penyakit kawasaki

32
1 BAB I PENDAHULUAN Penyakit Kawasaki (PK) atau sindrom limfonodi mukokutaneus dan yang terkadang disebut poli arteritis nodusa infantil merupakan penyakit inflamasi yang terjadi secara sistemik. Lokasi inflamasi tersering terjadi pada pembuluh darah koroner. Di Amerika Serikat penyakit ini telah menyerang 3000 orang tiap tahunnya, walaupun kejadian penyakit ini lebih tinggi pada ras Asia. Derajat keparahan penyakit sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup bagi penderita dan akan berdampak pada komunitas, paling tidak keluarga. Bagi seorang anak pasca PK, jika komplikasi koroner atau katup berat, perlu penanganan jangka panjang, mulai dari ekokardiografi, hingga transplantasi jantung. Hal tersebut akan membawa suatu dampak yang dapat cukup signifikan bagi orangtua, keluarga maupun lingkungannya. Pada kasus kasus yang ringan, apalagi jika tidak dijumpai kelainan koroner, dampak jangka panjang bisa dikatakan relatif tidak signifikan kecuali kemungkinan terjadinya aterosklerosis prematur pada usia dewasa dengan berbagai konsekuensinya. Oleh karena itu penilaian secara dini serta diagnosis dan penatalaksanaan secara tepat akan sangat berdampak pada kualitas hidup seseorang tersebut.

Upload: jadibya

Post on 03-Sep-2015

38 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kawasaki disease

TRANSCRIPT

22

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kawasaki (PK) atau sindrom limfonodi mukokutaneus dan yang terkadang disebut poli arteritis nodusa infantil merupakan penyakit inflamasi yang terjadi secara sistemik. Lokasi inflamasi tersering terjadi pada pembuluh darah koroner. Di Amerika Serikat penyakit ini telah menyerang 3000 orang tiap tahunnya, walaupun kejadian penyakit ini lebih tinggi pada ras Asia.

Derajat keparahan penyakit sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup bagi penderita dan akan berdampak pada komunitas, paling tidak keluarga. Bagi seorang anak pasca PK, jika komplikasi koroner atau katup berat, perlu penanganan jangka panjang, mulai dari ekokardiografi, hingga transplantasi jantung. Hal tersebut akan membawa suatu dampak yang dapat cukup signifikan bagi orangtua, keluarga maupun lingkungannya. Pada kasus kasus yang ringan, apalagi jika tidak dijumpai kelainan koroner, dampak jangka panjang bisa dikatakan relatif tidak signifikan kecuali kemungkinan terjadinya aterosklerosis prematur pada usia dewasa dengan berbagai konsekuensinya.

Oleh karena itu penilaian secara dini serta diagnosis dan penatalaksanaan secara tepat akan sangat berdampak pada kualitas hidup seseorang tersebut.

BAB II

PENYAKIT KAWASAKI

Penyakit Kawasaki (PK) atau yang sering disebut sebagai sindrom limfonodi mukokutaneus atau poli arteritis nodusa infantil merupakan vaskulitis akut sistemik yang mempunyai predileksi pada arteri koroner terutama bayi dan anak balita. Penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Tomisaku Kawasaki di Japan pada tahun 1967. Vaskulitis yang terjadi apabila tidak di tatalaksana akan mengakibatkan abnormalitas pada pembuluh darah koroner yang berefek trombosis atau stenosis arteri koroner, infark miokard, aneurisma dan akhirnya ruptur, hingga kematian mendadak. 1

2.1 EPIDEMIOLOGI

Penyakit Kawasaki ini dapat menyerang semua ras dan etnik. Insiden di Amerika Serikat diperkirakan ada 3000 kasus setiap tahunnya, namun jumlah ini diperkirakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ras Asia. Kejadian penyakit Kawasaki lebih sering dijumpai pada usia kurang dari 5 tahun, seperti yang tergambar dalam grafik dibawah ini.2

Saundankar et al. The Epidemiology and Clinical Features of Kawasaki Disease in Australia. American Academy of Pediatric. 2014

Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa penyakit Kawasaki ternyata lebih banyak dijumpai pada pendudukan Asia, terutama di Jepang. Berikut merupakan gambaran insidensi penyakit Kawasaki dalam beberapa periode di beberapa Negara Asia, Eropa dan Amerika yang dikumpulkan oleh Uehara E dan Belay pada tahun 2011. 8

Sumber: Uehara R, Belay ED. Epidemiology of Kawasaki Disease in Asia, Europe, and United States. J Epidemiol 2012; 22 (2) ; 79-85

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa memang penduduk Jepang memiliki peringkat nomor satu dan diikuti oleh Negara Korea. Walaupun demikan Negara-negara barat ternyata juga memiliki insiden yang cukup tinggi, sebagai contoh Negara Amerika Serikat pada tahun 2009 memiliki insidensi 19 per 100.000 penduduk. 8

2.2 ETIOLOGI

Etiologi dari penyakit Kawasaki ini masih dalam kontroversi, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa penyakit Kawasaki berhubungan dengan infeksi berbagai mikroorganisme, diantaranya adalah staphylococcus, streptococcus dan mycoplasma pneumonniae. Pendapat yang mengatakan bahwa infeksi sebagai pemicu terjadinya Kawasaki berdasarkan teori bahwa vaskulitis yang terjadi adalah akibat respon sistem imun terhadap superantigen (SAg) dari bakteri tersebut. 6,9

Faktor genetik juga dikatakan berperan dalam penyakit Kawasaki ini. Hubungan antara faktor genetik dan penyakit Kawasaki ini berdasarkan atas data penelitian bahwa penduduk Jepang dan Asia memliki kecenderungan lebih besar terkena penyakit Kawasaki dibandingkan dengan penduduk di Amerika Serikat ataupun Eropa. Penelitian mengenai polimorfisme nukleotida tunggal merupakan hal yang menghubungkan antara genetik dengan kejadian penyakit Kawasaki. Lokus FC gamma RIIa dan gen ITPKC diduga menjadi predisposisi bagi masyarakat Jepang dan Amerika Utara. Gen ITPKC merupakan modulator aktivitas sel T dan merupakan gen yang diduga sebagai predisposisi regulasi sel T yang menjadi masalah dalam perkembangan penyakit. 15

2.3 PATOGENESIS

Penyakit Kawasaki menyebabkan vaskulitis sistemik tetapi predominan pada arteri arteri dengan ukuran sedang dengan predileksi tersering adalah arteri koroner. Pemeriksaan patologi pada pasien yang meninggal pada fase akut sub akut memperlihatkan bahwa terjadi edema pada otot polos dan endotel arteri koroner, selain itu infiltrasi sel radang terutama polimorfonuklear diikuti makrofag serta limfosit (CD8) pada dinding pembuluh darah. 1

Inflamasi yang terjadi pada dinding arteri koroner menyebabkan dinding arteri menjadi lemah. Kelemahan dinding arteri menyebabkan aneurisme pada arteri koroner, aneurisme yang terjadi dapat berupa bubble shaped (sakular), atau cigar-shaped (fusiformis). Tanpa tatalaksana pada waktu yang tepat, 1 dari 5 penderita penyakit Kawasaki akan berkembang menjadi aneurisme. Selain inflamasi pada arteri koroner, inflamasi juga dapat terjadi pada otot jantung itu sendiri, yaitu miokarditis, kebocoran dari katup, namun kelainan ini biasanya bersifat sementara. 1,7

Beberapa literature mengatakan bahwa terdapat keterlibatan Matriks Metalloproteinase (MMPs). Sebuah studi mengatakan bahwa terjadi peningkatan kadar MMP-1, 2, 3 dan 9. Kadar TIMPS juga ditemukan meningkat pada pasien yang mengalami penyakit Kawasaki. Pada penyakit Kawasaki yang menderita kelainan arteri koroner selain terjadi peningkatan kadar MMPs dan TIMPS, terjadi peningkatan rasio MMP/TIMP. Dengan kejadian ini maka dapat terjadi degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya dapat menyebabkan aneurisme arteri koroner. 6

Gambaran arteri koroner normal dan aneurisme arteri pada arteri koroner

Baker et al. Kawasaki Disease. American Heart Association. 2008

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Perjalanan penyakit Kawasaki ada beberapa fase, dimana dalam fase-fase tersebut muncul pula beberapa gejala atau manifestasi klinis yang dapat dijumpai. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada masing-masing fase adalah sebagai berikut: 7

Fase akut (10 hari)

Demam tinggi mendadak dengan suhu dapat mencapai 39oC. Demam yang terjadi dapat persisten hingga 10-11 hari tanpa pengobatan. Dengan terapi yang adekuat, demam biasanya dapat turun pada hari kedua, setelah 5 hari manifestasi klinis lain pada fase akut ini akan dapat muncul.

Konjungtivitis tanpa eksudat muncul beebrapa saat setelah onset demam muncul. Namun manifestasi konjungtivitis ini dapat hilang sendiri.

Perubahan pada bibir dan mulut, perubahan yang terjadi dapat berupa eritema, kering, fissure, bahkan bisa berdarah. Pada lidah dapat terbentuk warna kemerahan seperti strawberry yang sering disebut strawberry tongue. Mukosa orofaring juga dapat terlihat hiperemis.

Perubahan pada ekstremitas, yaitu eritema dan edema pada tangan dan kaki, terkadang dapat dijumpai indurasi yang nyeri pada ekstremitas tersebut. lesi kulit deskuamasi dapat terjadi setelah 2-3 minggu.

Hari ke 5 demam biasanya akan muncul kemerahan pada kulit tubuh. Kemerahan tanpa disertai lesi vesikobulosa. Distribusi ruam kemerahan ini biasanya didaerah trunkal dan ekstremitas. Daerah lain yaitu di daerah perineum, dimana lesi deskuamasi dapat sering muncul.

Limfadenopati servikalis dapat terjadi sekitar 50% kasus, pembengkakan kelenjar limfe regio servikal ini berjumlah lebih dari 1 dengan ukuran + 1,5cm.

Selain 6 gejala utama yang telah disebutkan diatas, manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada fase akut meliputi beberapa organ, yaitu sistim kardiovaskular,system musculoskeletal, system genitourinaria, dan system saraf pusat. 1, 7

Gangguan pada system kardiovaskular meliputi gangguan pada pericardium, miokardium endocardium, katup ataupun arteri koroner. Manifestasi yang dapat muncul diantaranya adalah takikardia, bunyi jantung tambahan (gallop), disfungsi ventrikel kiri dengan kardiomegali (miokarditis), efusi pericardium, regurgitasi mitral (murmur pansistolik), abnormalitas arteri koroner yang dapat ulai dilihat pada akhir minggu pertama. Abnormalitas gelombang EKG yang dapat muncul pada seseorang yang mengalami penyakit Kawasaki yaitu pemanjangan interval PR, perubahan pada segmen ST atau gelombang T serta abnormal gelombang Q. abnormal gelombang Q biasanya berhubungan dengan terjadinya infark pada miokardium.

Gejala musculoskeletal yang dapat muncul yaitu arthralgia, arthritis pada beberapa sendi

System genitourinary dapat terlibat pada penyakit Kawasaki, meskipun hanya sebagian kecil. Manifestasi yang dapat muncul yaitu pyuria steril hingga gangguan ginjal akut (acute kidney injury).

Nyeri perut dan diare, gangguan hepar hingga ikterik dapat muncul sebagai manifestasi gangguan system gastrointestinal.

Meningitis aseptic, tuli sensori neural (sensory neural hearing loss) serta iritabilitas da letargi juga merupakan petunjuk keterlibatan system saraf pusat.

Strowberry Tongue

Kongesti konjungtiva bulbar

Sumber: Kliegman et al. Nelson Textbook of Pediatric 18th ed. USA: Saunders. 2007

Jari deskuamasi

Edema indurasi

Sumber: Kliegman et al. Nelson Textbook of Pediatric 18th ed. USA: Saunders. 2011

Gambar: anak dengan lesi eritematosa

Sumber: Freeman A, Shulman ST. Kawasaki Disease: Summary of the American Heart Association Guidelines. Am Academy of Family Physician. 2006

Pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan antara lain penanda inflamasi, yaitu peningkatan kadar leukosit dengan hitung jenis shift to the left serta peningkatan protein fase akut (C-Reactive protein). Laju endap darah juga ditemukan hampir selalu meningkat. Anemia dapat ditemukan pada beberapa kasus. Trombositosis terjadi pada beberapa kasus setelah 7 hari, biasanya 450-000/uL namun kadang dapat melebihi 600.000/uL atau bahkan 1juta/uL. Jika ditemukan penurunan kadar trombosit, maka lebih dicurigai karena infeksi virus. Hipoalbuminemia dan peningkatakn enzim hati (biasanya hanya 2 kali normal) ditemukan pada beberapa kasus juga. Dislipidemia dapat ditemukan, yaitu penurunan kadar HDL (4 hari disertai gejala berikut:

a. Injeksi konjungtiva bulbar bilateral, tanpa eksudat

b. Eritema mukosa dan faring (strawberry tongue and dry), cracked lips tanpa ulserasi

c. Edema dan eritem pada tangan dan kaki

d. Ruam kemerahan (makulopapular, eritema multiform, scralatiniform) di daerah inguinal dan bokong

e. Limfadenopati non supuratif.

Apabila dijumpai gejala demam > 4 hari disertai 4 gejala diatas maka diagnosis Kawasaki dapat ditegakkan (definite). Selaian berdasarkan kriteria diatas, diagnosis definitif Kawasaki dapat dibuat atas ditemukannya gejala demam > 4 hari disertai 5 hari disertai 3 gejala utama dan tidak ditemukannya etiologi lainnya. Anak dengan diagnosis incomplete Kawasaki merupakan anak yang tersering mengalami abnormalitas pembuluh darah koroner. 1,2

Sedangkan diagnosis probable Kawasaki dibuat atas dasar beberapa kriteria berikut: 2

Demam > 5 hari disertai 2 gejala utama diatas

3-4 gejala utama disertai demam dengan durasi waktu yang tidak diketahui

Atau lebih gejala utama dan telah diberikan IVIG sebelum hari ke-5 dengan respon klinik baik.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain sangat dianjurkan, terutama pada pasien yang dicurigai mengalami incomplete Kawasaki. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit serta LED). Pemeriksaan kadar CRP, albumin, ALT serta urinalisa dapat dipertimbangkan. Alur evaluasi pasien yang dicurigai menderita penyakit Kawasaki inkomple menurut American Heart Association dapat dilihat pada gambar. 1,2

Kriteria ekokardiografi dalam menilai abnormalitas koroner telah berubah (ministry of health in Japan). Adapun kriteria yang baru dalam penilaian abnormalitas arteri koroner pada penyakit Kawasaki adalah sebagai berikut: 1

Dimensi arteri koroner >3 standar deviasi (SD) pada 1 dari 3 segmen proksimal (Left Mean Coronary Artery, Left Artery Descendent, and Right Coronary Artery)

Atau salah satunya > +2.5 SD dalam dua segmen proksimal (Kurotobi et al, 2002).

Sumber: Newburger JW et al. Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease: A Statement for Health Professionals From the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, American Heart Association. Pediatrics Vol 114 No. 6. 2004

Berikut merupakan tabel standar deviasi dalam menilai abnormalitas arteri koroner pada penyakit Kawasaki: 1

Segment

BSA (m2)

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

2.0

LAD[]

Mean

1.2

1.4

1.6

1.8

1.9

2.0

2.2

2.3

2.5

2.7

2.8

2.9

3.0

Mean + 2SD

1.5

1.8

2.1

2.3

2.5

2.7

2.8

3.0

3.3

3.5

3.7

4.0

4.2

Mean + 3SD

1.7

2.0

2.3

2.5

2.8

3.0

3.2

3.4

3.8

4.0

4.3

4.5

4.7

RCA

Mean

1.3

1.4

1.6

1.7

1.8

2.0

2.1

2.3

2.5

2.7

2.8

3.0

3.2

Mean + 2SD

1.9

2.1

2.3

2.4

2.6

2.7

2.8

3.1

3.4

3.6

3.8

4.0

4.3

Mean + 3SD

2.2

2.4

2.6

2.8

3.0

3.1

3.3

3.5

3.8

4.1

4.3

4.5

4.8

LMCA

Mean

1.7

1.9

2.1

2.3

2.4

2.5

2.7

2.9

3.1

3.3

3.4

3.6

3.7

Mean + 2SD

2.3

2.6

2.8

3.0

3.3

3.4

3.6

3.9

4.2

4.4

4.6

4.8

5.1

Mean + 3SD

2.7

3.0

3.2

3.4

3.7

3.9

4.0

4.3

4.7

4.9

5.2

5.5

5.8

Sumber: Park MK. Kawasaki Disease in Pediatric Cardiology for Practicioners. 5thed ed.delphi: Mosby. 2008

Berikut merupakan contoh gambaran aneurisme arteri koroner penderita Kawasaki

Sumber: Newburger JW et al. Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease: A Statement for Health Professionals From the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, American Heart Association. Pediatrics Vol 114 No. 6. 2004

Aneurisme pada arteri koroner penderita Kawasaki (Left Artery Descendent)

Sumber: Forte AV, Mandell BF. Rheumatic Disease and the Cardiovascular Systeminc Braundwald Heart Disease. 9th ed. Philadelphia: Elsevier. 2012

Diagnosis banding yang dapat dipikirkan apabila menemukan penderita yang dicurigai menderita penyakit Kawasaki adalah sebagai berikut: 1

No

Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Infeksi virus (campak, adenovirus, enterovirus, virus Epstein-Barr)

Demam scarlet

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome

Staphylococcus Toxic Shock Syndrome

Limfadenitis servikal bakteri

Reaksi hipersensitivitas akibat obat

Sindrom Steven Johnson

Arthritis Rheumatoid Jouvenile

Demam Rocky Mountain Spotted

Leptospirosis

Reaksi hipersensitivitas terhadap merkuri (acrodynia)

2.6 TATALAKSANA

Beberapa modalitas terapi yang dapat digunakan dalam menatalaksana pasien dengan penyakit Kawasaki adalah sebagai berikut:

Aspirin

Aspirin memiliki efek anti inflamasi (dosis tinggi) dan antiplatelet (dosis rendah), sehingga berperan dalam menurunkan angka kelainan koroner. Selama fase akut, dosis aspirin yang dianjurkan adalah 80 sampai 100 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Aspirin dosis tinggi dan immunoglobulin intravena berperan sebagai antiinflamasi. Beberapa senter mengurangi dosis aspirin setelah anak tidak lagi demam selama 48 sampai 72 jam. Sementara senter lain, dosis aspirin tinggi dilanjutkan sampai 14 hari. Selanjutnya, dosis aspirin dikurangi menjadi 3-5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan dipertahankan sampai tidak ada perubahan koroner selama 6 sampai 8 minggu setelah serangan. Pada anak dengan kelainan koroner, aspirin tetap diberikan. Sebagai catatan, pemberian ibuprofen dihindari pada anak dengan aneurisma koroner yang mendapatkan aspirin untuk efek antiplatelet. 14

Imunoglobulin Intravena

Efektifitas IGIV pada fase akut dalam menurunkan kejadian kelainan arteri koroner sudah terbukti. Mekanisme kerja IGIV pada terapi penyakit Kawasaki belum diketahui. IGIV memiliki efek antiinflamasi. Mekanisme yang mungkin adalah memodulasi produksi sitokin, netralisasi bakteri supra-antigen atau agen lainnya, meningkatkan aktivitas sel T dan menekan sintesis antibodi. Puncak serum IgG rendah pada pasien dengan kelainan arteri koroner, dan berhubungan dengan lamanya demam dan hasil laboratorium inflamasi akut. 14

Pasien diberikan IGIV dosis 2 gr/kg dalam dosis infus tunggal, bersamaan dengan aspirin. Terapi ini harus diberikan dalam 10 hari pertama, dan jika mungkin dalam 7 hari pertama serangan penyakit Kawasaki. Terapi penyakit Kawasaki sebelum hari ke-5 tidak lebih baik dalam mencegah gejala sisa jantung disbanding diberikan dalam hari ke-5 sampai 7, tetapi berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan terapi ulang IGIV. IGIV tetap diberikan pada hari ke-10 dari serangan (anak yang didiagnosis salah pada saat pertama), jika terdapat demam yang menetap tanpa diketahui penyebabnya, aneurisma dan adanya proses inflamasi yang bermanifestasi sebagai peningkatan Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP). Walaupun pemberian IGIV dilakukan dalam 10 hari pertama, 5% anak dengan penyakit Kawasaki mengalami dilatasi arteri koroner dan 1% ditemukan aneurisma yang besar. 14

Kortikosteroid

Walaupun terapi kortikosteroid merupakan terapi pilihan untuk terapi vaskulitis, namun pemberian steroid pada anak dengan penyakit Kawasaki terbatas. Kortikosteroid digunakan sebagai terapi awal pada penyakit Kawasaki sebelum penggunaan IGIV. 14

Penelitian Kato dkk. menduga bahwa steroid membawa efek yang merugikan ketika digunakan sebagai terapi dini pada penyakit Kawasaki. Suatu penelitian yang menggunakan heparin dengan metilprednisolon dibanding dengan pengunaan heparin saja, didapatkan bahwa terapi steroid memperbaiki kelainan koroner. Penelitian lain melaporkan terapi prednisolon intravena pada 100 anak yang diikuti dengan oral dibandingkan dengan IGIV dosis rendah (300 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut), didapatkan penurunan lamanya demam yang bermakna dan menurunkan kejadian aneurisma koroner pada pasien yang diberikan steroid. Penelitian lain melaporkan bahwa penambahan 30 mg/kg metilprednisolon intravena disbanding terapi konvensional IGIV (2 gr/kg) dan aspirin, akan memperbaiki hasil terapi. 14

Pasien yang mendapatkan steroid memiliki durasi demam yang lebih singkat dan lama perawatan di rumah sakit berkurang, sama baiknya dengan efek penurunan rerata LED dan CRP dalam 6 minggu setelah serangan. Anak yang mendapatkan kortikosteroid dan IGIV, dibandingkan hanya terapi IGIV saja, memiliki penurunan sitokin termasuk interleukin-2 (IL-2), IL-6, IL-8, dan IL-10 dalam 24 jam pemberian IGIV. Saat ini, manfaat penggunaan steroid pada terapi dini penyakit Kawasaki belum ditetapkan dan masih terus diteliti. 14

Terapi pencegahan thrombosis

Aktivasi platelet merupakan komponen dari fase akut, dan berlangsung selama fase konvalesen dan fase kronik, sehingga antiplatelet berperan penting pada tatalaksana setiap fase penyakit Kawasaki. Dosis rendah aspirin digunakan pada pasien stabil. Semakin luas dan beratnya pelebaran arteri koroner, kombinasi aspirin dengan antiplatelet lainnya seperti klopidogrel atau dipiridamol. Kombinasi klopidogrel dan aspirin menunjukkan hasil lebih efektif dibanding penggunaan salah satu antiplatelet dalam mencegah terjadinya trombosis dan kejadian vaskular pada koroner atau serebral.14

Ketika aneurisma koroner semakin luas, risiko untuk terjadi trombosis semakin besar. Untuk itu, penggunaan heparin dengan aspirin dianjurkan. Tujuan utama dalam terapi ini termasuk mencegah trombosis, dan berhubungan dengan efek remodeling endotel dan trombosis. Pada aneurisma koroner terjadi kelainan aliran darah, yang menyebabkan kondisi seperti aterosklerosis. Pada kondisi tersebut terjadi perlambatan aliran koroner dan darah lebih statis, sehingga memudahkan terjadinya trombus. Terapi yang sering digunakan pada pasien dengan aneurisma koroner adalah aspirin dosis rendah digabungkan dengan warfarin, dengan target International Normalized Ratio (INR) 2 sampai 2,5. Beberapa klinisi mengganti warfarin dengan LMWH seperti heparin. 14

Sekali trombosis terjadi, risiko trombus berulang cepat terjadi. Akut trombosis pada penyakit Kawasaki tidak berhubungan dengan ketidakstabilan atau pecahnya plak. Terapi oklusi koroner akut pada pasien penyakit Kawasaki harus ditargetkan pada kaskade koagulasi. Pada laporan kasus, streptokinase, urokinase, dan tPA telah digunakan pada bayi dan anak dengan trombosis koroner. Karena tidak adanya penelitian besar, random pada anak, terapi pada bayi dan anak dengan trombosis koroner hanya didasarkan atas penelitian pada pasien dewasa dengan sindrom koroner akut. Tujuan terapi meliputi kestabilan koroner, menyelamatkan miokard, dan memperbaiki kualitas hidup.14

Tatalaksana penderita penyakit Kawasaki berdasarkan stadium penyakitnya. Berikut merupakan tatalaksana tersebut: 7

Stadium akut

Intravenous immunoglobulin (IVIg) 2 g/kg selama 1012 jam dengan aspirin 80100 mg/kg/day setiap 6 jam per oral hingga hari ke 14 sakit

Stadium konvalascent

Aspirin 35 mg/kg sehari sekali per oral hingga 68 minggu setelah onset sakit

Tatalaksana jangka panjang bagi penderita Kawasaki dengan abnormalitas pembuluh darah koroner

Aspirin 35 mg/kg sehari sekali per oral clopidogrel 1 mg/kg/day (max 75 mg/day) (beberapa ahli menambahkan warfarin untuk pasien dengan risiko tinggi trombosis)

Thrombosis koroner akut

Terapi fibrinolysis dengan tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, atau urokinase dibawah pengawasan kardiologi anak.

Selain berdasarkan stadium penyakitnya, pemilihan pengobatan pasca fase akut untuk mengontrol dan mengatasi penyakit ini berdasarkan stratifikasi deajat risiko, yaitu:

Derajat I

Karakteristik pasien

Pasien tanpa perubahan arteri koroner pada ekokardiografi pada semua \ fase penyakit

Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut

Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit

Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan

Dianjurkan kontrol tiap 5 tahun untuk melihat faktor risiko kardiovaskular mengingat risikopenyakit jantung iskemik belum dapat disingkirkan

Angiografi koroner tidak dianjurkan

Derajat II

Penderita dengan pelebaran arteri koroner sementara

(hilang dalam 6-8 minggu awitan)

Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut

Terapi antitrombotik tidak diperlukan setelah 6-8 minggu awitan penyakit

Tidak perlu restriksi aktivitas setelah 6-8 minggu awitan penyakit

Dianjurkan kontrol tiap 3-5 tahun untuk penentuan faktor risiko

Angiografi koroner tidak dianjurkan

Derajat III

Pasien dengan aneurisma koroner soliter kecil sampai

sedang ( ukuran > 3 mm tapi < 6 mm atau z score antara 3-7) pada = 1 arteri koroner secara ekokardiografi atau angiografi

Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut

Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan asetosal setidaknya hingga terjadi regresi

Aktivitas fisik tanpa restriksi setelah 6-8 minggu awitan penyakit sampai dekade pertama. Stress test untuk penentuan perfusi miokardial mungkin bermanfaat pada dekade kedua sebagai acuan untuk aktivitas fisik. Olahraga yang dapat menimbulkan cedera fisik dihindari jika masih dalam pemberian antitrombotik guna mencegah timbulnya perdarahan

Dianjurkan untuk diperiksa tiap tahun oleh dokter jantung anak untuk ekokardiografi dan EKG. Stress testuntuk melihat perfusi miokardium dianjurkan tiap 2 tahun pada penderita usia > 10 tahun.

Angiografi koroner dianjurkan jika ditemukan iskemia miokardium pada stress test.

Derajat IV

Pasien dengan =1 aneurisma arteri koroner besar (= 6 mm), termasuk aneurisma raksasa (giant aneurysm, ukuran > 8 mm) dan penderita dengan aneurisma multiple (segmental) atau kompleks tanpa obstruksi

Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut

Pemberian antitrombotik jangka panjang dianjurkan. Pemberian warfarin dengan target INR (International Normalized Ratio) 2 2.5 dianjurkan pada penderita dengan aneurisma raksasa. Pemberian heparin bobot molekul rendah merupakan alternatif warfarin jika pengambilan darah untuk uji INR sulit dikerjakan. Sebagian ahli menganjurkan pemberian kombinasi asetosal dan clodiprogel untuk penderita dengan aneurisma kompleks atau multipel. Jika pemeriksaan INR tidak bisa dilakukan, digunakan nilai waktu protrombin 11/2 sampai 2 kali kontrol

Anjuran aktivitas fisik harus didasarkan pada hasil stress testdengan evaluasi perfusi miokard. Olahraga yang berpotensi traumatik dihindari mengingat risiko terjadinya perdarahan

Evaluasi ekokardiogram dan EKG harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress testdengan evaluasi perfusi miokard harus dikerjakan tiap tahun. Harus dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis, begitu juga keluarganya.

Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif harus dilakukan 6-12 bulan atau lebih dini lagi setelah sembuh dari fase akut PK. Angiografi selanjutnya perlu dilakukan jika ada tanda iskemia pada pemeriksaan non invasi

Derajat V

Pasien dengan obstruksi arteri koroner , terkonfirmasi

dengan angiografi

Pemberian IGIV dan asetosal pada fase akut

Pemberian antitrombotik jangka panjang dengan atau tanpa warfarin

Obat penghambat beta adrenergik perlu dipertimbangkan untuk mengurangi konsumsi oksigen miokard

Anjuran untuk aktivitas tergantung pada respons terhadap stress test. Olah raga yang traumatik harus dihindari karena risiko perdarahan. Pasien juga harus menghindari kehidupan yang kurang aktivitas

Evaluasi kardiologis dengan EKG dan ekokardiogram harus dikerjakan tiap 6 bulan. Stress test dengan evaluasi perfusi miokard dilakukan tiap tahun. Pasien juga harus dipantau faktor risiko terjadinya aterosklerosis begitu juga keluarganya

Kateterisasi jantung dengan angiografi koroner selektif dianjurkan untuk menentukan pilihan operasi pintas koroner atau intervensi dan mengetahui besarnya perfusi kolateral. Ulangan kateterisasi diperlukan jika pemeriksaan non invasif menunjukkan iskemia miokard baru atau perburukan yang lama

Sumber: Advani N. Penyakit Kawasaki dan Dampaknya pada Penderita dan Komunitas. Sari Pediatri Vol.08 Mei 2007

Jamieson N, Grewal DS. Review Article: Kawasaki Disease, a Clinicians Update. Int Journal Paed 2013

2.7 PROGNOSIS

Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dalam pengobatan penyakit Kawasaki dapat mengurangi angka kejadian aneurisme koroner sehingga dapat menyelamatkan serta meningkatkan kualitas hidup penderita baik untuk masa anak-anaknya maupun masa dewasa. 14

Sumber: Holve TJ, Patel A, Chau Q, et al. Long-term Cardiovascular Outcomes in Survivors of Kawasaki Disease. Pediatrics Vol 133.No 2. Feb 2014

DAFTAR PUSTAKA

1. Son MBF, Newburger JW in Kliegman et al. Nelson Textbook of Pediatric 19th ed. USA: Saunders. 2011

2. Saundankar et al. The Epidemiology and Clinical Features of Kawasaki Disease in Australia. American Academy of Pediatric. Pediatrics Vol 133.No 2. Feb 2014

3. Baker et al. Kawasaki Disease. American Heart Association. 2008

4. Newburger JW et al. Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease: A Statement for Health Professionals From the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease, Council on Cardiovascular Disease in the Young, American Heart Association. Pediatrics Vol 114 No. 6. 2004

5. Freeman A, Shulman ST. Kawasaki Disease: Summary of the American Heart Association Guidelines. Am Academy of Family Physician. 2006

6. Senzaki H. The pathophysiology of coronary aneurysme in Kawasaki Disease: role of matrix metalloproteinase. Arch Dis Child. 2006

7. Park MK. Kawasaki Disease in Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphi: Mosby. 2008

8. Uehara R, Belay ED. Epidemiology of Kawasaki Disease in Asia, Europe, and United States. J Epidemiol 2012; 22 (2) ; 79-85

9. Ebrahim M, Gabay M, Chacon RFR. Evidence of Acute Mycoplasma infection in a patient with iincomplete and atypical Kawasaki disease: a case report. Case Report in Medicine. Hindawi Publishing. 2011

10. Watanabe T. Kidney and Urinary Tract Involvement in Kawasaki Disease. International Journal of Pediatrics, Hindawi Publishing. Vol 2013

11. Forte AV, Mandell BF. Rheumatic Disease and the Cardiovascular Systemin Braundwald Heart Disease. 9th ed. Philadelphia: Elsevier. 2012

12. Ariyani S, Advani N, Widodo DP. Profil klinis dan Pemeriksaan penunjang pada penyakit Kawasaki. Sari Pediatri vol 15.No 6 April 2014

13. Holve TJ, Patel A, Chau Q, et al. Long-term Cardiovascular Outcomes in Survivors of Kawasaki Disease. Pediatrics Vol 133.No 2. Feb 2014

14. Advani N. Penyakit Kawasaki dan Dampaknya pada Penderita dan Komuitas. Sari Pediatri Vol.08 Mei 2007

15. Jamieson N, Grewal DS. Revie Article: Kawasaki Disease, a Clinicians Update. International Journal of Pediatrics Vol 2013