pembelajaran_organisasi
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
1/9
33
PEMBELAJARAN ORGANISASI:
STRATEGI MEMBANGUN KEKUATAN PERGURUAN TINGGI
Yeni AbsahStaf Pengajar FE USU
Abstract
Under the turbulent conditions associated with globalisation, a critical characteristic of organizations will be
their capacity to learn from experience and adapt continuously to changing external conditions. Organizational
learning is an evort to show it’s commitment to learning sustain and improve itselves. Universities that implement
organizational learning, will attempt to improve the quality of their teaching and learning processes.
Keywords: organizational learning, university, organization
PENDAHULUAN
Kehidupan setiap organisasi tidak terlepas
dari pengaruh lingkungan eksternal, karena organisasi
sebagai suatu sistem selalu berinteraksi dengan
lingkungannya. Semua organisasi belajar, namun
beberapa organisasi tidak dapat belajar cukup cepat
untuk bertahan. Organisasi yang tidak responsif dan
adaptif terhadap perkembangan lingkungan yang
kompleks dan penuh ketidakpastian sudah tentu tidak
menguntungkan organisasi dalam menghadapi dunia
persaingan yang semakin ketat. Espejo et al. (1996)
menyatakan “the competitive landscape is changing,
and new models of competitiveness are needed to deal
with challenges a head“. Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya
sehingga mampu memberikan produk dan jasa yang
berkualitas kepada pelanggannya mengingat tingkat
persaingan ‘kin meningkat.
Kemampuan organisasi untuk tetap
memperbaharui pengetahuannya melalui proses
pembelajaran terasa lebih penting sekarang ini. Agar
dapat bersaing organisasi sekarang dan akan datangdiharapkan untuk lebih fleksibel. Kefleksibelan
membutuhkan komitmen jangka panjang dalam
membangun dan mengembangkan sumberdaya
strategis. Dalam lingkungan yang serba dinamis,
organisasi harus berorientasi pada konsep
pembelajaran organisasi (learning organization).
Demikian pula halnya dengan perguruan
tinggi. Lingkungan persaingan baru telah terbentuk
sebagai hasil dari perubahan demografi, teknologi,
bentuk perguruan tinggi, dan ekonomi global yang
serba kompleks (Blustain et al ., 1999). Dengan
terbentuknya lingkungan persaingan baru tersebut, berbagai tantangan baru juga muncul bagi perguruan
tinggi antara lain pertanggungjawaban kepadamasyarakat yang semakin besar, harapan yang lebih
besar dalam meningkatkan akses kerjasama, perhatian
yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta
masalah biaya pendidikan.
Perguruan tinggi terus dihadapkan pada
tuntutan untuk melakukan perubahan. Dalam hal ini,
perubahan berkaitan dengan efektivitas proses belajar
mengajar. Untuk menghadapi situasi tersebut,
perguruan tinggi diharapkan mengadopsi proses-
proses khusus agar dapat mendorong perbaikan proses
belajar mengajar. Untuk itu, perguruan tinggi baik
secara eksplisit maupun implisit harus membangun
kesadaran akan pentingnya pembelajaran serta ide
pembelajaran sebagai dasar dan pendorong
pengembangan perguruan tinggi.
KONSEP DAN DEFINISI
Banyak penjelasan dan definisi pembelajaran
organisasi yang dikenal dalam literatur bisnis dan
manajemen. Namun tidak ada definisi universal dari
pembelajaran organisasi. Beberapa definisi mengacukepada kegiatan yang berorientasi pada tindakan
(action-oriented ) dan fokus pada implementasi, yang
merupakan sebuah pendekatan konkret dan
menentukan (Dill, 1999; Tsang, 1997). Garvin
(2000:11) mendefinisikan pembelajaran organisasi
sebagai keahlian organisasi untuk menciptakan,
memperoleh, menginterpretasikan, mentrasfer dan
membagi pengetahuan, yang bertujuan memodifikasi
perilakunya untuk menggambarkan pengetahuan dan
wawasan baru. Sedangkan menurut Taylor
pembelajaran organisasi merupakan kesempatan yang
diberikan kepada pegawai sehingga organisasimenjadi lebih efisien (Luthans, 1995:173).
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
2/9
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
34
Pembelajaran organisasi didasarkan pada prinsip-
prinsip dasar pembelajaran yakni menerima dan
mengumpulkan informasi, menginterpretasikannya,
dan bertindak berdasarkan interpretasi dari informasi
tersebut (Garvin, 2000:13). Pembelajaran organisasi
menyediakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang
memungkinkan organisasi belajar (Cleveland dan
Plastrik, 1995). Pembelajaran organisasi juga dapat
digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi
yang menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus
melakukan perbaikan.
Seperti halnya yang dinyatakan oleh Senge
(1994), bahwa pembelajaran organisasi memiliki
orientasi yang kuat pada sumberdaya manusia, dengan
menyatakan: “ People continually expand their
capacity to create the results they desire, where new
and expansive patterns of thinking are nurtured,
where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together
(Senge, 1994:3).
Istilah “learning organization” dan
“organizational learning ” sangat erat kaitannya dan
kadangkala penggunaannya sering kali saling
dipertukarkan, walaupun terdapat perbedaan diantara
keduanya. Konsep organizational learning mulai
dikenal luas di tahun 1970-an, yang diperkenalkan
oleh Argyris dan Schon (Fulmer et al ., 1998).
Organizational learning merupakan jenis aktivitas
dalam organisasi dimana sebuah organisasi belajar
sementara learning organisation adalah bentukorganisasi (Ortenblad, 2001). Intinya menurut Tsang
(1997), sebuah organisasi menjadi organisasi
pembelajaran (learning organization) melalui
implementasi dari pembelajaran organisasi
(organizational learning ). Namun perbedaan antara
organizational learning dengan learning organization
akan sulit dilakukan.
Perilaku dari sebuah organisasi pembelajaran
adalah mengumpulkan, menginterpretasikan dan
mengaplikasikan data untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Pembelajaran organisasi menolak stabilitas
dengan cara terus menerus melakukan evaluasi diridan eksperimentasi. Baldwin et al . (1997) menyatakan
bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak
hanya manajemen puncak, terus melakukan
pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh
informasi penting, perubahan strategi dan program
yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan dari
perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode,
prosedur, dan teknik evaluasi yang terus menerus
diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk melakukan
eksperimen dan mampu belajar dari pengalaman-
pengalamannya akan lebih sukses dibandingkan
dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen
dan Hunger, 2002:9).
PROSES PEMBELAJARAN ORGANISASI
Sebuah organisasi belajar melalui beberapa
cara. Dixon, 1994 dalam Pearn et al . (1995:180)
menyatakan bahwa pembelajaran organisasi
menekankan penggunaan proses pembelajaran pada
tingkat individu, kelompok dan sistem untuk
mentransformasikan organisasi ke dalam berbagai
cara yang dapat meningkatkan kepuasan para
stakeholder . Kim (1993:37) menekankan pentingnya
hubungan antara pembelajaran individu dengan
pembelajaran organisasi dengan menyatakan bahwa
“....organisasi terutama belajar dari anggota
organisasi.“ Pembelajaran individu dan pembelajaran
organisasi tidak dapat dipisahkan.
Organisasi belajar melalui individu-individu
yang menjadi bagian dari organisasi. Orang-orang
dipekerjakan karena memiliki kompetensi atau pengetahuan tertentu, yang mereka peroleh dari
pekerjaan mereka ataupun dari pelatihan-pelatihan
formal. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal
merupakan satu cara untuk meningkatkan kemampuan
individu dan bahwa organisasi memperoleh
keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik
tersebut. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran
merupakan sebuah fenomena dimana organisasi
memperoleh keuntungan dari anggota organisasinya
yang terampil. Namun, hal ini tidaklah sederhana.
Sekarang ini, pembelajaran individu tidaklah
menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan terjadi tanpa
pembelajaran individu (Garvin, 2000; Kim, 1993:39).
Konsep pembelajaran individu menjelaskan
secara implisit bahwa manusia memiliki kemampuan
untuk belajar dan berubah untuk mencapai
pendewasaan dirinya. Manusia diharuskan untuk
mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kapasitas
dirinya, sehingga ia mampu memberikan kontribusi
terbaik minimal untuk dirinya, dan lebih luas untuk
menciptakan kesejahteraan bagi organisasi,
masyarakat atau lingkungannya.
Organisasi juga belajar dari organisasilainnya. Ketika sebuah perusahaan mengakuisisi atau
merger dengan perusahaan lain, perusahaan tersebut
dapat menyerap cara-cara dan prosedur perusahaan
tersebut atau menggabungkannya dengan cara dan
prosedurnya sendiri, sehingga terbentuk pengetahuan
baru baik proses maupun personalianya.
Pembelajaran organisasional merupakan
wadah untuk membangun masyarakat yang dewasa
yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang
beranekaragam dan mampu melakukan kerjasama-
cerdas sehingga mampu melaksanakan proses berbagi
visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan,
untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
3/9
Yeni Absah Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
35
modal maya organisasi. Tanpa mekanisme
pembelajaran organisasi, maka organisasi tidak akan
mampu menjaga konsistensi pertumbuhan dan
perkembangannya, sehingga tidak mampu
menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi
stakeholders
Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar
antara proses belajar individu dengan proses belajar
organisasional. Perbedaan terdapat pada (a) jumlah
anggota yang terlibat, sehingga konsep utama dari
proses pembelajaran organisasi adalah belajar
bersama (melibatkan seluruh anggota organisasi),
dimana mekanisme berbagi (baik berbagi cara
berpikir, berbagi cara pandang, berbagi model mental
atau berbagi visi bersama) menjadi kunci utama
keberhasilan dari proses pembelajaran organisasi, dan
(b) setelah pembentukan pengetahuan tasit organisasi,
dilanjutkan dengan proses institusionalisasi untukmengubah pengetahuan tasit organisasi menjadi
pengetahuan eksplisit organisasi.
Secara umum, indikasi dari keberhasilan
proses pembelajaran organisasi adalah makin luas dan
makin intensifnya mekanisme belajar bersama
(organisasi), karena: (a) organisasi mampu melakukan
proses perbaikan berkelanjutan, melalui peningkatan
kualitas cara pandang dan cara berpikirnya, dan (b)
organisasi mampu melakukan proses inovasi sosial,
melalui peningkatan kualitas paradigmanya. Sasaran
utama proses pembelajaran organisasi adalah
institusionalisasi pengetahuan kolektif yang dimiliki para anggota sebagai hasil integrasi (berbagi
pengetahuan dan atau berbagi model mental), yang
diaktualisasikan dalam bentuk strategi, program,
sistem, atau pedoman organisasi.
Pembelajaran organisasi merupakan visi
bagaimana sebuah organisasi dapat menjadi sebuah
organisasi yang ideal (Kofman dan Senge, 1995)
dengan menggunakan lima disiplin dasar ( five
fundamental disciplines), dimana tiap-tiap disiplin
memberikan kontribusi dalam memperbaiki
kehidupan dan kapasitas organisasi untuk belajar.
Lima disiplin tersebut adalah:1.
Personal Mastery
Sumber keunggulan bersaing dalam bisnis
hanya akan datang dari kesuksesan perusahaan
dalam pembelajaran, bagaimana mengetuk
komitmen dan kapasitas orang-orang untuk
belajar pada semua tingkatan dalam organisasi.
Dalam mengelola orang-orang, organisasi harus
memberdayakannya. Tujuan pendekatan ini
adalah agar karyawan dapat mengembangan
kreativitas, memiliki motivasi, dan selalu ingin
belajar dan memperbaiki diri, untuk mencapai
tujuan personal yang sejalan dengan tujuan
organisasi. Organisasi seperti ini akan tercipta
melalui praktek jangka panjang dari serangkaian
disiplin. Dengan demikian akan tercipta
organisasi yang dikelola oleh individu-individu
yang bekerjasama menuju visi bersama, bukan
lagi atas dasar perintah.
2.
Awareness of mental models
Merupakan pemikiran atau gambaran internal
seseorang yang dipegang secara mendalam
mengenai bagaimana dunia bekerja, yakni
gambaran yang melatarbelakangi kita dalam
bertindak dan berpikir. Model ini dapat sangat
kuat menentukan tindakan seseorang baik
perilaku yang positif atau justru membatasi
perilaku. Masalah mental models ini bukanlah
karena seseorang memilikinya, namun masalah
mental models ini akan meningkat ketika model
ini “diam“ yakni ketika gambaran itu muncul di
bawah tingkat yang dapat diterima. Senge berpendapat bahwa masalah dengan struktur
mental terjadi ketika pemikiran seseorang
mengikuti suatu model tanpa ada kemungkinan
kesediaannya untuk mengubah pemahaman atau
membangun pemahaman baru.
3. Building a shared vision
Pada tingkat yang paling sederhana, shared
vision adalah jawaban dari pertanyaan “Apa
yang ingin kita ciptakan? Meskipun
membangun disiplin pertama ( personal
mastery) dapat membantu dalam membangun
visi personal, pengembangan tersebut sungguhtidak akan membantu organisasi kecuali jika
terdapat kesejajaran antara visi personal dengan
visi organisasi. Dengan demikian tidak hanya
visi organisasi yang penting bagi karyawan,
namun visi personal karyawan juga harus dinilai
dan dihargai oleh organisasi.
4. Team learning
Kesejajaran antara visi personal dengan visi
organisasi bukanlah masalah kesempatan atau
bahkan hanya merupakan persoalan sederhana
mengenai rekrutmen karyawan (misalnya
organisasi dapat merekrut orang-orang denganvisi yang sejalan dengan visi organisasi). Team
learning merupakan masalah praktek dan
proses. Senge menyebut proses ini sebagai
“team learning dan menjelaskan bahwa hal ini
merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga
dimensi penting, yakni:
a.
kemampuan untuk memiliki wawasan
berpikir mengenai masalah-masalah penting
b. kemampuan untuk bertindak dengan cara-
cara yang inovatif dan koordinatif
c. kemampuan untuk memainkan peranan
yang berbeda pada tim yang berbeda
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
4/9
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
36
5.
Systems thinking
Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam
melihat hubungan saling keterkaitan diantara
disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis,
dapat diidentifikasi sejumlah sistem dan
hubungan yang sistematis, namun transfer
infromasi tidak selamanya mengikuti rantai
hubungan ini, seringkali transfer informasi
dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer
informasi dapat terjadi pada jaringan
komunikasi informal yang umumnya bersifat
“ grapevine“ (kabar angin) dan hirarki formal,
selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang
disebut juga dengan kelompok inti yang
mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak
muncul pada bagan organisasi formal tetapi
meliputi banyak individu yang juga terdiri dari
teman atau kerabatnya, semacam “klan” yangtidak terlalu tersembunyi dalam organisasi.
Marquardt (1996:30) kemudian
menambahkan satu keterampilan dari lima disiplin
dasar Senge dengan menyatakan ada enam
keterampilan yang harus dimiliki setiap anggota
organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran
organisasi, yaitu: personal mastery, mental models,
shared vision, team learning, systems thingking dan
dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi
dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota
organisasi. Keterampilan berdialog ini menuntutkebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu,
kemampuan untuk saling mendengar secara
mendalam, dan menangguhkan pandangannya sendiri.
KARAKTERISTIK KUNCI PEMBELAJARAN
ORGANISASI
Ada tiga karakteristik kunci dari pembelajaran
organisasi, yakni: pertama, organisasi harus memiliki
komitmen terhadap pengetahuan. Artinya, organisasi
memiliki komitmen untuk terus menerusmengupayakan memperoleh pengetahuan.
Kedua, pembelajaran organisasi harus
memiliki sebuah mekanisme pembaharuan (a
mechanism of renewal ) dalam organisasi. Departemen
dan unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan
masuk ke dalam birokrasi. Organisasi berhenti
beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi
mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan.
Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki
keterbukaan (openess) terhadap dunia luar. Hal ini
melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal
yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya.
Berbagai hal yang menyangkut keterbukaan misalnya
para manajer membutuhkan pengetahuan mengenai
bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik
serta kemauan untuk terus mengikuti pendidikan
formal. Bagian pemasaran harus tanggap terhadap
perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini
merupakan contoh keterbukaan terhadap dunia luar.
Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan wadah yang
menghasilkan dan menyampaikan ilmu pengetahuan.
Namun sampai sekarang ini perguruan tinggi belum
dianggap sebagai organisasi pembelajaran yakni
organisasi yang menggunakan proses pembelajaran
dalam proses sistematisnya untuk melakukan
perbaikan (Dill, 1999).
Pembelajaran organisasi berdasarkan tim
bukanlah model utama dalam organisasi akademik,
namun prinsip-prinsip pembelajaran organisasi jelasterlihat dalam banyak proses yang dirancang institusi
dalam melakukan perbaikan. Dill (1999) telah
mempelajari karakteristik organisasi dari
pembelajaran organisasi akademik, dengan meneliti
12 studi kasus pada institusi pendidikan di Eropa. Ia
menemukan bahwa dengan meningkatkan perhatian
pada tangungjawab akademik, perguruan tinggi harus
lebih terampil dalam menciptakan ilmu pengetahuan
baru untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar
dan dengan demikian menyesuaikan perilakunya
dengan ilmu pengetahuan baru tersebut. Lingkungan
baru akan mendukung proses adaptasi pada strukturdan pengelolaan organisasi untuk mencapai perbaikan
kegiatan belajar mengajar. Peningkatan jumlah pusat-
pusat kajian studi telah meningkatkan dukungan pada
proses belajar mengenai kurikulum yang diterapkan
melalui informasi yang diperoleh berkaitan dengan
pengalaman kerja lulusan, atau melakukan
reorganisasi unit akademik untuk meningkatkan
kerjasama dengan dunia kerja misalnya dengan
membentuk komite akademik.
Perubahan lingkungan menciptakan
kebutuhan akan pembelajaran perguruan tinggi.
Perguruan tinggi yang belajar adalah institusi pendidikan yang menempatkan mahasiswa dan
kegiatan belajar mengajar sebagai prioritas. Perguruan
tinggi yang belajar merupakan wadah yang
menciptakan perubahan pada mahasiswa,
menggunakan pola belajar aktif, menawarkan pilihan-
pilihan studi, memberikan kesempatan melakukan
kerjasama dalam belajar yang didorong oleh
kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran
(O’Banion, 1997).
Pada tingkat departemen (program studi),
Angelo (2000:80-86) mengajukan tujuh ide panduan
praktis untuk mentransformasikan departemen ke
dalam komunitas pembelajaran yang produktif.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
5/9
Yeni Absah Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
37
Angelo menawarkan saran-saran berikut kepada ketua
departemen, yakni: 1) membangun kepercayaan; 2)
menciptakan situasi saling memotivasi; 3)
membangun komunikasi; 4) merancang sistem umpan
balik dan proaktif dalam bekerja; 5) berpikir dan
bertindak secara sistematis; 6) lakukan apa yang anda
yakini; 7) jangan berasumsi. Visi dan kepemimpinan
terdapat dalam panduannya untuk saling memotivasi,
dan merancang umpan balik dan bekerja proaktif.
Saling memotivasi terbangun melalui berbagi visi.
Berdasarkan pada berbagi visi, fakultas dapat
merancang strategi dan aktivitasnya untuk mencapai
tujuan-tujuan departemen (program studi).
Atribut pembelajaran organisasi mengenai
ilmu pengetahuan dan manajemen komunikasi disebut
dengan berdialog dan kebutuhan untuk bertanya
dibandingkan berasumsi. Berdialog penting untuk
mendapatkan komunikasi yang efektif agar dapatsaling memahami dan selanjutnya komunikasi yang
efektif tersebut akan menurunkan penggunaan asumsi.
Prinsip-prinsip yang mendukung terbangunnya rasa
kepercayaan, pemikiran dan tindakan yang sistematis,
menunjukkan konsep budaya pembelajaran dalam
upaya meningkatkan kinerja. Kepercayaan
menggambarkan bahwa fakultas berada dalam
lingkungan yang dapat membuat departemen merasa
dihargai, bernilai, dan aman. Pemikiran yang
sistematis memungkinkan individu-individu dalam
departemen (program studi) merasa bahwa mereka
merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yaknifakultas dan universitas (Angelo, 2000).
Hatfield (1999:1) mengaplikasikan prinsip-
prinsip perbaikan terus menerus pada departemen
(program studi), dan hal ini menunjukkan prinsip-
prinsip pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan
bahwa tujuan dari inisiatif melakukan perbaikan
secara terus menerus bagi departemen (program studi)
adalah menjadi departemen (program studi) yang
mampu memandang diri sendiri ( self-regarding ),
memonitor diri sendiri ( self-monitoring ) dan
mengoreksi diri sendiri ( self-correcting ). Harfield
(1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaiantingkat departemen (program studi) harus
mengidentifikasi misi dari departemen (program
studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai
aktivitas atau proses yang mendukung pencapaian
tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan
indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan.
Implementasi rencana membutuhkan pengumpulan,
analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan
komunikasi mengenai hasil yang dicapai“.
Universitas dan fakultas memiliki sejumlah
proses yang sistematis dalam upaya melakukan
perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada
tingkat universitas maupun pada fakultas. Melihat
perhatian yang diberikan pada setiap usaha perbaikan,
maka dapatlah dipandang universitas sebagai
universitas pembelajaran organisasi (university
learning organization).
a. Visi
Pernyataan visi, misi, aktivitas rencana jangka
panjang menggambarkan karakteristik pembelajaran
organisasi. Umumnya perguruan tinggi memiliki
pernyataan formal mengenai tujuannya, yang biasanya
disebut sebagai pernyataan misi. Lang dan Lopers-
Sweetman (1991) menyatakan beberapa peran dari
pernyataan misi insitusi. Pernyataan misi berperan
sebagai penjelasan dari tujuan, sebagai penyaring dari
para oportunis, deskripsi mengenai siapa mereka,
aspirasinya, atau pola pemasarannya. Walaupun
terdapat berbagai kegunaan dari pernyataan misi,
umumnya misi berhubungan dengan masa depaninstitusi. Visi dalam sebuah universitas yang
melakukan pembelajaran organisasi benar-benar
terealisasi pada tingkat departemen (program studi).
Penelitian terhadap 200 ketua departemen terbaik oleh
Creswell et al. (1990) menunjukkan bahwa ketua
departemen (program studi) bertanggung jawab
membangun visi atau fokus bersama departemen. Visi
departemen haruslah sejalan dengan visi dan misi
institusi dan dimiliki oleh fakultas melalui keterlibatan
mereka dalam proses formulasi (Creswell et al .,
1990). Departemen (program studi) harus memiliki
konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingindilayani, dengan cara apa, dan hasil apa yang ingin
dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program
studi) haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan,
sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik
dibandingkan pernyataan misi dan merupakan
panduan operasional. Lebih luas lagi, ketua
departemen sebagai faktor kunci dalam
mentransformasikan departemen ke dalam komunitas
pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih
efektif, pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa
yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama yang lebih
banyak.
b. Kepemimpinan
Bimbaum (1998:102-104) menjelaskan posisi
pemimpin perguruan tinggi sebagai posisi yang
diharapkan dapat mempengaruhi tanpa memaksa,
mengarahkan tanpa sanksi, dan mengawasi tanpa
menyebabkan pemencilan dalam pembelajaran
organisasi. Bimbaum menawarkan tujuh aturan bagi
para pemimpin di lingkungan perguruan tinggi, yakni:
1) menghidupkan norma-norma kelompok; 2)
menyesuaikan diri dengan harapan kelompok tentang
kepemimpinannya; 3) menggunakan jalur komunikasi
yang telah terbangun; 4) tidak memberikan perintah
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
6/9
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
38
yang tidak mungkin dilaksanakan; 5) mendengarkan;
6) menurunkan perbedaan status; 7) mendorong
pengendalian diri sendiri.
Prinsip-prinsip kepemimpinan collegial juga
berkaitan dengan kepemimpinan fakultas. Fakultas
mengeluarkan pernyataan visi fakultas namun
memberikan kepercayaan pada departemen (program
studi) untuk mengambil keputusan dan strategi guna
mencapai visi tersebut. Dekan berperan sebagai
fasilitator dalam hal kerjasama dan penghubung
dengan fakultas lain. Menurut Murray (1997) dalam
lingkup akademik, kepemimpinan partisipatif
diketahui paling baik untuk digunakan. Pembelajaran
organisasi dalam perguruan tinggi berarti memberikan
kebebasan dan tanggung jawab kepada fakultas dan
departemen. Wergin (1994:5) menjelaskan pentingnya
tanggung jawab bersama pada tingkat fakultas.
Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan kedalam tujuan-tujuan departemen (program studi)
dimana hal ini akan menimbulkan komitmen bersama.
Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya
membangun usaha pemahaman bersama mengenai
tujuan fakultas dan bagaimana harus mencapainya.
Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan
visi, misi dan kepemimpinan yang menekankan
partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan
tujuan dapat direalisasikan oleh fakultas. Dekan
fakultas berperan penting dalam memfasilitasi
lingkungan kerjasama di dalam universitas yang
melakukan pembelajaran organisasi (universitylearning organization).
c. Manajemen Ilmu Pengetahuan dan Komunikasi
Universitas memiliki sejumlah mekanisme
pengumpulan informasi dalam mengambil keputusan
dan upaya perbaikan. Secara internal, universitas
mengawasi kualitasnya sendiri berdasarkan standar
yang ada. Kualitas fakultas diukur melalui
kesepakatan yang dibuat, promosi, dan prosedur masa
jabatan. Kualitas mahasiswa ditunjukkan dengan
syarat yang harus dipenuhi agar diterima sebagai
mahasiswa, indeks prestasi, dan penghargaan yangditerima mahasiswa. Penelitian dan publikasi ilmiah
menggambarkan kualitas penelitian dan beasiswa.
Syarat penerimaan mahasiswa, penilaian mahasiswa
mengenai sistem pengajaran, dan pengembangan
departemen (program studi) menggambarkan
kurikulum yang dijalankan. Secara eksternal
akreditasi, peraturan pemerintah, dan peringkat yang
dibuat oleh lembaga eksternal merupakan informasi
tambahan mengenai kinerja perguruan tinggi (Trow,
1998).
Lembaga penelitian merupakan sumber lain
yang menyediakan informasi lengkap mengenai
perguruan tinggi. Lembaga penelitian harus menaungi
berbagai penelitian yang membawa perbaikan
pemahaman, perencanaan, dan operasi institusi pada
pendidikan tinggi. Lembaga penelitian berperan dalam
mengkaji lingkungan yang dihadapi oleh perguruan
tinggi. Peterson (1999) menyatakan bahwa lembaga
penelitian haruslah memiliki sifat adaptif yang tinggi
karena tingginya arus informasi dan cepatnya
perubahan yang terjadi.
Pada tingkat fakultas, informasi mengenai
kinerja departemen (program studi) dikumpulkan
untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen
(program studi) digunakan untuk berbagai tujuan,
tetapi umumnya berkaitan dengan pengambilan
keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat
pembayaran gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja
departemen (program studi) biasanya dievaluasi
melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam
tiga fungsi yang saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di
Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma
Perguruan Tinggi. Alat untuk mengevaluasi
pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat
kehadiran, nilai mahasiswa, dan portofolio
pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian
umumnya melihat pada pentingnya kontribusi
penelitian tersebut terhadap berbagai kegiatan
akademik, termasuk publikasi ilmiah dan
memenangkan dana penelitian. Sedangkan evaluasi
dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari
sumbangan perguruan tinggi pada masyarakat.Hecht et al . (1999:236) melihat adanya
kebutuhan yang tinggi terhadap data fakultas. Hecht et
al . menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan
data yang berkaitan dengan keluar masuknya
mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa
yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik
dan finansial, serta benchmarking antar fakultas dalam
perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus
mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya
untuk diberikan baik pada pihak internal maupun
eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai
panduan bagi perguruan tinggi untuk mengambilkeputusan. Fakultas memiliki wewenang untuk
menilai kinerja departemen (program studi) yang
berada di bawah lingkup keilmuannya.
d. Budaya Belajar
Dalam universitas yang menjadi organisasi
pembelajaran, salah satu aktivitas paling nyata yang
dihubungkan dengan budaya belajar adalah
pengembangan departemen (program studi).
Pengembangan departemen (program studi) dirancang
untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang
pesat dari departemen (program studi) itu sendiri dan
staf pengajar sehingga mereka dapat melaksanakan
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
7/9
Yeni Absah Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
39
tugasnya lebih efektif. Pengembangan ini umumnya
dalam hal program pelayanan pendidikan, program
mentoring , pusat pendidikan, dan kehadiran pada
seminar akademik (Bensimon et al ., 2000). Tucker
(1992) menjelaskan dua pendekatan program
pengembangan departemen (program studi) yakni
pengembangan departemen (program studi) yang
berarti pengembangan staf pengajar dan
pengembangan departemen (program studi) yang
berarti pengembangan fakultas.
Budaya belajar dalam sebuah perguruan
tinggi bersifat terbuka dan saling percaya yang berarti
adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama.
Menurut Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas
membutuhkan kebersamaan tanpa melepaskan
otonomi departemen (program studi). Wergin (1994)
menyatakan jika unit akademik mendefinisikan
dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama, dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab
bersama, maka unit akademik tersebut secara
keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa
yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan
bersama. Fakultas yang memiliki kerjasama efektif
akan menggunakan dialog bersama, pengawasan
bersama, praktek bersama, dan mengakui prestasi dan
keberhasilan bersama. Fakultas harus melakukan
evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas
bersama tersebut (Hecth et al ., 1999).
Perguruan tinggi yang melakukan
pembelajaran organisasi memiliki budaya yangmeningkatkan pembelajaran guna memperbaiki
kinerjanya. Perguruan tinggi harus memiliki struktur
dan proses yang mendorong pengembangan individu
dan mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi
juga harus mendukung peningkatan kerjasama,
khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti
peningkatan kinerja.
PENUTUP
Organisasi yang menuju pada pembelajaranorganisasi membutuhkan perubahan dalam budaya
organisasi dengan memiliki komitmen jangka
panjang. Gephart et al . (1996) menyatakan bahwa
pembelajaran organisasi tidaklah mudah, terdapat
hubungan yang selaras antara kapasitas pembelajaran
organisasi dengan tindakan atau hasil. Sejumlah hal
dapat menghalangi organisasi dalam melakukan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan kapasitas
pembelajarannya, seperti hambatan politis, sanksi
hukum, dan kesenjangan sumberdaya. Garvin (2000)
mengidentifikasi bahwa ketidakmampuan belajar
selama aplikasi tahap pembelajaran ditunjukkan oleh
ketidaksediaan untuk berubah, tidak cukupnya waktu
untuk mempraktekkan keahlian-keahlian baru, dan
ketakutan akan kegagalan. Sedangkan Senge (1994)
mengidentifikasi tujuh ketidakmampuan belajar,
yakni: 1) I’m my pisition; 2) the enemy is out of there;
3) the illution of taking charge; 4) the fixation on
events; 5) the parable of the boiled frog; 6) the
delusion of learning from experience; dan 7) the myth
of the management team. Senge (1994) menjelaskan
bahwa I’m my pisition adalah ketidakmampuan yang
terjadi ketika karyawan mengidentikkan dirinya
dengan posisinya di perusahaan. Dengan kata lain,
karyawan dibatasi oleh posisinya dan tidak merasa
bertanggungjawab terhadap tujuan organisasi secara
keseluruhan. The enemy is out of there menunjukkan
adanya sikap menyalahkan seseorang atau sesuatu atas
masalah-masalah yang ada ataupun kegagalan yang
terjadi. The illution of taking charge merujuk pada
pengumuman menjadi proaktif. Hal ini kemudiandisebut ke-proaktifan. The fixation on events berfokus
pada kejadian saat sekarang, yakni mengalihkan
perhatian dari pemahaman yang lebih mendalam
mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The
parable of the boiled frog adalah kegagalan pada
sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatan-
hambatan bertahap yang dapat mengganggu
kemampuan untuk bertahan hidup. The delusion of
learning from experience adalah ketidakmampuan
yang terjadi ketika muncul rasa ketidakmungkinan
untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena
beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu beberapa tahun atau
dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of
the management team adalah ketidakmampuan belajar
yang mempertanyakan keefektifan pengumpulan
manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang
dan kemampuan organisasi untuk mengatasi
ketidakmampuan belajar yang telah disebutkan
sebelumnya.
Organisasi pembelajaran adalah organisasi
yang memiliki komitmen pada keinginan terus
menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor
dapat saja menghalangi organisasi untuk belajar,namun organisasi harus bersedia untuk mengerahkan
segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Angelo, T.A., (2000). Transforming Departements
into Productive Learning Communities, In
A.F. Lucas & Associates, Leading Academic
Change: Essential Roles for Department
Chairs, pp.74-89, San Francisco: Jossey-Bass
Inc.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
8/9
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
40
Baldwin, T.T., C.Danielson, dan W. Wiggenhorn,
1997. The Evolution of Learning Strategies in
Organizations: From Employee Development
to Business Redefinition. Academy of
Management Executive , November, pp.47-
58.
Bensimon, E.M., K. Ward dan K. Sanders (2000). The
Departement Chair’s Role in Developing
New Faculty and Scholars , Bolton, MA:
Anker Publishing.
Birnbaum, R., (1998). How Colleges Work: The
Cybernetics of Academic Organization and
Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Inc.
Blustain, H., P. Goldstein dan G. Lozier (1999).
Assessing teh New Competitive Landscape in
R. Katz & Associates (Eds), Dancing with
the Davil: Information ecjnology abd the
new Competition in Higher Education, pp.51-71, San Francisco, Jossey-Bass, Inc.
Cleveland, J. dan P. Plantrik (1995). Learning,
Learning organization and TQM. In A.M.
Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality
Management: Implications for Higher
Education, pp. 233-243, Maryville, MO:
Prescott.
Creswell, J.W., D.W. Wheeler, A.T. Seagren, N.J.
Egly dan K.D. Bayer (1990). The Academic
Chair Person’s Handbook , Lincoln:
University Of Nebraska Press.
Dill, D.D., (1999). Academic Accountability andUniversity Adaptation: The Architecture of an
Academic Learning Organization, Higher
Education, 38, Pp.127-154.
Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U.
Bilello (1996). Organizational
Transformation and Learning: A Cybernatic
Approch to Management
Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The
Second Generation Learning Organizations:
New Tool for Sustaining Competitive
Advantage, Organizational Dynamics, 27 (2),
pp.6-21.Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving
Educational Quality in the Academic
Departement. In A.F. Lucas & Associates,
Leading Academic Change: Essential Roles
for Department Chairs, pp.165-194.
Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to
Putting the Learning Organization to Work ,
Boston: Harvard Business School Press.
Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan
M.S. Spiro (1996). Learning Organization
Come Alive, Training and Development ,
December, pp. 35-45.
Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher
Education, Higher Education, 23(4), pp.8-14.
Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A.
Tucker (1999). The Departement Chairs as a
Academic Leader , phoenix, AZ: Oryx Press.
Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and
Organizational Learning, Sloan Management
Review, fall, pp.37-50.
Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of
Commitment: The Heart of Learning
Organizations, Learning Organizations, Eds
S.Chawla dan J. Renesh, Oregon: Productivity
Press.
Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The
Role of Statements of Institusional Purpose,
Research in Higher Education , December,
32(6), pp.599-624.
Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior , Seventh Edition, International Edition, New
York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning
Organization. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Murray, J. (1997). Succesful Development and
Evaluation: The Complete Teaching Portfolio,
ASHE-ERIC Higher Education Report ,
No.8, Washington, DC.
O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st
Century, Phoenix, AZ: Oryx Press.
Ortenblad, A. (2001). On Differences betweenOrganizational Learning and Learning
Organization, The Learning Organization,
Vol. 8, No. 3, pp. 125-133.
Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995).
Learning Organization in Practice , London:
McGraw-Hill.
Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional
Research: From Improvement to Redisign. In
J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional
Research All About? A Critical and
Comprehensive Assesment of the Profession,
New Directions for Institutional Research , winter, pp.83-103.
Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning
Community: Contradiction in Terms or
Realizable Future? In A.F. Lucas and
Associates, Leading Academic Change:
Essential Roles for Departement Chairs,
pp.275-300.
Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art
and Practice of the Learning Organization,
New York: Doubleday.
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 pembelajaran_organisasi
9/9
Yeni Absah Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
41
Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and
Learning Organization: A Dichotomy
between Decriptive and Prescriptive
Research, Human Relations, pp.73-89.
Tucker, A. (1992). Chairing the Academic
Departement: Leadership Among Peers,
New York: MacMillan.
Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement:
How Five Campuses are Inching toward
Cultures of Collective Responsibility,
Washington, DC: American Association for
Higher Education.
Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002).
Strategic Management and Business Policy ,
Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall
Universitas Sumatera Utara