tini rohmantini (g1a212144) tinea cruris
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
TINEA CRURIS
Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK
Disusun Oleh:
Tini Rohmantini
G1A212144
SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :
“TINEA CRURIS”
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun oleh :
Tini Rohmantini G1A212144
Disetujui dan disahkan:
Tanggal September 2014
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Ismiralda Oke P utranti , Sp.KK
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 65 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Cikamuning 04/03 Pangaresan
Tanggal Periksa : 05 September 2014
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Gatal pada perut bagian bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Onset
Dua bulan yang lalu
b. Lokasi
Perut bagian bawah, selangkangan hingga bokong
c. Faktor Memperberat
Berkeringat
d. Faktor Memperingan
Salep dari dokter
e. Kronologi
Pasien mulai merasakan gatal sejak 2 bulan yang lalu di daerah
perut bagian atas. Awalnya muncul bercak-bercak kemerahan
dengan pinggirnya lebih merah. Semakin hari semakin gatal. Dan
menjalar ke selangkangan. Pasien pernah berobat ke dokter umum
di puskesmas dan diberi salep. Namun bercak kemerahan tersebut
semakin meluas hingga ke bokong, warna yang sebelumnya merah
menjadi kehitaman.
3
f. Gejala penyerta
Tidak ada
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah menderita penyakit ini sebelumnya pada tahun
2010. Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit seperti pasien.
Riwayat alergi pada keluarga juga tidak ada.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami dan tiga
orang anak. Pasien sering menggunakan pakaian dalam yang agak
lembab sehingga memicu timbulnya jamur. Pasien mengaku mandi dua
kali sehari pada pagi dan sore hari.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaram : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respiration rate : 20x/menit
Suhu : 36
Tinggi badan : 158 cm
Berat badan : 67 kg
Kesan gizi : cukup
Status Generalis
Kepala : Simetris, mesochepal, venektasi temporal (-/-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung: Discharge (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
4
Telinga: Kelainan bentuk (-), discharge (-)
Leher : Deviasi trakhea (-)
Status Lokalis
Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Elslremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
Status Lokalis Dermatologi
Lokasi : Regio abdomen pars inferior
Efloresensi :
Inspeksi: Makula hiperpigmentasi, papula milier hipopigmentasi
disertai
skuama halus diatasnya dan berbatas tegas.
Palpasi : Teraba kasar dan berbatas tegas.
D. RESUME
Pasien seorang perempuan 65 tahun datang ke poli kulit kelamin
RSMS dengan keluhan gatal pada perut bagian bawah, selangkangan, dan
bokong yang memberat bila berkeringat. Pada awalnya muncul bercak-
bercak kemerahan sekitar dua bulan yang lalu dengan pinggirnya lebih
merah. Semakin hari semakin gatal dan menjalar. Pasien pernah berobat ke
dokter umum di puskesmas dan diberi salep. Namun bercak kemerahan
tersebut semakin meluas hingga ke bokong, warna yang sebelumnya
merah menjadi kehitaman. Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada
tahun 2010 dan sembuh, riwayat alergi disangkal. Pasien mengaku kurang
menjaga kebersihan diri. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status dermatologis ditemukan Makula
hiperpigmentasi, papula hipopigmentasi dengan skuama diatasnya dengan
tepi lebih aktif dan teraba kasar dan berbatas tegas.
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lampu wood
2. Kerukan kulit dengan KOH
5
F. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis
Tinea Cruris
2. Diagnosis Banding
a. Eritrasma
b. Kandidiasis
c. Psoriasis
G. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
a. Antimikotik sitemik: Ketokonazol 200 mg 1x1 selama 1 bulan
b. Antihistamin: Loratadin 10 mg 1x1
c. Antimikotik topikal: Ketokonazol cream 2x oles setiap hari selama
1 bulan
2. Non medikamentosa
a. Jaga daerah lesi tetap kering
b. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan
handuk dan mengganti pakaian yang lembab
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat dan diganti setiap hari
e. Pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci
f. Jangan menggunakan pakaian atau handuk secara bersama-sama
dengan orang lain
g. Bersihkan kamar minimal seminggu sekali
h. Langsung mandi bila selesai beraktivitas yang mengeluarkan
banyak keringat
6
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanasionam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionan : ad bonam
Quo ad cosmeticam : ad bonam
Gambar 1. Tina Cruris, lesi berupa makula hiperpigmentasi, papula
hipopigmentasi dengan skuama diatasnya dengan tepi lebih aktif dan
teraba kasar dan berbatas tegas.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini Dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas
pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea
cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of
the groin dan dhobie itch.
B. ETIOLOGI
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Penyebab tinea kruris
yang tersering yaitu Epidermophyton Floccosum, namun dapat pula oleh
Tinea Mentagrophytes yang dapat ditularkan secara langsung dan tidak
langsung
8
Gambar 2. bentuk dari Epidermophyton Floccosum dan Tinea
Mentagrophytes
C. EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah
tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea
cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan
kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
D. PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis dan epitel rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian dan debu. Agen
penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk
atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin,
sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai
dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan
epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola
radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas
yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula
yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik,
zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula
satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-
bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang
9
rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang lipat paha
bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak
pada lokalisasi dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela
jari paling sering terserang penyakit jamur.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah
sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Kebanyakan terjadi pada usia dewasa dan laki-laki lebih sering terkena
daripada wanita.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan biasanya merupakan rasa gatal dan kemerahan di regio
inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus.
Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal
akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada
pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar
pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus.
Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlet olahraga
dan individu yang berisiko terkena dermatofitosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri
dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang
tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
10
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi. Manifestasi tinea cruris dapat berupa :
a. Makula eritematosa dengan central healing di lipatan inguinal, distal
lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis
b. Daerah bersisik
c. Pada infeksi akut bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
dan disertai likenifikasi
e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan
h. Infeksi kronis dapat terjadi oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritemaosa, sedikit berskuama, dan
mungkin terdapat pustula folikuler
i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan
kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70%, kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel atau pinggir gelas, taruh di obyek glass tetesi
KOH 20% sebanyak 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan
jaringan, lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan
didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan miselium.
11
2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi
bacterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-
6 minggu.
3. Punch biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitas dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–
Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan
methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.
4. Lampu wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya
eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan
penunjang dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH
10-20%, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau
penggunaan lampu wood.
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidosis
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies
Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut
dan mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronkus. Penyakit ini terdapat di
seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik
endogen maupun eksogen. Faktor endogen misalnya kehamilan karena
perubahan pH dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas,
12
iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi dan
imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan
kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air
yang lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, dan
kontak dengan penderita. Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama
ketiak, bagian bawah payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan,
dan sela antar jari. Dapat juga mengenai daerah belakang telinga, lipatan
kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan biasanya
antara jari ke tiga dan ke empat, pada sela jari kaki antara jari ke empat
dan ke lima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas
seperti terbakar. Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa
bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian
meluas, berupa vesikel yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-
4 mm, bercak kemerahan, batas tegas. Pada bagian tepi kadang-kadang
tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh vesikel atau papul
di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka,
dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela
jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang
kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih.
2. Eritrasma
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum
yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai berupa
lesi eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.
Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan.
Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita.
Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada
penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan
serpiginosa. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi
yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda
khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada
13
perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi
terlihat berfluoresensi merah membara (coral red).
3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai
fenomena tetesanlilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksi pada skalp,
perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor terutama
siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak
eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema
sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian
di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-
lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar
kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat
berkonfluensi.
I. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti
jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allilamin yang tersedia dalam
beberapa formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi
yaitu 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi
dan sore hari selama 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas
lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh.
Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat lesi yang luas, kegagalan
dengan terapi topikal dan intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih
obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.
Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik
diberikan lebih dari 4 minggu. Pengobatan anti jamur untuk tinea cruris dapat
digolongkan dalam emapat golongan yaitu: golongan azole, golongan
allilamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan,
haloprogin. Golongan azole akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha
demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol),
14
dimana struktur tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel
jamur. Golongan allilamin menghambat kerja dari squalen epokside yang
merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat
akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel.
Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin
mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan allilamin sedangkan
golongan lainnya sama dengan golongan azole. Obat secara topikal yang
digunakan dalam tinea cruris antara lain:
1. Golongan Azole
a. Clotrimazole
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris karena bersifat anti jamur broad spektrum yang
mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah
permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada
perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa.
Obat ini tersedia dalam bentuk cream 1%, solution, lotion. Diberikan 2
kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini, namun
tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,
peradangan infeksi yang luas dan hindari kontak mata.
b. Mikonazole
Mekanisme kerjanya merusak selaput dinding sel jamur dengan
menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas
membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia
dalam bentuk cream 2%, solution, lotion dan bedak. Diberikan 2 kali
sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan
hindari kontak dengan mata.
c. Econazole
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan
dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein
15
sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan econazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2 kali
atau 4 kali dalam sediaan cream 1%. Tidak dianjurkan pada pasien
yang menunjukkan hipersensitivitas dan hindari kontak dengan mata.
d. Ketokonazole
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang
bersifat broadspektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga
komponen sel jamur meningkat dan menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole
Mekanisme kerja oxiconazole yang bersifat broad spektrum akan
menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan
oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam
bentuk cream 1% atau bedak kocok. Tidak dianjurkan pada pasien
yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk
pemakaian luar.
f. Sulkonazole
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik
tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan
menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan
kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solution.
Penggunaannya dengan dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-
4 minggu sebanyak 4 kali sehari.
2. Golongan allilamin
a. Naftifine
Bersifat anti jamur broad spektrum dan merupakan derivat sintetik dari
allilamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol
sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat. Pengobatan
16
dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan
klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. Penggunaan pada
anak sama dengan dewasa (dioleskan 4 kali sehari selama 2-4 minggu).
b. Terbinafin
Merupakan derifat sintetik dari allilamin yang bekerja menghambat
skuale nepoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol
jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol dan menyebabkan
kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan
keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi
penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine
Anti jamur poten yang berhubungan dengan allilamin. Kerusakan
membrane sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat
pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan
selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4 kali sehari.
4. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubungan
dengan sintesis DNA
b. Haloprogin
Tersedia dalam bentuk solution atau sprai dan cream 1%. Digunakan
selama 2-4 minggu dan dioleskan sebanyak 3 kali sehari.
c. Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%, bedak dan solution. Dioleskan 2 kali sehari
selama 2-4 minggu.
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal. Berikut adalah obat sistemik yang dapat
digunakan dalam pengobatan tinea cruris:
1. Ketokonazole
17
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang
berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberiannya 200 mg/hari
selama2-4 minggu.
2. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral
yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan
menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang
merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada penelitian
disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan
hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg PO
selama 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100 mg jika tidak ada
perbaikan tetapi tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-anak
dosinya 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada
penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan
cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung.
3. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur
dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat
keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa yaitu
500 mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4minggu,
untuk anak 10-25mg/kg/hari PO atau 20 mg microsize /kg/hari.
4. Terbinafine
Dosis pemberian secara oral pada dewasa adalah 250 mg/hari selama 2
minggu. Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan
yaitu 12-20kg (62,5mg/hari selama 2 minggu), 20-40kg (25mg/ hari
selama 2 minggu) dan >40kg (250mg/ hari selama 2 minggu).
Selain dengan menggunakan obat-obatan, pemberian edukasi kepada pasien
juga diperlukan dalam proses pengobatan tinea cruris. Beberapa edukasi yang
dapat diberikan kepada pasien antara lain:
1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi
18
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki. Bila berkeringat keringkan dengan handuk
dan mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat
seperti katun, tidak ketat dan diganti setiap hari
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas
6. Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bersama-sama dengan
orang lain
J. KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang
lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan
hiperpigmentasi kulit.
K. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik jika diberikan terapi yang tepat dan selalu
menjaga kelembapan dan kebersihan kulit.
19
BAB III
PEMBAHASAN
Tinea cruris adalah salah satu penyakit dermatofitosis yang sering terjadi
di Indonesia. Salah satu faktor yang perperan dalam terjadinya tinea cruris adalah
kurangnya higienitas. Pada pasien ini didapatkan tinea cruris yang ditandai dengan
adanya lesi makula hiperpigmentasi geografis dengan skuama. Terjadinya tinea
cruris yang kronis dan luas pada pasien dapat diakibatkan oleh pengobatan yang
tidak adekuat yang pernah dilakukan oleh pasien. Pengobatan tinea cruris
membutuhkan waktu antara 2-4 minggu tanpa putus obat bahkan dapat lebih dari
itu bila lesi sangat luas dan proses penyembuhan lambat. Apabila terdapat
kegagalan terapi maka jamur pada kulit masih dapat berkembang dan
menimbulkan lesi yang lebih luas. Selain itu faktor eksogen seperti higienitas diri
dan lingkungan juga diperlukan. Perlu kondisi yang kondusif pada lesi di kulit
untuk dapat membantu proses penyembuhan. Hal tersebut dapat diperoleh dengan
menjaga lesi tetap kering dan memakai pakaian yang meyerap keringat dan
longgar. Selain faktor eksogen dari diri pasien, diperlukan juga faktor eksogen
dari lingkungan yaitu dengan menciptakan gaya hidup yang bersih dan sehat. Bila
jamur sudah menghilang namun pasien tidak mengubah pola hidupnya maka tidak
menutup kemungkinan bahwa pasien akan terkena tinea cruris kembali atau tinea
yang lainnya.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan
memberikan obat secara topikal dan sistemik. Tetapi yang paling utama adalah
memberikan edukasi kepada pasien. Untuk pengobatan topikal dan sitemik dapat
diberikan Antihistamin loratadin 10 mg 1x1 tab untuk mengurangi rasa gatal,
Ketoconazol 200mg 1x1 tab sebagai fungistatik, dan Ketoconazol cream 2% 2 x
oles. Prognosis dari tinea kruris yang diderita pasien pada umumnya baik bila
diobati dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi,
demikian juga sebaliknya.
20
IV. KESIMPULAN
Tinea cruris adalah penyakit jamur yang mengenai lipat paha, daerah
perineum dan anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun.
Kelainannya dapat berupa lesi yang berbatas tegas pada daerah genito cruris atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Peradangannya pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya.
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Bila
penyakit ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Pengobatannya dapat secara sistemik, topikal maupun keduanya tergantung dari
luas lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4 minggu tanpa putus obat.
Penyembuhan penyakit ini sangat tergantung oleh higienitas penderita.
21
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 1. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin: 2003.5-10
Budimulja, Unandar. 2007. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : FK UI. Hal 89-105.
Djuanda A, Hamzah M. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gupta K, Chaudhry M dan Elewski B. 2003. Tinea corporis, tinea cruris, tinea
nigra, and piedra. Dermatol Clin. 21:395-400.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 1. Jakarta: Hipokrates.
Nadalo D dan Montoya C. 2006. What is the best way to treat tinea cruris. The
Journal of Family Practice. 55(3): 256-258.
Siregar, RS. 2002. Atlas Berwarna Saripati Kulit dan Kelamin. Jakarta: EGC.
Straten MRV, Hossain MA dan Ghannoum MA. 2003. Cutaneous infections
Dermatophytosis, onychomycosis and tinea versicolor. Infect Dis Clin N
Am. 17: 87-112.
Tavares HS, Alchorne MMA dan Fischman O. 2001. Tinea cruris epidemiology
(Sao Paulo, Brazil). Mycopathologia. 149(3): 147-149.
Vena GA, Chieco P, Posa F, Garofalo A, Bosco A dan Cassano N. 2012.
Epidemiology of dermatophytoses: retrospective analysis from 2005 to 2010
and comparison with previous data from 1975. New Microbiologica. 35:
207-213.
22