[sila 1]
DESCRIPTION
bhaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Seluruh kebijakan yang dibuat
di dalam Indonesia harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila, tidak terkecuali sila pertama
Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berkaitan erat
dengan agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan demikian kebijakan yang
dibuat harus berdasarkan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang dimaksud di sini adalah
nilai agama secara universal, di mana nilai tersebut adalah nilai yang diajarkan setiap agama.
Jauh sebelum masuknya agama-agama besar dunia yang kemudian diakui sebagai
agama resmi di Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa. Seperti yang diungkapkan oleh Bambang Noorsena (2010: 3), terdapat ungkapan
sebagai berikut:
Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia.
Hal tersebut menurut Noorsena terbukti dari syair Ramayana oleh Srimad Walmiki (150 SM)
yaitu “Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah” yang berarti “…
gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa”. Dengan
demikian, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa telah ada sejak sebelum ajaran
agama masuk ke dalam Indonesia.
Menurut penuturan Noorsena (2010: 2), terdapat prasasti Kedukan Bukit yang berasal
dari kerajaan Sriwijaya yang menyebutkan Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja”
(siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya (Dapunta Hyang nayik di samwau manalap
siddhayatra). Menurut Mr. Mohammad Yamin (1962: 31-32), siddhiyatra adalah perjalanan
“ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebut Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).
Nama Dapunta Hyang membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum
masuknya pengaruh Hindu/Buddha. Dari kata hyang ini dikenal istilah sembahyang yang
berarti doa atau menyembah Hyang.
Menurut Clifford Geertz (1981), agama pada dasarnya merupakan produk
kebudayaan. Karena itu, suatu keyakinan tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat. Agama-
agama yang masuk ke dalam Indonesia mendapat pengaruh dari kearifan lokal. Salah satunya
pada era kerajaan Majapahit. Pada era ini, pengaruh Hindu/Buddha masih melekat dengan
kuat dalam masyarakat Indonesia. Pada era ini pula muncul prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa yang oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular disebut sebagai Sri Parwatharaja, yang
bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung prinsip-prinsip dari Siwa (agama
Hindu) dan Buddha. Sri Parwatharaja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa”, seperti dikutip oleh H. Kern (1919: 22) dari syair Mpu Prapanca dalam Negara
Kertagama bahwa Sri Parwatharaja adalah:
“Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).
Selain dari segi historis mengenai kepercayaan masyarakat Indonesia sejak sebelum
masuknya agama ke dalam Indonesia, terdapat segi historis pula pada saat pembentukan
Pancasila. Pada mulanya sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dikarenakan dianggap condong ke agama
tertentu sedangkan agama yang berkembang di Indonesia beraneka ragam, maka sila pertama
Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan ini dilakukan melalui
Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian diterima hingga saat ini
karena nilai Ketuhanan yang dimaksud adalah nilai Ketuhanan yang bersifat universal
sehingga dapat diterima oleh seluruh umat agama di Indonesia.
Daftar PustakaGeertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.Kern, H. 1919. Het Oud-Javaansche Lofdicht Negarakertagama van Prapanca 1365 AD.
Amsterdam: “Hadi Poestaka” Boekh. En Uitg. Mij‘s-Gravenhage.Noorsena, Bambang. 2010. Tuhan Yang Maha Esa Bukan Monopoli Agama. Makalah dalam
diskusi “Yang Kecil dan Yang Beraneka: Kepercayaan dan Kesenian di Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 9 Juni 2010.
Valmiki, Samid. 1992. Ramayana with Sanskrit text and English Translation Part-I:I Aranya-Kanda, Kiskinda Kanda and Sundara Kanda. Gorakhpur: Gita Press.
Yamin, Mr. Muhammad. 1962. Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa Jilid III. Jakarta: Penerbit Jajasan Prapantja.