lapsus ok app fia

64
BAB I LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien Nama : Nn.YU Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 20 tahun Alamat : Punduh, RT 008 RW 004 Sidoagung, Kec. Tempuran Diagnosis Pre-Op : Appendicitis Akut Tindakan Op : Appendictomi Jenis Anestesi : Anestesi Regional Spinal Tanggal Masuk : 30 November 2015 Tanggal Operasi : 1 Desember 2015 II. Pemeriksaan Pre Anestesi BB : 49 Kg IMT : 19,14 TB : 160 cm (Normoweight) III. Anamnesis a. Subjektif Keluhan Utama Nyeri pada perut kanan bawah Riwayat Penyakit Sekarang Nyeri pada perut kanan bawah sejak tiga bulan SMRS, awalnya nyeri pada perut bagian tengah dan menjalar ke kanan bawah. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien tiba- tiba dan hilang timbul. Nyeri timbul bila pasien bergerak dan berkurang saat pasien beristirahat. Nyeri

Upload: fiameliaa

Post on 16-Jul-2016

247 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus OK App Fia

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Nn.YU

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 20 tahun

Alamat : Punduh, RT 008 RW 004 Sidoagung, Kec. Tempuran

Diagnosis Pre-Op : Appendicitis Akut

Tindakan Op : Appendictomi

Jenis Anestesi : Anestesi Regional Spinal

Tanggal Masuk : 30 November 2015

Tanggal Operasi : 1 Desember 2015

II. Pemeriksaan Pre Anestesi

BB : 49 Kg IMT : 19,14

TB : 160 cm (Normoweight)

III. Anamnesis

a. Subjektif

Keluhan Utama

Nyeri pada perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri pada perut kanan bawah sejak tiga bulan SMRS, awalnya nyeri pada perut

bagian tengah dan menjalar ke kanan bawah. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien

tiba-tiba dan hilang timbul. Nyeri timbul bila pasien bergerak dan berkurang saat

pasien beristirahat. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, skala nyeri yang dirasakan

pasien adalah 6. Nyeri timbul biasanya 2 kali dalam 2 minggu, lama nyeri antara 5-

10 menit dan hilang dengan istirahat. 1 bulan yang lalu keluhan nyeri makin

bertambah, nyeri semakin sering dirasakan, bisa 2 kali seminggu dan nyeri tidak

hilang dengan istirahat, pasien sudah pernah ke IGD RST Sardjono namun keluhan

belum berkurang. Pasien lupa nama obat yang telah di berikan. Keluhan mual (+)

dan muntah (+) dirasakan sejak tiga bulan SMRS, mual dan muntah dirasakan hilang

timbul, timbul saat nyeri perut dan hilang saat sudah tidak nyeri perut, keluhan

Page 2: Lapsus OK App Fia

demam disangkal oleh pasien. BAB setiap hari sekali, tidak keras, BAK 3-4 kali

sehari, warna urin kuning jernih, nyeri saat BAK (-)

Riwayat Penyakit Dahulu

Tifoid (+), HT (-), DM (-), Alergi (-) Asma (-) Paru (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada

Riwayat Pengobatan

Pasien pernah berobat ke IGD RST, (pasien lupa apa saja obat yang diberikan)

tapi tidak ada perubahan.

b. Objektif

B1 : RR 22 x/menit

Teeth : gigi molar ke 3 bawah kanan kiri sudah

tumbuh, bolong (-), caries gigi (-)

Tongue : papil lidah (+)

Tonsil : T1-T1

Tumor : tidak ada

Tiroid : tidak membesar, nyeri tekan (-)

Temporo madibua joint : dapat membuka 3 jari

Tiromental distance : 6 cm

Trakea : ditengah

Mallampati score : Skor kelas II, terlihat palatum molle

dan uvula

Pulmo :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki /, wheezing /

B2 : BP 110/80 mmHg

HR 78 x/menit

Page 3: Lapsus OK App Fia

Capillary refill time : < 1 detik

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V

misclavicularis sinistra, kuat angkat, thrill

(-)

Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV linea

parasternal dekstra, batas jantung kiri ICS

IV 2 jari ke medial linea midclavicularis

dekstra, pinggang jantung ICS III linea

parasternal sinistra

Auskultasi : BJ S1- S2 reguler, murmur (), gallop

()

Riwayat hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal

PARAMETER HASIL NILAI NORMAL

WBC 10.5 4.0 – 10.0

RBC 4.91 3.50 – 5.50

HGB 12.5 11.0 – 15.0

HCT 39.5 36.0 – 48.0

MCV 80.5 80.0 – 99.0

MCH 25.4 26.0 – 32.0

MCHC 31.6 31.0 – 36.0

RDW_CV 11.4 10.0 – 16.0

RDW_SD 31.9 39.0 - 46.0

PLT 296 150 – 450

MPV 12.5 7.4 – 10.4

PCT 0.37 0.10 – 0.28

PDW 10.0 10.0 – 14.0

GLUKOSA 104 70.0 - 115.0

CT/ BT : 3’/1’30’’

Page 4: Lapsus OK App Fia

B3 : GCS 15 (E4 M6V5)

Kejang (-)

Reflek Cahaya direk +/+, Reflek Cahaya indirek +/+, Isokor ∅ 3 mm

- NERVUS CRANIALIS :

a. N. okulomotorius, troklearis, abducen (N. III, IV,VI)

Kedudukan mata saat diam : ptosis (-)

Gerakan bola mata : nistagmus (-)

Pupil:

Bentuk, lebar, perbedaan lebar : bulat, isokor, ∅ 3 mm

Reaksi cahaya langsung dan tidak langsung : +/+ (terjadi miosis)

Reaksi akomodasi dan konvergensi : tidak dievaluasi

b. N. Trigeminus (N. V)

Sensorik : Dapat merasakan sensasi halus, nyeri

Motorik : Pasien bisa mengunyah

Pasien bisa merapatkan gigi

Pasien bisa membuka mulut

Pasien bisaMenggerakkan rahang

Refleks :

Kornea : terjadi kedipan mata

c. N. Facialis (N. VII)

Sensorik : masih bisa merasakan rasa manis

Motorik

Kondisi diam : Simetris

Kondisi bergerak : Simetris

d. N. Vestibulokoklearis (N. VIII)

Pasien dapat mendengar suara bisik

Pasien dapat mendengar suara detak arloji

Pemeriksaan garpu tala tidak dilakukan

Tes Romberg : tidak dilakukan

Page 5: Lapsus OK App Fia

Stapping test : tidak dilakukan

Pointing test : pasien dapat menyentuh telunjuk pemeriksa dengan

menggunakan telunjuknya

e. N. Glosopharingeus, Vagus (N.IX, X)

Inspeksi oropharing keadaan istirahat : hiperemis -, edema -

Inspeksi oropharing saat berfonasi : uvula bergerak

Pasien dapat menyebutkan AAAA

Refleks : muntah (+), batuk (+)

Sensorik khusus :

Suara serak atau parau : tidak ada

Menelan : pasien dapat menelan makanan padat maupun cairan

f. N. Acesorius (N.XI)

Kekuatan m. trapezius : pasien dapat melawan tahanan

yang diberikan pemeriksa saat

menekan bahu pasien

Kekuatan m. sternokleidomastoideus : pasien dapat melawan tahanan

yang diberikan pemeriksa saat

menoleh

g. N. hipoglosus (N. XII)

Inspeksi : Posisi lidah simetris saat dijulurkan atau tidak

Kekuatan : Pasien dapat menekan pipi dengan lidahnya

- REFLEKS FISIOLOGIS

a. Refleks Superficial

Dinding perut /BHR : (+)

Cremaster : tidak dilakukan

b. Refleks tendon / periostenum :

BPR / Biceps : +/ +

Page 6: Lapsus OK App Fia

TPR / Triceps : +/ +

KPR / Patella : +/ +

APR / Achilles : + / +

B4 : BAK (+) normal

Kateter ()

B5 : Mual (+), muntah (+)

BAB (+) lancar

Abdomen :

Inspeksi : Supel

Auskultasi : Bising usus (+) 5 x/menit

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada perut kanan

bawah, hepar dan lien tidak teraba.

Nyeri tekan titik Mc Burney (+)

Rovsing sign: (+)

Blumberg sign (+)

Psoas sign (+)

Obturator sign (-)

B6 : Ekstremitas

Akral hangat +/+/+/+

Edema ///

Sianosis ///

Deformitas ///

Suhu axila 36.5 ºC

Assesment

Pasien perempuan, usia 20 tahun dengan diagnosis Appendisitis kronik eksaserbasi

akut ASA II

Planning

Jenis Pembedahan : Appendectomi

Jenis Anestesi : Regional Anestesi – Spinal

Page 7: Lapsus OK App Fia

Permasalahan

Permasalahan medis Nyeri perut kanan bawah

Leukositosis

Permasalahan bedah Perdarahan

Dehidrasi

Permasalahan anestesi Dehidrasi

Muntah

Aspirasi

Persiapan Pre-Operasi

1. Persiapan pasien :

a. Informed Consent

b. Pasien puasa 6 – 12 jam pre op

c. Infuse RL 20 tpm

d. Tanda vital

2. Persiapan alat anestesi :

a. STATIC :

S : Scope Stetoskop, laringoskop

T : Tubes pipa trakea. ETT No. 7,0 (cuffed)

A : Airway orofaring airway support Guedel no.3

T : Tape plester

I : Introducer mandrin atau stilet

C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia

S : Sucstion, Spuit 10 cc, spray lidocain, Gel

b. Peralatan monitor

Tekanan darah, nadi, EKG, SpO2

c. Spinal set

1) Jarum spinal ujung tajam

2) Kassa, betadine dan alkohol

3) Spuit 5cc

Page 8: Lapsus OK App Fia

3. Persiapan obat anestesi:

a. Lidocain 2%

b. Bupivacain 0,5%

c. Pethidin 100 mg/ 2cc amp

d. Fentanyl 0,05 mg/ cc amp

e. Propofol 200 mg/ 20 cc amp

f. Ketamin 100 mg/ cc vial

g. Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial

h. Tramus 10 mg/cc amp

i. Efedrin HCl 50 mg/ cc amp

j. Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp

k. Ondansentron 4 mg/ 2cc amp

l. Aminofilin 24 mg/ cc amp

m. Dexamethason 5 mg/ cc amp

n. Adrenalin 1 mg/ cc amp

o. Neostigmin 0,5 mg/ cc amp

p. Midazolam 5 mg/ 5 cc amp

q. Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp

r. Difenhiframin 5 mg/ cc amp

Durante Operasi

a. Anastesi : Lidocain 2 ml, Bupivacain 4 ml

b. Lama operasi : 13.55 – 14.15

c. Lama anestesi : 13.50 – 13.55

d. Obat yang digunakan

1) Pre-Medikasi :

Inj. Midazolam 1mg

Inj. Clopedine 50 mg

Inj. Ondansetron 4 mg

Inj. Ketorolac 30 mg

2) Induksi Bupivacaine HCL 3 ml

3) Maintenance : O2 3 liter/menit

Page 9: Lapsus OK App Fia

e. Teknik Anastesi:

1) Jam 13.10 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja

operasi, manset dan monitor dipasang.

2) Jam 13.50 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:

a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan

b) Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan lakukan

anestesi di daerah tusukan dan diperluas menggunakan lidocain 2 mL.

c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus sampai

ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS, barbotage positif,

dimasuki induksi bupivacain 3 mL

d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal

oksigen 3L/m

e) Nilai level blok sensorik hasilnya blok setinggi vertebra toracal VI.

3) Monitoring

Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap

lima menit

Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit

Waktu Tekanan

Darah

Nadi SpO2 Keterangan

13.10 130/72 93 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.15 130/75 95 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.20 120/73 89 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.25 120/80 90 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.25 120/82 88 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.35 130/72 95 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.40 130/75 90 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.45 128/77 83 99 Terpasang infus RL 500 cc 20 tpm

13.50 129/80 85 99 Posisikan pasien untuk tindakan

anestesi

Penyuntikan Lidocain 2 mL

Induksi dengan Bupivacain 3 mL

Pemasangan kanul nasal O2 3

Lmenit

Page 10: Lapsus OK App Fia

13.55 125/80 86 99 Pelaksanaan operasi

Injeksi Midazolam 2 mg (iv)

Injeksi Fentanyl 50 mg (iv)

- Injeksi ondansetron 4 mg (iv)

14.00 120/78 88 99

14.05 125/80 83 99

14.10 130/79 87 99

14.15 127/79 Pemberian injeksi Keorolac 30

mg (iv)

Operasi selesai

Pasien dipindahkan ke recovery

room

4) Jam 14.15 operasi selesai

5) Jam 14.20 pasien dipindahkn ke recovery room dalam keadaan sadar

dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan nasal kanul O2 3

liter/menit, dan tanda vital di monitoring tiap 10 menit

Post-Operasi

Keluhan:

Nyeri pada luka operasi (+), mual (-), muntah (-), pusing (-)

Pemeriksaan fisik:

B1 : airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-

B2 : akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80 mmHg,

S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+

B4 : kateter (-)

B5 : flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.

B6 : mobilitas (-), mampu menggerakkan kedua ekstremitas secara

spontan, edema -|-, sianosis -|-, anemis -|-, ikterik -|-, CRT<2 detik

Monitoring (Recovery Room)

Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :

Point Nilai Pada Pasien

Motorik 4 ekstermitas 2

2 ekstremitas 1 √

- 0

Page 11: Lapsus OK App Fia

Respirasi Spontan+batuk 2 √

Nafas kurang 1

- 0

Sirkulasi Beda <20% 2 √

20-50% 1

>50% 0

Kesadaran Sadar penuh 2 √

Ketika dipanggil 1

- 0

Kulit Kemerahan 2 √

Pucat 1

Sianosis 0

Total 9

Bromage Score

0 Gerak penuh dari tungkai

1 Tidak mampu ekstensi tungkai

2 Tidak mampu flexi lutut √

3 Tidak mampu flexi pergelangan kaki

Monitoring Pasca Anestesi

Jam Tensi Nadi RR Keterangan

12.20 110/70 64 22 O2 3 L/menit, Monitoring

tanda vital

12.30 120/80 62 20 Monitoring tanda vital

12.40 120/80 64 22 Monitoring tanda vital

Aldrette score 9, dan Bromage

score = 2, pasien pindah ke

bangsal Cempaka

FOLLOW UP 2/12/2015

Page 12: Lapsus OK App Fia

S : Nyeri pada luka operasi (+), pusing saat berdiri (+), mual (-), muntah (-), nafsu

makan baik (+)

O :

B1 : airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-

B2 : akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80 mmHg,

S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+

B4 : kateter (-)

B5 : flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.

B6 : mobilitas (-), mampu menggerakkan kedua ekstremitas secara

spontan, edema -|-, sianosis -|-, anemis -|-, ikterik -|-, CRT<2 detik

A : Post Operasi Appendiktomi

P : Infus RL 500 ml 20 tpm

Ceftriaxon 1 gr

Page 13: Lapsus OK App Fia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Manajemen Anastesi Pre-Operatif

II.1.1 Penilaian Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan

preoperasi, salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah

sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan dioperasi.

Tujuannya adalah :

1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anastesi seperti adanya riwayat

hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dispneu amupun

urtikaria)

3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

4. Tahapan risiko anastesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi

(pemeriksaan tambahan dan atau terapi diperlukan)

5. Pemilihan jenis anastesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)

kepada pasien

6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis induksi

Kunjungan preoperative dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan

anastesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis.

Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anastesi bisa

Page 14: Lapsus OK App Fia

menentukan cara anastesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan

preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah

operasi. Evaluasi preoperative mliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium, EKG, USG, foto thoraks, dll.3

II.1.1.1 History Taking

History Taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap

makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus

dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit

sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat

herbal), Karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anastesi. Riwayat

operasi dan anastesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anastesi bila ada.

II.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimptomatik

setidaknya meliputi tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu) dan

pemeriksaan airway, jantung, paru-paru dan system musculoskeletal. Pemeriksaan

neurologis juga penting terutama pada anastesi regional sehingga bisa diketahui ada

deficit neurologis sebelum dilakukan anastesi regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi

geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar, leher pendek dan kaku sangat penting

untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Skoring Mallampati :

I. Terlihat tonsil, uvula dan pallatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat pallatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat pallatum mole dan durum dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat pallatum durum

Page 15: Lapsus OK App Fia

Gambar 1. Skoring Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat untuk perkiraan risiko anastesi, karena

efek samping anastesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. ASA

diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke 6 selanjutnya ditambahkan untuk

ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga

berhubungan dengan tingkat mortalitas preioperatif. Karena underlying disease

hanyalah satu dari banyak factor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperative,

amaka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.

K

lasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):

a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.

Angka mortalitas 16%.

c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi

fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi

hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam

tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

f. ASA VI: Pasien dengan kematan batang otak yang organ tubuhnya akan

diambil untuk tujuan donor

g. E : Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I-VI di atas

Page 16: Lapsus OK App Fia

II.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanastesi tergantung pada umur pasien,

ada tidaknya kondisi kormobid saat ini.

Tabel 1. Pemeriksaan Penunjang yang Dibutuhkan

Pemeriksaan Rutin Indikasi

Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi

glukosa darah jika glukosa urine positif)

FBC Pada semua wanita, pria > 40 tahun,

semua bedah mayor

ECG Umur > 50 tahun

Foto Thoraks Umur > 60 tahun

Tes Fungsi Hati Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun

Ureum, Creatinin, elektrolit Bedah mayor

II. 1. Anestesi Regional – Spinal

II. 1. 1. Persiapan Pra-Anestesi

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan

baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.

Adapun tujuan pra anestesi adalah:

2. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

3. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan

fisik dan kehendak pasien.

4. Menentukan status fisik dengan

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.2

II. 1. 2. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari

premedikasi antara lain (Muhardi, 1989)1:

1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

Page 17: Lapsus OK App Fia

3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

4. Memberikan analgesia, misal pethidin

5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid

6. Memperlancar induksi, misal : pethidin

7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hoisin

II. 1. 3. Anestesi Regional

Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat

analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari

suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh

sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.

Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita

menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara

vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih

cenderung berkumpul di kaudal).

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis

subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang epidural

durameter ruang subarachnoid.

Page 18: Lapsus OK App Fia

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada

dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. 2

Indikasi

Anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah,

perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat

dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain,

sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam

Kontra Indikasi Anestesi Spinal

Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam penggunaan

anestesi spinal

Kontra indikasi absolut :

a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan

c. Hipovolemia berat sampai syok

d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan

e. Tekanan intrakranial yang meningkat

f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim

g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif :

a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )

b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan

c. Kelainan neurologis

d. Kelainan psikis

e. Bedah lama

f. Menderita penyakit jantung

g. Hipovolemia

Persiapan anestesi spinal

Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar

tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan

Page 19: Lapsus OK App Fia

anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan

prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :

1. Informed consent

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Peralatan anestesi spinal

1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut dan

EKG

2. Peralatan resusitasi /anestesia umum

3. Jarum spinal

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah

ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja operasi

tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan

posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.3

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk

dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan

tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (Quincke-

Babcock)

Page 20: Lapsus OK App Fia

L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma

terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.

5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum

suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum

supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang

epidural, duramater dan ruang subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal

dicabut cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan

larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.

Keuntungan anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural :

1. Obat anestesi lokal lebih sedikit

2. Onset lebih singkat

3. Level anestesi lebih pasti

4. Teknik lebih mudah

Tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut3:

a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan

segmen sakrum.

Page 21: Lapsus OK App Fia

b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di

sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.

c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks bawah,

lumbal dan sakral.

d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah thoraks

segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.

e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.

Keuntungan dan kerugian anestesi spinal2

a. Keuntungan

1) Respirasi spontan

2) Lebih murah

3) Ideal untuk pasien kondisi fit

4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien

dengan perut penuh

5) Tidak memerlukan intubasi

6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal

7) Fungsi usus cepat kembali

8) Tidak ada bahaya ledakan

9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan

b. Kerugian

1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem

2) Menyebabkan post operatif headache.

Komplikasi tindakan anestesi spinal

a. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan

pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.

b. Bradikardi

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai

T-2.

c. Hipoventilasi

Page 22: Lapsus OK App Fia

Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.

d. Trauma pembuluh darah

e. Trauma saraf

f. Mual-muntah

g. Gangguan pendengaran

h. Blok spinal tinggi atau spinal total

II. 1. 4. Terapi Cairan6,7

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah

dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.

2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi

lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,

perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam

adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah

10-15 %.

2. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada

dewasa untuk operasi :

a. Ringan = 4 ml / kgBB/jam

b. Sedang = 6 ml / kgBB/jam

c. Berat = 8 ml / kgBB/jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV

maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang

hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian

plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.

Page 23: Lapsus OK App Fia

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama

operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:10

a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari

b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari

c. K : 1 mEq/kgBB/hari.

Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor trauma

atau stress (Prawirohardjo, 2007).

II. 1. 5. Pemullihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk

observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan

sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di

ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari

komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk

regional anestesi digunakan skor Bromage.

II.2 Apendisitis1

II.2.1 Pengertian

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering di Negara maju. Apendiks

disebut juga umbai cacing. 11

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.

Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks

menghasilkan lendir 1-2 ml per hari.5

Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.

Page 24: Lapsus OK App Fia

II.2.2 Anatomi Appendix

Appendix vermicularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang

lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen

yang sempit pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal, kapasitas appendix

sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan

bagian integral dari GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissue). Lokasi appendix

terbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction.

Appendix sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut

mesoappendix, yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum

terminalis. Posisi terbanyak dari appendix sendiri adalah retrocaecal, namun demikian

ada variasi dari lokasi appendix ini.8

65% dari posisi appendix terletak intraperitoneal sementara sisanya

retroperitoneal. Di sini variasi posisi appendix menentukan gejala yang akan muncul

saat terjadi peradangan. Beberapa variasi posisi appendix terhadap caecum adalah

sebagai berikut :

Page 25: Lapsus OK App Fia

1. Retrocaecal (65%)

2. Pelvinal

3. Antecaecal

4. Preileal

5. Postileal

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi appendix dapat

ditemukan dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum (dan colon),

yaitu taenia colica, taenia libera, dan taenia omental.5

Vaskularisasi appendix berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang

dari arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri

appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali

ke vena mesenterika superior. A. appendicularis ini tidak memiliki kolateral sehingga

ketika terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi iskemia dan gangren,

hingga akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang

mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis

bermula di sekitar umbilicus.

25

Page 26: Lapsus OK App Fia

II.2.3 Fisiologi Appendix

Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 – 2 cc per

hari, di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum. Adanya

obstruksi pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada appendix.

Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan

Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid

tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.

Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,

pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah

jaringan limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran

cerna dan di seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak menimbulkan

perubahan yang bermakna.8

II.2.4 Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan

sebagai faktor pencetusnya diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen

apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras

(fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam

tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun,

diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan

hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering

terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa

apendiks oleh parasit E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit

apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian

konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat

timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman

flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.8

26

Page 27: Lapsus OK App Fia

II.2.5 Patogenesis8

Appendicitis akut biasanya disebebkan oleh penyumbatan lumen appendiks

yang diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hyperplasia limfoid, benda asing, parasite,

neoplasma atau striktur karena fibrosis. Jaringan mukosa pada apendiks

menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan

pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama

mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di

dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal

tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang

meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga

mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat

inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di

sekitar umbilikus.

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.

Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan

mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan

bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding

apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini

pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses

peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus

halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan

istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses

yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat.

27

Page 28: Lapsus OK App Fia

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih

panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih

kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi

mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi

akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan

dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan

keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami

peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

II.2.6 Gambaran Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri

samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.

Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada

umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih

ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan

jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak

dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga

penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya

karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai

dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan

atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas

dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi

m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

28

Page 29: Lapsus OK App Fia

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-

ulang (diare).

b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan

diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga

biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana

gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali

anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian

akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena

ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.

Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi

perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang

gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses

ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.

Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis

berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa

yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan

29

Page 30: Lapsus OK App Fia

lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan

tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

II.2.7 Pemeriksaan

1. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga

pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

b. Palpasi

Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi

pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :1,4,6

Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran

kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang

terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.

Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan

abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis.

Rangsangan ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus

abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.

Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan nyeri

sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan

organ dalam terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada apendiks

yang meradang.

Blumberg Sign : nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan.

30

Page 31: Lapsus OK App Fia

Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.

Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul pertama kali

di regio epigastrium atau di sekitar lambung, kemudian menjalar berpindah

ke regio iliaka dextra.

Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada apendiks yang terletak

retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh

peradangan yang terjadi pada apendiks. Ada 2 cara memeriksa :

i. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di perut kanan

bawah.

ii. Pasif : Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian

pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan pinggul

kanan penderita (tanda bintang).

Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul

dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena

peradangan appendiks menyentuh m. Obturator Internus yang merupakan

dinding panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa apendiks terletak

pada rongga pelvis.

c. Auskultasi

Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan

pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi apendiks.

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis,

tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik

usus.

31

Page 32: Lapsus OK App Fia

d. Pemeriksaan colok dubur

Ppemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak

apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan

ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak

didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis

pelvika.

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein

reaktif (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit

antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas

75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang

meningkat.

b. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada

pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang

pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.

Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian

yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari

apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran

sekum.

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis

apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis

lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari

mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan

yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,

menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain. Untuk menurunkan

angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi

penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang

32

Page 33: Lapsus OK App Fia

dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis

pada kasus yang meragukan.

II.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas

maupun perforasi yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang

terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

a. Massa periapendikuler

Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi

ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa

apendikuler yang pendinginannya belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus

ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuit oleh peritonitis purulenta

generalisata. Oleh sebab itu massa periapendikuler yang masih bebas

disarankan segera dioperasi untuk mencegah hal tersebut. Pada anak selalu

dipersiapkan untuk operasi dalam 2-3 hari. Pasien dewasa dengan massa

periapendikuler yang mengalami pendinginan sempurna, dianjurkan untuk

dirawat dahulu dan diberi antibiotika sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa,

serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler

hilang, dan leukosit normal penderita boleh pulang dan apendektomi dapat

dikerjakan pada 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat

ditekan. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai

dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba

pembengkakan massa serta bertambahnya leukosit.

Riwayat klasik apendisitis akut diikuti dengan adanya massa dan nyeri

di region iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan ke diagnosis massa

atau abses periapendikuler. Kadang sulit dibedakan dengan karsinoma sekum,

penyakit Crohn, dan amuba. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis

yang khas.

33

Page 34: Lapsus OK App Fia

II.2.9 Tatalaksana

Apendektomi direncanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah

ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotika kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu

dilakukan apendektomi. Pada anak kecil dan wanita hamil dan penderita usia lanjut

jika secara konservatif tidak tidaak membaik atau berkembang menjadi abses dapat

diperyimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

II.2.10 Diagnosis

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritoniitis purulenta yang ditandai

dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi

tegang dan kembung, nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin

dengan punctum maksimum diregio iliaka kanan, peritalsis usus menurun sampai

menghilang karena ileus paralitik. Abses peritoneum biasa terjadi bilamana

pus yang menyebar bisa dilokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis

dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus

dicurigai abses. USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses

subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal atau efusi pleura.

USG dan Foto Rontgen dada akan membantu membedakannya.

II.2.11 Tatalaksana

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman

gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu

dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang

panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun

pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong

nanah. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi

secara laparaskopi apendektomi. Rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah.

Hasilnya dilaporkan tidak berbeda dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya

lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik. Karena ada kemungkinan

34

Page 35: Lapsus OK App Fia

terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan drainage subfacia, kulit

dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi.

Pada anak tidak usah dipasang drainage intraperitoneal karena justru akan

menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.

35

Page 36: Lapsus OK App Fia

BAB III

PEMBAHASAN

III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik

Penegakan diagnosis bedah

- Pasien Nn. YU 20 tahun memiliki keluhan nyeri pada regio abdomen kanan

bawah. Nyeri sebelumnya dirasakan pada regio epigastrium lalu berpindah ke

regio kanan abdomen

o Jenis kelamin : berdasarkan studi di Swedia, dikatakan bahwa kejadian

kasus appendicitis tahunan adalah 1.33 per seribu penduduk laki-laki

dan 0.99 per seribu peduduk perempuan.15 Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Anggi Patranita, didapatkan bahwa pasien appendicitis

paling banyak ditemukan adalah yang berjenis kelamin perempuan,

yaitu sebanyak 54 (54%) dan pasien laki-laki sebanyak 46 (46%)16

o Usia : appendicitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada

dewasa muda. Insiden appendicitis semakin meningkat pada pasien di

akhir uasia belasan dan 20-an.17 Pada penelitian yang dilakukan oleh

Anggi Pratanita dimana pasien appendicitis paling banyak terjadi pada

kelompok usia 10-19 tahun. Insiden tertinggi pada laki-laki usia 10-14

tahun (27,6 per 10.000 penduduk per tahun) dan pada perempuasn usia

15-19 tahun (20,5 per 10.000 penduduk per tahun

o Nyeri abdomen pada region kanan bawah bisa disebabkan karena

adanya kelainan/infeksi pada organ yang ada di kanan bawah, seperti

appendix dan caecum.

o Keluhan utama pada pasien appendicitis akut adalah nyeri perut.

Gambaran klinis yang umum adalah nyeri perut di bagian tengah yang

seiring waktu berpindah ke daerah fossa iliaka dextra. Gambaran

klasik ini pertam kali dideskripsikan oleh Murphy, namun hanya

terjadi pada setengah kasus appendicitis akut. Khasnya nyeri awalnya

muncul disekitar umbilicus dan semakin lama semakin meningkat

36

Page 37: Lapsus OK App Fia

intensitasnya selama 24 jam pertama. Nyeri kemudian berpindah dan

menetap di fossa illiaka kanan.

o Nyeri yang pertama kali dirasakan pasien merupakan nyeri alih akibat

inervasi visceral dari usus tengah (midgut). Nyeri ini terjadi karena

hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh

saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut.

Selain itu nyeri juga timbul oleh karena kontraksi appendik, distensi

dari lumen appendiks ataupun ataupun karena tarikan dinding

appendiks yang mengalami peradangan.

o Nyeri yang terlokalisir kemudian disebabkan oleh peradangan (>6

jam) dan iritasi langsung pada peritoneum parietalis akibat proses

peradangan lebih lanjut. Biasanya penderita dapat menunjukkan letak

nyeri, karena bersifat somatic. Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang

lebih tajam.

- Nyeri memberat jika pasien berjalan

o Terjadi karena peradangan appendiks yang menyentuh muskulus

obturator internus

o Nyeri ini memiliki sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri

akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki

- Rasa sakit yang dirasakan hilang timbul

o Nyeri visceral ini merupakan nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti

kolik yang dirasakan di daerah umbilicus dengan sifat nyeri ringan

sampai berat.

- Mual (+) muntah (+)

o Muntah terjadi akibat rangsangan terhadap nervus vagus. Anoreksia,

nausea dan vomitus biasanya muncul beberapa jam setelah nyeri

abdomen. Anoreksia hamper selalu dijumpai pada pasien dengan

appendistis akut sehingga sangat penting ditanyakan pada anamnesis.

Hampir 75% penderita disertai dengan muntah, namun jarang

37

Page 38: Lapsus OK App Fia

berlanjut menjadi berat dan kebanyakan muntah hanya sekali atau dua

kali

Pada pasien ini dalam pemeriksaan fisik didapatkan

- Nyeri tekan pada region abdomen kanan bawah (+)

- Nyeri lepas

o Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang terjadi

akibat rangsangan pada peritoneum

- Nyeri tekan titik Mc Burney (+)

- Defans muscular

o Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietalis. Rangsangan

ini kemudian menyebabkan rangsangan pada muskulus rektus

abdominis sehinggga otot ini mengalami kontraksi.

- Rovsing sign (+)

o Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut menyebabkan organ dalam

terdorong kearah kanan dan memberikan tekanan pada apendiks yang

meradang

- Psoas sign (+)

o Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m. psoas oleh peradangan

yang terjadi pada apendiks

- Obturator sign (+)

o Menunjukkan iritasi otot obturator karena peradangan appendiks

Pemeriksaan Penunjang :

Laboratorium

Leukositosis : Pemeriksaan jumlah leukosit darah merupakan salah satu

pemeriksaan laboratorium yang cepat dan murah untuk dapat menentukan

diagnose appendicitis akut dan appendicitis perforasi.12-13

38

Page 39: Lapsus OK App Fia

Nilai leukosit > 10.000/ mm3 dan hitung jenis leukosit darah terdapat pergerseran

ke kiri ditemukan pada pasien dengan appendicitis akut.15 Sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh John H dkk, menyatakan bawahwa leukositosis lebih dari

13.000/mm3 adalah indikasi appendisistis akut.10

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien

didiagnosa apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut.

III. 2. Permasalahan Dari Segi Anestesi

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam.

b.Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah:

a. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan

anestesi dan operasi.

b. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan

keadaan umum penderita.

Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada

penderita perlu dilakukan :

a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.

b. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga

bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.

39

Page 40: Lapsus OK App Fia

1) Premedikasi

a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,

mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi

digunakan Petidin 50 mg IV.

b. Pada pasien ini diberikan midazolam 4 mg (dosis 0,07-0,2

mg/kgBB) berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia

retrograde.

2) Tahap anestesi spinal

a. Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan

pada kaki, kepala menunduk

b. Indentifikasi inter space L3 – L4

c. Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine

d. Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA

e. LCS (+)

f. Barbotage (+)

g. Bupivacain 4 ml

3) Maintenance

O2 nasal canul 3 L/menit

Terapi Cairan

Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma operasi

selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:

BB = 49

a. Maintenance = 4 x 10 kg = 40 cc

= 2 x 10 kg = 20 cc

= 1 x 29 kg = 29 cc

= total 89 cc/ jam

b. Stress operasi = 6 cc/kgbb/ jam

= 6 x 49 = 294 cc/jam

40

Page 41: Lapsus OK App Fia

c. Perdarahan yang terjadi = 30 cc

EBV = 70 cc/KgBB = 70 x 49 = 3.430 cc

20% x 4900 = 686 cc

Perdarahan pada pasien ini hanya 30cc/ jam, sehingga tidak perlu

ditransfusi. Cukup diberi cairan kristaloid.

d. Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:

Perdarahan + maintenance + stress operasi

30 + 89 + 294 = 413 cc

e. Cairan yang sudah diberikan saat operasi 500 cc

Balance cairan = 500 – 413 = + 87 cc

Dalam manual postoperative management-WHO, 2000 yang disadur dalam

steinergraphics, 2015, penggantian kehilangan cairan tubuh selama operasi dengan

pemasukan cairan berlebih menyebabkan balance cairan positif yang biasanya sudah

diperkirakan. Hal ini untuk mengantisipasi kehilangan cairan lebih lanjut, misalnya

dari drainase nasogastrik, drainase lain, dan perdarahan. Pertimbangan pemberian

cairan sendiri berdasarkan tiga faktor, yaitu:

a. Kebutuhan untuk mengoreksi deficit cairan pada preoperative state.

Tindakan ini idealnya dilakukan secepat mungkin dalam bentuk bolus

cairan dan dibawah pengawasan.

b. maintenance schedule

c. respon pasien, seperti perlambatan dari takikardia, urine output,

peningkatan tekanan darah, peningkatan JVP, kembalinya turgor kulit ke

normal, dan kembalinya mata cekung menjadi normal.

Maksud dari balance cairan yang positif dimana intake lebih banyak daripada

output, terkesan pada pasien mungkin sedang terakumulasi cairan. Namun faktanya

balance cairan yang positif tidak benar-benar positif karena ada beberapa output yang

tidak diperhitungkan dengan akurat (misal feses, uap respirasi dan keringat).

41

Page 42: Lapsus OK App Fia

Secara umum, bila pada pasien kritis misal septik, kasus bedah, menunjukkan

balance cairan positif yang persistent setiap harinya, hal ini menggambarkan

perjalanan penyakitnya yang tidak kunjung membaik.

Pada pasien ini balance cairan +115cc dirasa masih aman dengan

mempertimbangkan kondisi pasien pada preoperative serta respon klinis pasien saat

operasi. Dan seharusnya melakukan pengawasan pada hari-hari berikutnya selama

rawat inap.

Post operatif

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi

dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi,

suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit

III. Permasalahan Dari Segi ASA PS

Pada pasien termasuk ASA PS II sesuai karena pasien terdapat nyeri perut

kanan bawah, dan leukositosis. Sehingga pasien dikategorikan ASA PS II.

42

Page 43: Lapsus OK App Fia

BAB IV

PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan

Sdr. YU, 20 tahun dengan diagnosis Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut. Dari

anamnesis didapatkan keluhan nyeri di perut kanan bawah yang pada awalnya

keluhan tersebut dirasakan pada ulu hati yang kemudian berpindah ke perut bagian

kanan bawah. Lokasi operasi yang dilakukan adalah di regio inguinalis dextra.

Anestesi menggunakan anaestesi regional dengan teknik anestesi spinal, Pada

pasien ini dilakukan operasi pada abdomen bagian bawah, dimana hal tersebut

merupakan indikasi anestesi spinal. Tindakan operasi dan anestesi berjalan lancar

tanpa penyulit.

IV. 2. Saran

1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar

proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik

2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung.

3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat

keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

43

Page 44: Lapsus OK App Fia

44