[sila 1]

4
BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Seluruh kebijakan yang dibuat di dalam Indonesia harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila, tidak terkecuali sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berkaitan erat dengan agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan demikian kebijakan yang dibuat harus berdasarkan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang dimaksud di sini adalah nilai agama secara universal, di mana nilai tersebut adalah nilai yang diajarkan setiap agama. Jauh sebelum masuknya agama-agama besar dunia yang kemudian diakui sebagai agama resmi di Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang diungkapkan oleh Bambang Noorsena (2010: 3), terdapat ungkapan sebagai berikut: Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Hal tersebut menurut Noorsena terbukti dari syair Ramayana oleh Srimad Walmiki (150 SM) yaitu “Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah” yang berarti “… gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa”. Dengan demikian, kesadaran rohani akan

Upload: mcs-candra-putra

Post on 23-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bha

TRANSCRIPT

Page 1: [Sila 1]

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Seluruh kebijakan yang dibuat

di dalam Indonesia harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila, tidak terkecuali sila pertama

Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berkaitan erat

dengan agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan demikian kebijakan yang

dibuat harus berdasarkan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang dimaksud di sini adalah

nilai agama secara universal, di mana nilai tersebut adalah nilai yang diajarkan setiap agama.

Jauh sebelum masuknya agama-agama besar dunia yang kemudian diakui sebagai

agama resmi di Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa. Seperti yang diungkapkan oleh Bambang Noorsena (2010: 3), terdapat ungkapan

sebagai berikut:

Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia.

Hal tersebut menurut Noorsena terbukti dari syair Ramayana oleh Srimad Walmiki (150 SM)

yaitu “Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah” yang berarti “…

gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa”. Dengan

demikian, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa telah ada sejak sebelum ajaran

agama masuk ke dalam Indonesia.

Menurut penuturan Noorsena (2010: 2), terdapat prasasti Kedukan Bukit yang berasal

dari kerajaan Sriwijaya yang menyebutkan Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja”

(siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya (Dapunta Hyang nayik di samwau manalap

siddhayatra). Menurut Mr. Mohammad Yamin (1962: 31-32), siddhiyatra adalah perjalanan

“ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebut Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).

Nama Dapunta Hyang membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum

masuknya pengaruh Hindu/Buddha. Dari kata hyang ini dikenal istilah sembahyang yang

berarti doa atau menyembah Hyang.

Menurut Clifford Geertz (1981), agama pada dasarnya merupakan produk

kebudayaan. Karena itu, suatu keyakinan tidak terlepas dari kebudayaan masyarakat. Agama-

agama yang masuk ke dalam Indonesia mendapat pengaruh dari kearifan lokal. Salah satunya

pada era kerajaan Majapahit. Pada era ini, pengaruh Hindu/Buddha masih melekat dengan

Page 2: [Sila 1]

kuat dalam masyarakat Indonesia. Pada era ini pula muncul prinsip Ketuhanan Yang Maha

Esa yang oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular disebut sebagai Sri Parwatharaja, yang

bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung prinsip-prinsip dari Siwa (agama

Hindu) dan Buddha. Sri Parwatharaja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha

Esa”, seperti dikutip oleh H. Kern (1919: 22) dari syair Mpu Prapanca dalam Negara

Kertagama bahwa Sri Parwatharaja adalah:

“Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).

Selain dari segi historis mengenai kepercayaan masyarakat Indonesia sejak sebelum

masuknya agama ke dalam Indonesia, terdapat segi historis pula pada saat pembentukan

Pancasila. Pada mulanya sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dikarenakan dianggap condong ke agama

tertentu sedangkan agama yang berkembang di Indonesia beraneka ragam, maka sila pertama

Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan ini dilakukan melalui

Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ketuhanan Yang Maha Esa kemudian diterima hingga saat ini

karena nilai Ketuhanan yang dimaksud adalah nilai Ketuhanan yang bersifat universal

sehingga dapat diterima oleh seluruh umat agama di Indonesia.

Page 3: [Sila 1]

Daftar PustakaGeertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:

Pustaka Jaya.Kern, H. 1919. Het Oud-Javaansche Lofdicht Negarakertagama van Prapanca 1365 AD.

Amsterdam: “Hadi Poestaka” Boekh. En Uitg. Mij‘s-Gravenhage.Noorsena, Bambang. 2010. Tuhan Yang Maha Esa Bukan Monopoli Agama. Makalah dalam

diskusi “Yang Kecil dan Yang Beraneka: Kepercayaan dan Kesenian di Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 9 Juni 2010.

Valmiki, Samid. 1992. Ramayana with Sanskrit text and English Translation Part-I:I Aranya-Kanda, Kiskinda Kanda and Sundara Kanda. Gorakhpur: Gita Press.

Yamin, Mr. Muhammad. 1962. Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa Jilid III. Jakarta: Penerbit Jajasan Prapantja.