makalah_8

11
*) Ir. Davy Sukamta (Insinyur Profesional Utama HAKI) adalah pimpinan PT. DAVYSUKAMTA KONSULTAN, Structural Engineers, Jakarta dan juga Ketua HAKI 1 (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia) periode 2008-2011 Melangkah Ke Depan : Dari Analisis Statik Linear Menuju Analisis Dinamik Non-Linear Davy Sukamta Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia telah menjadi kota besar dengan kebutuhan ruang usaha dan tempat tinggal yang sangat tinggi . Pembangunan gedung-gedung tinggi bermunculan dengan marak. Dewasa ini gedung dengan kisaran 50 lantai sudah banyak bermunculan, dan sudah banyak pula rencana untuk membangun gedung dengan kisaran 60-70 lantai, bahkan sampai di atas 100 lantai. Sejalan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, para pelaku teknik profesional dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja mereka, agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang konstruksi. Tulisan ini mengajak para perancang struktur gedung tinggi untuk melangkah ke depan, mempersiapkan diri terhadap tantangan baru dalam perancangan struktur gedung tinggi tahan gempa. Perkembangan Dan Kemajuan Perancangan Struktur Gedung Tinggi Tahan Gempa Selama beberapa dasawarsa ini, gedung bertingkat dirancang sebagai gedung tahan gempa lewat berbagai pendekatan rancangan. Pada awal mulanya, hal ini dilakukan secara sangat sederhana, yaitu dengan mengalikan massa tiap lantai terhadap suatu nilai persentasi tertentu. Kemudian kita mengenal konsep distribusi gaya gempa dengan diagram segitiga dengan puncaknya di lantai atap. Lalu muncul konsep desain kapasitas yang sangat ampuh hal mana mulai diterapkan di Indonesia lewat Peraturan Perencanaan Tahan Gempa untuk Rumah dan Gedung 1983. Sejalan dengan hal ini, peta gempa Indonesia mulai digunakan dalam perancangan. Peta gempa ini beberapa kali direvisi, terakhir dikeluarkan di tahun 2010. Menjelang millenium ke-3, metode analisis 3-dimensi dengan menggunakan respons spectrum mulai dipakai sejalan dengan perkembangan perangkat komputer dan piranti lunak yang canggih. Semua cara perhitungan yang disebutkan di atas berbasis kekuatan. Perancangan gempa berbasis kekuatan untuk konstruksi beton (Strength Based Seismic Design) mempunyai berbagai kelemahan, hal mana akan diuraikan di bawah ini. Salah satu masalah pokok dalam perancangan tahan gempa berbasis kekuatan antara lain adalah masalah kekakuan elemen. Pada umumnya, dalam analisis diambil konstanta tertentu untuk derajat keretakan komponen struktur, tanpa melihat tingkat pembebanan, lalu dilakukan analisis vibrasi bebas. Tentunya nilai kekakuan elastik komponen yang diasumsikan ini akan berpengaruh terhadap nilai periode getar yang digunakan untuk menentukan besaran gempa rencana. Masalah kedua menyangkut asumsi yield curvature yang kita gunakan untuk suatu penampang beton, hal mana seharusnya berhubungan langsung pada kekuatan penampang beton itu sendiri, tetapi selama ini masih diasumsikan tidak. Lihat gambar 1.

Upload: hafizh-toweren

Post on 27-Dec-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah_8

*) Ir. Davy Sukamta (Insinyur Profesional Utama HAKI) adalah pimpinan PT. DAVYSUKAMTA KONSULTAN, Structural Engineers, Jakarta dan juga Ketua HAKI 1 (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia) periode 2008-2011

Melangkah Ke Depan : Dari Analisis Statik Linear Menuju Analisis Dinamik Non-Linear

Davy Sukamta

Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia telah menjadi kota besar dengan kebutuhan ruang usaha dan tempat tinggal yang sangat tinggi . Pembangunan gedung-gedung tinggi bermunculan dengan marak. Dewasa ini gedung dengan kisaran 50 lantai sudah banyak bermunculan, dan sudah banyak pula rencana untuk membangun gedung dengan kisaran 60-70 lantai, bahkan sampai di atas 100 lantai. Sejalan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, para pelaku teknik profesional dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja mereka, agar mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang konstruksi. Tulisan ini mengajak para perancang struktur gedung tinggi untuk melangkah ke depan, mempersiapkan diri terhadap tantangan baru dalam perancangan struktur gedung tinggi tahan gempa.

Perkembangan Dan Kemajuan Perancangan Struktur Gedung Tinggi Tahan Gempa Selama beberapa dasawarsa ini, gedung bertingkat dirancang sebagai gedung tahan gempa lewat berbagai pendekatan rancangan. Pada awal mulanya, hal ini dilakukan secara sangat sederhana, yaitu dengan mengalikan massa tiap lantai terhadap suatu nilai persentasi tertentu. Kemudian kita mengenal konsep distribusi gaya gempa dengan diagram segitiga dengan puncaknya di lantai atap. Lalu muncul konsep desain kapasitas yang sangat ampuh hal mana mulai diterapkan di Indonesia lewat Peraturan Perencanaan Tahan Gempa untuk Rumah dan Gedung 1983. Sejalan dengan hal ini, peta gempa Indonesia mulai digunakan dalam perancangan. Peta gempa ini beberapa kali direvisi, terakhir dikeluarkan di tahun 2010. Menjelang millenium ke-3, metode analisis 3-dimensi dengan menggunakan respons spectrum mulai dipakai sejalan dengan perkembangan perangkat komputer dan piranti lunak yang canggih. Semua cara perhitungan yang disebutkan di atas berbasis kekuatan. Perancangan gempa berbasis kekuatan untuk konstruksi beton (Strength Based Seismic Design) mempunyai berbagai kelemahan, hal mana akan diuraikan di bawah ini. Salah satu masalah pokok dalam perancangan tahan gempa berbasis kekuatan antara lain adalah masalah kekakuan elemen. Pada umumnya, dalam analisis diambil konstanta tertentu untuk derajat keretakan komponen struktur, tanpa melihat tingkat pembebanan, lalu dilakukan analisis vibrasi bebas. Tentunya nilai kekakuan elastik komponen yang diasumsikan ini akan berpengaruh terhadap nilai periode getar yang digunakan untuk menentukan besaran gempa rencana. Masalah kedua menyangkut asumsi yield curvature yang kita gunakan untuk suatu penampang beton, hal mana seharusnya berhubungan langsung pada kekuatan penampang beton itu sendiri, tetapi selama ini masih diasumsikan tidak. Lihat gambar 1.

Page 2: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 2

Gambar 1 Asumsi rancangan (kekakuan konstan)

Penampang beton diasumsikan mempunyai kekakuan konstan tanpa tergantung dari kekuatannya, dan sebaliknya nilai yield curvature penampang tergantung kepadanya. Berbagai percobaan menunjukkan bahwa hal diatas tidak benar[1]. Perilaku penampang beton yang didapatkan dalam berbagai uji di laboratorium adalah seperti ditunjukkan dalam gambar 2, dimana nilai yield curvature-lah yang relatif konstan. Hal ini mempunyai implikasi penting dalam menentukan rotational demand komponen struktur tertentu dan kapasitas daktilitas simpangan (hal mana dibahas sebagai masalah ketiga).

Masalah ketiga menyangkut kapasitas daktilitas dan faktor reduksi gempa R. Penggunaan nilai faktor reduksi gempa R dewasa ini didasarkan pada suatu konsensus, dan diambil umum tanpa melihat kekuatan penampang beton yang membentuk elemen penahan lateral, redundansi struktur dan geometri gedung. Dengan demikian, nilai R yang diambil tidak mencerminkan kapasitas struktur yang sebenarnya. Memang peraturan gempa Indonesia

Curvature

Gambar 2

Kondisi realistik (Yield Curvature Konstan)

Page 3: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 3

yang akan datang sudah mencoba mengakomodasi kelemahan di atas dengan menerapkan beberapa faktor yang perlu diperhitungkan, hal mana terkait dengan ketidak-teraturan gedung secara horisontal ataupun secara vertikal. Dalam perhitungan struktur tahan gempa sesuai peraturan baru, kelak kita harus memeriksa dahulu kondisi irregularitas struktur secara vertikal dan horisontal, kemudian memastikan apakah gempa rencana harus dikalikan dengan suatu faktor amplifikasi atau tidak. Masalah keempat menyangkut metode analisis yang digunakan dewasa ini, dimana perilaku inelastik struktur dimasukkan ke dalam analisis lewat nilai derajat keretakan tertentu pada elemen struktur, dan dengan mengijinkan redistribusi momen. Nilai effektifitas penampang retak diambil secara umum saja dan berlaku tanpa memperhatikan taraf tegangan maupun penulangan pada komponen struktur. Padahal nilai EI ini akan sangat menentukan dalam perhitungan analisis vibrasi bebas untuk menghasilkan nilai-nilai periode getar struktur, hal mana akan berkaitan langsung dengan nilai gempa rencana yang harus diperhitungkan. Selain nilai gempa rencana tersebut, perilaku dinamik struktur gedung-gedung tinggi tidak dapat tercermin dengan baik bila kita hanya melakukan analisis secara linear statik, karena pengaruh moda-moda getar yang lebih tinggi akan memainkan peranan besar. Rancangan gedung-gedung tinggi tahan gempa menganut konsep equal displacement seperti yang ditunjukkan dalam gambar 3[2]. Dari nilai yield displacement dan ultimate displacement, nilai faktor reduksi gempa R dapat dicari. Lewat konsensus yang dilakukan para ahli struktur tahan gempa, dibuatlah tabulasi nilai R maksimum di berbagai negara, dengan mendasarkan pada kondisi batas damage-control. Dapat kita lihat bahwa nilai R yang diterapkan di negara-negara seperti Amerika, Jepang, New Zealand dan Eropa mempunyai perbedaan cukup besar. Tabel 1 di bawah ini memberikan gambaran nilai R yang dipakai pada berbagai negara.

Gambar 3 Pendekatan Equal Displacement

Page 4: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 4

Tabel 1 Sebagai ilustrasi, gambar 4 membandingkan daktilitas dari dua kolom jembatan yang mempunyai penampang sama, beban aksial sama dan detail penulangan sama, tetapi

dengan tinggi yang berbeda[2]. Kedua kolom mempunyai yield curvature y dan ultimate

curvature u yang sama, dengan demikian keduanya akan mempunyai faktor curvature

ductility yang sama µO = u/ y. Simpangan leleh dapat didekati dengan rumus y = y H2/3

dimana H adalah tinggi effektif kolom. Simpangan plastis adalah p = u - y dan dapat

didekati dengan rumus p = pLpH. Dimana p = u - y adalah kapasitas plastic curvature dan Lp adalah panjang sendi plastis. Kapasitas daktilitas simpangan adalah

Hy

pLp

y

py31

Gambar 4 Pengaruh Tinggi Terhadap Kapasitas Displacement Ductility Pada Kolom Bundar

Dengan menghitung respons gaya terhadap simpangan, akan didapatkan bahwa kapasitas displacement ductility akan berkurang bila tinggi kolom bertambah. Kolom pendek pada

gambar di atas akan mempunyai nilai kapasitas displacement ductility µ = 9.4, sedangkan

Page 5: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 5

kolom langsing mempunyai µ = 5.1. Kedua struktur di atas jelas harus mempunyai nilai R yang berbeda.

PBSD (Performance Based Seismic Design) Untuk Gedung Tinggi Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang sudah diuraikan di atas, PEER (Pacific Earthquake Engineering Research Center), sebuah pusat riset multi-institut yang bermarkas di U.C.Berkeley, belakangan ini sudah merilis berbagai hasil risetnya yang menyangkut penggunaan performance-based seismic design untuk perancangan struktur gedung tinggi tahan gempa[3]. PEER merupakan konsorsium dari sembilan universitas di Pantai Barat AS, yang dibentuk pada tahun 1996. Bila mengamati perkembangan sistem lateral gedung tinggi di Pantai Barat A.S, mulai tahun 2005 banyak gedung tinggi dirancang dengan sistem lateral khusus yang melampaui batas tinggi untuk sistem tertentu yang tercantum dalam peraturan secara preskriptif, ataupun menggunakan sistem yang tidak dicakup oleh peraturan. Perancangan dilakukan dengan menggunakan konsep performance-based capacity design. Contoh yang sering dibicarakan adalah gedung Infinity Tower di San Francisco, 43 lantai, dirancang menggunakan corewall beton sebagai system lateral tunggal. Padahal peraturan yang ada secara preskriptif mengharuskan gedung setinggi ini mempunyai sistem ganda sebagai sistem lateralnya. Dalam hal ini, perancangan tahan gempa dilakukan secara PBSD, dimana perencana menentukan dimensi elemen-elemen struktur berdasarkan analisis non-linear, dan memastikan bahwa kinerja struktur dapat memenuhi kriteria yang diinginkan apabila struktur terkena percepatan tanah untuk berbagai tingkatan kegempaan. PEER melakukan berbagai kajian dan memberikan berbagai laporan yang ditujukan sebagai acuan untuk perancangan struktur gedung tinggi secara non-linear berbasis kinerja. PEER merekomendasikan dua tingkatan sasaran kinerja, yaitu : 1. Sasaran kinerja minimum, dimana gedung harus mempunyai kemampuan kinerja tahan

gempa sesuai ASCE 7-10. Untuk gedung-gedung umum dengan Kategori Resiko II (menurut ASCE 7-10 ataupun draft SNI Gempa 2010), maka struktur harus : - Mampu menahan MCE dengan probabilitas kegagalan (total atau partial collapse)

yang rendah, yaitu sekitar 10 %. Hal ini harus dicapai tanpa kehilangan kapasitas dukung sistem gravitasi, tanpa peregangan inelastik yang mendegradasi kekuatan dari elemen-elemen penahan lateral dan tanpa simpangan permanen yang berlebih.

- Mampu menahan gempa yang relatif sering terjadi (SLE) dengan kerusakan sangat terbatas, sehingga perbaikan yang perlu dilakukan akan minim atau tidak ada sama-sekali. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat rancangan sedemikian sehingga simpangan gedung tidak melampaui kriteria tertentu.

2. Sasaran kinerja yang lebih tinggi, apabila perencana menginginkan mempunyai struktur dengan kinerja lebih. Misalnya : - Menggunakan nilai probabilitas terlampaui yang lebih rendah, baik untuk gempa

taraf layan maupun MCE. - Menggunakan kriteria penerimaan yang lebih ketat, misalnya dengan mengambil

nilai simpangan tingkat ijin yang lebih rendah, atau menurunkan tingkat penerimaan peregangan siklik dari elemen-elemen daktail dan menentukan marjin yang lebih besar pada elemen-elemen yang harus terjaga secara desain kapasitas.

Page 6: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 6

- Membatasi simpangan residual untuk memastikan struktur dapat diperbaiki setelah guncangan gempa.

- Menggunakan peralatan khusus untuk memodifikasi respons struktur terhadap gempa.

Analisis direkomendasikan untuk dilakukan dalam dua tahap sesuai sasaran kinerja, dimana pada tahap pertama digunakan metode elastik RSA dengan taraf gempa SLE, dan kemudian diperiksa untuk taraf MCE dengan metode NLRHA (Non Linear Response History Analysis). Sebagai masukan gerakan gempa, harus digunakan minimum tiga rekaman gerakan tanah dan demand ditentukan oleh nilai maksimumnya atau rata-rata dari tujuh rekaman. Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) juga mengeluarkan panduan untuk perancangan gedung-gedung tinggi, dimana parameter kunci yang diangkat adalah deformasi, bukan gaya atau atau kekuatan[4]. Hal ini dapat dimengerti setelah kita mempelajari dan melihat kelemahan-kelemahan dari desain berbasis kekuatan. Sasaran kinerja gedung terhadap gempa tetap sesuai dengan nafas berbagai peraturan di AS, Jepang, RRC, New Zealand dan Eropa. Namun rekomendasi yang diberikan lebih tajam, dengan sasaran minimum desain yang rinci, ataupun sasaran tambahan. Kriteria kinerja ditetapkan secara kuantitatif. CTBUH merekomendasikan analisis elastik untuk pengukuran tingkat layan, karena respons komponen struktur umumnya masih rendah dan tidak akan menyebabkan pelelehan. Untuk tingkat collapse prevention, pengukuran harus dilakukan dengan analisis riwayat waktu non-linear, kecuali dapat dibuktikan bahwa komponen struktur tidak meleleh saat terkena gempa maksimum. Analisis statik non-linear (push-over) tidak diijinkan untuk digunakan bagi analisis gedung-gedung tinggi, karena metode ini tidak dapat menangkap pengaruh moda-moda yang lebih tinggi dan pengaruh torsi, hal mana akan cukup berperan pada gedung-gedung tinggi. Rekomendasi CTBUH ini berjalan selaras dengan panduan PEER.

PEER Tall Bulding Design Case Study[5] Dalam salah satu studi kasus yang dipaparkan oleh PEER untuk suatu gedung 42 lantai berlokasi di Los Angeles, dijelaskan mengenai kriteria desain dan cara analisis yang dianjurkan, hal mana secara singkat dipaparkan disini untuk memberikan gambaran arah prosedur perancangan gedung tinggi tahan gempa di AS. Gedung dengan dimensi 32.6 x 33.0 meter, dengan sistem lateral tunggal yaitu corewall beton bertulang. Sistem core wall tunggal setinggi ini tidak tercantum dalam daftar sistem lateral umum pada ASCE 7-10, atau melampaui batas ketinggian untuk aplikasi sistem tunggal dengan shearwall. Gambar 5 menunjukkan isometri gedung dan corewall yang digunakan dalam studi ini. Kriteria rancangan yang dipakai adalah sesuai kriteria desain seismik LATBSDC 2008[6], dengan dua perkecualian : - Menggunakan gempa 25-tahun sebagai SLE, diredam 2.5 %, dimana hanya beberapa

elemen struktur saja yang diijinkan mencapai 120% kapasitas. Sebagai catatan, dalam versi finalnya PEER menetapkan gempa 43-tahun sebagai taraf SLE.

- Batasan minimum base shear tidak perlu diterapkan, dan dalam hal ini kekuatan minimum akan ditentukan oleh gempa 25-tahun dan angin.

Untuk serviceability model, digunakan linear elastic analysis dengan model ETABS 3-D, dimana struktur harus tetap elastik secara umum, dengan kerusakan minor saja yang

Page 7: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 7

mungkin terjadi. Dalam hal ini pemeriksaan dilakukan menggunakan gempa 25-tahun, dengan kriteria penerimaan sbb : - Story drift dibatasi 0.5% - Coupling beam : dalam keadaan elastik - Lentur pada corewall : dalam keadaan elastik - Geser pada corewall : dalam keadaan elastik - Kolom : dalam keadaan elastik Untuk MCE model, dilakukan analisis non-linear, dengan model 3-dimensi menggunakan CSI perform-3D[7]. Elemen-elemen yang dimodelkan sebagai elemen inelastik adalah coupling beam dan perilaku lentur core wall, sedangkan elemen-elemen yang dimodel sebagai elemen elastik adalah perilaku geser core wall, pelat diafragma, kolom dan dinding besmen. Model dibuat dengan taraf penjepitan pada fundasi mat. Analisis orde kedua (P-delta) harus dimasukkan, tetapi eksentrisitas yang dihitung cukup dengan nilai teoritis saja. Kriteria penerimaan MCE adalah sebagai berikut : - Simpangan tingkat : 3% - Rotasi coupling beam dibatasi sampai 0.06 radian - Regangan aksial tulangan core wall dalam tekan 0.05, dalam tarik 0.02 - Regangan aksial beton dengan confinement penuh pada core wall dibatasi sampai 0.015 - Gaya geser pada core wall harus diambil dari hasil verifikasi post-analysis. Dengan dua tingkat analisis seperti yang diuraikan di atas, akan dapat dipastikan bahwa kinerja yang ditargetkan dapat benar-benar tercapai. Dengan teknik seperti ini pula, di Pantai Barat AS dewasa ini gedung-gedung super tinggi sudah dirancang dengan tidak menggunakan dual system sebagai sistem lateral penahan gempa. Hal mana dimulai di tahun 2005 di San Fransisco, dimana metode PBSD digunakan untuk merancang gedung 43 lantai Infinity Tower dan kemudian gedung 64 lantai One Rincon Hill. Dalam hal ke dua gedung tersebut, sistem lateral yang digunakan adalah core wall beton dan outrigger sedangkan sebagai sistem lantai menggunakan flat slab. Core wall lebih tebal daripada bila digunakan dual system, tetapi sistem lantai flat slab yang sederhana tanpa balok

Gambar 5 Isometri Tower and Core Wall

Page 8: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 8

memungkinkan pemborong mencapai kecepatan tiga hari per lantai. Sebagai input gerakan tanah, digunakan tujuh rekaman gempa yang mencerminkan kondisi kegempaan pada lokasi bangunan. Dalam hal ini digunakan beberapa taraf gempa, yaitu SLE gempa 25-tahun, SLE gempa 43-tahun, DBE 2/3 gempa 2475-tahun, MCE gempa 2475-tahun dan OVE gempa 4975-tahun. Suatu hal yang menarik yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa seringkali core wall beton menerima pengaruh gempa yang jauh lebih besar daripada yang didapatkan apabila kita hanya melakukan analisis linear dengan taraf gempa DBE. Gambar 6 menunjukkan hasil studi suatu kasus pada proyek One Rincon Hill Phase-2 dimana ditunjukkan bagaimana pengaruh moda getar tinggi dapat secara signifikan merubah kebutuhan kekuatan core wall beton [8].

Gambar 6

Modifikasi Respons Struktur Terhadap Gempa Perancangan struktur tahan gempa di Indonesia sudah berada pada tahap modern, terutama sejak dikeluarkannya peraturan tahan gempa di tahun 1983, yang kemudian diperbaharui pada tahun 2002 dan saat ini sedang dalam proses revisi. Pada umumnya peraturan gempa yang lebih baru akan mempunyai persyaratan perancangan struktur yang lebih ketat, disertai dengan peningkatan tingkat kegempaan. Gedung dapat dirancang untuk menahan gempa, dengan merancangnya agar mempunyai kekuatan dan daktilitas yang lebih besar daripada yang dibutuhkannya. Meskipun gedung-gedung tersebut bila dirancang dan dibangun dengan baik akan mampu bertahan terhadap gempa tanpa keruntuhan, tetapi guncangan yang dialami akan tetap besar dan tidak mengurangi kerusakan sekunder. Guncangan gempa dapat menyebabkan kerusakan non-struktural dan jatuhnya benda-benda isi gedung yang dapat mencederai penghuni. Dalam hal terjadi gempa besar, kemungkinan adanya kerusakan terhadap komponen struktur dan non-struktur akan cukup

Page 9: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 9

besar. Perbaikan struktur dapat menyebabkan gedung tidak dapat beroperasi untuk suatu jangka waktu tertentu.

Cara lain yang mulai populer digunakan setelah gempa Hyogo-Ken Nanbu yang melanda Kobe di tahun 1995 adalah dengan memodifikasi respons struktur terhadap gempa, hal mana dapat dilakukan dengan menggunakan sistem isolasi seismik. Teknik ini sudah banyak digunakan di Jepang, dan belakangan juga di RRC. Jepang telah mempunyai sekitar 3000 gedung yang dibangun dengan sistem isolasi seismik. Ide dasar dibalik konsep ini sederhana saja. Bangunan dipisahkan dari komponen gerakan tanah horisontal akibat gempa dengan cara menyisipkan penyekat yang mempunyai kekakuan horisontal rendah. Lapisan penyekat ini akan membuat bangunan mempunyai frekwensi jauh lebih rendah daripada bila bangunan dijepit pada lantai dasarnya. Lihat gambar 7.

Gambar 7: Konsep Dasar Isolasi Seismik

Pada saat tanah bergerak, isolator yang fleksibel akan mengikuti pergerakan ini, tetapi gedung di atasnya hanya bergerak sedikit saja. Bila isolator yang fleksibel dipilih dengan properties yang benar, gaya inersia yang terjadi pada bangunan akibat gempa dapat ”disaring” menjadi sepersekian bagian saja dari yang akan dialami gedung biasa. Dengan demikian, isolator akan melindungi gedung beserta isinya. Penghuni hanya akan mengalami goyangan kecil saat gempa, demikian juga seluruh instalasi yang terdapat di dalam gedung. Dalam hal ini pemilihan isolator dengan karakteristik yang tepat akan sangat menentukan. Beberapa faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah kekakuan lateral, daya dukung vertikal dan horisontal, nilai redaman dan sifat histeretik dari isolator.

Bila pada awalnya isolasi seismik umum digunakan pada gedung-gedung bertingkat rendah, maka dewasa ini penggunaan pada gedung tinggi sudah cukup banyak. Di Jepang gedung-gedung tinggi antara 20-40 lantai banyak yang dibangun dengan dilengkapi base isolation. Di USA, Los Angeles City Hall dengan tinggi 32 lantai (138 m), di-retrofit dengan isolasi seismik. Di Jakarta sendiri, sebuah gedung kantor setinggi 25 lantai dengan isolasi seismik sedang dibangun, yaitu gedung kantor Gudang Garam. Menara Gudang Garam mempunyai

Page 10: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 10

ketinggian 25 lantai, dengan taraf isolasi diletakkan pada dasar besmen. Dalam hal ini digunakan high damping rubber bearing sebanyak 40 buah, dengan diameter antara 1.3 meter dan 1.5 meter. Periode gedung tanpa sistem isolasi adalah 1.66 detik, dan dengan sistem isolasi bergeser menjadi 4.23 detik. Dengan demikian terjadi period shift yang cukup besar, hal mana akan mengurangi respons gaya gempa dan simpangan tingkat gedung secara signifikan. Gedung akan mempunyai kinerja ketahanan gempa yang jauh lebih tinggi daripada bila gedung dirancang tanpa sistem isolasi. Struktur gedung dirancang sesuai ASCE 7-10, yang mana pasal-pasal pada peraturan ini menurut rencana akan diadopsi ke dalam SNI Gempa baru yang akan segera dikeluarkan departemen Pekerjaan Umum. Nilai faktor reduksi gempa diambil R=2.0.

Tantangan di Depan

Melihat perkembangan pembangunan gedung tinggi di Indonesia, maka munculnya supertall building tidak dapat terelakkan lagi. Rancangan struktur gedung-gedung semacam ini perlu dilakukan dengan menggunakan terobosan baru, dimana respons dinamik struktur terhadap moda getar yang lebih tinggi akan menjadi dominan dalam menentukan demand dari ketahanan gempa. Kekakuan struktur akan menjadi faktor utama yang menentukan apakah gedung tinggi tersebut feasible untuk dibangun. Sistem struktur baru yang tidak tercantum secara preskriptif dalam peraturan akan diterapkan. Dengan demikian metode analisis secara nonlinear dinamis akan tidak terhindarkan lagi, sehingga gedung-gedung dapat dirancang menggunakan sistem lateral yang efisien, yang mungkin belum ada secara preskriptif dalam peraturan, tetapi ketahanan gempanya harus tetap terjamin.

Belakangan ini, konsep PBSD (Performance Based Seismic Design) mulai diperkenalkan, dan dipadukan dengan teknik analisis yang lebih mutakhir, hal mana dibahas secara mendalam oleh PEER (Pacific Earthquake Engineering Research Centre). Konsep non-linearitas dalam analisis dinamik struktur mulai digunakan dalam praktek rancangan sehari-hari. Kriteria penerimaan diberikan untuk berbagai tingkat kegempaan, dimana ditinjau SLE dan MCE, namun dapat juga ditinjau tingkat OVE untuk kriteria yang lebih tinggi. Di masa mendatang teknik serupa pasti akan digunakan di Indonesia.

Page 11: makalah_8

Seminar & Pameran HAKI 2011 – “Konstruksi Indonesia Melangkah Ke Masa Depan” 11

DAFTAR PUSTAKA [1] Priestly, M.J.N., “Myths and Fallacies in Earthquake Engineering, Revisited.”

The 9th Mallet Milne Lecture, 1055 Press, Pavia, 2003 [2] M.J.N Priestly, GM. Calvi, M.J.Kowalsky, “Displacement-Based Seismic Design of

Structures” IUSS Press, Pavia, 2007

[3] PEER 2010/05-Guidelines for Performance-Based Seismic Design of Tall Buildings [4] Wilford M., Whittaker A., Klemencic R. : Recommendations for the Seismic Design of

High-rise Buildings, CTBUH, 2008. [5] PEER Design Case Study Building #1, Andrew Fry J., Hooper J., Klemencic R. [6] Los Angeles Tall Building Structural Design Council, “An Alternative Procedure for

Seismic Analysis and Design of Tall Buildings Located in the Los Angeles Region”, 2008 [7] Perform-3D, Nonlinear Analysis and Performance Assesment for 3D Structures,

Computer and Structures, Inc., 2006 [8] Ron Klemencic, MKA Inc., Preliminary Design.