referat multipel myeloma

28
BAB I PENDAHULUAN Myeloma Multipel adalah diskrasia sel plasma neoplasma berasal dari satu klon (monoclonal) sel plasma, manifestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi klinis sel plasma abnormal mencakup kerusakan tulang dan penggantian unsur sumsum tulang normal, menyebabkan anemia, trombositopenia, dan leucopenia perubahan system imun, dengan resiko mendapat infeksi meningkat, abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan dan kriglobunemia dan hiperviskositos yang terkait dengan protein plasma komponen M (Baldy, 2006). Multiple myeloma keganasan sel B dari sel plasma yang produksi protein immunoglobulin monoclonal. Hal ini ditandai dengan adanya proferasi clone dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein monoclonal pada darah dan urin dan berkaitan disfungsi organ. Proliferasi berlebihan dalam sumsum tulang menyebabkan matriks tulang terdestruksi dan produksi imunoglobin abnormal dalam jumlah besar (Otto, 2005). Multiple myeloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang terjadi hanya 1% dari seluruh keganasan hematogis. Penyakit ini menyerang pria dan wanita dan biasanya ditemukan pada usia diatas 40 tahun dan puncak insiden 1

Upload: yuny-hafitry

Post on 10-Dec-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Referat Multipel Myeloma

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Myeloma Multipel adalah diskrasia sel plasma neoplasma berasal dari satu

klon (monoclonal) sel plasma, manifestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur

dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi klinis sel plasma abnormal mencakup

kerusakan tulang dan penggantian unsur sumsum tulang normal, menyebabkan

anemia, trombositopenia, dan leucopenia perubahan system imun, dengan resiko

mendapat infeksi meningkat, abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan

dan kriglobunemia dan hiperviskositos yang terkait dengan protein plasma komponen

M (Baldy, 2006).

Multiple myeloma keganasan sel B dari sel plasma yang produksi protein

immunoglobulin monoclonal. Hal ini ditandai dengan adanya proferasi clone dari sel

plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein monoclonal pada darah dan urin dan

berkaitan disfungsi organ. Proliferasi berlebihan dalam sumsum tulang menyebabkan

matriks tulang terdestruksi dan produksi imunoglobin abnormal dalam jumlah besar

(Otto, 2005).

Multiple myeloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang terjadi hanya

1% dari seluruh keganasan hematogis. Penyakit ini menyerang pria dan wanita dan

biasanya ditemukan pada usia diatas 40 tahun dan puncak insiden pada usia 60 tahun

memiliki morbiditas dan mortilitas yang tinggi (Tadjoedin, 2011).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Anatomi dan Fisiologi

Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti

vertebra, costa, calvaria, pelvis, dan femur. Awal pembentukan tulang terjadi bagian

tengah dari suatu tulang, bagian ini disebut pusat-pusat penulangan primer. Sesudah

itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat penulangan

sekunder (Besa, 2011).

Gambar 1. Anatomi tulang

Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut: (guyton,

2009).

1. Diafisis

Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang dibentuk oleh pusat penulangan

primer, dan merupakan korpus dari tulang

2. Metafisis

Metafisis bagian tulang yang melebar didekat ujung akhir batang (diafisis)

3. Lempeng epifisis

Lempengan epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak

yang akan menghilang pada tulang dewasa.

4. Epifisis

Epifis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder

2

Gambar 2. perkembangan tulang Dikutip dari (Baron, 2011)

Secara Makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa

(jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat).

Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum), lapis tipis jaringan ikat

(endosteum) melapisi rongga sumsum dan meluas kedalam kanakuli tulang kompak.

Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tersebut dikelompokan menjadi:

1. Ossa longa (tulang panjang) tulang yang ukurannya panjangnya terbesar,

contohnya os humerus dan os femur

2. Ossa brevia (tulang pendek) tulang yang berukuran pendek, contoh ossa

carpi

3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih) tulang yang ukurannya lebar contoh os

scapula

4. Ossa irregular (tulang tak beraturan) contoh vertebrae

5. Ossa sesamoid contoh os patella

(Guyton, 2009)

3

BAB III

MULTIPEL MYELOMA

a. Definisi

Multiple myeloma adalah tumor sel plasma yang ditandai proliferasi salah

salah satu jenis limfosit B dan sel-sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap

terutama ditulang, menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi dan nyeri.

Lesi deskruktif akan mengikis tulang sehingga gerakan ringan pun dapat

menyebabkan fraktur (Corwin 2009)

b. Etiologi

Penyebab multiple myeloma belum jelas paparan radiasi, benzene dan pelaru

organik lainnya, berbeda dan insektisia mungkin memiliki peran. Faktor genetik juga

mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang

menghasilkan proliferasi sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada

MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas.

Dapat ditunjukan sel limfosit B yang dewasa yang termasuk klon sel maligna darah

dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya

onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai

dewasa ini atau bahkan mungkin sel plasma sendiri, Beragam perubahan kromosom

telah ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan

predominan kelainan pada 11 q (Sudoyo, 2010).

c. Patofisiologi

Tahap patogenesis pertama pada perkembangan myeloma adalah munculnya

sejumlah Sel plasma clonal yg secara klinis dikenal MGUS (monoclonal

gammanopathy of undetermined significance). Pasien dengan MGUS tidak memiliki

gejala atau bukti dari kerusakan organ, tetapi memiliki 1% resiko progresi menjadi

myeloma atau penyakit keganasan yg berkaitan.

Perkembangan sel plasma maligna ini mungkin merupakan suatu proses multi

langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yg mengakibatkan penumpukan

4

sel plasma maligna adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum

tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses

multilangkah ini melibatkan di dalamnya aktivitas onkogen selular, hilangnya atau

inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin.

Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran massa tumor,

kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia imunologik dan humoral produk

yg dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain paraprotein dan paktor

pengaktivasi osteoklastik (osteoclastik activating factor/OAF).

Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti

hipervolema, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena

pengendapan rantai ringan, dalam bentuk almiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama

gangguan fungsi ginjal dan jantung . Faktor pengaktif osteoklas (OAF) seperti ILI-B,

limfotoksin dan tumor necrosis faktor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan

osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini, Karena kelainan tersebut pada

penyakit ini dapat terjadi faktur (mikro) yg menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia

dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yg sering sangat

menurun fungsi sumsum tulang yg menurun dan neutropenia yg kadang-kadang ada

menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi.

Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit

mieloid pada glomeulus, hiperurisemia , infeksi yg rekuren, infiltrasi sel plasma pada

ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat pergantian

sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoesis,

perubahan megaloblastik akan menurunkan produk vitamin B12 dan asam folat

(Sudoyo, 2010).

d. Patologi Anatomi

Sel plasma berproliferasi didalam sumsum tulang, sel-sel plasma memiliki

ukuran yang lebih besar 2-3 kali dari limfosit, dengan nucles eksentrik (bulat atau

oval) pada kontur dan memiliki halo perinuklear sitoplasma bersifat basofik.

5

Gambar 3. Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma Myeloma

multiple. Tampak sitoplasma berwarna biru, nucleus eksentrik dan zona pucat

perinuclear (halo) Dikutip dari (Besa, 2011).

Gambar 4. Biopsi sumsum tulang menunjukan lembaran sel-sel plasma ganas pada

myeloma multiple Dikutip dari (Besa, 2011).

Kriteria Diagnosis Myeloma Multiple:

Kriteria Mayor

1. plasmasitoma pada biopsy jaringan

2. sel plasma sumsum tulang > 30 %

3. M protein : IgG > 35 g/ dL, IgA > 20 g/dL, kappa atau lambda rantai ringan pada

elektroforesis urin

Kriteria Minor

1. sel plasma sumsum tulang 10-30 %

2. M protein pada serum dan urin ( kadar lebih kecil dari poin nomor 3)

3. lesi litik pada tulang

6

4. normal residul IgG < 500 mg/L, IgA < 1g/L atau IgG < 6g/L

Diagnosis ditegakkan bila terdapat kriteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor

yang harus meliputi kombinasi A dan B. Kombinasi 1 dan A bukan merupakan

myeloma multiple (Besa, 2011).

Sistem Derajat Multipel Myeloma

Saat ini ada dua derajat multiple yang digunakan yaitu Salmon Durie system yang

telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging System yang dikembangkan

oleh the International Working Group dan diperkenalkan pada tahun 2005 (Sudoyo,

2010).

Salmon Durie staging

a). Stadium 1

Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL

Level kalsium kurang dari 12 mg/ dL

Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter

Protein M rendah (misal. IgG < 5 g dL, Costa < 3g/dL, urine < 4g/24 jam)

b). Stadium II

Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III

c). Stadium III

Level hemoglobin kurang dari 8,5 g / dL

Level kalsium lebih dari 12 g / dL

Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang

Nilai protein M tinggi ( misal. IgG > 7g /dL, Costa > 5g dL / urine > 12 g 24

jam).

d). Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL

e). Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL

International Staging System untuk Multiple Myeloma

a).Stadium 1

B 2 mikroglobulin < 3,5 g/dL dan albumin >3,5 g/ dL

CPR > 4,0 mg/ dL

7

Plasma cell labeling index < 1%

Tidak ditemukan delesi kromosom 13

Serum II-6 reseptor rendah

Durasi yang panjang dari awal fase laten

b).Stadium II

Beta-2 microglobulin level > 3,5 hingga < 5.5 g/dL atau

Beta-2 microglobulin < 3.5 g/dL dan albumin < 3.5 g/dL

c).Stadium III

Beta-2 microglobulin > 5.5 g/dL

8

BAB IV

PENEGAKAN DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan seperti anemia, mual-mual, muntah, dehidrasi,

infeksi dan mengeluh sering merasakan nyeri hebat yang terus menerus pada tulang

tengkorak, vertebra, sternum, iga-iga, ileum, sacrum, pangkal sendi bahu atau

panggul.nyeri bersifat hilang timbul, berpindah-pindah dan menyerupai reumatik,

paling sering pada tulang punggung ( Syahrir, 2010).

Myeoloma dibagi menjadi asimtomatik myeoloma asimtomatik dan

simtomatik atau myeoloma aktif bergantung pada ada atau tidaknya organ yang

berhubungan dengan myeoloma atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia,

insufisiensi, renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang umum pada multiple

myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi.

Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang

pada kebanyakan 80% pasien 58% pasien dengan mengalami nyeri tulang, kerusakan

ginjal terjadi pada 20 sampai 40% (Plumbo, 2008 dan Durie, 2013).

Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti Fraktur

kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh femur proksimal) Gejala-

gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra berupa nyeri punggung,

kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstermitas Imunitas humoral yang

abnormal dan leucopenia dapat berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi

seperti gram positive organism ( contoh Streptococcus pneumonia, Staphylococcus

aureus) dan Haemophilus influenza) (Ki yap, 2010).

b. Pemeriksaan Fisik

pada pemeriksaan fisik pasien memperlihat wajah yang pucat oleh anemia,

ekimosis atau purpura tanda thrombositopeni, tulang yang lunak, dan terdapat massa

jaringan.pasien dapat memiliki gejala neulogis yang berhubungan dengan neuropati

dan kompresi tulang belakang. Ada pula gejala neurologis yang berupa sensori,

lemah, enselopati hiperkalsemia yaitu bingung, delirium, atau koma, mual-mual,

muntah dan dehidrasi. Pasien dengan amiloidosiskroglossia dan carpal tunnel

9

syndrome, dapat ditemukan pasien dapat mempunyai lidah yang membesar, neuropati

dan jantung kongestif dan gangguan fungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak,

limpa akibat infiltrasi sel plasma (jarang).

c. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Hitung jenis darah bias menemukan adanya anemia dan sel darah merah yang

abnormal

1. Laju endap sel darah merah (eritrosit) biasanya tinggi

2. Kadar kalium tinggi karena perubahan tulang menyebabkan kalsium masuk

kedalam aliran darah.

3. Pemeriksaan urin ditemukan adanya proteinuria bence jones.

4. Apus darah tepi didapatkan adanya formasi rouleaux

b. Radiologi

1. Foto Polos X-Ray

Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple berbatas

tegas, puch out, dan bulat pada clavicula, vertebra dan pelvis. Lesi terdapat dalam

ukuran yang hampir sama lesi local ini umumnya berawal di rongga medulla,

mengikis tulang, dan secara progresif menghacurkan tulang kortikal. Sebagai

tambahan tulang pada paseien myeloma dengan sedikit mengalami demineralisasi

difus pada beberapa pasien ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan

radiologi.

Saat timbul gejala sekitar 80-90% diantaranya ditelah mengalami kelainan tulang,

film polos memperlihatkan:

Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekula tulang terutama

vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsumpada jaringan myeoloma

hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya

pada myeloma multiple.fraktur patologis dijumpai.

Fraktur kompresi pada corpus vertebra tidak dapat dibedakan dengan

osteoporosis senilis

10

Lesi-lesi litik puch out lesion yang menyebar dengan batas yang jelas lesi

berada didekat korteks menghasilka internal scalloping.

Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks menghasilkan massa

jaringan lemak.

Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi ditemukan pada: kolumna

vertebra, costa, calvaria, pelvis, femur, clavicula, dan scapula.

Gambar 5. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi yang litik pada

myeloma.Di kutip dari (Brant, 2007).

Gambar 6. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal L4 pada

plasmacytoma Dikutip dari (Berquist, 2007).

11

Gambar 7. Foto pelvis yang menunjukan focus litik kecil yang sangat banyak

sepanjang tulang pelvis dan femur yang sesuai dengan gambaran multiple myeloma

Dikutip dari (ki yap,2011).

2. CT Scan

CT-scan pada gambaran foto tulang konvesional menggambarkan kebanyakan

lesi yang CT-scan dapat dideteksi

Gambar 8. CT-scan axial pada plenoid yang menggambarkan lesi berbatas tegas

gambaran khas myeloma pada CT scan korteks tampak intak. Di kutip dari

(Angtuaco, 2004).

12

3. MRI

MRI potensial digunakan pada myeloma multiple karena modalitas ini baik

untuk resolusi jaringan lunak.secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma

berupa suatu intensitas bulat sinyal rendah yang focus digambaran T I yang menjadi

intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.

Gambar 9. Foto potongan T 1 weighted MRI pada suatu lesi myeloma di

humerus.gambaran ini menunjukan lesi dengan intensitas rendah batas korteks luar

terkikis tetapi intak. Namun lesi telah melewati korteks bagian dalam. Di kutip dari

(Brant, 2007).

4. Radiologi Nuklir

Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada

osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi

tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negative skrintigrafi

tulang untuk mendiagnosis Myeoloma multipel tinggi. Scan dapat positif pada

radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk komfirmasi.

5. Angiografi

Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer dari

peningkatan vascularisasi. Secara Umum, Teknik ini tidak digunakan untuk

mendiagnosis Myeloma multipel.

13

c. Tatalaksana

a. Thalidomide

Mekanisme kerja: sebagai imunomodulator anti inflamasi dan anti angiogenik.

Thalidomide ini mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung dalam

mencegah adhesi dan proliferasi sel-sel myeloma diduga menghambat angiogenesis

dengan cara mencegah pembentukan pembuluh darah kecil dengan menghambat

pelepasan faktor-faktor pertumbuhan (hepatic growth factor vascular endothelial

growth factor basic fibroblast growth factor) yang mana semuanya mempunyai peran

penting dalam angiogenesis dari sel-sel plasma.pengaruh secara langsung merangsang

apoptosis atau kematian G 1 selama siklus sel yang diaktifasi oleh sitotoxic T (CD8)

dan NK sel menyebabkan lisisnya sel plasma, menghambat interaksi sel dan

menghambat pelepasan IL-6 (yang merupakan pertumbuhan mayor yang

menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup sel plasma).

Farmakokinetik: dosis awal diberikan 200 mg/hari dengan berkisaran dari 200-800

mg perhari, diberikan malam hari menjelang tidur dan dapat ditingkatkan per

200mg/hari tiap minggu sampai mencapai dosis maksimum 800 perhari.

Efek samping: nausea, kontipasi, ruam, fatigue, somnolen, neuropati perifer

b. Bortezomid

Mekanisme kerja: asam boronat dipeptida yang merupakan penghambat

spesifik dari proteasome 26S yang reversible yang mempunyai aktifitas sebagai anti

proliferative, proapoptotik yang berkaitan dengan aktifitas sebagai capspase-8/9 dan

caspase 3), anti angiogenik anti tumor.

Farmakodinamik: konsentrasi puncak 30 menit pemberian dosis 1,31 dan 0,7 mg/m2

terapeutik indeks sempit diberikan tiap 72jam.hampir 90% obat ini secara cepat

masuk plasma.dengan dosis multiple akan meningkat (Area Under The Curve

Consentrasi) tapi tidak menembus sawar otak. Penderita dengan gagal ginjal dan

hemodialisis harus dimonitor hati-hati bila menggunakan bortezomid terutama

bilacratinin clearance <30 ml/menit.

Efek samping; gejala gastrointestinal (nausea, muntah, diare dan konstipasi).

14

c. Lenalidomid

Mekanisme kerja: meskipun belum jelas lenalidomid mempunyai efek

antiangogenik, menghambat sekresi sitokin pro inflamasi dan meningkatkan sekresi

sitokin anti inflamasi dari sel –sel mononuclear darah tepi menghambat proferasi sel

menghambat ekspresi cyclooxigenase (COX-2) menyebabkan apoptosis dan

menurunkan ikatan sel myeloma dengan sel-sel stroma dalam sumsum tulang

meningkatkan efek sitotoksik melalui sel-sel Natural killer (NK).

Efek samping: menyebabkan Venous Thrombo Embolism dan gastrointestinal

(nausea, muntah, diare dan konstipasi) (Plambo, 2011).

Pada umumnya pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada tulang atau

gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal yang paling sering

digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Kombinasi lain

berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan lenalidomide sedang diteliti.

Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk intravena merupakan inhibitor

proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna pengobatan yang bias dilakukan

antara lain:

1. Terapi untuk mengatasi nyeri antara lain biasa dengan terapi penyinaran pada

tulang yang terkena

2. Penderita harus tetap aktif Tirah baring yang berkepanjanganbisa

mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah patah.

Aktivitas yang dilakukan tidak boleh yang membebani seperti lari atau

mengangkat beban berat karena tulang yang rapuh.

3. Mengatasi infeksi yang terjadi

4. Minum air dalam jumlah yang cukup Penderita yang memiliki protein Bence

Jones didalam air kemihnya harus minum air yang cukup untuk mengecerkan

air kemih dan mencegah dehidrasi yang bias menyebabkan terjadinya gagal

ginjal

5. Transfuse darah,jika mengalami anemia berat

6. Kemoterapi bias dilakukan untuk memperlambat perkembangan penyakit

dengan menghancurkan sel plasma yang abnormal karena itu sel darah perlu

dipantau dan dosis kemoterapi disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan

trombosit terlalu banyak berkurang (Sudoyo, 2010)

15

d. Diagnosis Banding

Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan pasien

memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium termasuk trias

berikut ( Sudoyo, 2010).

1. Protein M serum atau urin ( 99 % kasus)

2. Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang

3. Lesi Osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang

Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma adalah

malignant lymphoma, karsinoma metastasis, monoclonal gammopathies of uncertain

origin, waldenstrom hypergammaglobulinemia dan amiloidosis ( Shah, 2013 dan

Richardson 2008).

Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan pasien

yang mengalami MM sulit bila pada awalnya ditemukan protein M. Pada pasien

asimtomatik, protein M <3g/dL, kurang dari 10% plasma sel sumsum tulang, tidak

ditemukan lesi osteolitik, anemia, hiperkalsemia, atau gangguan ginjal ciri dari

MGUS (Richardson, 2008).

Pada pasien asimptomatik dengan nilai protein M lebih dari 3g/dL dan sel

plasma sumsum tulang lebih dari 10% sesuai untuk diagnosis smoldering myeloma.

Pada pasien asimptomatik dengan protein M lebih dari 3g/dl dan monoclonal light

chain pada urine, MM lebih dipertimbangkan (Richardson 2008).

Perbedaan antara amiloidosis dan MM sulit karena keduanya merupakan

gangguan proliferative sel plasma dengan gejala-gejala berbeda tetapi gambaran yg

tumpang tindih. Pada amiloidosis, proporsi sel plasma sumsum tulang biasanya

kurang dari 20%, tidak ditemukan lesi osteolitik, dan jumlah protein bence johnson

sedang (Richardson, 2008).

Pada pasien tanpa komponen protein M dalam serum maupun urine, tetapi

ditemukan lesi osteolitik, suatu metastase kanker seperti hipernefroma, sebaiknya

diekslusi sebelum diagnosis nonsecretoty myeloma dipertimbangkan pada pasien

dengan gejala konstitusional, lesi osteolitik yg terbesar, komponen protein M sedang,

dan kurang dari 10% sel plasma sumsum tulang, metastase kanker dgn MGUS harus

diekslusi (Richardson, 2008 ).

16

Delapan puluh parsen penyebaran tumor ganas ke tulang disebabkan oleh

kegagalan primer payudara, paru, prostat, ginjal dan kelenjar gondok. Penyebaran ini

ternyata ditemukan lebih banyak di tulang skelet dari pada ekstremitas. Bone survery

atau pemeriksaan tulang-tulang secara radigrafik konvensional adalah pemeriksaan

semua tulang-tulang yg paling sering dikenai lesi-lesi metastatik yaitu siku atau lutut.

Bila ada lesi pada bagian tersebut harus dipikirkan kemungkinan multiple myeloma

(Richhardson, 2008).

Gambaran radiologik dari metastasis tulang terkadang bisa petunjuk dari mana

asal tumor. Sebagian besar proses metastasis memberikan gambaran ‘’lytic’’ yaitu

bayangan radiolusen apda tulang. Sedangkan gambaran ‘’blastik’’ adalah apabila kita

temukan lesi dgn densitas yg lebih tinggi dari tulang sendiri. Keadaan yg lebih jarang

ini kita temukan pada metastis dari tumor primer seperti prostat, payudara, lebih

jarang pada karsinoma kolon, paru, pankreas. Sedangkan pada multiple myeloma

ditemukan gambaran lesi litik multiple berbatas tegas, punch out, dan bulat. Selain

gambaran radiologik, ditemukannya proteinuri Bence Jones pada pemeriksaan urin

rutin dapat menyingkirkan adanya metastasis tumor ke tulang (Richardson 2008).

e. Prognosa Multipel Myeloma

Meskipun rata-rata Pasien multiple myeloma bertahan kira-kira 3tahun

beberapa pasien yang mengidap multiple myeloma dapat bertahan hingga 10 tahun

tergantung pada tingkatan penyakit ( Vickery, 2011).

Bedasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System,angka rata-rata pasien

bertahan hidup sebagai berikut (Besa, 2011).

1. Stadium 1> 60 bulan

2. Stadium II 41 bulan

3. Stadium III 23 bulan

4. Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk

Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut de International staging system

maka rata-rata angka bertahan hidup pasien dengan multiple myeloma sebagai berikut

(Besa, 2011).

1. Stadium I, 62 bulan

2. Stadium II 44 bulan

3. Stadium III 29 bulan

17

DAFTAR PUSTAKA

Angtuaco, Edgardo J.C M.D,et al. Multipel Myeloma: Clinical Review and

Diagnostic Imaging. Departement of Radiology and the Myeloma Institute University

of Arkansas, {online} 2004 {cited 2011 april5}. Available from: http: //

radiology.rsna.orrg/content/231/1/11.full.pdf+html

Brant, William E, et al. Fundamentals of Diagnostic Radiology-2nd Ed.Lippincott

Williams & Wilkins.2007.

Baldy, Catherina M. 2006 Patofisiologis Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi

6. Jakarta: EGC

Berquits, Thomas H. Musculoskeletal Imaging Companion.Lippincott Williams &

Wilkins. 2007.

Baron, Rolland, DDS, PhD, Anatomy and Ultrastructure of Bone Histogenesis,

Growth and Remodelling. Endotext- The most accesed source endocrinology for

Medical Professionals, {online}. 2008 {cited 2011 April 5} Available

http://www.endotext.org/parathyroid/parathyroid1.html.

Corwin, J. Elizabeth. 2009 Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Guyton dan Hall. 2009 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11 Jakarta: EGC

Kumar, Vinay, Ramzi S, Cotran Stanley R,Robbin 2008 Buku Ajar Patologi edisi 7.

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Palumbo, Antonio M.D and Anderson, Kenneth M.D. Medical Progress Multipel

Mieloma. The New England Journal of Medicine.(online) 2015:364:1046-60{cited

2015 juni 1 } Available from:http//www.nejm.org./doi/pdf/10.1056/NEJMra1011442

Otto, E. Shirley. 2005 Pocket Guide to Oncology. Jakata : EGC

18

Richardson, Paul, Teru, Hildeshima Kenneth C Anderson. Multipel Myeloma and

Related Disorders in: Clinical Oncology 3 ed Philadelpia : Elsevier Churcill

Livingstone.

Ki yap, Dr. Multiple Myeloma Radiopaedia.org.{online}. 2010 ( cited 2015 April

5).Available from: http//radiopaedia.org/articles/multiple-myeloma-1

Sudoyo, W Aru 2010 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta :

Interna Publishing

Syahrir , Mrdiarty 2010 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Ed. 5. Jakarta :

Interna Publishing

Tadjoedin, Hilman, dkk. 2011. Multiple Myeloma in .Jakarta: SMF Hematologi dan

Onkologi RS Kanker Dharmais

Sjahriar Rasad , 2009. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta. FKUI

19