpg)
d. Pemeriksaan colok dubur
Ppemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas
75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
b. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian
yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan
yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain. Untuk menurunkan
angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi
penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
32
![Page 33: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/33.jpg)
dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis
pada kasus yang meragukan.
II.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
a. Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
apendikuler yang pendinginannya belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus
ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuit oleh peritonitis purulenta
generalisata. Oleh sebab itu massa periapendikuler yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah hal tersebut. Pada anak selalu
dipersiapkan untuk operasi dalam 2-3 hari. Pasien dewasa dengan massa
periapendikuler yang mengalami pendinginan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotika sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa,
serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler
hilang, dan leukosit normal penderita boleh pulang dan apendektomi dapat
dikerjakan pada 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba
pembengkakan massa serta bertambahnya leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akut diikuti dengan adanya massa dan nyeri
di region iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan ke diagnosis massa
atau abses periapendikuler. Kadang sulit dibedakan dengan karsinoma sekum,
penyakit Crohn, dan amuba. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis
yang khas.
33
![Page 34: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/34.jpg)
II.2.9 Tatalaksana
Apendektomi direncanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotika kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu
dilakukan apendektomi. Pada anak kecil dan wanita hamil dan penderita usia lanjut
jika secara konservatif tidak tidaak membaik atau berkembang menjadi abses dapat
diperyimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
II.2.10 Diagnosis
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritoniitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi
tegang dan kembung, nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin
dengan punctum maksimum diregio iliaka kanan, peritalsis usus menurun sampai
menghilang karena ileus paralitik. Abses peritoneum biasa terjadi bilamana
pus yang menyebar bisa dilokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis
dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai abses. USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal atau efusi pleura.
USG dan Foto Rontgen dada akan membantu membedakannya.
II.2.11 Tatalaksana
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang
panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun
pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong
nanah. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi
secara laparaskopi apendektomi. Rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah.
Hasilnya dilaporkan tidak berbeda dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya
lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena ada kemungkinan
34
![Page 35: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/35.jpg)
terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan drainage subfacia, kulit
dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi.
Pada anak tidak usah dipasang drainage intraperitoneal karena justru akan
menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.
35
![Page 36: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/36.jpg)
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik
Penegakan diagnosis bedah
- Pasien Nn. YU 20 tahun memiliki keluhan nyeri pada regio abdomen kanan
bawah. Nyeri sebelumnya dirasakan pada regio epigastrium lalu berpindah ke
regio kanan abdomen
o Jenis kelamin : berdasarkan studi di Swedia, dikatakan bahwa kejadian
kasus appendicitis tahunan adalah 1.33 per seribu penduduk laki-laki
dan 0.99 per seribu peduduk perempuan.15 Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Anggi Patranita, didapatkan bahwa pasien appendicitis
paling banyak ditemukan adalah yang berjenis kelamin perempuan,
yaitu sebanyak 54 (54%) dan pasien laki-laki sebanyak 46 (46%)16
o Usia : appendicitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada
dewasa muda. Insiden appendicitis semakin meningkat pada pasien di
akhir uasia belasan dan 20-an.17 Pada penelitian yang dilakukan oleh
Anggi Pratanita dimana pasien appendicitis paling banyak terjadi pada
kelompok usia 10-19 tahun. Insiden tertinggi pada laki-laki usia 10-14
tahun (27,6 per 10.000 penduduk per tahun) dan pada perempuasn usia
15-19 tahun (20,5 per 10.000 penduduk per tahun
o Nyeri abdomen pada region kanan bawah bisa disebabkan karena
adanya kelainan/infeksi pada organ yang ada di kanan bawah, seperti
appendix dan caecum.
o Keluhan utama pada pasien appendicitis akut adalah nyeri perut.
Gambaran klinis yang umum adalah nyeri perut di bagian tengah yang
seiring waktu berpindah ke daerah fossa iliaka dextra. Gambaran
klasik ini pertam kali dideskripsikan oleh Murphy, namun hanya
terjadi pada setengah kasus appendicitis akut. Khasnya nyeri awalnya
muncul disekitar umbilicus dan semakin lama semakin meningkat
36
![Page 37: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/37.jpg)
intensitasnya selama 24 jam pertama. Nyeri kemudian berpindah dan
menetap di fossa illiaka kanan.
o Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri alih akibat
inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut.
Selain itu nyeri juga timbul oleh karena kontraksi appendik, distensi
dari lumen appendiks ataupun ataupun karena tarikan dinding
appendiks yang mengalami peradangan.
o Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh peradangan (>6
jam) dan iritasi langsung pada peritoneum parietalis akibat proses
peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat menunjukkan letak
nyeri, karena bersifat somatic. Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang
lebih tajam.
- Nyeri memberat jika pasien berjalan
o Terjadi karena peradangan appendiks yang menyentuh muskulus
obturator internus
o Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri
akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki
- Rasa sakit yang dirasakan hilang timbul
o Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti
kolik yang dirasakan di daerah umbilicus dengan sifat nyeri ringan
sampai berat.
- Mual (+) muntah (+)
o Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus. Anoreksia,
nausea dan vomitus biasanya muncul beberapa jam setelah nyeri
abdomen. Anoreksia hamper selalu dijumpai pada pasien dengan
appendistis akut sehingga sangat penting ditanyakan pada anamnesis.
Hampir 75% penderita disertai dengan muntah, namun jarang
37
![Page 38: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/38.jpg)
berlanjut menjadi berat dan kebanyakan muntah hanya sekali atau dua
kali
Pada pasien ini dalam pemeriksaan fisik didapatkan
- Nyeri tekan pada region abdomen kanan bawah (+)
- Nyeri lepas
o Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang terjadi
akibat rangsangan pada peritoneum
- Nyeri tekan titik Mc Burney (+)
- Defans muscular
o Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis. Rangsangan
ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus
abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.
- Rovsing sign (+)
o Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan organ dalam
terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada apendiks yang
meradang
- Psoas sign (+)
o Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks
- Obturator sign (+)
o Menunjukkan iritasi otot obturator karena peradangan appendiks
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium
Leukositosis : Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu
pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan
diagnose appendicitis akut dan appendicitis perforasi.12-13
38
![Page 39: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/39.jpg)
Nilai leukosit > 10.000/ mm3 dan hitung jenis leukosit darah terdapat pergerseran
ke kiri ditemukan pada pasien dengan appendicitis akut.15 Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh John H dkk, menyatakan bawahwa leukositosis lebih dari
13.000/mm3 adalah indikasi appendisistis akut.10
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
didiagnosa apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut.
III. 2. Permasalahan Dari Segi Anestesi
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam.
b.Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah:
a. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
anestesi dan operasi.
b. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
b. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga
bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
39
![Page 40: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/40.jpg)
1) Premedikasi
a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,
mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi
digunakan Petidin 50 mg IV.
b. Pada pasien ini diberikan midazolam 4 mg (dosis 0,07-0,2
mg/kgBB) berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia
retrograde.
2) Tahap anestesi spinal
a. Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan
pada kaki, kepala menunduk
b. Indentifikasi inter space L3 – L4
c. Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine
d. Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA
e. LCS (+)
f. Barbotage (+)
g. Bupivacain 4 ml
3) Maintenance
O2 nasal canul 3 L/menit
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma operasi
selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:
BB = 49
a. Maintenance = 4 x 10 kg = 40 cc
= 2 x 10 kg = 20 cc
= 1 x 29 kg = 29 cc
= total 89 cc/ jam
b. Stress operasi = 6 cc/kgbb/ jam
= 6 x 49 = 294 cc/jam
40
![Page 41: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/41.jpg)
c. Perdarahan yang terjadi = 30 cc
EBV = 70 cc/KgBB = 70 x 49 = 3.430 cc
20% x 4900 = 686 cc
Perdarahan pada pasien ini hanya 30cc/ jam, sehingga tidak perlu
ditransfusi. Cukup diberi cairan kristaloid.
d. Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:
Perdarahan + maintenance + stress operasi
30 + 89 + 294 = 413 cc
e. Cairan yang sudah diberikan saat operasi 500 cc
Balance cairan = 500 – 413 = + 87 cc
Dalam manual postoperative management-WHO, 2000 yang disadur dalam
steinergraphics, 2015, penggantian kehilangan cairan tubuh selama operasi dengan
pemasukan cairan berlebih menyebabkan balance cairan positif yang biasanya sudah
diperkirakan. Hal ini untuk mengantisipasi kehilangan cairan lebih lanjut, misalnya
dari drainase nasogastrik, drainase lain, dan perdarahan. Pertimbangan pemberian
cairan sendiri berdasarkan tiga faktor, yaitu:
a. Kebutuhan untuk mengoreksi deficit cairan pada preoperative state.
Tindakan ini idealnya dilakukan secepat mungkin dalam bentuk bolus
cairan dan dibawah pengawasan.
b. maintenance schedule
c. respon pasien, seperti perlambatan dari takikardia, urine output,
peningkatan tekanan darah, peningkatan JVP, kembalinya turgor kulit ke
normal, dan kembalinya mata cekung menjadi normal.
Maksud dari balance cairan yang positif dimana intake lebih banyak daripada
output, terkesan pada pasien mungkin sedang terakumulasi cairan. Namun faktanya
balance cairan yang positif tidak benar-benar positif karena ada beberapa output yang
tidak diperhitungkan dengan akurat (misal feses, uap respirasi dan keringat).
41
![Page 42: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/42.jpg)
Secara umum, bila pada pasien kritis misal septik, kasus bedah, menunjukkan
balance cairan positif yang persistent setiap harinya, hal ini menggambarkan
perjalanan penyakitnya yang tidak kunjung membaik.
Pada pasien ini balance cairan +115cc dirasa masih aman dengan
mempertimbangkan kondisi pasien pada preoperative serta respon klinis pasien saat
operasi. Dan seharusnya melakukan pengawasan pada hari-hari berikutnya selama
rawat inap.
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi
dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi,
suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
III. Permasalahan Dari Segi ASA PS
Pada pasien termasuk ASA PS II sesuai karena pasien terdapat nyeri perut
kanan bawah, dan leukositosis. Sehingga pasien dikategorikan ASA PS II.
42
![Page 43: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/43.jpg)
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Sdr. YU, 20 tahun dengan diagnosis Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut. Dari
anamnesis didapatkan keluhan nyeri di perut kanan bawah yang pada awalnya
keluhan tersebut dirasakan pada ulu hati yang kemudian berpindah ke perut bagian
kanan bawah. Lokasi operasi yang dilakukan adalah di regio inguinalis dextra.
Anestesi menggunakan anaestesi regional dengan teknik anestesi spinal, Pada
pasien ini dilakukan operasi pada abdomen bagian bawah, dimana hal tersebut
merupakan indikasi anestesi spinal. Tindakan operasi dan anestesi berjalan lancar
tanpa penyulit.
IV. 2. Saran
1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar
proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik
2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung.
3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat
keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.
43
![Page 44: Lapsus OK App Fia](https://reader030.vdocuments.pub/reader030/viewer/2022033014/577c86d61a28abe054c2c5f9/html5/thumbnails/44.jpg)
44