presentasi kasus gawatdarurat - sjs
DESCRIPTION
Steven Johnson SyndromeTRANSCRIPT
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 527853
Nama : Tn. P
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Sunda / Indonesia
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal pemeriksaan : 11 September 2013
B. Anamnesis ( Alloanamnesis / Autoanamnesis )
Keluhan Utama
Kulit melepuh di seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kulit melepuh di seluruh tubuh. Keluhan
dirasakan sejak 2 hari SMRS. Awalnya melepuh dirasakan di bagian leher
yang kemudian meluas ke batang tubuh, kedua tangan dan kaki, wajah
beserta bagian sekitar mata dan mulut. Pasien saat ini tidak dapat membuka
mata dan mulut. Keluhan disertai dengan rasa mual dan muntah yang hilang
timbul dan diare.
Pada 4 hari SMRS, pasien mengeluhkan nyeri perut dan diare, kemudian os
mengkonsumsi jamu kupu – kupu yang dibeli di warung untuk mengatasi
keluhannya. Karena keluhan menetap, satu hari setelahnya pasien
mengkonsumsi enterostop dan supertetra. Keesokan harinya tubuh pasien
mulai melepuh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan disangkal. Riwayat alergi obat disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda vital
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg.
- Nadi : 104 x/menit.
- Suhu : 38,20C.
- Frekuensi Pernapasan : 32 x/menit.
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-), Mukosa krusta kehitaman (+)
Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo VBS kanan=kiri, Ro -/-,Wheezing -/-
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CTR< 2 detik, Akral hangat (+)
Status Dermatologikus :
o Multipel generalisata, makula hiperemis (+), papul (+), pustul (+),
krusta (+), diameter terkecil 0,5x0,5 cm, diameter terbesar 10x8 cm
o Mata: Konjungtiva injeksi silier (+) mucus (+) kekuningan
o Mulut: Mucosa mulut krusta kehitaman (+)
o Skrotal dextra: Kulit mengelupas (+)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah (12/09/13)
E. Diagnosis Kerja
Steven Johnson Syndrome
F. Penatalaksanaan
dr. Rudi, SpKK
- IVFD RL 20 gtt/ menit
- Dexamethasone 3 x 1 ampul
- Gentamycin 2 x 1 ampul
- Kompres Nacl fisiologis pada luka terbuka
G. Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad functional : Dubia ad malam
H. Perjalanan Penyakit
Hb 15,1 g/dl Ht 41,6
Leukosit 5300 /mm Trombosit 317.000 /mm3
LED 68 mm/jam SGOT 19 U/L
Basofil 0 % SGPT 12 U/L
Eosinofil 2 % GDS 134 mg/dl
Batang 2 % Ureum 84 mg/dl
Segmen 78 % Kreatinin 0,8 mg/dl
Limfosit 19 % Anti-HIV 1 Reaktif
Monosit 4 % Anti-HIV 2 Reaktif
Eritrosit 4% Anti-HIV 3 Reaktif
Tanggal Keadaan pasien Laboratorium Tatalaksana12/09/13 Dexamethason 3 x 1 amp
Gentamycin 2 x 1 amp
Kenalog zalf
Paracetamol
Curcuma 3 x 2 tab
Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Irigasi mata (Nacl 0,9% 5
cc + betadine 0,5 cc)
Kumur dengan Nacl 0,9%
GV dengan Nacl 0,9%
H202 ear drop 4 x 6 gtt
13/09/13 T: 110/80 mmHgN: 88x/mntS: 38,4 C
Dexamethason 3 x 1 amp
Gentamycin 2 x 1 amp
Kenalog zalf
Paracetamol
Curcuma 3 x 2 tab
Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Irigasi mata
GV dengan Nacl 0,9%
H202 ear drop 4 x 6 gtt14/09/13 Ur: 36 mg/dl
Cr: 0,9 mg/dlDexamethason 3 x 1 amp
Gentamycin 2 x 1 amp
Kenalog zalf
Paracetamol
Curcuma 3 x 2 tab
Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Irigasi mata
GV dengan Nacl 0,9%
H202 ear drop 4 x 6 gtt16/09/13 T: 100/70 mmHg
N: 76x/mntS: 36,4 C
Ur: 46 mg/dlCr: 0,6 mg/dl
Anti HIVReagen 1: ReaktifReagen 2: ReaktifReagen 3: Reaktif
Dexamethason 3 x 1 amp
Gentamycin 2 x 1 amp
Kenalog zalf
Paracetamol
Curcuma 3 x 2 tab
Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Irigasi mata
GV dengan Nacl 0,9%
H202 ear drop 4 x 6 gtt
17/09/13 T: 100/70 mmHgN: 80x/mntS: 36 C
Dexamethason 3 x 1 amp
Gentamycin 2 x 1 amp
Kenalog zalf
BAB II
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh terluar yang membatasi lingkungan hidup manusia. Luas
kulit orang dewasa 1,5m2 dengan berat kira – kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ
esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit adalah organ
kompleks, elastis, sensitif serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan
bergantung pada lokasi tubuh.
2.1.1 Anatomi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama:
1. Lapisan Epidermis
a. Stratum Korneum (lapisan tanduk)
Merupakan lapisan terluar yang terdiri atas beberapa sel gepeng yang mati, tidak berinti
dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b. Stratum Lusidum
Merupakan lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi
protein yang disebut eleidin.
c. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti
diantaranya. Butiran kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum granulosum tampak jelas di
telapak tangan dan telapak kaki
d. Stratum Spinosum (Stratum Malphigi)
Disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda –beda karena ada proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen dan intinya berada di tengah. Sel ini semakin dekat ke
permukaannya makin gepeng bentuknya. Di antara sel sel nya terdapat intercellular
bridges yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Di antara sel stratum
spinosum terdapat sel Langerhans.
e. Stratum Basale
Terdiri atas sel berbentuk kubus yang tersusn vertikal pada perbatasan dermo – epidermal
berbaris seperti pagar. Merupakan lapisan epidermis terbawah. Sel basal ini mengadakan
mitosis dan berfungsi reproduktif. Terdiri atas 2 jenis sel:
Sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, berhubungan
antara satu dengan yang lain
Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel berwarna muda, dengan
sitoplasma basofilik dan inti gelap dan mengandung butiran pigmen (melanosomes)
2. Lapisan Dermis (korium, kutis vera)
Merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal dari epidermis.
Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dna fibrosa padat dengan elemen selular dan folikel
rambut. Dibagi menjadi 2 bagian:
a. Pars Papilare
Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah
b. Pars retikulare
Bagian bawah yang menonjol kearah subkutan. Terdiri atas serabut penunjang seperti
kolagen, elastin dan retikulin. Matriks lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat
dan kondroitin sulfat, serta terdapat fibroblast yang merupakan pembentuk serabut
kolagen. Kolagen muda bersifat lentur dan dengan bertambahnya usia menjadi kurang
larut sehingga semakin stabil. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan
mudah mengembang
3. Lapisan Subkutis (Hipodermis)
Tidak ada batas tegas yang membatasi lapisan dermis dengan subkutis. Lapisan subkemak
merupakan sel bulat. Besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasmautis ditandai dengan
adanya jaringan ikat longgar berisi sel jaringan lemak. Sel l.
Sel sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula.
Lapisan sel lemak, yang disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan.
Pada lapisan ini terdapat ujung saraf tepi, ujung pembuluh darah dan getah bening.
Vaskularisasi pada kulit diatur oleh pleksus superfisial (di bagian atas dermis) dan pleksus
profunda (di subkutis).
2.1.2 Adneksa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar kulit, rambut dan kuku:
1. Kelenjar Kulit, berada di lapisan dermis dan terdiri atas:
a. Kelenjar keringat
Terdapat 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin. Kelenjar
ekrin berbentuk kecil, letaknya dangkal di dermis dengan sekret yang encer. Saluran
kelenjar ini berbentuk spiral dan terdapat pada seluruh permukaan kulit, terbanyak di
telapak tangan dan kaki, dahi dan aksila. Sekresinya dipengaruhi saraf kolinergik, faktor
panas dan stress emosional. Kelenjar apokrin berukuran lebih besar, terletak lebih dalam
dengan sekret yang kental. Sekresinya dipengaruhi oleh kelenjar adrenergik. Dapat
ditemukan di aksila, areola mamae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.
b. Kelenjar palit (Glandula Sebasea)
Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak tangan dan kaki. Disebut
juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen. Sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi
sel – sel kelenjar. Kelenjar ini biasanya berada di samping akar rambut dan muaranya
terdapat di lumen folikel rambut. Sekresinya dipengaruhi oleh hormone androgen.
2. Kuku
Merupakan bagian terminal lapisan tanduk yang menebal. Bagian kuku yang terbenam
dalam kulit jari disebut nail root. Bagian yang terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit
pada ujung jari disebut nail plate. Kuku tumbuh dari nail root dengan kecepatan tumbuh
kira –kira 1 mm per minggu. Sisi kuku agak mencekung membentuk nail groove. Kulit
tipis yang menutupi kuku di bagian proksimal disebut eponikium, sedangkan kulit yang
ditutupi bagian kuku bebas disebut hiponikium.
3. Rambut
Terdiri atas akar rambut, yaitu bagian yang terbenam dalam kulit, dan batang rambut,
bagian yang berada di luar kulit. Rambut tumbuh secara siklik, pada fase anagen atau
pertumbuhan berlangsung selama 2 – 6 tahun dengan kecepatan pertumbuhan 0,35 mm per
hari. Fase telogen (istirahat) berlangsung selama beberapa bulan. Diantaranya terdapat fase
katagen (involusi temporer). Pada satu saat 85% dari seluruh rambut mengalami fase
anagen dan sisanya mengalami fase telogen.
2.1.3 Fisiologi Kulit
Kulit memiliki peranan yang sangat penting, selain fungsi utamanya untuk menjamin
kelangsungan hidup. Fungsi utama kulit mencakup fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi,
persepsi, pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, pembentukan pigmen D dan
keratinisasi.
1. Fungsi Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik ataupun mekanik seperti
tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi seperti zat kimia khususnya yang bersifat
iritan; gangguan bersifat panas seperti radiasi, sengatan sinar ultra violet; maupun
gangguan infeksi luar terutama bakteri dan jamur. Fungsi tersebut dengan adanya bantalan
lemak, tebal lapisan kulit dan serabut jaringan penunjang.
Melanosit ikut berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari. Proteksi
rangsangan kimia terjadi dengan adanya sifat stratum korneum yang impermeable terhadap
berbagai zat kimia dan air, terdapat pula lapisan keasaman kulit yang terbentuk dari
ekskresi keringat dan sebum menyebabkan pH kulit berkisar pada 5 – 6,5 yang melindungi
kontak zat kimia dengan kulit maupun dari infeksi. Proses keratinisasi juga berperan
sebagai sawar mekanis karena sel mati akan melepaskan diri secara berkala.
2. Fungsi Absorpsi
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban,
metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antar sel,
menembus sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak berguna lagi ataupun sisa metabolism dalam
tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan amonia. Sebum yang diproduksi akan melindungi
kulit untuk menahan evaporasi yang berlebihan. Produk kelenjar lemak dan keringat di
kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6,5.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Pada rangsangan panas
yang berperan adalah badan Ruffini di dermis dan subkutis. Sedangkan terhadap
rangsangan dingin yang berperan adalah badan Krause yang terletak di dermis. Badan
Meissner terletak di papilla dermis dan badan Merkel Ranvier di epidermis berperan
terhadap rabaan, sedangkan badan Paccini di epidermis berperan terhadap tekanan.
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)
Kulit melakukan peranan ini dengan mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh
darah kulit. Tonus vaskular dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin).
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan berasal dari rigi saraf.
Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosome) menentukan
warna kulit ras maupun individu. Sel ini disebut juga clear cell , berbentuk bulat dna
merupakan sel dendrit. Melanosom dibentuk oleh alat golgi dengan bantuan enzim
tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari mempengaruhi produksi
melanosom.
7. Fungsi Keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa memiliki 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel Langerhans, dan
melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal akan mengadakan pembelahan, sel basal yang
lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum, semakin ke atas
menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama inti akan
menghilang dna keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung
normal selama 14 – 21 hari dan berfungsi memberikan perlindungan bagi kulit terhadap
infeksi secara mekanis fisiologik.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Terjadi dengan adanya perubahan 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.
Namun pembentukan ini tidak mencukupi kebutuhan tubuh akan vitamin D, sehingga
pemberian vitamin D sistemik tetap diperlukan
2.2 Sindrom Stevens Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis
2.2.1 Definisi
Sindrom Stevens Johnson (Stevens-Johnson Syndrome = SJS) dan Toksik Epidermal
Nekrolisis (TEN) merupakan episode reaksi mukokutan akut yang paling sering dicetuskan
oleh obat, dan terkadang oleh infeksi dan neoplasma. Keduanya memiliki hubungan yang
sangat erat atau identik , dan hanya dibedakan oleh luasnya area permukaan tubuh (BSA=
Body Surface Area) yang terkena. Sindrom Stevens Johnson dan Toksik Epidermal
Nekrolisis ditandai oleh makula ireguler (lesi target atipikal) yang cepat meluas serta
keterlibatan lebih dari 1 mukosa (oral, konjungtiva, dan anogenital). Pada TEN terdapat
eritema yang luas, nekrosis dan lepasnya epidermis yang menyerupai luka bakar. Gejala
konstitusional dan keterlibatan organ dalam sering menyertai penyakit ini. Pada prinsipnya
SJS dan TEN merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Angka kematian pada
toksik epidermal nekrolisis ditemukan cukup signifikan.
Dalam Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS dr. Hasan Sadikin
tahun 2005, Sindrom Stevens Johnson didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala yang
timbul secara akut mengenai kulit dan mukosa mulut, mata dan genital disertai gejala
konstitusi, yang bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menimbulkan kematian.
Sedangkan Toksik Epidermal Nekrolisis didefinisikan sebagai penyakit kulit yang bersifat
akut, ditandai dengan adanya epidermolisis, dapat disertai dengan kelainan di selaput
lendir. Saat ini sulit untuk menarik suatu garis tegas untuk membedakan SJS-TEN dengan
bentuk yang lebih berat dari eritema multiforme.
2.2.2 Klasifikasi
Sindrom Stevens Johnson- bentuk minor dari Toksik Epidermal Nekrolisis
(TEN) yang mengenai < 10% area permukaan tubuh
(Body Surface Area= BSA)
Overlapping SJS-TEN, lepasnya epidermis pada 10-30% BSA
TEN, lepasnya epidermis > 30 % BSA
2.2.3 Insidensi dan Epidemiologi
Insidensi SJS-TEN di Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan 2-3 kasus setiap satu juta
populasi per tahun. Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis terjadi di
seluruh dunia dan mempengaruhi wanita dua kali lebih banyak dari pria. Kelainan ini
muncul paling sering pada orang dewasa, meskipun dapat pula terjadi pada anak-anak.
Insidensi Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis meningkat hampir tiga
kali lipat pada populasi yang terinfeksi HIV.
2.2.4 Etiologi
Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis memiliki pola reaksi polietiologi.
Namun obat-obatan merupakan faktor pencetus utama, meliputi 80-95% pasien TEN dan
lebih dari 50% pada pasien SJS. Hanya sebagian kecil kasus SJS-TEN yang dihubungkan
dengan infeksi, vaksinasi, atau transplantasi. Pada 5% pasien SJS-TEN, tidak ditemukan
riwayat obat maupun faktor lain yang berpotensi sebagai pencetusnya (idiopatik).
Meskipun obat-obatan pencetus terjadinya Sindrom Stevens Johnson-Toksik
Epidermal Nekrolisis bervariasi di berbagai Negara serta sejalan dengan waktu, namun
ditemukan tiga golongan obat yang paling sering menjadi pencetus SJS-TEN pada
berbagai survei dan studi, yaitu: antibiotik golongan sulfa, antikonvulsan, dan anti
inflamasi non-steroid (NSAIDs) terutama derivate oxicam dan diklofenak. Obat yang juga
diketahui secara signifikan dapat menimbulkan SJS namun dengan risiko yang lebih
rendah adalah antibiotic non sulfa seperti aminopenicillins, quinolone, cephalosporin dan
tetrasiklin. Antimalaria dan alopurinol berada pada urutan berikutnya.
Obat-obatan sulfa, terutama long-acting sulfonamides dan kotrimoksazol paling
sering mencetuskan SJS-TEN, dengan estimasi kejadian antara 1 sampai 10 kasus per
100.000 pengguna, dengan resiko relative 172. Obat antikonvulsan seperti fenitoin,
karbamazepin, dan fenobarbital memiliki resiko relative antara 11-15. Karbamazepin
diperkirakan menjadi pencetus paling sering pada SJS-TEN (14 per 100.000 pengguna).
Hidantoin dianggap sebagai penyebab utama terjadinya TEN pada anak-anak.
Alopurinol dan klormezanon merupakan penyebab SJS-TEN yang penting di
negara maju, sedangkan obat antituberkulosis memegang peranan penting di negara
berkembang. Beberapa tahun terakhir, obat antiretrovirus, seperti nevirapine dan protease
inhibitor muncul sebagai penyebab penting SJS-TEN.
Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis memiliki kecenderungan
terjadi pada pasien dengan penyakit multipel, terutama yang mengaktivasi sistem imun,
seperti penyakit kolagen vascular, neoplasia dan limfoma, dan penyakit graft-versus-host,
bahkan dapat pula mengikuti vaksinasi.
Infeksi memegang peran yang kurang penting pada etiologi SJS-TEN. Beberapa
kasus yang telah didokumentasikan ditemukan Mycoplasma pneumoniae yang diisolasi
dari lesi SJS-TEN. Beberapa kasus lainnya dihubungkan dengan histoplasmosis, infeksi
adenovirus, hepatitis A, infeksi mononukleosis, coxsackievirus B5, virus varicella-zoster,
septicemia gram negative, yersiniosis, bahkan sebagai reaksi ekstrem dari acute graft-
versus-host disease paska transplantasi organ. Identifikasi agen pencetus didapatkan
terutama dari anamnesa, tes kulit serta tes in vitro biasanya tidak berguna.
2.2.5 Patogenesis
Patomekanisme dari Sindrom Stevens Johnson-Toksik Epidermal Nekrolisis hanya
dipahami sebagian, namun dipercaya diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II
sitolitik menurut Coomb dan Gel. Pada hal ini yang terjadi adalah penyebaran apoptosis
meluas dari keratinosit yang terangsang oleh reaksi hipersensitivitas cell-mediated
cytotoxic. Seperti pada eritema multiforme, SJS-TEN merupakan reaksi imunitas sitotoksik
sehingga terjadi destruksi pada keratinosit yang mengekspresikan antigen asing. Interval
antara paparan dan onset penyakit (1-45 hari, rata-rata 14 hari), yang cenderung lebih
singkat pada paparan berulang, juga menunjukkan adanya suatu patogenesis yang
berhubungan dengan imunitas.
Aktivasi sel T yang spesifik terhadap obat (termasuk CD4+ dan CD8+) ditemukan
in vitro pada sel mononuklear darah tepi dari pasien dengan erupsi obat bulosa, bersamaan
dengan peningkatan produksi interleukin-5 (IL-5) dan sitokin lainnya. Sel limfosit memori
CD4+ tampak mendominasi sel mononuklear dermal, sedangkan sel sitotoksik CD8+
banyak ditemukan pada epidermis. Pada eritema multiforme dan SJS-TEN keratinosit
epidermal mengekspresikan ICAM-1 dan antigen MHC klas II.
Sel inflamasi pada SJS-TEN mengandung makrofag teraktivasi dan faktor XIII+
dendrosit dalam jumlah yang besar. Selain itu, terdapat ekspresi yang sangat berlebih dari
TNF-α pada SJS-TEN. Pada cairan bula pasien dengan TEN didapatkan limfosit CD8+
yang aktif dan jumlah TNF-α yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa TNF-α memegang
peranan penting dalam destruksi epidermal dengan menginduksi secara langsung
apoptosis, dengan menarik sel-sel efektor sitotosik, atau keduanya. TNF-α dapat berasal
dari makrofag dan keratinosit, serta keduanya dapat saling menstimulasi. Ekspresi TNF-α
juga distimulasi oleh faktor fisik, seperti sinar UV dan sinar X, sehingga dapat
memperberat SJS-TEN yang diinduksi obat.
Sifat antigen yang mendorong reaksi sitotoksik imunitas seluler tidak begitu
dipahami. Terdapat pendapat bahwa obat-obatan atau metabolitnya berperan sebagai
hapten dan terikat pada keratinosit sebagai suatu antigen. Peptida hasil modifikasi obat
dipresentasikan kepada MHC I dan MHC II. Adanya defek pada sistem detoksifikasi (pada
hati dan kulit) metabolisme obat aromatik oleh sitokrom P450 akan menyebabkan
terbentuknya hidroksilamin reaktif (dari obat-obatan sulfonamid) atau arene oksida (dari
antikonvulsan aromatik) yang terikat pada komponen sel. Hal ini akan menghasilkan
toksisitas langsung atau perubahan pada komponen antigenik keratinosit.
Pada penderita HIV, terjadi kekurangan glutation, yang merupakan scavenger
komponen toksik. Jumlah mRNA yang tinggi , yang dapat menginduksi nitrit oksida
sintase telah dideteksi pada infiltrat inflamasi SJS-TEN. Nitrit oksida dikenal dapat
menginduksi apoptosis dan nekrosis, sehingga diperkirakan memiliki peran pada
patogenesis SJS-TEN.
Autoantibodi terhadap desmoplakin I dan II ditemukan pada sebagian pasien SJS.
Pada kasus ini terjadi akantolisis suprabasal, namun manisfestasi klinis lainnya tidak
berbeda dengan pasien tanpa autoantibodi ini.
2.2.6 Manifestasi Klinis
Paling sedikit setengah dari pasien, SJS-TEN diawali dengan gejala prodromal nonspesifik
yang berlangsung 1-14 hari. Gejala tersebut antara lain berupa demam, lesi, nyeri kepala,
rinitis, batuk, sakit tenggorokan, sakit dada, muntah, diare, mialgia, dan sakit sendi. Gejala
ini biasanya mengawali 1 – 3 hari sebelum tampak lesi mukokutan. Pasien sering merasa
sakit dan mendapatkan pengobatan antibiotik dan anti inflamasi yang kemudian
menyebabkan kesulitan dalam menentukan faktor penyebab. Onset terjadi tiba-tiba.
Pada SSJ dapat tampak trias kelainan berupa kelainan mata, kelainan selaput lendir
di orifisium dan kelainan kulit. Kelainan mata ditemukan pada 80% kasus, dimana yang
tersering adalah konjungtivitis dan kataralis. Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis
purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Sedangkan pada
kelainan selaput lendir di orifisium, sebanyak 100% ditemukan pada mukosa mulut,
kemudian pada alat genital dan lebih jarang lagi ditemukan pada lubang hidung dan anus.
Kelainan yang tampak biasanya berupa vesikel dan bula cepat pecah yang menjadi erosi,
ekskoriasi serta krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat tampak pseudomembran.
Lesi kulit berupa makula eritema, sering tersusun morbiliform, yang muncul
pertama kali pada wajah, leher, dan badan, kemudian dapat menyebar ke ekstrimitas dan
bagian tubuh lain. Pada lesi individu terdapat bagian tengah yang pucat membentuk sebuah
lesi target, atau dapat pula berupa makula pucat bulat, ireguler berbatas tegas. Terkadang
dapat pula berupa bula yang kendur, atau pun hemoragik dengan tanda Nikolsky positif.
Lesi kemudian bertambah dalam jumlah dan ukuran, biasanya mencapai manifestasi
maksimal pada hari ke 4-5.
Gambar 1. SJS pada kulit (trunk)
Gambar 2. SJS pada wajah dan bibir
Kecenderungan lesi menjadi konfluens biasanya terbatas pada lokasi predileksi pada SJS,
dan dapat menyebar luas pada TEN. Pada area konfluens, epidermis menjadi longgar dan
mudah terlepaskan dengan trauma friksi minimal. Bentuk bula yang besar, atap bula
dapat ,menjadi nekrotik dan mudah pecah. Pada kasus TEN yang berat, dapat terjadi
pelepasan kuku jari, serta rontoknya alis dan bulu mata. Lesi pada mukosa terjadi
bersamaan bahkan terkadang mendahului terjadinya lesi kulit.
Gambar 3. TEN
TEN tanpa spot. Pada sebagian kecil kasus, TEN tidak diawali dengan lesi konfluens SJS,
namun timbul sebagai eritema difus yang berbatas tidak tegas. Membran mukosa terkadang
tidak dipengaruhi. Manifestasi seperti ini terjadi pada wanita usia lanjut. Sebagian besar
kasus TEN yang disebabkan oleh graft-versus-host reaction meampilkan manifestasi
demikian, dan memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada SJS-TEN.
Gejala ekstrakutan. Gejala konstitusional SJS-TEN di antaranya demam, nyeri sendi
serta kelemahan. Keterlibatan organ dalam jarang terjadi pada SJS, namun dapat
bermanifestasi berat pada TEN, melibatkan traktus respiratorius dan gastrointestinal.
Komplikasi pulmonal tampak pada 25% pasien dengan gejala dyspneu, hipersekresi
bronkial, hipoksemia ataupun hemoptisis. Komplikasi gastrointestinal dapat muncul
sebagai nekrosis dari esofagus, usus kecil maupun kolon dan bermanifestasi sebagai diare,
melena maupun perforasi usus. Komplikasi renal dapat tampak sebagai proteinuria,
microalbuminuria, hematuria dan azotemia.
Gambar 4. SJS pada mukosa oral
Komplikasi lanjut. Lesi pada kulit menyembuh dengan hiper/ hipopigmentasi. Jaringan
parut jarang terjadi kecuali pada kasus yang luas dengan infeksi sekunder, dimana
kontraktur, alopecia, dan anonychia dapat terjadi. Jaringan parut khas dan sering terjadi
pada komplikasi lanjut dari lesi pada mukosa.
2.2.7 Perjalanan Penyakit
1. Fase progresi, berlangsung 4-5 hari
2. Fase plateau, dpat berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Pada fase ini
komplikasi sistemik biasanya terjadi
3. Fase regresi, epidermis yang terlepas berubah menjadi lembaran kering berwarna
hitam.
4. Reepitelialisasi, berlangsung beberapa minggu.
2.2.8 Patologi
Nekrosis pada epidermis sangat mencolok pada SJS-TEN. Injuri epidermal tampak
sebagai nekrosis sel satelit pada fase awal yang berlanjut pada nekrosis eosinofilik yang
luas pada lapisan basal dan suprabasal, terpisahnya subepidermal mungkin terlihat. Pada
TEN, terjadi nekrosis pada seluruh ketebalan epidermis. Pada SJS-TEN yang berat
nekrosis fibrinoid yang luas dapat terjadi pada beberapa organ dalam.
2.2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan lanju endap darah dapat terjadi pada pasien SJS-TEN, yang disertai
leukosistosis sedang, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, mikroalbuminuria,
hipoproteinemia, peningkatan enzim transaminase hati, dan anemia. Pada fase akut, dapat
terjadi penurunan sementara limfosit CD4+ di perifer, yang disertai penurunan
sitotoksisitas NK-cell dan allogenik, yang akan kembali normal dalam waktu 7-10 hari.
2.2.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan Toksik Epidermal
Nekrolisis (TEN)
SJS TEN
Eritema multiforme Staphylococcal scalded-skin syndrome
Acute graft-versus-host disease Generalized fixed drug eruption
Ampicillin rash Burns, cauterization, etc.
Fixed drug eruption Toxic erythroderma
2.2.11 Penatalaksanaan
Pasien yang datang dengan SJS-TEN harus dirawat inap karena diperlukannya
perawatan suportif dan pengawasan yang ketat. Pada akut SJS/TEN, hal terpenting yang
dilakukan adalah diagnosis secara cepat dan menghentikan obat pencetusnya. Sedapat
mungkin, pasien mendapat kan perawatan pada intermediate atau intensive care unit.
Selanjutnya perlu dilakukan manajemen penggantian cairan dengan IV fluid secara
cepat dan perbaikan elektrolit seperti pada pasien luka bakar derajat III. Pemberian
glukokortikoid pada awal timbulnya gejala dianggap sangat berperan dalam menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas, begitu pula dengan pemberian IV immunoglobulin dosis
tinggi dianggap dapat memperlambat progresi dari SJS. Namun akhir – akhir ini pemberian
glukokortikoid dan IV Immunoglobulin masih sering diperdebatkan. Lakukan suction
secara berkala untuk menghindari pneumonitis aspirasi. Diagnosa dan tangani segera
komplikasi jika terdapat sepsis.
Penatalaksanaan pasien dengan SJS-TEN terletak pada tiga hal:
1. Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus
2. Terapi aktif
3. Terapi suportif
Eliminasi faktor pencetus. Obat yang menjadi penyebab atau pencetus harus segera
diidentifikasi dan dihentikan pemakaiannya. Obat yang paling mungkin menjadi penyebab
adalah obat yang dikonsumsi selama 8 minggu terakhir dan dikenal sebagai risk drug
untuk SJS-TEN.
Supresi aktif terhadap progresifitas penyakit. Beberapa pengobatan anti infalamasi dan
imunosupresan telah dinyatakan memiliki efek menguntungkan bagi pasien SJS-TEN.
Beberapa obat yang digunakan untuk mensupresi progresifitas SJS-TEN antara lain:
1. Glukokortikoid, diberikan dengan dosis inisial yang lebih tingi. Penggunaan
kortikosteroid dapat menggunakan dexamethasone secara intravena dengan dosis 4 – 6 x 5
mg sehari kemudian dan dosis lanjutan 1-2 mg/kg / hari metil prednisolon, secara oral
diturunkan secara cepat. Penurunan dosis bertahap diindikasikan apabila terdapat
perbaikan.
2. Imunoglobulin, IVIG (Intravenous Immunoglobulin) mengandung antibodi
terhadap ligan Fas, yang mampu mencegah apoptosis secara in vitro.
3. Plasma pheresis dan hemodialisis, saat ini tidak dianjurkan dilakukan.
4. Siklofosfamid, merupakan inhibitor cell- mediated cytotoxicity. Obat ini juga
dilaporkan pernah menjadi penyebab beberapa kasus SJS-TEN.
5. Siklosporin, berinteraksi dengan metabolisme TNF-α.
6. N-Asetilsistein, menghambat cytokine-mediated immune reactions (TNF-α)
Pemeliharaan keseimbangan hemodinamika, protein dan hemostasis elektrolit.
Patomekanisme SJS-TEN berbeda dengan luka bakar. Perbedaan utama terletak pada tidak
adanya kerusakan vaskuler pada SJS-TEN, sehingga edema dan kehilangan cairan ke
jaringan interstisial bukan merupakan hal yang menonjol. Kehilangan air pada SJS-TEN
terutama terjadi karena evaporasi dan erosi yang terjadi paling tinggi saat fase puncak.
Asidosis metabolik bukan merupakan kejadian yang umum. Periksakan elektrolit darah
seminggu sekali, pada hipokalemia dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per hari. Infus dapat
pula diberikan dextrose 5%, Nacl 9% dan Laktat Ringer yang berbanding 1:1:1 dalam 1
labu, diberikan 8 jam sekali.
Pengobatan antibiotik. Telah disepakati secara universal bahwa infeksi merupakan
ancaman utama pada pasien dengan SJS-TEN. Pilihlah yang jarang menyebabkan alergi
dengan spektrum luas, bersifat bakterisidal dan paling sedikit risiko nefrotoksik.
Contohnya seperti ciproflocaxin 2 x 400 mg IV, Clindamycin 2 x 600 mg IV ataupun
Ceftriaxone 1 X 2 gr IV.
Terapi suportif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah nutrisi. Pasien biasanya sukar
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan. Untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid yang bersifat katabolik, berikan diet miskin garam dan tinggi protein. Dapat
pula dilakukan pemberian transfusi darah sebanyak 300cc selama 2 hari sebagai
imunorestorasi pada pasien tanpa perbaikan setelah 2 hari medikasi dengan kortikosteroid,
jika ditemukan adanya purpura generalisata atau terdapat leukopenia.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik, pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat
diberikan krim sulfodiazin perak ataupun steroid dengan antibiotik topikal. Untuk lesi pada
mulut dapat diberikan betadine gargle, dan emolien untuk krusta pada mulut. Lesi pada
mata dapat diberikan antibiotik salep seperti eritromisin.
2.2.12 Prognosis
Prognosis untuk pasien SJS-TEN tergantung beratnya penyakit serta kualitas
perawatan medis. Angka kematian rendah pada pasien SJS, sementara pada TEN mencapai
5-50%. Saat ini telah diajukan severity-of-illness score untuk TEN, yang
mengidentifikasikan tujuh faktor resiko independen:
1. Usia > 40 tahun
2. Keganasan
3. Takikardi, > 120/menit
4. Pelepasan epidermis inisial > 10 %
5. Tingkat Urea serum > 10 mmol/ L
6. Tingkat glukosa serum > 14 mmol/ L
7. Tingkat bikarbonat < 20 mmol/ L
Kasus yang fatal biasanya terjadi pada sepsis (oleh Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Candida) , pneumonia, pendarahan gastrointestinal, infark miokardium.
BAB III
PEMBAHASAN
ASPEK DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom steven johnson pada pasien ini ditegakkan dari hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa yang diperoleh, pasien memang memiliki riwayat
biasa mengkonsumsi obat - obatan warung, salah satunya supertetra. Keluhan dirasakan
setelah os terakhir kali mengkonsumsi supertetra pada 1 hari sebelumnya. Sedangkan dari
hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya keterlibatan dermatologis secara general pada
seluruh tubuh dengan epidermolisi < 10%. Kelainan disertai dengan kelainan mukosa
mulut dan mata. Gejala adanya komplikasi lanjutan tidak ditemukan.
Hasil laboratorium tidak bernilai spesifik dalam diagnosis sindrom steven Johnson.
Biasanya yang ditemukan adalah adanya peningkatan lanju endap darah yang disertai
leukosistosis sedang, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, mikroalbuminuria,
hipoproteinemia, peningkatan enzim transaminase hati, dan anemia. Pada fase akut, dapat
terjadi penurunan sementara limfosit CD4+ di perifer, yang disertai penurunan
sitotoksisitas NK-cell dan allogenik. Karena keterbatasan faslitas dan biaya, pada pasien
hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati. Hasil
laboratorium dari pasien ini hanya menunjukkan adanya peningkatan laju endap darah.
Namun hasil pemeriksaan anti-hiv menunjukkan hasil reaktif, menempatkan pasien ini
berada dalam golongan faktor risiko tinggi. Insidensi Sindrom Stevens Johnson-Toksik
Epidermal Nekrolisis meningkat hampir tiga kali lipat pada populasi yang terinfeksi HIV.
ASPEK PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Sindrom steven biasanya memerlukan perawatan suportif dan
pengawasan yang ketat. Pada akut SJS/TEN, hal terpenting yang dilakukan adalah
diagnosis secara cepat dan mengidentifikasi serta menghentikan obat pencetusnya. Pada
pasien didapatkan riwayat obat – obatan yang biasa dibeli dan terakhir dikonsumsi dalam
beberapa hari terakhir, yaitu jamu kupu – kupu, enterostop dan supertetra. Selanjutnya
perlu dilakukan manajemen penggantian cairan dengan IV fluid secara cepat dan perbaikan
elektrolit. Penanganan pada pasien yaitu pemberian terapi cairan dengan ringer laktat 20
tetes per menit. Pemberian glukokortikoid pada awal timbulnya gejala dianggap sangat
berperan dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, begitu pula dengan
pemberian IV immunoglobulin dosis tinggi dianggap dapat memperlambat progresi dari
SJS. Diagnosa dan penanganan segera komplikasi jika terdapat sepsis. Pemilihan antibiotik
yaitu yang jarang menyebabkan alergi dengan spektrum luas, bersifat bakterisidal dan
paling sedikit risiko nefrotoksik. Pada pasien diberikan injeksi dexamethason dan
antibitotik gentamycin yang bertujuan untuk meredakan proses inflamasi dan mencegah
infeksi lebih lanjut. Terapi suportif seperti perbaikan nutrisi, diet miskin garam dan tinggi
protein dapat disarankan untuk menghindari efek samping steroid yang bersifat katabolik.
Untuk perawatan suportif lainnya diberikan irigasi mata (Nacl 0,9% 5 cc dan betadine 0,5
cc), kumur dengan Nacl 0,9%, ganti verband dengan Nacl 0,9%, H202 ear drop 4 x 6 tetes
dan kenalog zalf. Pemberian antipiretik dan kotrimoksazol diberikan untuk menangani
gejala demam dan memulai terapi profilaksis HIV / AIDS yang positif.
ASPEK PROGNOSIS
Pada pasien ini prognosis ad vitam nya dubia ad bonam karena pasien ditangani
dengan cepat, memiliki tanda hemodinamika dan keseimbangan elektrolit yang baik. Hasil
pemantauan juga tidak menunjukkan adanya gejala ekstra kutan. Komplikasi pada traktus
respiratorius dan gastrointestina tidak ditemukan. Pada pasien tidak ada gejala dyspneu,
hipersekresi bronkial, hipoksemia ataupun hemoptisis. Komplikasi gastrointestinal berupa
diare, melena maupun perforasi usus dan komplikasi ginjal berupa proteinuria ataupun
hematuria tidak ditemukan.
Prognosisnya untuk ad functionam adalah dubia ad malam, dikarenakan adanya
hiperpigmentasi dan plak pada seluruh tubuh disertai epidermolisis akan mengakibatkan
bekas hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi yang sulit hilang. Pada mukosa dan
efloresensi kulit lainnya yang terinfeksi, dapat menimbulkan jaringan parut yang sangat
sulit hilang.
BAB IV
DISKUSI PRESENTASI
No Pertanyaan Jawaban
1 Apa saja bentuk komplikasi
dari SJS atau TEN?
(dr. Theresia)
Keterlibatan organ dalam jarang terjadi pada
SJS, namun dapat bermanifestasi berat pada
TEN, melibatkan traktus respiratorius dan
gastrointestinal. Komplikasi pulmonal tampak
pada 25% pasien dengan gejala dyspneu,
hipersekresi bronkial, hipoksemia ataupun
hemoptisis. Komplikasi gastrointestinal dapat
muncul sebagai nekrosis dari esofagus, usus
kecil maupun kolon dan bermanifestasi sebagai
diare, melena maupun perforasi usus.
Komplikasi renal dapat tampak sebagai
proteinuria, microalbuminuria, hematuria dan
azotemia.
Lesi pada kulit dapat menyembuh dengan
hiper/ hipopigmentasi. Jaringan parut jarang
terjadi kecuali pada kasus yang luas dengan
infeksi sekunder, dimana kontraktur, alopecia,
dan anonychia dapat terjadi. Jaringan parut
khas dan sering terjadi pada komplikasi lanjut
dari lesi pada mukosa.
2 Obat – obatan apa saja yang
sering menjadi pemicu
timbulnya SJS?
(dr. Novery)
Obat yang sering menjadi pemicu SJS
diantaranya antibiotik golongan sulfa (terutama
long-acting sulfonamides dan kotrimoksazol),
antikonvulsan (fenitoin, karbamazepin, dan
fenobarbital), dan anti inflamasi non-steroid
(NSAIDs) terutama derivate oxicam dan
diklofenak. Obat yang juga diketahui secara
signifikan dapat menimbulkan SJS namun
dengan risiko yang lebih rendah adalah
antibiotik non sulfa seperti aminopenicillins,
quinolone, cephalosporin dan tetrasiklin.
Antimalaria dan alopurinol berada pada urutan
berikutnya.
Alopurinol dan klormezanon
merupakan penyebab SJS-TEN yang penting di
negara maju, sedangkan obat antituberkulosis
memegang peranan penting di negara
berkembang. Beberapa tahun terakhir, obat
antiretrovirus, seperti nevirapine dan protease
inhibitor muncul sebagai penyebab penting
SJS-TEN.
3 Bagaimana cara membedakan
SJS dengan TEN? (dr. Uno)
Sindrom Stevens Johnson dan Toksik
Epidermal Nekrolisis ditandai oleh makula
ireguler (lesi target atipikal) yang cepat meluas
serta keterlibatan lebih dari 1 mukosa (oral,
konjungtiva, dan anogenital). Pada TEN
terdapat eritema yang luas, nekrosis dan
lepasnya epidermis yang menyerupai luka
bakar. SJS merupakan bentuk minimal dari
TEN, dimana epidermolisis tidak melebih 10%
dari luas total permukaan tubuh.
4 Bagaimana perawatan kelainan
mukosa yang terlibat? (dr.
Katharina)
Perawatan kelainan mukosa disesuaikan
dengan mukosa yang terlibat pada setiap
pasien. Keterlibatan mukosa biasanya
mencakup kelainan pada mata, mukosa hidung
mulut dan anogenital. Pada pasien ini
ditemukan adanya kelainan mukosa mulut dan
mata.
Prinsip nya adalah menjaga dari kerentanan
infeksi. Irigasi mata dengan Nacl 0,9% 5 cc dan
betadine 0,5 cc diberikan pada mata setiap hari.
Sedangkan untuk mukosa mulut dengan
berkumur Nacl 0,9%.
5 Sampai berapa waktu yang lalu
riwayat konsumsi obat perlu
ditanyakan dalam mencari
etiologi sindrom Steven
Johnson? (dr. Natasha)
Obat yang paling mungkin menjadi penyebab
adalah obat yang dikonsumsi selama 8 minggu
terakhir dan dikenal sebagai risk drug untuk
SJS-TEN.
6 Kapan dan apa saja gejala
prodromal sindrom steven
Johnson muncul? (dr. Sylvi)
Gejala prodromal yang biasanya muncul berupa
demam, lesi, nyeri kepala, rinitis, batuk, sakit
tenggorokan, sakit dada, muntah, diare,
mialgia, dan sakit sendi. Gejala ini biasanya
mengawali 1 – 3 hari sebelum tampak lesi
mukokutan.
7 Terapi cairan, antibiotik dan
obat – obatan injeksi apa saja
yang digunakan dalam
penanganan awal sindrom
Steven Johnson? (dr. Uno)
Untuk pemberian cairan, berikan infus dextrose
5%, Nacl 9% dan Laktat Ringer yang
berbanding 1:1:1 setiap 8 jam sekali. Pilihlah
antibiotik dengan spektrum luas seperti
ciprofloxacin, clindamycin maupun
ceftriaxone. Beberapa obat yang digunakan
untuk mensupresi SJS- TEN adalah
penggunaan glukokortikoid, IvIg dan N-
Asetilsistein .
BAB V
KESIMPULAN
Sindrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, merupakan kumpulan gejala
klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Keadaan umum dapat bervariasi
dari ringan hingga berat, kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai dengan purpura.
Mengenali gejala klinis dari sindrom steven johnson dan menggali riwayat faktor
risiko merupakan faktor penting dalam penanganan penyakit ini. Walaupun sebagian besar
dipengaruhi oleh reaksi hipersensitivitas dari obat – obatan seperti sulfa dan antipiretik /
analgesik, penyakit ini juga dapat dicetuskan oleh konsumsi jamu, obat – obatan
kontraseptif, infeksi, paparan fisik, keganasan dan idiopatik.
Gejala lain yang juga sering ditemukan bersamaan adalah adanya infeksi saluran
napas bagian atas dan diawali dengan demam, malaise, batuk, nyeri menelan, muntah, dan
nyeri otot yang sangat bervariasi. Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada
mukosa mulut (100 %), kemudian kelainan dilubang alat genital (50%), sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi, perdarahan, dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran.
Dibibir kelainan yang sering tampak adanya krusta berwarna kehitaman dan tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat mengakibatkan penderita sukar / tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
Konjungtiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan
sulit dibuka pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
terjadinya kebutaan.
Tatalaksana yang adekuat untuk penderita SSJ dapat memberikan prognosis yang
baik, yaitu mencakup pemberian cairan dan elektrolit, antibiotik spektrum luas, dan
kortikosteroid. Luka pada kulit dan mukosa diobati secara topikal dan dirawat dengan
kompres.
Daftar Pustaka
1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158.
2. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
4. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
5. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw - Hill.
6. Gawkrodger, D. 2003. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3rd Ed. UK:
Churchill Livingstone.
7. Wolff, K., Johnson, R. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th Ed. USA: McGraw - Hill.