psikologi_bencana_pelayanan_penyintas_merpsy.pdf

47
ISSN_2085-5486 Utama Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana Lanskap Penilaian Kognif akibat Terorisme dan Cinta Tanah Air: Melawan Stres? PTSD; Calon Kriteria baru PTSD Humaniora Jangan Depresi karena Berat Badan Makna Sebuah Ujian Wawancara Eksklusif dengan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Ragam Sorot Psikologi Psikologi Kewirausahaan, Psikologi Bencana, Psikologi Sosial Psikologi Agama, Psikologi Komunikasi, Psikologi Biologi, Psikosinema Cerpen Melawan Dunia Saat Terjatuh dan Menantang Hari Tuk kembali Berdiri Tips Jangan Biarkan Kecemasan Mengendalikan Hidup Anda Fotografi Alamku Vol1 No2 Maret 2010 U N I V E R S I T A S 021-333 80 800 24 Jam UMB www.mercubuana.ac.id

Upload: adjhy-aji-achmad

Post on 03-Sep-2015

11 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • ISSN_2085-5486

    UtamaPsikologi Pelayanan Penyintas Bencana

    LanskapPenilaian Kognitif akibat Terorisme dan Cinta Tanah Air: Melawan Stres?PTSD; Calon Kriteria baru PTSD

    HumanioraJangan Depresi karena Berat Badan

    Makna Sebuah UjianWawancara Eksklusif dengan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

    Ragam Sorot PsikologiPsikologi Kewirausahaan, Psikologi Bencana, Psikologi SosialPsikologi Agama, Psikologi Komunikasi, Psikologi Biologi, Psikosinema

    CerpenMelawan Dunia Saat Terjatuh dan Menantang Hari Tuk kembali Berdiri

    TipsJangan Biarkan Kecemasan Mengendalikan Hidup Anda

    Fotografi Alamku

    Vol1 No2 Maret 2010

    U N I V E R S I T A S

    021-333 80 80024JamUMB

    www.mercubuana.ac.id

  • FAKULTAS PSIKOLOGI

    (S1)

    Fakultas Psikologi diselenggarakan sebagai pusat unggulan yang bermanfaat bagi pengembangan SDM profesional yang berkualitas. Dirancang untuk menghasilkan sarjana psikologi yang cerdas emosi, spiritual, dan berhati mulia. Di antara misinya adalah menumbuhkan jiwa wirausaha dan sikap mental, perilaku beretika bagi mahasiswa dalam bidang psikologi, serta menyelenggarakan lembaga bantuan psikologi bagi perkembangan industri, organisasi, dan masyarakat. Menghasilkan sarjana terampil dalam menggunakan pemikiran ilmiah, memiliki kemampuan menganalisis dan merancang kajian psikologi yang sesuai dengan karakteristik dan kultur organisasi usaha atau industri menjadi kompetensi utama.

    STAF PENGAJARStaf pengajar berlatar belakang

    pendidikan S2 dan S3 dari lulusan dalam negeri dan luar negeri,

    antara lain :

    Prof. Dr. M. Enoch Markum, M.Si Prof. Dr. Agus Djoko Santoso, SU

    Dr. A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.SiDr. Syahrial Syarbaini, M.Si

    Dr. dr. Airiza AhmadErna Multahada, SHI, M.Si

    Filino Firmansyah, M.PsiIka Susanti, M.Psi

    Lidianti, M.PsiDra. Nunnie R. Widagdo, MM

    Ir. Purwanto SK, M.SiRah Madya Handaya, M.Psi

    Sitawaty Tjiptorini, MBA, M.PsiDrs. S.S. Sulistiyono, M.Si

    Dra. Tika Bisono, M.SiZakiyatul Fitri, M.PsiSri Wulandari, S.Psi

    dan lain lain

    Untuk menunjang proses belajar mengajar maka disediakan fasilitas Laboratorium sebagai berikut:

    -Laboratorium Psikologi Industri dan Organisasi-Laboratorium Usia Sekolah dan Remaja-Laboratorium Klinis Dewasa dan Anak-Anak- dan lain - lain

    FASILITAS LABORATORIUM

    FASILITAS LEMBAGA PSIKOLOGI TERAPANUntuk pengabdian masyarakat maka disediakan fasilitas layanan Psikologi Terapan sebagai berikut:

    -Pusat Pelayanan Psikologi Perkembangan-Pusat Pelayanan Psikologi Industri-Pusat Pelayanan Bisnis

    PROSPEK PROFESI LULUSAN

    Lulusan Program Studi Psikologi dapat berkarir di bidang konsultan psikologi perkembangan, pendidikan, klinis, sosial, industri dan organisasi. Kemudian dapat juga berkarir sebagai pengelola Sumber Daya Manusia (SDM), pendidik, trainer, peneliti dan lain-lain.

    BIAYA STUDI :

    a. Biaya Fasilitas : Rp. 3.000.000,-b. Biaya Uang Kemahasiswaan tahun pertama: Rp. 200.000,-c. Uang Paket Buku (hanya 1 kali bayar) : Rp. 300.000,-d. BPP Pokok Per Semester : Rp. 2.400.000,-e. BPP SKS : Rp. 100.000,-Per SKS

    Catatan :

    Biaya Fasilitas diatas untuk yang mendaftar dan membayar di Gelombang I, untuk Gelombang II ditambah Rp.500.000, dan Gelombang III ditambah Rp.1.000.000,- Semua Biaya Studi di atas dapat diangsur sesuai kemampuanBiaya fasilitas dibayarkan hanya 1 kali selama studi

    di UMB Biaya Fasilitas bisa diangsur selama 1 semesterBPP Pokok dan SKS bisa diangsur 6 kali dalam 1 semesterPembayaran Total Pertama (angsuran pertama

    a+b+c+d) minimal Rp. 1.000.000,- yang dibayarkan 14 hari setelah dinyatakan lulus seleksi

    26

    UNIVERSITASMERCUBUANA

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    (S1)

    Fakultas Psikologi diselenggarakan sebagai pusat unggulan yang bermanfaat bagi pengembangan SDM profesional yang berkualitas. Dirancang untuk menghasilkan sarjana psikologi yang cerdas emosi, spiritual, dan berhati mulia. Di antara misinya adalah menumbuhkan jiwa wirausaha dan sikap mental, perilaku beretika bagi mahasiswa dalam bidang psikologi, serta menyelenggarakan lembaga bantuan psikologi bagi perkembangan industri, organisasi, dan masyarakat. Menghasilkan sarjana terampil dalam menggunakan pemikiran ilmiah, memiliki kemampuan menganalisis dan merancang kajian psikologi yang sesuai dengan karakteristik dan kultur organisasi usaha atau industri menjadi kompetensi utama.

    STAF PENGAJARStaf pengajar berlatar belakang

    pendidikan S2 dan S3 dari lulusan dalam negeri dan luar negeri,

    antara lain :

    Prof. Dr. M. Enoch Markum, M.Si Prof. Dr. Agus Djoko Santoso, SU

    Dr. A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.SiDr. Syahrial Syarbaini, M.Si

    Dr. dr. Airiza AhmadErna Multahada, SHI, M.Si

    Filino Firmansyah, M.PsiIka Susanti, M.Psi

    Lidianti, M.PsiDra. Nunnie R. Widagdo, MM

    Ir. Purwanto SK, M.SiRah Madya Handaya, M.Psi

    Sitawaty Tjiptorini, MBA, M.PsiDrs. S.S. Sulistiyono, M.Si

    Dra. Tika Bisono, M.SiZakiyatul Fitri, M.PsiSri Wulandari, S.Psi

    dan lain lain

    Untuk menunjang proses belajar mengajar maka disediakan fasilitas Laboratorium sebagai berikut:

    -Laboratorium Psikologi Industri dan Organisasi-Laboratorium Usia Sekolah dan Remaja-Laboratorium Klinis Dewasa dan Anak-Anak- dan lain - lain

    FASILITAS LABORATORIUM

    FASILITAS LEMBAGA PSIKOLOGI TERAPANUntuk pengabdian masyarakat maka disediakan fasilitas layanan Psikologi Terapan sebagai berikut:

    -Pusat Pelayanan Psikologi Perkembangan-Pusat Pelayanan Psikologi Industri-Pusat Pelayanan Bisnis

    PROSPEK PROFESI LULUSAN

    Lulusan Program Studi Psikologi dapat berkarir di bidang konsultan psikologi perkembangan, pendidikan, klinis, sosial, industri dan organisasi. Kemudian dapat juga berkarir sebagai pengelola Sumber Daya Manusia (SDM), pendidik, trainer, peneliti dan lain-lain.

    25

    Penasihat AkademikProf. Dr. M. Enoch Markum, M.Si.

    DekanDr. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Si.

    Wakil DekanSri Wulandari, S.Psi., Psikolog

    Ketua Program Studi S1Sitawaty Tjiptorini, M.B.A., M.Psi., Psikolog

    Koordinator Laboratorium Psikologi(Tes Psikologis dan Asesmen)Dra. Nunnie Retna Widagdo, M.M., Psikolog

    Koordinator Laboratorium Jasa Bisnis danPsikologi IndustriDr. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Si.

    Koordinator Jurnal Ilmiah "Psikobuana"Prof. Dr. Agus Djoko Santoso, S.U. &Juneman, S.Psi.

    Koordinator Majalah Psikologi "MerPsy"Erna Multahada, S.H.I., M.Si.

    ORGANISASI

    Website

    http://fpsi.mercubuana.ac.id

  • SUSUNAN DEWAN REDAKSIMEDIA PSIKOLOGI POPULER MERPSY

    Penanggung JawabDekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

    Redaktur AhliProf. Dr. M. Enoch MarkumDr. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Si.Sri Wulandari, S.Psi., Psikolog

    Pemimpin RedaksiErna Multahada, M.Si.

    Wakil Pemimpin RedaksiJuneman, S.Psi., C.W.P.

    SekertarisAmanda Syafitrie, Mulia Rachmawati

    BendaharaIka Susanti, M.Psi., Psikolog

    Staf RedaksiMeilisha Djati Arum, Muhammad Luthfi, Karina Cyntia Dewi, Jilly Margy Hui Lodera, Made Dwi Cahyaningrum, Anjas Purna Yudha, Siti Hodijah, Husnul Chotimah, Dya Anugrah Pamungkas, Sitawaty Tjiptorini, M.B.A., M.Psi., Agus Mulyana

    EditorIda Anggraeni Ananda, M.Si., Juneman, S.Psi., C.W.P.

    Divisi RisetMuhammad Ifan Fauzi, Meilisha Djati Arum, Dimas Prasada, Karina Cyntia Dewi

    Divisi Desain, Tata Letak & FotografiBegeng, Felicia Putri Wacana Mahakita

    Divisi Iklan dan PromosiMuhammad Luthfi, Rusdi, Agus Mulyana

    Divisi Cetak, Distribusi, dan SirkulasiMarsani, S.Kom, Divisi Humas Himpunan Mahasiswa Majalah Psikologi "MERPSY"

    Sekilas MerPsy:

    MerPsy, ber-ISSN 2085-5486, merupakan akronim dari Mercu Buanas

    Psychology, sebuah majalah psikologi populer yang diterbitkan oleh Fakultas

    Psikologi Universitas Mercu Buana, Jakarta, yang bertujuan menyajikan

    pemberitaan beserta pengkajian dalam kemasan populer terhadap dinamika

    psikologis kehidupan manusia Indonesia. Eksplisitasi kata Psychology dalam nama majalah ini menjadi corak khas yang belum banyak ditawarkan oleh kebanyakan majalah yang lain, yakni

    pemaknaan psikologis terhadap segala peristiwa kehidupan kita. Pembaca

    yang ingin mengkontribusikan tulisan orisinalnya, bertanya, mengkritik,

    berkonsultasi, dan memasang advertensi/advertorial dipersilakan menghubungi

    Redaksi MerPsy melalui nomor telepon/fax/alamat surat elektronik sebagaimana

    tercantum di bawah ini.

    Alamat Redaksi:Fakultas Psikologi, Universitas Mercu BuanaKampus Menara BhaktiJl. Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta BaratDKI JakartaEmail: [email protected]: http://www.merpsy.comWeb-2: http://fpsi.mercubuana.ac.idTelp: (021) 5840816, (021) 58903455Fax: (021) 5861906

    Vol1 No2 Maret 2010 1

    REDAKSI

  • Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera buat kita semua.

    Apabila kita mencermati fenomena yang terjadi di sekitar kita, maka kita akan bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir negeri kita cukup sering dihentakkan dengan kejadian-kejadian yang sangat mengiris hati, yang membuat linangan air mata bahkan pelu tak pernah kering. Mulai dari tsunami beberapa tahun silam, gempa bumi di Aceh, Padang dan beberapa kota lainnya, jebolnya Tanggul Situ Gintung, banjir di Karawang dan beberapa kota lainnya. Bahkan tidak ketinggalan, terorisme masih saja terjadi di negara kita tercinta ini. Kondisi yang terjadi menyebabkan berbagai perubahan, mulai dari perubahan status keluarga, kehilangan tempat tinggal, kehilangan anggota keluarga, kehilangan anggota tubuh, bahkan kehilangan mental yang sehat karena peristiwa traumatis yang dialami.

    Dampak yang terjadi pun bervariasi. Ambil contoh, bencana yang terjadi tak pelak menimbulkan rasa kehilangan yang tidak jelas pada seorang anak. Hal ini mengakibatkan anak selalu menunggu dan sering menangis tanpa sebab yang jelas. Seorang anak yang masih berusia dini belum dapat mengungkapkan

    perasaannya dengan bahasa yang jelas ketika mereka ditinggal oleh ayah mereka. Trauma yang anak rasakan lebih diungkapkan dengan bahasa tubuh, seperti sakit atau cengeng.

    Ya, INILAH HIDUP ! Trauma tidak hanya terjadi pada anak usia dini. Trauma juga terjadi pada orang dewasa. Sometime kita berfikir, Apa salahku? Mengapa harus aku yang alami ini? Mengapa harus menjalani hal yang bukan pilihanku? Bukan impianku? Bicara Sabar, mudah. Mengatakan, Ini cobaan, gampang. Tetapi, menjalani..?

    Memang, hanya lewat berbagai problem hidup seseorang terbentuk menjadi kuat, menjadi lebih baik, lebih bijaksana. Namun, ada juga yang kalah ketika dihadapkan dengan ujian hidup. Rasanya kita merasa takut ketika mengalami musibah atau berbagai peristiwa yang mencekam. Marah dapat saja muncul. Namun, jika perasaan seperti ini terus belangsung, hingga aktivitas terganggu, terbawa sampai alam bawah sadar yang termunculkan melalui mimpi, dan terus berlangsung hingga sampai melampaui 6 bulanan....., sesungguhnya, maukah kita? Boleh kiranya kita pertanyakan ke ahlinya, ada apakah dengan diri kita. Apakah kita terserang PTSD?

    PTSD adalah suatu gangguan kecemasan yang dapat berkembang setelah mengalami atau melihat peristiwa yang berbahaya, seperti kecelakaan buruk, perang, terorisme, badai, gempa atau berbagai peristiwa alam lainnya. PTSD membuat seseorang merasa tertekan dan takut setelah bahaya berakhir. Ini memengaruhi kehidupan orang tersebut dan orang-orang di sekitarnya. Lalu, bagaimanakah

    Vol1 No2 Maret 20102

    EDIToRIAL

  • menyikapinya?Tuhan menuliskan surat cinta kepada hamba-Nya bahwa bagi mereka yang mendapatkan pemahaman atas ilmu dari firman-Nya, akan mendapatkan kekuatan dan kesembuhan jiwa. Hal ini berlaku tak terkecuali bagi para korban penderita trauma pasca bencana yang mengalami berbagai reaksi-reaksi ketakutan dan kesedihan. Tuhan melalui Kitab Suci menenangkan jiwa dan hati manusia, menghibur akal pikiran manusia, merupakan kabar gembira yang janji ujian-Nya paling pasti bagi manusia.

    Manusia harus tetap berprasangka baik terhadap diri sendiri dan kepada Tuhannya. Pemahaman tentang tujuan awal dan kesudahan atas segala kejadian dan peristiwa bencana yang ada di dalam bumi dan dalam diri manusia itu sendiri adalah suatu perumpamaan yang menjelaskan bahwa Tuhan Maha Berkuasa menciptakan dan menghancurkan serta menciptakan kembali suatu bentuk permulaan dari kematian atau kehancurannya. Simulasi kematian pada dasarnya kita lakukan setap hari, karena kita tidur pada malam hari (kematian sementara) dan bangun pada

    dini hari (kehidupan kembali). oleh karena itu, kematian lingkungan sosial, fisik, dan mental sebagai akibat berbagai terpaan musibah ataupun ujian bukanlah akhir segalanya yang harus terus kita ratapi hingga tidak memiliki produktivitas hidup.

    Hidup merupakan suatu hal yang sangat berharga dan harus kita terus maknai karena kita pun akan benar-benar akan menyambut kematian yang sesungguhnya seperti anggota keluarga dan kawan yang sudah mendahului kita.

    Bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikat dengan Tuhan, kematian sama sekali tidak menakutkan. Mengapa? Karena dengan berakhirnya episode kematian duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada Tuhan yang selalu dicintai dan dirindukan. Demikianlah menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, seorang Guru Besar Filsafat Islam.

    Sejumlah isu di atas memang kali ini ini menjadi konsen MerPsy. MerPsy peduli untuk memahami PTSD yang terjadi di dalam situasi sosial dan psikologis yang ada.

    Pada penerbitan kedua ini, MerPsy memperkaya sudut pandang dan diskusinya ke dalam beberapa ranah kajian psikologi, seperti psikologi sosial, psikologi agama, psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi komunikasi, bahkan dicerahkan dengan adanya wawancara dengan penulis buku Psikologi Kematian, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.

    MerPsy juga memberikan ruang komunikasi untuk berbagi dengan pakar pada rubrik-rubrik Konsultasi Psikologi Agama, Psikologi Perkembangan, serta Psikologi Kewirausahaan. Selain itu tetap MerPsy memberikan kenyamanan berupa tampilan rubrik fotografi.

    Akhirnya, selamat membaca! Semoga MerPsy dapat menjadi sahabat yang dapat menghadirkan wacana segar yang mengundang pemikiran dan refleksi baru dalam memahami keadaan yang terjadi di sekitar kita.

    Redaksi

    Vol1 No2 Maret 2010 3

    EDIToRIAL

  • Sajian

    1 SuSunan redakSi

    2 editorial

    5 PSikologi Pelayanan PenyintaS Bencana

    137 PSikoSineMa

    156 cerPen

    167 tiPS

    169 PSikologi Biologi

    175 Make uP

    177 FotograFi

    56 PSikologi Bencana

    64 PSikologi SoSial

    72 reFlekSi agaMa : renungan

    78 PSikologi agaMa

    93 PSikologi agaMa: konSultaSi

    102 HuManiora

    110 PSikologi PerkeMBangan: konSultaSi

    116 PSikologi keWirauSaHaan: reFlekSi

    121 PSikologi keWirauSaHaan: konSultaSi

    38 lanSkaPkognitif dan cinta tanah air PtSd

    38

    46

    128 PSikologi koMunikaSi

    Self disclosure keharmonisan Hubungan

    128

    133

    179 tokoHWaWancara Eksklusif dEngan Prof. dr. komaruddin Hidayat

    78 133 179725

    Vol1 No2 Maret 20104

    DAFTAR ISI

  • Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana

    Juneman, S.Psi.

    PengantarIndonesia merupakan negeri yang ra-wan mengalami bencana, baik ben-cana alam maupun bencana konflik sosial. Indonesia rawan mengalami bencana alam, oleh karena: (1) Pertama, secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng tektonis dan jalur gunung api lingkar pasifik serta lintas Asia; disamping itu, Indonesia juga bercurah hujan cukup tinggi, antara 1.000-4.000 milimeter per tahun (Roestam Sjarief, dalam Suara Merdeka, 2007). Menurut Sjarief, 83% wilayah Indonesia rawan bencana alam, dan 98% dari 220 juta warga Indonesia tidak siap menghadapi ancaman bencana. Contoh bencana dalam kategori penyebab ini adalah: tsunami Aceh dan Pangandaran-Yogyakarta;

    rangkaian gempa bumi Tasikmalaya-Yogyakarta-Toli-toli-Padang; (2) Kedua, ulah manusia, yang menyebabkan alam mulai enggan bersahabat dengan kita (Ebiet G. Ade dalam lagu Berita Kepada Kawan), seperti eksploitasi berlebihan terhadap hasil bumi, pembalakan hutan liar, emisi karbondioksida (yang menyebabkan global warming), dsb. Termasuk dalam kategori penyebab ini adalah: Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo. Menurut Prof. Dr. R.P. Koesoemadinata (2007), Bapak Geologi Indonesia, bencana lumpur tersebut disebabkan atau dipicu oleh kelalaian/kegagalan operasi pemboran Banjar Panji-1 oleh P.T. Lapindo Brantas. oleh karena disebabkan oleh ulah manusia, maka, menurut Koesoemadinata, semburan mestinya dapat dihentikan

    Vol1 No2 Maret 2010 5

    UTAMA

  • dengan pemboran relief well. Untuk memahami peta rawan bencana (hazard maps), pembaca dapat mengunduh dokumen Peta Rawan Bencana (2007) melalui tautan http://www.sadisun.enggeol.org/pdf/2007_Hazard_Maps.pdf

    Indonesia juga rawan bencana konflik sosial, oleh karena, menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (2003, antara lain dalam situs web http://www.sarlito.hyperphp.com), mengambil inspirasi dari teori Perilaku Kolektif dari Neil J. Smelser (1963), terdapatnya enam faktor, yakni: (1) ketegangan/keresahan/tekanan (strain) atau deprivasi relatif (Gurr) yang relatif kronis, misalnya: perasaan miskin, diperlakukan diskriminatif, pengangguran, biaya hidup dan pendidikan yang mahal; (2) suasana kondusif, misalnya: pelanggaran yang tidak dihukum, pelipatan oleh media massa, kelompok minoritas yang menyolok mata kelompok mayoritas, dsb; (3) opini/keyakinan publik, misalnya: keyakinan bahwa tindakan masal dapat mengubah situasi sesuai kehendak; syiar atau aktivitas keagamaan yang memperkokoh keyakinan keimanan pemeluknya secara internal, tetapi pada sisi lain, mempertipis keterikatan dengan komunitas lainnya dengan membentuk persepsi adanya ancaman dari satu komunitas atas komunitas lainnya; (4) peluang (sarana dan prasarana) mobilisasi masa, yang

    mencakup kondisi transportasi dan komunikasi yang baik; (5) lemahnya kontrol sosial, misalnya perilaku pemerintah dan aparat keamanan yang tidak profesional dalam menyikapi strain; serta (6) pemicu, yang sulit diterka, dapat terjadi sewaktu-waktu, dan sumbernya sering tidak jelas; misalnya pernyataan politik tertentu, petisi masal, peristiwa pemukulan guru agama oleh oknum polisi (di Tasikmalaya), penusukan tukang becak oleh pemuda China (Solo, 1980), perselisihan antara pengikut almarhum Kyai Asad dan keponakannya (Situbondo). Kerusuhan Sanggau Ledo, di Kalimantan Barat, misalnya, dipicu oleh kecemburuan seorang pemuda Madura, sebab pacarnya diajak menari oleh seorang pemuda Dayak dalam suatu pesta pernikahan (J.E. Wawa, dalam Kompas, 2001). Kecemburuan itu diluapkan dengan menikam pemuda Dayak hingga tewas sehingga menimbulkan kemarahan keluarga korban. Dua atau lebih dari keenam faktor di atas harus saling berinteraksi. Hanya salah satu faktor saja tidak akan menyebabkan bencana konflik.Berikut ini adalah gambar peta konflik kekerasan komunal di Indonesia sepanjang tahun 2006:

    Vol1 No2 Maret 20106

    UTAMA

  • Gambar 1. Peta Konflik Kekerasan Komunal di Indonesia Sepanjang Tahun 2006 (Institut Titian Perdamaian, 2007)

    Memperhatikan kondisi objektif di atas, tidak mengherankan bahwa Pendidikan Tinggi di Indonesia menaruh perhatian dengan ikut berpartisipasi dalam memahami dan mengupayakan intervensi terhadap keseluruhan fase dari siklus bencana (Siklus bencana: lihat Gambar 2. Perhatikan bahwa, misalnya, fase Pasca Bencana harus selalu dilihat dalam konteks kesinambungannya dengan fase Persiapan Bencana selanjutnya). Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan memiliki program studi Magister Manajemen Bencana dan Kegawatdaruratan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta memiliki prodi Magister Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana, bekerjasama dengan ITC Netherlands. Institut Pertanian Bogor dikabarkan menyiapkan lahirnya prodi Magister Manajemen Bencana. Universitas Tarumanagara di Jakarta memiliki prodi Magister Manajemen Bencana. Universitas Indonesia memiliki prodi Magister Psikologi Terapan Trauma dan Bencana (gelar akademik: M.Psi.T.).

    Vol1 No2 Maret 2010 7

    UTAMA

  • Gambar 2. [Atas] The Disaster Cycle versus the Relief to Development Spiral (FAO, 2001); [Bawah] The Conflict Helix as a Coil Moving Upward on a Path of Learning (Rummel, 1979)

    Dalam setiap peristiwa bencana, seringkali terdapat korban jiwa. Frasa korban jiwa dalam bahasa Indonesia ini menarik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Depdiknas, 2001), korban berarti: orang, binatang, dsb, yang menjadi menderita (mati, dsb) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dsb. Penambahan kata jiwa dalam frasa korban jiwa menekankan arti penting jiwa itu sendiri, meskipun badan yang penuh dengan hidup, yang kita sentuh dan rasakan itu, (sesungguhnya)

    sudah merupakan suatu badan yang dijiwai!, yang terstruktur berkat jiwa; dia sudah merupakan keseluruhan manusia dari segi badaniahnya (Leahy, 1996). Mengenai perhatian terhadap jiwa, dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya, kita ketahui juga bahwa Bangunlah jiwanya dikumandangkan lebih dahulu, yang kemudian segera disusul dengan .... bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.

    Sebuah ilmu terbuka (open science) yang mendalami persoalan jiwa adalah Psikologi. Secara etimologis, psikologi berarti ilmu jiwa (psyche = jiwa, logos = ilmu). Ironisnya, di Indonesia, pendekatan psikologis seringkali terabaikan dalam pelayanan kepada korban bencana. Padahal, dari pihak filsafat, kita ketahui bahwa meskipun jiwa tidak dapat dilihat atau diverifikasikan dengan pancaindera, jiwa dianggap sebagai sesuatu yang senyata badan, karena jiwa itu dituntut supaya makhluk hidup dapat dimengerti persis sebagaimana adanya; jiwa merupakan instansi pemimpin yang menunjukkan bahwa dalam keseluruhan kompleks manusia itu terdapat suatu pusat pimpinan, suatu tempat batin di mana semua diputuskan (Leahy, 1996, 2001).

    Berdasar pada latar belakang kenyataan di atas, melalui tulisan ini penulis membahas prinsip-prinsip dan praktik-praktik psikologis yang

    Vol1 No2 Maret 20108

    UTAMA

  • selayaknya benar-benar diperhatikan dan diimplementasikan dalam konteks pelayanan kepada korban jiwa dari bencana. Tanpa perhatian terhadap segi psikologis penyintas bencana, pengabulan penggunaan dana cadangan bencana tahun 2009 sebesar 1,7 trilyun dan pagu anggaran 2010 Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebesar 172,062 milyar oleh Komisi VIII DPR RI (Rabu, 9 September 2009) tidak akan bermakna banyak untuk pemulihan korban jiwa bencana yang masih hidup. Di samping itu, sebagai seorang sarjana psikologi, penulis pun teringat akan ungkapan Dreyfus & Rabinow (1983), bahwa ilmu-ilmu yang menyatakan diri mengkaji kegiatan manusia perlu memperhitungkan kegiatan-kegiatan manusia yang telah memungkinkan lahirnya ilmu-ilmu tersebut. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memperlihatkan kontribusi psikologi untuk kegiatan-kegiatan manusia itu, khusus dalam konteks bencana.

    Sebelum menelaah lebih jauh, penting juga dicatat bahwa penulis selanjutnya menghindari kata korban (victim) dalam tulisan ini. Sebagai gantinya, penulis menggunakan kata penyintas (survivor). Dalam bahasa Inggris (antara lain: Cambridge Advanced Learners Dictionary), victim (kata benda) berarti: someone or something which has been hurt, damaged or killed or has suffered, either because of the actions of someone or

    something else, or because of illness or chance; dan survive (kata sifat) didefinisikan to continue to live or exist, especially after coming close to dying or being destroyed or after being in a difficult or threatening situation. Berdasarkan definisi tersebut, nampak bahwa survive (terus bertahan hidup) memiliki perspektif yang lebih aktif, lebih positif, lebih berdaya, daripada kata victim (yang lebih pasif: ter/disakiti, dirusak, dibunuh, dibuat menderita). Makna survivor lebih daripada sekadar korban yang selamat, korban yang tidak meninggal dunia. Penekanan pemaknaan istilah ini penting untuk memberikan perspektif demi pemulihan psikologis itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Depdiknas, 2001), kata sintas lah yang sepadan dengan kata survive, yang kemudian menjadi akar kata penyintas. Meskipun suatu sumber menyatakan bahwa kata penyintas digulirkan oleh linguis Anton M. Moeliono, namun Ayu Utami (Koran Sindo, 2007) mengungkapkan

    Vol1 No2 Maret 2010 9

    UTAMA

  • bahwa kata penyintas muncul pertama kali pada 2005, bukan dari kalangan ahli sastra maupun ahli linguistik, melainkan berasal dari aktivis LSM dalam konteks bencana.

    Berikut ini, penulis mengupas prinsip-prinsip dan praktik-praktik layanan psikologis kepada penyintas bencana sebagaimana disebutkan di atas.

    Prinsip-Prinsip Pelayanan Psikologis Kepada Penyintas Bencana

    1. Koordinasi, fokus sumberdaya, dan integrasi layanan.Program pelayanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial kepada penyintas bencana yang efektif mensyaratkan koordinasi antarsektor diantara pelaku-pelaku yang beragam. Semua partisipan respons kemanusiaan memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial para penyintas. Koordinasi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial harus mencakup segi-segi kesehatan, pendidikan, perlindungan dan layanan sosial, serta representasi dari komunitas yang terimbas. Koordinasi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial ini juga harus melibatkan sektor pangan, keamanan, tenda (shelter), serta

    air dan sanitasi.

    oleh karena itu, perlu ditetapkan standar dan kebutuhan sehubungan dengan pemulihan psikososial penyintas bencana untuk memastikan adanya kesamaan praktik. Standar ini penting untuk memastikan bahwa ada interoperabilitas diantara badan-badan di pusat serta dengan dan antar daerah, serta menjadi pedoman advokasi dan peningkatan layanan psikososial. Sehubungan dengan hal ini, bukti-bukti ilmiah yang berkenaan dengan layanan kesehatan jiwa dan psikososial yang terbaik dan terefektif masih belum banyak dewasa ini. Kebanyakan riset yang dilakukan dalam area ini dilakukan justru berbulan-bulan atau pun bertahun-tahun setelah berakhirnya fase akut terjadinya bencana. Namun demikian, basis-basis riset mengenai hal ini dan juga basis-basis pengalaman prak-tisi terus berkembang. Guna men-gikutsertakan wawasan-wawasan yang akan terus berkembang, standar-standar tersebut henda-knya diperbarui dan diadaptasikan secara periodik.Bentuklah sebuah kelompok koor-dinasi dan sub-sub kelompok koor-dinasi aksi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial, dan secara bersama mengembangkan

    Vol1 No2 Maret 201010

    UTAMA

  • sebuah rencana yang menunjuk-kan hal-hal yang akan dilakukan beserta siapa pelakunya, apabi-la kelompok semacam itu belum terdapat. Bila sudah ada, gunakan kelompok koordinasi yang ada. Masukkan kedalam kelompok ko-ordinasi itu, bilamana mungkin dan tepat, perwakilan-perwakilan dari pemerintah nasional dan daerah, LSM-LSM, agen-agen PBB, lembaga-lembaga donor, asosiasi-asosiasi profesional dan universitas-universitas, organi-sasi-organisasi religius atau yang berbasis-komunitas, dan gerakan-gerakan Palang Merah/Bulan Sa-bit Merah.

    Populasi lokal yang terkena ben-cana memiliki aset atau sumber-daya yang bersifat mendukung kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial mereka. Kekeliruan umum dalam kerja-kerja keseha-tan jiwa dan kesejahteraan psiko-sosial adalah pengabaian sumber-daya-sumberdaya ini dan hanya berfokus pada defisit (kelemahan, penderitaan, dan patologi) orang-orang yang mengalami bencana. Sumberdaya-sumberdaya terse-but dapat berupa: (1) sumberda-ya individual: kemampuan dalam pemecahan masalah, komunikasi, negosiasi, dan pencarian nafkah; (2) sumberdaya sosial: keluarga, pemerintah lokal, pemimpin-pe-mimpin komunitas, penyembuh-

    penyembuh tradisional, pekerja-pekerja kesehatan komunitas, guru-guru, kelompok-kelompok perempuan, klub-klub anak muda, kelompok-kelompok perenca-na komunitas; (3) sumber daya ekonomi, pendidikan, kesehatan, religius dan spiritual, praktik-praktik kultural. Guna merenca-nakan respons yang tepat terha-dap bencana, maka penting untuk mengetahui sifat sumberdaya-sumberdaya lokal, apakah mereka bersifat membantu ataukah ju-stru berbahaya, dan sejauh mana sumberdaya ini dapat dijangkau. Sejumlah praktik lokal yang terentang dari praktik-praktik kultural tradisional sampai den-gan perawatan dalam panti-panti kustodial dapat saja bersifat merugikan dan dapat melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kendati demikian, prinsipnya ada-lah memaksimalkan partisipasi populasi lokal yang terkena benca-na dalam asesmen, perancangan, implementasi, pemantauan, dan penilaian bantuan, untuk men-umbuhkan rasa memiliki bersama (sense of belonging) terhadap pro-gram-program layanan kesehatan jiwa dan psikososial. Di samping itu, penting diingat bahwa banyak layanan kunci kesehatan jiwa dan psikososial yang seringkali berasal dari komunitas penyintas bencana itu sendiri ketimbang berasal dari pihak-pihak atau badan-badan ek-

    Vol1 No2 Maret 2010 11

    UTAMA

  • sternal.

    Kurangi perbedaan-perbedaan ke-kuatan diantara anggota-anggota kelompok koordinasi, serta fasi-litasi partisipasi dari kelompok-kelompok yang tidak terwakilkan atau kurang memiliki kekuatan/power (misalnya, dengan meng-gunakan bahasa-bahasa lokal serta mempertimbangkan struk-tur dan lokasi pertemuan). Kenali dan selalu sadari bahwa dalam setiap bencana, di samping terda-pat kerugian (misalnya, tergero-gotinya mekanisme dukungan/bantuan yang bersifat tradisional yang dimiliki sebelumnya oleh masyarakat serta tergerogotinya struktur-struktur komunitas), ada pula populasi yang diuntungkan, entah karena kepentingan politik, bisnis bantuan, perbuatan korup-tif, dan sebagainya.

    2. Hindari ego disiplin ilmu.Dalam pelayanan psikologis kepa-da penyintas bencana, kita harus menghindari pandangan bahwa profesi dari disiplin ilmu tertentu lebih otoritatif, lebih berwenang, lebih sahih daripada yang lain. Profesi atau relawan dari disiplin ilmu di luar psikologi dan psikia-tri merupakan sumberdaya yang harus disambut dan dioptimalkan perannya, seperti dari disiplin-disiplin ilmu pendidikan, sosio-logi, kesejahteraan sosial (social

    welfare; lihat paradigma kesejah-teraan sosial melalui http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UINYogyaParadigmaKesos.pdf), studi agama, keperawatan, antropologi kesehatan (lihat pe-ran umum antropologi kesehatan, antara lain melalui tautan http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf), kesehatan masyarakat, ekonomi/manajemen, komunikasi massa, dsb; sepanjang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan beretika. Disiplin-disiplin ini me-miliki kontribusinya yang khas dalam menunjang kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial pe-nyintas bencana.

    Penting diingat, bahwa perilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh Psikologi (Irwanto, 2002)! Berbasiskan pernyataan Irwanto tersebut, disiplin-disiplin yang di-sebutkan di atas dapat dikelom-pokkan juga ke dalam keluarga besar ilmu-ilmu perilaku (beha-vioral sciences). Meskipun profe-si kesehatan jiwa (mental health professional) yang terdiri dari psikiater, psikoterapis, peker-ja sosial klinis, perawat jiwa (li-hat standar praktik keperawatan jiwa, misalnya http://moveamura.wordpress.com/dsm-1v/mhn), konselor kesehatan jiwa, psiko-log klinis, profesi kesehatan jiwa bersertifikasi, dsb seyogianya

    Vol1 No2 Maret 201012

    UTAMA

  • diberikan kewenangan supervisi dalam konteks layanan spesialisa-si psikologis dan psikiatris, namun mereka hanya merupakan bagi-an dari komunitas profesi disiplin ilmu yang lebih luas yang mengad-vokasi dan memberikan intervensi keperilakuan yang tepat terhadap faktor-faktor risiko yang memen-garuhi kesehatan jiwa dan kese-jahteraan psikososial penyintas bencana.

    Misalnya, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, Dr. Ir. Su-ryahadi (September, 2006) me-nyampaikan, Meskipun IPB me-miliki ranah kompetensi utama dalam ilmu pertanian dalam arti luas, namun dengan bertam-bahnya fakultas baru seperti Fa-kultas Ekologi Manusia (FEMA), kini IPB bisa lebih mengembang-kan perhatian pada sisi manu-sianya Ada konsep yang sudah dalam bentuk proposal serta telah diterima oleh LPPM IPB. Proposal itu berisi tentang Penanganan Masalah Tumbuh Kembang Anak Pasca Bencana, dan ini akan den-gan segera direalisasikan dengan melibatkan mahasiswa IPB IPB sangat peduli terhadap masalah perkembangan anak, pasalnya pada situasi bencana, stress dan tekanan pada anak cukup ting-gi. Maka dari itu kita harus cepat menanggulanginya ?

    Dalam sebuah buku yang disun-ting oleh J. Worell dan N.G. John-son (1997) dan diterbitkan oleh American Psychological Associa-tion (APA), Shaping the future of feminist psychology: Education, research, and practice, praktik psikologis telah didefinisikan se-cara luas dengan mencakup kegia-tan-kegiatan yang berhubungan dengan semua wilayah terapan psikologi, seperti: clinical practice and supervision, pedagogy, re-search, scholarly writing, admini-stration, leadership, social policy, and any of the other activities in which psychologists may engage.

    3. Pertimbangan nuansa permasalahan, populasi rentan, dan bentuk layanan.Permasalahan kesehatan jiwa dan psikososial dalam bencana sangat terkait erat, meskipun dapat saja ada nuansa-nuansa beban utama faktual, yang bersifat psikologis atau sosial, seperti hal-hal berikut ini (diperlukan Diagnostik):

    Permasalahan yang sudah ada sebelum terjadi bencana: Permasalahan psikologis

    yang telah ada, misalnya: gangguan jiwa yang berat, penyalahgunaan alkohol.

    Permasalahan sosial yang telah ada, misalnya: kemiskinan, kelompok

    Vol1 No2 Maret 2010 13

    UTAMA

  • terdiskriminasi atau termarginalkan, opresi politis.

    Permasalahan yang merupakan imbasan dari bencana: Permasalahan psikologis

    yang merupakan imbasan bencana, misalnya: duka cita, distress non-patologis; depresi dan gangguan kecemasan, termasuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

    Permasalahan sosial yang merupakan imbasan bencana, misalnya: keterpisahan dari keluarga; terganggunya jejaring sosial; rusaknya struktur-struktur komunitas, sumberdaya-sumberdaya dan kepercayaan (trust); meningkatnya kekerasan berbasiskan jender.

    Permasalahan yang merupakan imbasan dari pemberian bantuan: Permasalahan psikologis

    yang merupakan imbasan pemberian bantuan, misalnya: kecemasan karena kekurangan informasi mengenai distribusi pangan;

    Permasalahan sosial yang merupakan imbasan pemberian bantuan, misalnya: tergerogotinya

    mekanisme dukungan/bantuan yang bersifat tradisional yang dimiliki sebelumnya oleh masyarakat serta tergerogotinya struktur-struktur komunitas.

    Dengan demikian, permasalahan kesehatan jiwa dan psikososial dalam bencana meliputi jauh daripada sekadar pengalaman gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang sering didengung-dengungkan. Dalam situasi bencana, tidak setiap orang memiliki atau pun mengembangkan permasalahan psikologis yang berarti. Banyak orang menunjukkan ketangguhan (resiliensi), yang merupakan kemampuan untuk menghadapi atau menanggulangi situasi-situasi kemalangan secara relatif baik. Terdapat sejumlah faktor sosial, psikologis, dan biologis yang saling berinteraksi serta memengaruhi apakah seseorang mengembangkan permasalahan psikologis ataukah menunjukkan daya tahan dan ketangguhan dalam menghadapi kemalangan.

    Bergantung pada konteks bencana, kelompok atau orang tertentu memiliki kerentanan risiko yang meningkat untuk mengalami permasalahan sosial dan/atau psikologis. Meskipun banyak

    Vol1 No2 Maret 201014

    UTAMA

  • bentuk-bentuk dukungan dan layanan kunci secara umum seyogianya tersedia bagi populasi yang terkena bencana, namun perencanaan yang baik secara spesifik mencakup pula penyediaan layanan-layanan yang relevan terhadap orang-orang yang berisiko lebih tinggi (misalnya pengungsi, anak 0-18 tahun, orang dengan gangguan jiwa berat, orang yang sangat miskin, orang-orang dalam panti asuhan dan panti jompo, aktivis politik dan kaum minoritas etnik, orang dalam tahanan, mantan korban pelanggaran HAM, anak jalanan, dsb), yang butuh diidentifikasi dalam masing-masing krisis spesifik. Pengidentifikasian orang-orang yang rentan/berisiko bukan berarti menunjukkan bahwa mereka adalah korban

    yang pasif. Kendatipun orang-orang tersebut memerlukan layanan/dukungan, seringkali mereka memiliki kapasitas dan jejaring sosial yang memungkinkan mereka untuk berkontribusi terhadap keluarga atau lingkungan mereka dan untuk aktif dalam kehidupan sosial, religius, dan politis.

    Dalam situasi bencana, oleh karena orang-orang terimbas dengan cara yang berbeda-beda, maka dibutuhkan layanan yang berbeda-beda pula. Kunci untuk mengorganisasikan layanan kesehatan jiwa dan psikososial adalah dengan mengembangkan sebuah sistem berlapis dari layanan-layanan yang bersifat komplementaris yang sesuai dengan kebutuhan dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Misalnya, dengan piramida intervensi, dari lapisan bawah ke atas, sebagai berikut:

    Vol1 No2 Maret 2010 15

    UTAMA

  • (1) layanan dasar dan keamanan (makanan, tenda, air, kesehatan dasar, pengendalian penyakit menular); (2) layanan komunitas dan keluarga (pelacakan dan penyatuan kembali keluarga, asistensi terhadap perayaan perkabungan atau penyembuhan komunal, komunikasi massa mengenai metode-metode coping yang konstruktif, program-program parenting yang suportif, aktivitas-aktivitas pendidikan formal dan non-formal, aktivitas-aktivitas mata pencaharian, dan aktivasi jejaring sosial, seperti melalui kelompok-kelompok perempuan dan klub-klub pemuda); (3) layanan terfokus non-spesialistik (contoh: penyintas korban kekerasan berbasis jender sangat mungkin memerlukan layanan majemuk dari para pekerja komunitas, baik layanan yang bersifat emosional maupun yang berkenaan dengan penghidupan/mata pencaharian; (4) layanan spesialistik (misalnya, layanan psikologis dan psikiatris bagi orang-orang dengan gangguan jiwa berat, khususnya bilamana kebutuhan orang-orang ini melampaui kapasitas layanan kesehatan umum).

    4. Perlunya estimasi satuan pembiayaan ekonomi dari kerusakan psikologis.Ingat pesan Menteri Keseha-

    tan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.J.P.(K.), pada Puncak Peringa-tan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) Tahun 2008 di halaman kantor Walikota Bogor, 20 ok-tober 2008, bahwa Kesehatan Jiwa adalah bagian integral dari Kesehatan; tidak ada Kesehatan tanpa Kesehatan Jiwa. Konseku-ensinya, khususnya dalam pedo-man-pedoman dan SoP-SoP yang dikeluarkan oleh badan-badan Pemerintah maupun badan-ba-dan Asuransi, merupakan suatu urgensi untuk menyusun suatu ukuran-ukuran baku-kuantitatif (meskipun tidak selalu mungkin, namun harus senantiasa diupa-yakan) mengenai pengaruh ben-cana terhadap kondisi psikologis penyintas. Sampai dengan saat ini, sejauh penulis ketahui, uku-ran-ukuran kerusakan psikologis (psychological damage) yang dia-kibatkan berbagai jenis bencana, yang elaboratif, akuntabel, dan di-sepakati, belum ada di Indonesia, padahal ini penting untuk menen-tukan jenis perlakuan rehabilitatif, rekonstruktif, dan pemeliharaan yang akurat dan tepat guna, bes-erta rentang-rentang pengangga-rannya. Dalam rangka penyusunan ukuran ini, rujuk antara lain, paper Economic Valuation of Catastrophe Risk: Beyond Expected Losses Paradigms oleh Kobayashi & Yokomatsu (2000).

    Vol1 No2 Maret 201016

    UTAMA

  • Praktik-Praktik Pelayanan Psikologis Kepada Penyintas BencanaSejumlah hal yang sangat penting diperhatikan dalam pelayanan psikologis kepada pelayanan bencana, diinspirasikan oleh Inter-Agency Standing Committee (2007) di Jenewa, adalah sebagai berikut:

    Program asesmen harus men-ghindari pembebanan yang tidak perlu terhadap populasi yang di-sebabkan asesmen yang bersifat ganda, misalnya: konstruk-kon-struk yang sudah diperiksa oleh Departemen Kesehatan kemu-dian diperiksa lagi oleh Depar-temen Sosial, atau sebaliknya. Ingat, bahwa kondisi manusia te-lah mengalami perubahan sete-lah mengalami setiap asesmen! organisasi-organisasi pemberi bantuan hendaknya menginfor-masikan kelompok koordinasi mengenai persoalan-persoalan apa sajakah yang telah di-assess, di manakah dan bilamanakah, serta hendaknya bersiap untuk mengadaptasikan asesmen-ases-men mereka apabila diperlukan, dan membagi informasi itu (mis-alnya, mem-pos/menaruh hasil asesmen di internet dan meny-elenggarakan sesi umpan balik dengan komunitas).

    Populasi yang terimbas bencana hendaknya dilibatkan pula dalam

    mendefinisikan apakah kesejah-teraan (well-being) dan dist-ress itu bagi mereka, apakah problem-problem, sumberdaya-sumberdaya dan solusi-solusi potensial yang terdapat di ling-kungan terjadinya bencana.

    Asesmen berfokus pada identi-fikasi prioritas tindakan, bukan sekadar pengumpulan dan pela-poran data atau informasi.

    Asesmen hendaknya menghin-dari penggunaan istilah-istilah yang dalam konteks kultur lokal dapat memengaruhi stigmatisa-si.

    Prinsip-prinsip etis: privasi, kon-fidensialitas dan kepentingan terbaik dari orang-orang yang diwawancarai harus dihormati. Sejalan dengan prinsip tidak membahayakan/merugikan, perhatian harus diberikan un-tuk menghindarkan harapan-harapan yang tidak realistis yang berkembang selama asesmen (misalnya, para penyintas yang diwawancarai hendaknya men-gerti bahwa asesor mungkin tidak kembali apabila mereka tidak menerima dana yang per-nah dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu kepada mereka).

    Asesmen hendaknya cukup cepat untuk diperoleh hasilnya dalam rangka digunakan secara efektif dalam perencanaan program ke-daruratan. Proses asesmen ter-diri atas dua fase yang dinamis:

    Vol1 No2 Maret 2010 17

    UTAMA

  • (a) Asesmen awal (cepat/rapid) yang berfokus pada pemahaman terhadap pengalaman-pengala-man dan situasi saat itu dari po-pulasi yang mengalami bencana, beserta kapasitas komunitas dan organisasional, serta kesenjan-gan-kesenjangan dalam perenca-naan. Normalnya, ini dilakukan dalam 1-2 minggu; (b) Asesmen rinci: asesmen yang lebih ketat yang dilakukan untuk memeriksa persoalan yang beragam yang di-sajikan dalam informasi kunci di atas, yang dilakukan ketika situa-si darurat berkembang.

    Pemantauan dan evaluasi hendaknya berbasiskan pen-dekatan partisipatoris. Hal ini berarti bahwa komunitas-komu-nitas yang terimbas bencana hendaknya berpartisipasi pada jangkauan maksimum dalam se-mua aspek proses pemantauan dan evaluasi, termasuk diskusi mengenai hasil-hasil dan impli-kasi-implikasinya.

    Indikator-indikator proses, ke-puasan dan keluaran pelayanan kesehatan jiwa dan kesejahte-raan psikososial hendaknya diru-muskan bersama secara konsis-ten dengan tujuan-tujuan yang telah didefinisikan sebelumnya. Indikator-indikator hendaknya bersifat SMART (Specific = spesi-fik, Measurable = Terukur, Achie-vable = Dapat Diraih, Relevant = relevan, dan Time-bound = me-miliki rentang waktu).

    Data kuantitatif hendaknya di-lengkapi dengan data kualitatif yang relevan (misalnya, kesaksi-an-kesaksian dari pengalaman-pengalaman penyintas bencana mengenai intervensi).

    Hormati hak para penyintas akan konfidensialitas (kerahasiaan) dan akan persetujuan (informed consent), termasuk hak untuk menolak treatment.

    Advokasi dan berikan nasihat spesifik untuk membawa legis-lasi, kebijakan dan program-program nasional yang relevan untuk sejalan dengan standar-standar HAM internasional dan meningkatkan kepatuhan ter-hadap standar-standar ini oleh badan-badan pemerintah (in-stitusi-institusi, polisi, tentara, dsb).

    Problem-problem perlindungan semacam itu menghasilkan penderitaan langsung serta dapat bertentangan dengan pembangunan kembali jejaring sosial serta rasa kebersamaan (sense of community), dalam hal mana keduanya semestinya mendukung kesejahteraan psikososial. Kedaruratan mungkin juga mempertajam perbedaan dalam kekuasaan diantara populasi yang terpengaruh, meningkatkan kerentanan dari orang-orang yang sebelumnya telah termarjinalkan.

    Perlindungan mensyaratkan baik

    Vol1 No2 Maret 201018

    UTAMA

  • mekanisme hukum maupun sosial. Perlindungan hukum (legal protection) memerlukan pengaplikasian instrumen-instrumen HAM internasional, hukum-hukum nasional dan internasional. Perlindungan sosial (social protection) berlangsung sebagian besar melalui pengaktifan dan pemerkuatan jejaring sosial dan mekanisme komunitas dalam mengurangi risiko serta memenuhi kebutuhan yang bersifat segera.

    Identifikasikan dalam suatu rentang berbagai setting (misalnya, kamp-kamp, rute-rute yang dilalui oleh orang-orang yang mengumpulkan air atau kayu bakar, tempat-tempat pendidikan non-formal, pasar-pasar) ancaman-ancaman perlindungan, seperti kekerasan berbasis jender, penyerangan terhadap warga sipil, pemindahan paksa, penculikan, rekrutmen kaum minoritas, perdagangan orang (trafficking), eksploitasi, perburuhan yang berbahaya/berisiko, ranjau-ranjau, paparan terhadap HIV/AIDS dan pengabaian terhadap orang-orang dalam panti-panti. Namun demikian, hindari menggunakan pendekatan daftar-cek (checklist approach), yang dapat membutakan para asesor akan ancaman-ancaman

    perlindungan yang lain atau yang baru muncul.

    Hindari untuk menjadikan target tunggal atau menargetkan secara spesifik sub-sub kelompok tertentu untuk diberikan asistensi/bantuan, kecuali hal ini penting untuk mencegah terjadinya bahaya lebih jauh. Layanan yang terintegrasi (integrated support) adalah lebih baik, untuk membantu mengurangi diskriminasi dan dapat membangun keterhubungan sosial (social connectedness). Sebagai contoh, pertimbangkan untuk menyediakan bantuan bagi kelompok-kelompok perempuan secara umum, ketimbang pengkhususan/pemilahan perlakuan (yang dapat menimbulkan stigmatisasi) kelompok-kelompok perempuan yang secara khusus mengalami perkosaan.

    Tetapkan prosedur-prosedur yang berkenaan dengan akses media oleh orang-orang yang berada dalam risiko, dengan menyadari bahwa atensi/perhatian media dapat menimbulkan (a) pembalasan dendam terhadap para penyintas perkosaan; (b) distres yang berkaitan dengan pelanggaran konfidensialitas, wawancara berganda atau penggunaan pertanyaan-pertanyaan yang

    Vol1 No2 Maret 2010 19

    UTAMA

  • tidak tepat; dan (c) stigma yang disebabkan karena pengkhususan.

    Kenali bahwa pada sejumlah situasi, mekanisme-mekanisme resmi/ofisial seperti kepolisian merupakan tempat-tempat yang tepat untuk pelaporan, sementara dalam situasi yang lain, pelaporan kepada kepolisian dapat menciptakan risiko bahaya.

    Identifikasikan dan dukung mekanisme-mekanisme yang mengakhiri pembebasan (impunitas) bagi para pelaku kejahatan serta menuntut tanggung jawab/akuntabilitas tindakan para pelaku kejahatan tersebut. Hal ini mencakup pengakuan bahwa keadilan punitif (yang bersifat menghukum) tidak selalu harus diberlakukan dalam rangka penyembuhan level-komunitas atau sistem keadilan restoratif berbasiskan komunitas yang konsisten dengan standar-standar hukum internasional, serta bahwa hal tersebut hendaknya membawa kepada pemaafan dan rekonsiliasi (misalnya, pembebasan anak dan para kombatan yang rentan secara aman, penelusuran jejak dan reunifikasi, serta promosi langkah-langkah awal dalam proses reintegrasi).

    Lakukan advokasi dengan

    cara yang menghormati konfidensialitas, martabat dan integritas, dan yang menghindari distres lebih jauh. Pemajangan/pemertontonan publik mengenai wajah-wajah para penyintas, sekalipun untuk mengomunikasikan informasi mengenai upaya-upaya kemanusiaan, dapat bersifat menghina atau merendahkan. Hindari gambar-gambar dan citra-citra yang mempertontonkan penderitaan yang berat dan nyata, atau yang memperkuat rasa pengkorbanan (sense of victimization) terhadap para penyintas.

    Kenali kebutuhan akan sistem rujukan perlindungan hukum bagi orang-orang yang ditemui dalam layanan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan Psikososial. Sebagai contoh, penyintas

    Vol1 No2 Maret 201020

    UTAMA

  • kekerasan seksual seringkali menerima layanan medis dan psikososial, namun mungkin berlanjut untuk berada atau merasa dalam bahaya dan tidak dapat sembuh secara penuh apabila mereka mengetahui bahwa pelaku kejahatan tidak akan dihukum.

    Distres yang dialami oleh populasi yang terpengaruh bencana dapat menjadi semakin diperburuk oleh arus masuk para pekerja kemanusiaan apabila para aktor kemanusiaan tersebut tidak memiliki kompetensi teknis atau mereka tidak mampu untuk menangani stres-stres yang diprediksi muncul dari pemberian bantuan. Staf lokal dan para sukarelawan mungkin mengenal dengan baik kultur-kultur dan tradisi-tradisi lokal, namun masih dapat terdapat

    perbedaan-perbedaan sosio-kultural, seperti misalnya antara populasi perkotaan dan pedesaan dan antar kelompok-kelompok etnis.

    Terdapat prinsip-prinsip yang hendaknya diikuti dalam pengelolaan pekerja kemanusiaan. Tujuan dari rekrutmen adalah untuk memperoleh orang yang tepat (staf dan sukarelawan) pada tempat yang tepat pada saat yang tepat. Pada kebanyakan situasi darurat, hal ini merupakan tantangan yang hebat, dan kompetisi untuk memperoleh staf lokal merupakan hal yang biasa.

    Tunjuk personil-personil yang mengetahui dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan rekrutmen. Personil tersebut hendaknya mengerti persyaratan minimum kesehatan dan kesehatan jiwa bagi penugasan berisiko tinggi dan berstres tinggi (berdasarkan pengalaman organisasi sendiri dan agen-agen serupa).

    Cegah atau kurangi kabur/mengalir keluarnya tenaga ahli (brain drain) dari organisasi lokal sampai dengan internasional. Pelaku-pelaku kemanusiaan internasional hendaknya (a) berkolaborasi dengan pelaku-pelaku lokal untuk menyelenggarakan tugas-tugas

    Vol1 No2 Maret 2010 21

    UTAMA

  • peredaan/penenangan yang esensial, mengurangi kebutuhan untuk mempekerjakan jumlah yang besar dari staf organisasi internasional; serta (b) menghindari untuk menawarkan gaji yang sangat besar yang membuat staf lokal meninggalkan organisasi-organisasi yang telah bekerja di wilayah tersebut.

    Ketika mempekerjakan para profesional, periksa kualifikasi formal (bukti kelengkapan pelatihan profesional, bukti keanggotaan organisasi profesional).

    Apabila waktu memungkinkan, periksa rekam jejak kriminal. Pertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Dalam situasi-situasi represi politis, orang-orang mungkin memiliki rekam jejak bahwa dirinya telah ditahan tanpa melakukan kejahatan apapun; (2) Jangan mempekerjakan orang-orang yang memiliki sejarah melakukan jenis kekerasan apapun. Perkecualian dengan sengaja dapat diberikan dalam kasus mantan pejuang/tentara, dengan tujuan untuk mempromosikan reintegrasi mereka kedalam masyarakat.

    Secara berhati-hati, evaluasi penawaran bantuan dari para profesional kesehatan jiwa asing individual (non-afiliasi). Para pekerja kesehatan jiwa asing yang memiliki niat yang baik

    (yang tidak berafiliasi kepada organisasi apapun) hendaknya dihindari dan dijaga agar mereka tidak melakukan perjalanan ke wilayah terpengaruh bencana, kecuali mereka memenuhi kriteria, antara lain: (1) Mereka memiliki kompetensi dasar dalam sejumlah intervensi ; (2) Mereka memiliki pemahaman mengenai psikologi komunitas atau prinsip-prinsip kesehatan publik; (3) Mereka diundang untuk bekerja sebagai bagian dari suatu organisasi yang berkemungkinan memelihara kehadiran komunitas yang berkelanjutan dalam wilayah kedaruratan; (4) Mereka tidak memfokuskan kerja mereka pada implementasi intervensi oleh diri mereka sendiri (misalnya, dalam pekerjaan klinis), melainkan memberikan layanan kepada program-program pada level yang bersifat umum/general, yang mencakup transfer keahlian kepada staf lokal, sedemikian sehingga intervensi-intervensi dan layanan-layanan diimplementasikan oleh staf lokal.

    Keberadaan kode etik atau standar etis yang disepakati tidak dengan sendirinya mencegah penyelewengan atau eksploitasi. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa semua staf dan komunitas diinformasikan mengenai

    Vol1 No2 Maret 201022

    UTAMA

  • standar-standar dan bahwa mereka mengerti relevansi dan aplikasi standar-standar tersebut. Harus terdapat budaya organisasi yang mendukung dan melindungi para pengungkap fakta (whistle-blowers) dan yang mematuhi mekanisme-mekanisme yang aksesibel dan terpercaya melalui mana orang-orang, termasuk mereka yang paling terisolasi dan/atau paling rentan (dan dengan demikian paling berisiko terhadap bahaya), dapat melaporkan persoalan-persoalan secara rahasia.

    Berikan tindakan disiplin yang tepat terhadap staf yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

    Pelihara rekam jejak tertulis dari para pekerja yang telah ditemukan melakukan pelanggaran kode etik, guna meningkatkan efektivitas dari perujukan atau rekrutmen berikutnya.

    Para pekerja pemberi bantuan nasional dan internasional memainkan sebuah peran kunci dalam penyelenggaraan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan Psikososial dalam situasi darurat. Dalam rangka itu, dipersyaratkan bahwa semua pekerja memiliki pengetahuan dan keahlian yang penting/dibutuhkan. Pelatihan hendaknya mempersiapkan para

    pekerja untuk menyediakan respons-respons kedaruratan yang diidentifikasikan dalam asesmen kebutuhan

    Meskipun isi pelatihan akan me-miliki sejumlah keserupaan lintas situasi darurat yang beragam, isi pelatihan ini wajib dimodifikasi sesuai dengan kultur, konteks, kebutuhan dan kapasitas dari tiap-tiap situasi, dan tidak dapat ditransfer secara otomatis dari satu situasi darurat ke situasi lainnya. Keputusan-keputusan mengenai siapa yang berpar-tisipasi dalam pelatihan serta mengenai modus, isi dan me-todologi pembelajaran adalah bervariasi bergantung kepada kondisi-kondisi kedaruratan dan kapasitas-kapasitas dari para pe-kerja. Pekerja yang tidak terlatih serta tanpa sikap dan motivasi yang tepat dapat membahaya-kan populasi yang dibantu.

    Seminar-seminar pelatihan hendaknya partisipatoris, hendaknya diadaptasikan pada kultur dan konteks lokal, serta hendaknya menggunakan mo-del-model pembelajaran dalam hal mana para peserta berfungsi baik sebagai pelajar (learner) maupun pembelajar (educator).

    Gunakan gaya pengajaran parti-sipatoris (misalnya, permainan peran, dialog, drama, pemeca-han masalah kelompok, dan se-bagainya) yang melibatkan parti-

    Vol1 No2 Maret 2010 23

    UTAMA

  • sipasi trainee secara aktif. Di samping kelas-kelas teoritis,

    gunakan pelatihan berbasis-la-pangan yang bersifat praktis dan langsung guna mempraktikkan keahlian di lokasi yang berada dalam atau menyerupai wilayah yang terkena bencana.

    Setelah tiap-tiap pelatihan, ten-tukan sistem tindak lanjut untuk pemantauan, layanan, umpan balik dan supervisi terhadap se-mua trainee, sepanjang tepat terhadap situasinya.

    Anggota-anggota staf yang be-kerja dalam situasi darurat cen-derung untuk bekerja dalam ba-nyak jam di bawah tekanan serta dalam kendala keamanan yang sulit. Banyak pekerja pemberi bantuan mengalami dukungan manajerial dan organisasional yang tidak memadai, dan me-reka cenderung melaporkan hal ini sebagai stresor terbesar bagi mereka.

    Lebih dari itu, konfrontasi-konfrontasi dengan kengerian, bahaya, dan kesengsaraan ma-nusia secara emosional bersi-fat menuntut (demanding) dan secara potensial memengaruhi Kesehatan Jiwa dan Kesejahte-raan Psikososial dari para suka-relawan maupun para pekerja, baik untuk mereka yang berasal dari wilayah/region/negara yang terpengaruh bencana maupun dari luar negeri.

    Implementasikan kebijakan layanan staf organisasi, terma-suk penyediaan relaksasi dan penyembuhan (R & R = rest and recuperation).

    Latih sejumlah staf dalam meny-ediakan dukungan sejawat, ter-masuk manajemen stres umum dan pertolongan pertama yang bersifat psikologis (PFA = psycho-logical first aid) dasar.

    Jamin back-up spesialis dan sen-antiasa siap sedia bagi keluhan-keluhan psikiatris yang bersifat mendesak dalam staf (misalnya, perasaan-perasaan bunuh diri, psikosis, depresi berat dan reak-si-reaksi kecemasan akut yang memengaruhi fungsi sehari-hari, kehilangan kontrol emosional yang signifikan, dan sebagainya). Pertimbangkan pengaruh dari stigma terhadap kemauan staf untuk mengakses bantuan kese-hatan jiwa serta sesuaikan du-kungan back-up seturut dengan hal tersebut (misalnya, staf inter-nasional mungkin takut bahwa mereka akan dikirim pulang ke negara mereka apabila mereka mencari bantuan).

    Dalam komunitas cenderung ada banyak sub-sub kelompok yang berbeda-beda kebutuhannya dan sering saling bersaing untuk memengaruhi dan mempero-leh kekuasaan. Agar komunitas dapat berperanserta sungguh-sungguh, diperlukan pemaha-

    Vol1 No2 Maret 201024

    UTAMA

  • man akan struktur kekuasaan setempat dan pola-pola konflik komunitas, bagaimana beker-ja dengan sub-kelompok yang berbeda-beda dan menghindari menganakemaskan kelompok-kelompok tertentu.

    Proses eksternal sering mendo-rong komunitas menyesuaikan diri dengan agenda organisasi pemberi bantuan. Ini adalah suatu masalah sendiri, terutama saat pekerja kemanusiaan dari luar bekerja secara tidak terkoor-dinasi. Misalnya, setahun setelah tsunami 2004 di Asia Tenggara, suatu komunitas yang terdiri dari 50 keluarga di utara Sri Lanka, yang diwawancara dalam suatu survey psikososial dari rumah ke rumah, mengidentifikasi ada 27 LSM berbeda yang menawarkan atau memberikan bantuan. Salah

    satu yang diwawancarai menga-takan: Kami tidak pernah memi-liki ketua disini. Sebagian besar orang yang ada adalah saudara. Kalau ada yang mempunyai ma-salah, para tetangga datang me-nolong. Tapi sekarang beberapa orang bertindak seolah mereka adalah pemimpin, untuk mene-gosiasikan donasi. Para saudara ini tidak lagi saling menolong.

    Contoh di atas menunjukkan efek merusak bila peran serta komunitas dalam tingkat tinggi dipermudah oleh adanya agensi atau badan yang datang dengan membawa agenda tawaran bantuan sendiri, namun agensi itu tidak mempunyai ikatan kuat atau pemahaman tentang komunitas tersebut. oleh karena itu penting untuk menciptakan kondisi dimana komunitas

    Vol1 No2 Maret 2010 25

    UTAMA

  • mengorganisasi tindakan bantuan sendiri, ketimbang mendorong komunitas mengikuti agenda dari luar.

    Pendekatan bantu-diri (self-help) menjadi pendekatan penting dalam situasi bencana karena dengan mengendalikan sendiri berbagai aspek kehidupannya, maka kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial penyintas akan terpacu.

    Stres kolektif yang dialami penyintas bencana seringkali dapat dikurangi dengan melakukan kegiatan budaya, spiritual dan keagamaan yang tepat. Kematian atau upacara penguburan dapat mengurangi stress dan membebaskan kesedihan dan rasa duka. Di beberapa tempat, upacara kebersihan dan penyembuhan dapat membantu pemulihan dan reintegrasi. Bagi masyarakat yang amat religius, keyakinan atau kegiatan seperti berdoa membantu dan memberi makna akan situasi yang sulit. Memahami dan memberdayakan atau membantu kegiatan penyembuhan secara budaya dapat meningkatkan kesejahteraan psikososial bagi banyak penyintas. Mengabaikan kegiatan penyembuhan semacam itu dapat memperpanjang stres dan mungkin merugikan bila menepiskan cara pengatasan

    masalah yang berpendekatan budaya. Dalam beberapa konteks, bekerja dengan pimpinan agama dan SDM lain merupakan bagian penting dari bantuan psikososial dalam situasi darurat.

    Keterlibatan dalam agama setempat atau budayanya sering mendorong para pekerja pemulihan yang berasal dari luar untuk mempertimbangkan pandangan orang setempat yang amat berbeda dari pandangan mereka sendiri. Karena beberapa kegiatan lokal dapat merugikan (misalnya, dalam konteks dimana spiritualitas dan agama dipolitisasi), para pekerja kemanusiaan harus berpikir kritis dan membantu kegiatan lokal dan sumberdayanya bila kegiatan itu cocok dengan standar internasional tentang HAM.

    Masa kanak-kanak (0-8 tahun) adalah periode paling penting dalam kehidupan manusia bagi perkembangan kognitif, sosial dan emosional. Selama masa ini, bagian otak yang penting berkembang pesat dan bergantung pada perlindungan, stimulasi dan perawatan ekstensif.

    Kehilangan pada masa kanak-kanak (misalnya kematian orangtua), menyaksikan kekerasan fisik atau seksual, dan kejadian menakutkan

    Vol1 No2 Maret 201026

    UTAMA

  • lainnya dalam bencana alam maupun konflik sosial dapat mengacaukan perkembangan dan melemahkan perkembangan sosial dan emosionalnya dalam jangka panjang. Namun, seba-gian besar anak pulih dari pen-galaman semacam itu, terutama bila mereka diberi bantuan dan pengasuhan tepat.

    Jaga anak-anak bersama ibu, ayah, keluarganya atau pengasuh lain yang dikenal. Bantulah pen-gaturan alternatif pengasuhan. Dalam situasi krisis dimana tidak tersedia pilihan lain dalam masa-lah pengasuhan, mungkin perlu untuk mengelola pusat peng-asuhan sementara untuk melin-dungi anak yang terpisah hingga ada solusi jangka panjang. Sam-bil menunggu disatukan kembali dengan keluarganya, anak yang terpisah dapat diasuh orang atau keluarga yang dapat mem-berikan pengasuhan memadai dan perlindungan. Panti asuhan harus dipandang sebagai tempat terakhir.

    Dorong keberlanjutan menyusui. Menyusui adalah kegiatan optimal bagi perkembangan fisik, psikososial dan kognitif bayi dan anak. Menyusui mendorong perkembangan kognitif anak, membuat anak merasa nyaman, dan memperkuat ikatan ibu dan anak, dan mudah dilakukan, bebas dan biasanya sangat aman.

    oleh karenanya: (1) Dorong kegiatan menyusui melalui dialog perorangan dan dengan masyarakat; (2) Hindari tekanan berlebihan bagi ibu menyusui. Ibu yang menolak menyusui, yang mengalami kesulitan atau tidak dapat menyusui harus menerima bantuan memadai.

    Berikan bantuan agar anak dapat bermain, mendapat pengasuhan dengan kasih sayang dan dukungan sosial.

    Para pengasuh hendaknya bertemu secara periodik di sebuah tempat yang aman untuk membahas persoalan dan saling membantu

    Staf kesehatan umum harus mengetahui bagaimana melindungi dan mendorong hak pasien akan martabatnya melalui pemberian persetujuan, kerahasiaan dan privasi.

    Staf kesehatan umum harus mampu memberi pertolongan psikologis pertama (PFA = psychological first aid) kepada pasien sebagai bagian dari perawatan.

    Banyak orang mengalami stres mental akut setelah dihadapkan pada kejadian yang menimbulkan stres berat, dan mereka ini paling baik mendapat bantuan yang tidak menggunakan obat-obatan. Semua pekerja pemberi bantuan dan terutama pekerja kesehatan, harus mampu memberikan

    Vol1 No2 Maret 2010 27

    UTAMA

  • Pertolongan Psikologis Pertama (PFA) yang sangat mendasar, yang sering disalahartikan sebagai intervensi psikiatris klinis atau darurat. Sebenarnya, PFA adalah gambaran respons yang suportif dan manusiawi kepada orang yang menderita dan butuh bantuan. PFA sangat berbeda dari wawancara psikologis. PFA tidak selalu berisi pembahasan akan suatu kejadian yang menye-babkan distress. PFA mencakup: Melindungi penyintas

    bencana dari penderitaan lebih dalam (dalam sejumlah kecil situasi, orang yang sangat tertekan akan mengambil keputusan yang membuat mereka berisiko mengalami penderitaan lebih dalam). Bila dirasa tepat, beritahukan

    kepada penyintas yang sedang tertekan itu, hak mereka untuk menolak membicarakan kejadian dengan pekerja bantuan (lainnya) atau dengan reporter.

    Beri kesempatan kepada penyintas untuk membicarakan kejadiannya dengan bebas. Hormati ke-inginan mereka untuk tutup mulut, dan jangan mende-sak mereka untuk mendapat informasi lebih dalam dari yang ingin disampaikan oleh penyintas itu.

    Dengarkan dengan sabar, dengan cara penuh penerimaan dan tidak menilai.

    Tunjukkan perhatian yang tulus

    Identifikasi kebutuhan dasar dan pastikan bahwa kebutuhan itu terpenuhi.

    Tanyakan apa yang dikhawatirkan dan berusahalah mengatasinya.

    Tidak mendorong cara-cara negatif menghadapi masa-lah. Utamanya, jangan men-dorong cara menghadapi masalah melalui pengguna-an alkohol dan zat-zat lain. Jelaskan bahwa orang yang sedang amat tertekan berisi-ko tinggi mengalami masalah penggunaan napza.

    Vol1 No2 Maret 201028

    UTAMA

  • Dorong peran serta dalam rutinitas normal sehari-hari (bila mungkin) dan meng-gunakan cara positif men-ghadapi masalah (misalnya metode relaksasi yang tepat secara kultural, mendapat akses bantuan kultural dan spiritual).

    Dorong, namun tidak me-maksa, adanya pendamping yang berasal dari satu atau lebih anggota keluarga atau teman penyintas.

    Bila perlu, tawarkan kemun-gkinan kembali untuk men-dapatkan bantuan lebih in-tensif.

    Bila perlu, rujuk ke mekanis-me bantuan yang tersedia di lingkungan sekitar atau ke klinisi terlatih.

    Sudah diperkirakan bahwa dalam situasi bencana, rata-rata persentase penyandang gangguan jiwa parah (misalnya, psikosis dan gangguan suasana hati yang parah dan kecemasan) bertambah satu persen melebihi data dasar yang sebesar 2 sampai 3 persen. Selain itu, persentase penyandang gangguan jiwa ringan atau sedang, termasuk gangguan suasana hati dan kecemasan (seperti gangguan stres pasca trauma) dapat meningkat 5 sampai 10 persen di atas perkiraan data dasar sebesar 10 persen. Pada umumnya

    proses penyembuhan bagi para penyintas dari gangguan jiwa ringan dan sedang, berlangsung seiring dengan berjalannya waktu (sembuh sendiri tanpa intervensi dari luar), namun memang tidak semua terjadi demikian.

    Gangguan jiwa parah yang dialami penyintas boleh jadi merupakan gangguan yang telah dialami sebelum bencana atau terpicu situasi darurat bencana. Mereka yang mengalami gangguan jiwa pertama kali akan datang ke layanan kesehatan utama (PHC = primary health care) untuk mencari bantuan atas keluhan somatis yang secara medis tidak dapat dijelaskan. Namun, orang dengan gangguan jiwa parah barangkali tidak sanggup mencari bantuan karena masalah isolasi, stigma, ketakutan, pengabaian diri sendiri, ketidakmampuan dan akses yang buruk. Mereka menjadi amat rentan, baik karena gangguannya parah maupun karena situasi darurat yang terjadi menjauhkan mereka dari bantuan sosial yang sebelumnya telah diperoleh. Dalam situasi normal saja, keluarga seringkali merasa tertekan dan mendapat stigma oleh beban perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Situasi ini membuat penyandang

    Vol1 No2 Maret 2010 29

    UTAMA

  • itu berisiko lebih tinggi untuk ditinggalkan dalam situasi darurat yang memerlukan perpindahan tempat. Namun jika telah teridentifikasi, maka dapat diambil langkah-langkah perlindungan dan pemulihan segera, dan membantu mereka yang selama ini merawat. Perlu ada prioritas bagi mereka yang menyandang risiko besar untuk bertahan hidup atau yang tinggal di tempat dimana martabat dan hak asasi mereka diremehkan, atau dimana minim dukungan sosial dan anggota keluarga berjuang mengatasi masalahnya.

    Beberapa gangguan jiwa dapat efektif ditangani oleh intervensi psikologis saja, dan tidak perlu menggunakan pengobatan kecuali bila intervensi psikologis tidak tersedia atau gagal.

    Usahakan menghindari terben-tuknya layanan kesehatan jiwa yang terfokus pada diagnosa khusus tertentu (misalnya PTSD = Post-Traumatic Stress Disorder) atau pada kelompok kecil (mi-salnya para janda). Hal ini ber-potensi berakibat pada layanan yang mengelompok, yang tidak berkelanjutan, dan pengabaian yang terus menerus terhadap mereka yang tidak sesuai den-gan kategori diagnostik tertentu atau kelompok tertentu. Cara ini juga mungkin akan mengakiba-

    tkan pelabelan dan stigmatisasi pada mereka, termasuk pada ke-lompok jangkauan yang menjadi target ke populasi lebih luas (se-perti klinik jangkauan bagi anak-anak di sekolah) sebagai bagian dari layanan terpadu.

    Penyandang gangguan jiwa pa-rah sering mendapat stigma dan prasangka, yang berakibat pada pengabaian, ditinggalkan dan pelanggaran hak asasi. Tinggal dalam institusi atau panti mem-buat mereka jauh dari perlin-dungan dan bantuan keluarga, yang barangkali amat perlu bagi mereka untuk bertahan dalam si-tuasi genting. Beberapa penyan-dang gangguan jiwa parah yang tinggal dalam panti (amat) ber-gantung pada perawatan dari panti, agar dapat mudah pindah ke tempat lain selama benca-na. Ketergantungan total pada perawatan dari lembaga dapat menimbulkan kecemasan lebih dalam, pergolakan dan tindak pengucilan diri total. Kesulitan dalam memberikan reaksi tepat terhadap situasi darurat yang ce-pat berubah-ubah dapat mem-batasi mekanisme perlindungan diri dan bertahan hidup.

    Para pekerja profesional setem-pat seharusnya membimbing mereka berespons terhadap si-tuasi darurat bilamana mungkin. Intervensi yang diberikan harus

    Vol1 No2 Maret 201030

    UTAMA

  • terpusat pada perlindungan dan diterapkannya lagi perawatan yang sebelumnya sudah ada (existing) sebelum bencana. Na-mun, apabila sistem perawatan sebelumnya berada di bawah standar, maka intervensi daru-rat harus terfokus bukan pada membangun kembali perawatan seperti semula, melainkan pada upaya memenuhi standar mini-mum, bahkan lebih baik, secara umum dan standar praktek pe-rawatan psikiatri. Pada banyak negara, segera setelah fase terburuk dari bencana berlalu, layanan kesehatan jiwa komuni-tas memberikan intervensi yang layak.

    Perawatan kesehatan jiwa secara medis (istilah yang dipakai untuk menjelaskan perawatan keseha-tan jiwa model Barat yang kon-vensional dan bersifat biomedis) cenderung berpusat pada rumah sakit, klinik, namun makin lama makin banyak bersandar pada komunitas.

    Layanan perawatan kesehatan jiwa ini diberikan staf terlatih dalam bidang pengobatan, ilmu keperilakuan dan psikoterapi for-mal atau pekerja sosial. Namun, semua anggota masyarakat ter-masuk kelompok non medis, se-perti sistem penyembuhan yang terdapat dalam lingkungan se-tempat, yang sifatnya informal,

    tradisional, indigenous (ulayat, keperibumian), baik yang bersi-fat melengkapi atau yang meru-pakan alternatif dari perawatan kesehatan, juga bermakna besar.

    Sebagai contoh, di India, Ayur-deva adalah sistem pengobatan tradisional, yang populer dan berkembang baik (termasuk para dokter yang melatih praktisi), se-mentara di Afrika Selatan, posi-si para penyembuh tradisional diakui secara hukum. Di masya-rakat Barat, banyak orang meng-gunakan obat pelengkap, terma-suk psikoterapi non-ortodok dan penanganan lain (akupuntur, ho-meopathi, penyembuhan berba-sis keyakinan, dan berbagai ma-cam pengobatan mandiri lain), meskipun bukti ilmiahnya masih sangat lemah. Di banyak masya-rakat pinggir kota, di kalangan mereka yang berpenghasilan rendah, sistem informal dan tra-disional seolah merupakan cara pokok mendapatkan perawatan kesehatan.

    Bahkan ketika layanan kesehatan medis telah tersedia, masyarakat setempat lebih suka menggu-nakan layanan kesehatan di wi-layahnya yang bersifat tradisio-nal bila ada masalah kesehatan jiwa dan fisik. Layanan semacam itu memang lebih murah, lebih mudah diperoleh, juga mungkin lebih dapat diterima secara so-

    Vol1 No2 Maret 2010 31

    UTAMA

  • sial dan tidak mengakibatkan ada stigma, dan dalam beberapa ka-sus tertentu, kemungkinan juga efektif. Seringkali layanan kese-hatan setempat ini mengguna-kan pendekatan sebab-akibat yang dapat diterima masyarakat setempat. Contoh kegiatannya antara lain penyembuhan yang dilakukan tokoh agama, dengan menggunakan doa-doa atau mantra; para penyembuh spesia-lis yang diijinkan komunitas aga-ma dengan menggunakan me-tode serupa; atau penyembuhan oleh penyembuh khusus yang bergerak dalam kerangka budaya setempat. Mereka ini mungkin menggunakan herbal atau zat alami lain, pijat atau kegiatan fi-sik lain, ritual tertentu dan atau sihir, serta ritual yang melibatkan roh-roh.

    Meskipun beberapa tokoh aga-ma barangkali tidak menghukum atau secara aktif melarang kegia-tan tersebut, para penyembuh lokal seringkali populer dan ka-dang juga berhasil menyembu-hkan. Dalam beberapa budaya, keyakinan dan praktik kesem-buhan ini bercampur dengan kelompok agama besar. Selain itu, farmasi setempat barangkali menyediakan layanan kesehatan dengan menggunakan pengoba-tan medis dan tradisional sekali-gus. Beberapa kelompok agama memberikan penyembuhan

    berbasis keyakinan. Perlu dicatat bahwa praktek

    penyembuhan tradisional kadang bersifat merugikan. Misalnya, memberikan informasi salah, melakukan metode penyiksaan, perpanjangan masa puasa, perpanjangan penahanan fisik, atau ritual pembersihan secara sosial dimana para tukang magis dienyahkan dari komunitas itu. Selain itu, beberapa ritual berbiaya amat mahal dan dulu beberapa penyembuh memanfaatkan situasi darurat untuk mengubah keyakinan pasien dan mengeksploitasi populasi rentan. Tantangan yang dihadapi dalam kasus semacam ini adalah mendapatkan cara efektif dan konstruktif mengatasi praktek-praktek merugikan, selama cara ini dapat diwujudkan dalam situasi darurat. Sebelum membantu atau bekerjasama dengan praktek penyucian atau penyembuhan tradisional, lebih dulu perlu ditentukan obat apa yang digunakan dalam praktek-praktek itu dan apakah obat itu menguntungkan atau merugikan atau justru tidak berefek apa-apa.

    Beberapa penyembuh tradisional mungkin mencoba membuat jarak secara fisik dan simbolik dengan praktisi medis, dan mungkin menghindari kerjasama. Pada saat yang sama,

    Vol1 No2 Maret 201032

    UTAMA

  • staf kesehatan yang terlatih dalam pengobatan medis dapat bersikap tidak simpati atau ketus atau tidak peduli terhadap praktisi tradisional. Meskipun dalam beberapa situasi, menjaga jarak dapat menjadi cara terbaik menghadapi mereka, namun perlu dibangun jembatan antara kedua sistem perawatan yang berbeda.

    Tunjukkan penghargaan pada peranan penyembuh dan tanyakan apakah mereka dapat menjelaskan kegiatannya dan bagaimana kegiatan itu terpengaruh oleh situasi bencana (misalnya, ada peningkatan jumlah pasien, atau kesulitan menjalankan kegiatannya karena kekurangan bahan atau kehilangan fasilitas?).

    Undang para penyembuh dalam pertemuan komunitas untuk berbagi informasi dan sesi pelatihan. Pertimbangkan untuk memberikan para penyembuh itu peranan dalam pelatihan, misalnya dengan menjelaskan pemahaman mereka bagaimana penyakit disebabkan oleh definisi mereka tentang penyakit. Bila kegiatan ini tidak sesuai dengan pendekatan organisasi setempat atau internasional yang turut dalam respon terhadap situasi darurat, maka tetap diperlukan pemahaman terhadap model yang digunakan para penyembuh

    setempat mengenai perawatan pasien yang baik karena barangkali hal itu mendasari pemahaman pasien sendiri tentang masalahnya.

    Bila mungkin, bentuklah layanan kerjasama, antara lain rujukan silang, misalnya: masalah seperti stres, kecemasan, kehilangan, reaksi kejang, dan stres eksistensial, mungkin lebih baik ditangani oleh penyembuh tradisional, sementara penyembuh medis lebih baik mengatasi gangguan jiwa parah dan epilepsi.

    Dalam situasi darurat bencana, pendidikan adalah salah satu intervensi psikososial utama. Pendidikan memerlukan lingkungan aman dan stabil dan dapat mengembalikan perasaan normal, bermartabat dan membangun harapan dengan adanya kegiatan terstruktur, tepat dan mendukung. Banyak anak dan orangtua memandang partisipasi dalam pendidikan sebagai dasar masa kanak-kanak yang sukses.

    Pendidikan yang dirancang juga baik untuk membantu masyarakat yang terkena bencana menghadapi situasinya dengan menyebarkan pesan-pesan penting untuk bertahan hidup, memberdayakan proses belajar tentang perlindungan diri, dan mendukung strategi

    Vol1 No2 Maret 2010 33

    UTAMA

  • masyarakat setempat memahami kondisi darurat. Kegiatan pendidikan formal dan non formal perlu segera dimulai lagi dengan menjadikan keamanan dan kesejahteraan sebagai prioritas bagi semua anak dan pemuda, termasuk bagi mereka yang risikonya bertambah dengan adanya bencana atau mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus.

    Hilangnya kegiatan pendidikan sering menjadi stresor terbesar bagi para siswa dan keluarganya, yang memandang pendidikan sebagai jalur menuju masa depan lebih baik. Pendidikan dapat menjadi alat utama membantu masyarakat membangun ulang kehidupannya. Akses terhadap pendidikan formal dan non-formal dalam lingkungan yang mendukung dapat membangun intelektualitas siswa dan kom-petensi emosinya, memberikan dukungan sosial melalui inter-aksi dengan sebaya dan pendi-dik dan memperkuat perasaan siswa tentang masalah kendali diri dan harga diri. Akses itu juga membangun keterampilan hidup yang memperkuat strategi men-gatasi masalah, seperti masalah pekerjaan di masa datang dan mengurangi stres ekonomi.

    Para pendidik (guru kelas formal, instruktur kegiatan belajar non-formal dan fasilitator kegiatan

    pendidikan) berperan penting dalam kesehatan jiwa dan kese-jahteraan psikososial siswa. Se-ringkali, para pendidik berjuang mengatasi tantangan yang me-reka dan para muridnya hadapi, termasuk kesehatan jiwa mereka sendiri terkait dengan bencana dan masalah psikososial.

    Pendidik dapat menyediakan bantuan psikososial bagi siswa dengan menyesuaikan cara me-reka berinteraksi dengan siswa, menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif, dimana para siswa dapat menyatakan emosi dan pengalamannya, dan dengan memasukkan kegiatan psikososi-al terstruktur dalam proses peng-ajaran/belajar. Namun, pendidik tidak perlu berusaha melakukan terapi, yang memerlukan ke-terampilan khusus tertentu.

    Aktifkan bantuan psikososial yang tersedia bagi pendidik. Mis-alnya, membawa para pendidik bersama-sama dengan fasilitator terampil untuk mulai berbicara tentang masa lalu, sekarang dan masa depan, atau bentuk me-kanisme bantuan masyarakat untuk membantu pendidik men-ghadapi situasi krisis.

    Bantu staf sekolah, seperti ad-ministrator, konselor, guru dan pekerja kesehatan agar paham kemana merujuk anak penyan-dang gangguan kesehatan jiwa parah dan kesulitan psikososial

    Vol1 No2 Maret 201034

    UTAMA

  • (termasuk anak yang tidak secara langsung terpengaruh bencana namun yang sebelumnya telah menunjukkan gangguan) ke laya-nan kesehatan jiwa yang tepat, layanan sosial dan bantuan psi-kososial dalam komunitas, dan ke layanan kesehatan, bila perlu. Pastikan bahwa siswa, orangtua dan anggota masyarakat mema-hami bagaimana menggunakan sistem rujukan ini.

    Sistem informasi dan komunikasi dapat dirancang untuk memban-tu masyarakat berperan dalam proses pemulihan dan menjadi penyintas yang aktif, bukannya korban yang pasif. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) dan metode tradisional dalam

    komunikasi dan hiburan (seperti sketsa, lagu dan drama) berpe-ran penting dalam penyebaran informasi tentang hak dan kewa-jibannya, sementara informasi tepat tentang pemulihan dan ke-beradaan orang yang dipindah-kan dapat membantu memper-satukan keluarga.

    Pastikan bahwa tidak perlu ada pengulangan tayangan tidak mendesak tentang kejadian menakutkan yang telah lewat, di media setempat (misalnya, men-ghindari pengulangan video klip momen terburuk dalam benca-na) dengan mengadakan jumpa pers dan kunjungan ke lokasi. Doronglah organisasi media dan jurnalis menghindari penggu-

    Vol1 No2 Maret 2010 35

    UTAMA

  • naan gambar yang tidak perlu yang mungkin menimbulkan st-res berat untuk pemirsa. Selain itu, dorong media untuk tidak hanya menyampaikan gambar dan cerita tentang mereka yang putus asa, tetapi juga tentang mereka yang tabah dan kegiatan para penyintas, selama dalam upaya pemulihan.

    Imbangi kepentingan media se-tempat dengan mengambil be-rita dari sudut berbeda, seperti berbagai dimensi dari kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikoso-sial, kisah pemulihan penyintas, keterlibatan kelompok-kelompok berisiko dalam upaya pemulihan dan prakarsa tanggapan terhad-ap bencana.

    Sebarkan pesan akan hak dan kewajiban para penyintas, se-perti hukum kecacatan, hukum kesehatan masyarakat, kewaji-ban terkait dengan tanah untuk rekonstruksi, program pemuli-han, dsb.

    Dalam kaitan dengan informasi yang disebarkan, jangan meng-gunakan bahasa yang rumit atau teknis (misalnya istilah psikologi atau psikiatri), jangan menjanji-kan secara khusus kerangka wak-tu untuk pemulihan (misalnya, Anda akan merasa lebih baik dalam 3 minggu) dan jangan menyarankan untuk mencari bantuan profesional bila me-

    mang tidak tersedia. Meskipun bahan cetak (seperti

    brosur dan poster) adalah me-tode paling umum menyebarkan informasi, mekanisme lain seper-ti radio, televisi, lukisan/gambar, lagu, drama, atau teater jalanan, berpotensi lebih efektif.

    Bersama-sama masyarakat dan pimpinan agama, cobalah meng-gali cara-cara menyampaikan informasi tak tertulis. Cara pa-ling tepat menyampaikan pesan adalah bergantung pada sasara-nnya, tingkat kemampuan baca dan konteks budaya. Misalnya, bahan non-tulis (misalnya buku komik yang menggambarkan to-koh, drama) mungkin lebih efek-tif dalam berkomunikasi dengan anak-anak.

    Pemahaman mengenai keterkai-tan antara kesejahteraan psiko-sosial dan keamanan pangan/gizi membuat pekerja kemanusiaan mampu meningkatkan kualitas dan efektifitas program bantu-an pangan dan gizi seraya men-dukung martabat kemanusiaan. Pengabaian terhadap interaksi ini dapat merugikan, berakibat pada program yang membuat orang mengantri selama berjam-jam untuk menerima makanan, memperlakukan penerimanya secara tidak manusiawi, menjadi konsumen pasif atau mencipta-

    Vol1 No2 Maret 201036

    UTAMA

  • kan kondisi kekerasan di dalam dan sekitar pembagian makanan.

    Pengelolaan tempat penampungan dan tenda (shelter) berdampak besar pada kesejahteraan. Kesejahteraan dapat berkurang bila tempat terlalu sesak dan kurang privasi dan hal ini umum dijumpai dalam tempat penampungan atau tempat lain.

    Masalah kesehatan jiwa dan psikososial dapat timbul bila orang terisolasi dari keluarganya atau dari kelompok komunitasnya, atau terpaksa tinggal di sekitar orang tak dikenal, yang berbicara dengan bahasa berbeda atau yang menimbulkan ketakutan atau kecurigaan.

    Konflik di kalangan pengungsi atau antara pengungsi dengan masyarakat penampung, karena berebut sumberdaya yang minim, seperti tempat atau air, seringkali menjadi masalah besar, dan karena itu kegiatan perencanaan tempat penampungan harus dapat mengurangi masalah-masalah itu.

    Bergantung pada cara bagaimana penyediaannya, air dan sanitasi dapat meningkatkan atau merugikan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial. Pada beberapa situasi darurat, toilet yang remang-remang,

    tidak terkunci, telah menjadi tempat kekerasan berbasis gender, termasuk perkosaan, sedangkan di tempat lain, konflik karena sumber air, telah menjadi sumber stres besar.

    Sebagian dari stress yang dialami karena terkait dengan penyediaan air dan sanitasi, berasal dari masalah budaya. Misalnya di Afganistan anak perempuan dan wanita melaporkan bahwa kurangnya toilet yang terpisah untuk wanita telah menjadi kekhawatiran besar karena jika menunjukkan bagian badannya, maka ia akan dihukum dan malu dan membuat keluarga merasa terhina.

    PenutupDemikian telah penulis diskusikan prin-sip-prinsip dan praktik-praktik laya-nan psikologis kepada para penyintas bencana. Penulis berharap, seluruh bahasan di atas berguna bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholders) terkait bencana.

    Jikalau benar bahwa kita mencintai dan menyayangi bangsa kita sendiri, maka kita tidak akan melupakan atau sengaja mengabaikan pelayanan op-timal terhadap dimensi psikologis ka-wan-kawan kita sebangsa yang tengah berjuang sebagai penyintas-penyintas bencana. Psikologi Bencana? Ayo dong, ah!

    Vol1 No2 Maret 2010 37

    UTAMA

  • PSIKoLoGI SoSIAL

    Pengantar

    Seringkali kita mendengar atau pun menghadapi sendiri bahwa orang yang didiagnosis mengalami gangguan stres pasca-traumatis (Posttraumatic Stress Disorder/PTSD) memerlihatkan simtom/gejala otomatis. Gejala (semi-) otomatis PTSD, menurut Carvajal (2006), merupakan struktur kualitatif dari PTSD, yang mencakup otomatisitas

    tiga kelompok gejala utama PTSD, yakni (1) mengalami kembali simtom (reexperiencing symptoms), (2) mati rasa (numbing symptoms), dan (3) keterbangkitan (arousal symptoms). Simtom pertama, misalnya mengalami kilas balik (flashbacks) peristiwa secara otomatis; simtom kedua, misalnya, kehilangan minat terhadap hal-hal yang sebelumnya menyenangkan; simtom ketiga, misalnya, kewaspadaan otomatis yang sangat tinggi.

    Guna memahami secara lebih tepat mengenai apakah otomatisitas itu, tulisan ini mengkaji secara ilmiah fenomena ini, meskipun tidak mengaitkannya langsung dengan PTSD. Apa yang dimaksud dengan otomatisitas? Otomatisitas dalam

    hal apa (pikiran, perasaan, perilaku)? Bilamana terjadi otomatisitas? Pembahasan otomatisitas secara populer seringkali dikaitkan dengan perspektif Psikoanalisis Klasik, khususnya mengenai perilaku yang dilatarbelakangi oleh motif tak sadar dan mekanisme defensif diri. Dalam tulisan ini, penulis justru menelaah otomatisitas dari keragaman perspektif besar lain dalam psikologi, yakni dari

    pendekatan kognitif dan sosiokognitif, humanistik, serta biologis.

    Genealogi, Konseptualisasi, dan Prospek Risetotomatisitas merupakan proses-proses psikologis internal seseorang yang dikontrol oleh stimuli dan peristiwa eksternal dalam lingkungan yang dihadapi orang tersebut saat itu (immediate environment), seringkali tanpa otonomi, pengetahuan, atau kesadaran subjek mengenai kontrol tersebut (Bargh & Williams, 2006).

    Sebuah proses menjadi otomatis melalui praktik, repetisi, dan kebiasaan. Demikianlah, akar konsep otomatisitas dapat dirunut dari konsep William James (1890/1950) tentang

    Vol1 No2 Maret 201064

  • habit (kebiasaan): Dalam sebuah tindakan habitual, sensasi semata-mata merupakan pemandu yang cukup terhadap tindakan, dan wilayah-wilayah otak yang lebih tinggi serta mind ter-set bebas secara komparatif. Lebih jauh lagi, perunutan dapat sampai kepada perspektif evolutif Darwin (1872/1998) yang menggagas bagaimana perilaku kompleks awalnya dilakukan secara sadar kemudian terutinkan (routinized)/terkonversi menjadi tindakan refleks melalui habit dan asosiasi, serta lebih lanjut menetap (firmly fixed) dan diturunkan (inherited) sekalipun sudah tidak fungsional.

    Menurut epistemologinya, otomatisitas berakarkan filsafat empirisme, dalam hal mana lingkungan merupakan originator dari representasi kognitif. Komitmen implistik Bargh dan Chartrand (1999) terhadap empirisme ini jelas, ketika menyatakan Lingkungan langsung menyebabkan aktivitas mental. Tanda-tanda otomatisitas merupakan indikasi aktivasi dan determinasi lingkungan. Representasi kognitif diasumsikan teraktivasi otomatis oleh fitur-fitur lingkungan. Namun, Smith dan Slife (2000) mengritik Bargh dan Chartrand karena otomatisitas juga memiliki alternatif akar filosofis, yakni rasionalisme dan hermeneutika ontologis. Menurut filsafat rasionalisme, lingkungan sudah dan selamanya merupakan

    lingkungan yang diorganisasikan dan diinterpretasikan ketika orang mengalaminya. Setiap determinasi lingkungan atau pengaruh stimulus memiliki elemen-elemen dari organisasi/evaluasi mind yang implisit di dalamnya. Maka, sebuah stimulus hanyalah sebuah stimulus, karena ia sudah sebelumnya bermakna (already meaningful) bagi orang tersebut. Elemen mental yang bersifat a priori ini secara bebas diperluas kepada hal-hal dalam dirinya sendiri (sadar/tak sadar), sehingga otomatisitas bukanlah automatically involuntary melainkan automatically voluntary. Artinya, pilihan-pilihan dan evaluasi-evaluasi telah direpresentasikan (betapapun baik/buruknya hal itu diingat) yang mem-predisposisi orang untuk memersepsi situasi sedemikian sehingga mereka bereaksi otomatis. Reaksi otomatis ini dapat terasa in-volunter (tak disengaja) karena reaksi ini tak terduga (unexpected) dan/atau karena komponen mental volunter telah dilupakan. Namun, otomatisitas bukanlah involuntary, melainkan non-consciously voluntary.

    Menurut filsafat hermenutik ontolo-gis, aksi-aksi otomatis orang secara simultan berkaitan dengan jejaring makna yang lebih luas. Tidak ada pembagian yang nyata (kecuali se-cara teoretis) antara subjek (minda) dengan objek (lingkungan). Hal ini karena makna memiliki syarat perlu (necessary condition) keduanya. oleh

    PSIKoLoGI SoSIAL

    Vol1 No2 Maret 2010 65

  • karena orang terarah secara volun-ter (rela, sengaja) kepada pola-pola makna dan perilaku yang lebih besar (tujuan-tujuan kompleks, pandangan dunia/worldviews), maka komponen-komponen yang lebih kecil dari pola ini nampaknya otomatis. Namun, perilaku-perilaku otomatis tidak invo-luntermeskipun dapat tidak sadar (nonconscious)karena perilaku ini secara paripurna