morfin.doc

3
Landasan Teori Obat golongan opioid diklasifikasikan berdasarkan kerjanya pada reseptor, yakni meliputi 1.agonis penuh (kuat), 2.agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3.campuran agonis dan antagonis, dan 4.antagonis. Opioid golongan agonis kuat (contoh: morfin, hidromorfon, metadon, meperidin) hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan. Morfin termasuk dalam golongan fenantren alkaloid asal opium bersama dengan kodein. Efek morfin pada susunan saraf pusat (SSP) dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ. Secara farmakodinamik efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia sering terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, napas lambat dan miosis. Efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor δ dan κ, namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Ketiga jenis reseptor utama yaitu μ, δ, dan κ banyak didapatkan pada kornu dorsalis

Upload: melissa-trixiana

Post on 25-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

farmakologi

TRANSCRIPT

Page 1: Morfin.doc

Landasan Teori

Obat golongan opioid diklasifikasikan berdasarkan kerjanya pada reseptor, yakni meliputi 1.agonis penuh (kuat), 2.agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3.campuran agonis dan antagonis, dan 4.antagonis. Opioid golongan agonis kuat (contoh: morfin, hidromorfon, metadon, meperidin) hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Morfin termasuk dalam golongan fenantren alkaloid asal opium bersama dengan kodein. Efek morfin pada susunan saraf pusat (SSP) dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ.

Secara farmakodinamik efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia sering terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, napas lambat dan miosis.

Efek analgesia yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Reseptor δ dan κ dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor δ dan κ, namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Ketiga jenis reseptor utama yaitu μ, δ, dan κ banyak didapatkan pada kornu dorsalis medula spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di medula spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Morfin dan opioid lain menimbulkan efek analgetik yang yang sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain, bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; pasien sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi. Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan intermiten

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat dilawan dengan atropin dan skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu bila sudah ada asfiksia. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler.

Morfin juga menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan susah tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas.

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi

Page 2: Morfin.doc

perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH.

Secara farmakokinetik, morfin tidak bisa menembus kulit utuh, tetapi dapat direabsorbsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorbsi morfin sangat kecil. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibandingkan efek analgetik yang muncul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorbsi alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam empedu.

Pada intoksikasi akut morfin, pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lambat (2-4 kali/menit), dan mungkin berupa napas Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil menjadi sangat kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya dtsebabkan oleh depresi napas.