repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 895 › b… · web view...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Emprik Perbankan di Indonesia
1. Gambaran Umum Sektor Perbankan di Indonesia
Bank umum di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut ;
a. Bank Umum Persero Milik Pemerintah yang merupakan bank pemerintah
yang mempunyai jaringan dalam dan luar negeri. Bank ini juga
menyediakan berbagai produk perbankan yang luas dan mencakup
semua lapisan masyarakat.
b. Bank Umum Swasta Nasional yang merupakan bank yang mempunyai
jaringan dalam negeri dan beberapa bank swasta nasional yang
mempunyai jaringan kantor cabang di luar negeri. Bank ini juga
menyediakan berbagai produk perbankan yang cukup luas dan mencakup
semua lapisan masyarakat.
c. Bank umum Milik Pemda atau Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang
merupakan bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah dimana usahanya
terfokus di daerah di mana bank tersebut berada (regional banking) dan
lebih mengutamakan pendanaan terhadap kegiatan pemerintah daerah
setempat. Produk-produknya lebih fokus dan terbatas dibandingkan
dengan bank swasta atau bank persero. Dalam peta perbankan di
Indonesia, BPD mempunyai peran dan fungsi yang sangat terfokus pada
pengembangan dan pembangunan ekonomi daerah atau regional.
d. Bank Asing dan Campuran (joint venture) yang merupakan bank yang
terbentuk dari hasil kerja sama permodalan antara pihak pribumi dan
18
pihak asing. Kegiatan bank ini cukup luas dan mencakup semua lapisan
masyarakat.
e. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang merupakan bank yang melakukan
pendanaan mikro (microfinancing). Dalam peta perbankan di Indonesia,
BPR mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting dalam konteks
pemberian fasilitas kredit pada usaha kecil dan lapisan masyarakat bawah
yang belum mempunyai akses pada bank nasional, bank pemerintah,
bank swasta asing, maupun bank pemerintah daerah.
2. Fungsi dan Peran Perbankan
Bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam
bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.
Fungsi utama bank dalam pembangunan ekonomi, yaitu :
1. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk
simpanan.
2. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam
bentuk kredit.
3. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan
peredaran uang.
Sistem perbankan adalah salah satu media untuk menjalankan kebijakan
moneter. Peran perbankan secara tradisional adalah menyediakan cadangan
19
(reserve) dalam sistem pembayaran nasional yang mana infrastruktur dari
sistem pembayaran tersebut di bawah tanggung jawab bank sentral.
Perbankan pada umumnya mempunyai 2 (dua) peran, yakni :
1. Sebagai institusi penampung dana (depositories) yang menerima
deposito, membayar untuk dan atas nama deposan, dan menyediakan
fasilitas penukaran mata uang asing.
2. Sebagai perusahaan yang berorientasi profit, di mana perbankan
menyediakan produk-produk liabilities dan memberikan pinjaman kepada
nasabah (loan).
Dalam menjalankan peran ini. Bank memperoleh spread and fee based
income untuk memenuhi target keuntungan yang ditetapkan oleh bank
tersebut. Dengan demikian, sistem perbankan berperan sebagai intermediasi
antara penyandang dana yang berprestasi di dalam produk-produk liabilities
dengan pelaku bisnis yang membutuhkan dana atau kredit (pengguna dana)
untuk mengembangkan usaha mereka. Fungsi intermediasi dari perbankan
inilah yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang
kelangsungan dan pertumbuhan sektor ini.
3. Ruang Lingkup Operasi Perbankan
Dalam melaksanakan kegiatannya, bank dibedakan antara kegiatan
bank umum dengan kegiatan bank perkreditan rakyat. Artinya, produk yang
ditawarkan oleh bank umum lebih beragam, hal ini disebabkan bank umum
mempunyai kebebasan untuk menentukan produk dan jasanya. Sedangkan
bank perkreditan rakyat mempunyai keterbatasan tertentu sehingga
kegiatannya lebih sempit.
20
a. Kegiatan-Kegiatan Bank Umum
Industri perbankan Indonesia menurut pasal 6 Undang-Undang No.
10 Tahun 1998, menyatakan bahwa operasi bank umum adalah menghimpun
dana dari masyarakat (funding) dalam bentuk simpanan giro (demand
deposit), simpanan tabungan (saving deposit), simpanan deposit (time
deposit). Kegiatan lain adalah menyalurkan dana masyarakat (leading) dalam
bentuk kredit, investasi, kredit modal kerja, dan kredit perdagangan.
Termasuk pula pemberian jasa-jasa bank lainnya (services) seperti transfer
uang, inkaso, kliring, safe deposit box, bank card, bank notes (valas), bank
garansi, referensi bank, letter of credit (L/C), cek wisata, jual beli surat
berharga, menerima pembayaran listrik, telpon, air, pajak dan sebagainya.
Selain itu juga melayani pembayaran gaji/pensiun, deviden, bonus/ hadiah. Di
dalam pasar modal, perbankan dapat melaksanakan peranannya sebagai
penjamin emisi (underwriter), penjamin (guarantor), wali amanat (truster),
perantara perdagangan efek (pialang/broker), pedagang efek (dealer) dan
sebagai perusahaan pengelola dana (investmen company).
b. Kegiatan-Kegiatan BPR
Kegiatan BPR lebih sempit dari bank umum. Kegiatan yang dapat
dilakukannya antara lain, menghimpun dana dalam bentuk simpanan
tabungan dan simpanan deposito. Sedangkan penyaluran dana dalam bentuk
kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit perdagangan. BPR tidak
diperbolehkan menerima simpanan giro, mengikuti kliring, mengikuti kegiatan
valuta asing, dan mengikuti kegiatan perasuransian.
21
c. Kegiatan-Kegiatan Bank Asing dan Bank Campuran
Pada umumnya bank-bank asing dan bank campuran yang bergerak di
Indonesia adalah bank umum dan tugasnya sama dengan bank umum
lainnya, namun mereka lebih dikhususkan dalam bidang-bidang tertentu dan
ada larangan tertentu pula. Kegiatan bank umum asing dan bank campuran di
Indonesia adalah, kredit yang diberikan lebih diarahkan ke bidang-bidang
tertentu seperti perdagangan internasional, bidang industri dan produksi.
Penanaman modal asing/campuran, kredit yang tidak dapat dipenuhi bank
swasta. Bank Asing dilarang menerima simpanan dalam bentuk simpanan
tabungan. Untuk jasa-jasa lainnya, bank asing/campuran sama saja dengan
kegiatan bank umum.
4. Penilaian Kesehatan Bank
Untuk menilai kesehatan bank dapat dilihat dari berbagai segi.
Penilaian ini bertujuan untuk menentuk apakah bank tersebut dalam kondisi
yang sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, sehingga bank
Indonesia sebagai pembina bank-bank, dapat memberikan arahan atau
petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan dihentikan
kegiatan operasinya.
Ukuran untuk melakukan penilaian kesehatan bank ditentukan oleh
bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan membuat laporan, baik yang
bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai seluruh aktivitasnya dalam
suatu periode tertentu.
22
Penilaian kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah meningkat
atau menurun. Bagi bank yang kesehatannya meningkat tidak menjadi
masalah karena memang itulah yang diharapkan dan terus dipertahankan
tingkat kesehatannya. Akan tetapi bagi bank yang terus menerus tidak sehat,
mungkin harus mendapat pengarahan atau sanksi dari bank Indonesia
sebagai pengawas dan pembina bank-bank. Bank Indonesia dapat saja
menyarankan untuk melakukan perubahan manajemen, merger, konsolidasi,
akuisisi atau malah dilikuidir keberadaannnya jika kondisi bank tersebut
sudah dinyatakan parah.
Beberapa aspek yang menjadi penilaian kesehatan bank adalah
aspek permodalan, aspek kualitas asset, aspek kualitas manajemen, aspek
rentabilitas, dan aspek likuiditas.
5. Struktur Organisasi Bank di Tingkat Cabang
Suatu kantor cabang bank dipimpin oleh seorang pemimpin cabang,
dibantu oleh satu atau lebih wakil pemimpin cabang, disesuaikan dengan
beban pekerjaan di kantor cabang. Struktur organisasi bank di tingkat kantor
cabang padea umumnya diuraikan oleh Mudrajad & Suhardjono (2002),
seperti terlihat pada gambar berikut :
Bagian Pemasaran
Tugas utama bagian pemasaran adalah melakukan pemasaran
kepada masyarakat, menyampaikan informasi produk-produk yang dimiliki
oleh bank. Bagian pemasaran dibagi menjadi dua seksi yaitu seksi
pemasaran kredit (Account Officer) dan seksi pemasaran produk dana dan
jasa (Financial Officer).
23
Bagian Administrasi Kredit
Tugas utama administrasi kredit adalah memperjuangkan
kepentingan bank dalam memberikan kredit kepada nasabah dari aspek
administratif. Bagian ini memantau proses dan prosedur pemberian kredit,
dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses pemberian kredit,
pengikatan-pengikatan jaminan, asuransi jaminan, monitoring perkembangan
performa kredit (portofolio kredit) dan informasi nasabah-nasabah yang
bermasalah.
Bagian Operasional
Tugas utama bagian operasional adalah memberikan pelayanan
kepada nasabah dalam hal pencairan kredit, angsuran dan pelunasan kredit
yang dibagi menjadi tiga sub bagian yaitu, sub bagian pelayanan dana dan
jasa, sub bagian pelayanan pinjaman, dan sub bagian teller/kasir.
Bagian Teknologi dan Akuntansi
Tugas utama bagian teknologi dan akuntansi adalah menjamin
tersedianya sistem akuntansi yang dapat dipergunakan untuk menunjang
kegiatan bagian operasional, yang dapat dirinci sebagai berikut :
a. Memastikan bahwa semua kegiatan bagian opersional telah dibuka pada
hari tersebut.
b. Melakukan verifikasi atas transaksi pembukuan berdasarkan bukti-bukti
pembukuan yang ada.
c. Memelihara mesin pembukuan sehingga dapat dipergunakan setiap hari.
24
d. Mencetak laporan keuangan bank, antara lain neraca dan laporan rugi
laba.
e. Memelihara sarana komunikasi jaringan data, sehingga fasilitas on-line
selalu terjaga.
Bagian Rumah Tangga
Tugas utama bagian rumah tangga adalah menyediakan sarana dan
prasarana penunjang kegiatan usaha bank, antara lain menyediakan barang-
barang percetakan, menyediakan kendaraan operasional, menjaga keamanan
kantor dan sekitarnya, menjamin kesejahteraan karyawan,
mengadministrasikan data personalia, menerima tamu dan sebagainya,
6. Profil Sektor Usaha Perbankan Sulawesi Selatan
Perbankan di Sulawesi Selatan yang menjadi objek penelitian ini
adalah Bank BNI, Bank, Bank BTN, Bank BRI, Bank Mandiri beserta seluruh
kantor cabang yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Bank Negara Indonesia 1946 (BNI)
Bank ini menjalankan fungsi BNI unit II dengan UU nomor 17 tahun
1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia 1946. Bank BNI berdiri sejak
tahun 1946, dan merupakan bank petama yang didirikan dan dimiliki oleh
pemerintah Indonesia. Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun
1955, status bank BNI diubah menjadi bank komersial milik pemerintah.
Sejalan dengan keputusan penggunaan tahun pendirian sebagai
bagian dari identitas perusahaan, nama Bank Negara Indonesia 1946 resmi
digunakan mulai tahun1968 dan pada saat itu dikenal sebagai BNI 46. Pada
25
tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi PT Bank Negara
Indonesia (Persero), sementara keputusan menjadi perusahaan publik
diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar modal pada
tahun1996.
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Bank BRI memiliki visi menjadi bank komersial yang terkemuka
yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah, dengan misinya sebagai
berikut :
1. Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan
pelayanan kepada usaha makro, kecil dan menengah untuk menunjang
peningkatan ekonomi masyarakat.
2. Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang
tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia profesional dengan
melaksanakan praktek good corporate govermance.
3. Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
Bank Tabungan Negara (BTN)
Status bank tabungan negara sebagai bank milik Negara ditetapkan
dengan UU No. 20 tahun 1968 yang sebelumnya merupakan BBNI Unit V
yang ruang lingkup kegiatannya menghimpun dana masyarakat melalui
tabungan. Sejak tahun 1974 kegiatan usahanya ditambah dengan
memberikan pelayanan KPR. Sejak tahun 1992, bentuk hukum Bank
Tabungan Negara berubah menjadi PT Bank Tabungan Negara (persero)
26
dengan nama sebutan Bank BTN. Sejak saat itu, bank BTN sebagai bank
umum dengan fokus bisnis pembiayaan perumahan.
Visi Bank BTN adalah menjadi bank terkemuka dan menguntungkan
dalam pembiayaan perumahan. Sedangkan misinya adalah :
1. Memberikan pelayanan unggul dalam pembiayaan perumahan dan industri
ikutannya kepada lapisan masyarakat menengah ke bawah, serta
menyediakan produk dan jasa perbankan lainnya.
2. Menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia Bank BTN yang
berkualitas dan profesional, serta memiliki integritas yang tinggi.
3. Memenuhi komitmen kepada pemegang saham, yaitu menghasilkan laba
dan pendapatan perlembar saham yang tinggi serta ikut mendukung
program pembangunan perumahan nasional dan memperdulikan
kepentingan masyarakat dan lingkungan.
4. Menyelenggarakan manajemen perbankan yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian dan good corporate govermance.
Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger tahun 1999 antara Bank Bumi
Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia
(Bapindo), dan Bank Ekspor Impor (Bank Eksim).
27
B. Karakteristik Individu
Di dalam organisasi terdapat sejumlah karyawan yang terdiri dari
beberapa individu dengan karakteristik yang berlainan satu dengan lainnya.
Individu tertentu sebagai seorang karyawan bagi organisasi memiliki
kemampuan, kepercayaan, pengharapan, kebutuhan, serta pengalaman
masa lalu yang berbeda dengan individu lainnya. Sejumlah sifat yang
berbeda tersebut menurut Thoha (2003) merupakan karakteristik individual
dalam membentuk perilaku individu dalam organisasi. Dalam suatu organisasi
perbedaan individu adalah hal yang biasa. Individu yang berlainan akan
mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-
beda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut akan dibawa ke dalam dunia kerja,
sehingga dengan adanya perbedaan dari sifat individu ini, sering
menyebabkan perilaku individu berbeda satu sama lain, walaupun mereka
ditempatkan dalam satu lingkungan kerja yang sama.
Setiap individu berlajar bersosialisasi dalam organisasi (Schein, 1980).
Individu-individu menghargai nilai-nilai, perilaku yang diharapkan, dan
pentingnya pengetahuan sosial perilaku keorganisasian yang efektif.
Sujak (1990) mengatakan karakteristik individu terdiri dari (1)
kebutuhannya, (2) nilai, (3) sikap dan (4) minat. Menurut Stoner (1986) dalam
Swasto (2003), karakteristik individu terdiri dari (1) jenis kebutuhan, (2) sikap
terhadap diri dan pekerjaan, dan (3) minat .
Schermerhorn et.al., (1998) mengkategorikan tiga perbedaan individu
yaitu; (1) karakteristik demografis, misalnya usia, jenis kelamin dan lain-lain,
(2) karakteristik kompetensi, misalnya ketangkasan atau kemampuan, dan (3)
28
karakteristik psikologis, misalnya nilai, sikap dan kepribadian. Demikian pula
yang dikemukakan oleh Gibson et.al., (2003:43) yang mengelompokkan
variabel individu menjadi tiga, yaitu; (1) kemampuan dan ketrampilan baik
mental maupun fisik, (2) demografis, misalnya jenis kelamin, usia dan ras,
dan (3) latar belakang, yaitu keluarga, kelas sosial dan pengalaman. Gibson
juga menambahkan variabel lain, yaitu psikologis individu yang meliputi:
kepribadian, persepsi dan sikap. Adapun model umum yang dapat
menjelaskan tentang hubungan antara karakteristik individual dengan
munculnya perilaku individu dalam organisasi dapat dilihat pada gambar 1
sebagai berikut :
Gambar 1.Model Umum Perilaku dalam Organisasi
Sumber : Thoha (2003)
Dari gambar 1 tersebut dapat dilihat bahwa seorang individu yang
memiliki karakteristik tertentu berinteraksi dengan karakteristik organisasional
menentukan perilaku individu dan organisasi secara langsung. Individu dalam
organisasi memiliki posisi dengan sifat-sifat atau karakteristik individual
tersebut berinteraksi akan menimbulkan perilaku individu dalam organisasi
(Thoha, 2003).
Secara teoritis karakteristik individual mencakup sejumlah sifat dasar
yang melekat pada individu tertentu. Menurut Winardi (2004) karakteristik
individual mencakup sifat-sifat berupa kemampuan dan ketrampilan; latar
Karakteristik Individual;Kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, harapan dan lainnya
Perilaku Individual dalam Organisasi
29
belakang keluarga, sosial, dan pengalaman; umur, bangsa, jenis kelamin dan
lainnya yang mencerminkan sifat demografis tertentu; serta karakteristik
psikologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.
Menurut Winardi (2004) cakupan sifat-sifat tersebut membentuk suatu nuansa
budaya tertentu yang menandai ciri dasar bagi suatu organisasi tertentu pula.
Karakteristik individual juga terdiri atas sejumlah aspek atau dimensi
tertentu dari suatu kriteria yang dapat diatribusikan pada masing-masing
individu sehingga masing-masing dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Menurut Robbins (2006:38) setidaknya terdapat empat karakteristik individu
dalam kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan yaitu (1) karakteristik
biografis, (2) karakteristik kemampuan, (3) karakteristik kepribadian, dan (4)
karakteristik belajar. Robbins menjelaskan bahwa karakteristik individu yang
paling mudah diamati yang mempengaruhi seorang individu dalam
berorganisasi adalah karakteristik biografis. Kondisi biografis merupakan
situasi nyata yang menjadi latar belakang dari ciri fisik setiap individu.
Karakteristik biografis mencakup beberapa sifat yaitu umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pengalaman kerja. Jumlah tanggungan dan
tingkat pendidikan. Menurut Robbins (2006:38) pada tingkat umur tertentu
atau jenis kelamin dan ras tertentu, individu memiliki perbedaan sikap dan
perilaku dalam setiap pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Sementara kemampuan (ability) merupakan karakteristik yang menunjukkan
suatu kapasitas individu untuk dapat mengerjakan berbagai tugas atau
pekerjaan yang diberikan organisasi. Adapun karakteristik kepribadian
merupakan suatu kelompok ciri-ciri yang relatif stabil dalam bentuk tendensi-
tendensi dan temperamen atau tabiat tertentu yang sangat dipengaruhi oleh
30
faktor-faktor yang diwariskan, faktor sosial, kultural, dan faktor lingkungan
(Winardi, 2004). Menurut Winardi, kepribadian berkaitan dengan persepsi dan
sikap sehingga setiap tindakan untuk menganalisis tentang perilaku ataupun
setiap upaya untuk memahami perilaku sangat tidak lengkap jika tidak
mempertimbangkan persoalan kepribadian. Sedangkan aspek keempat dari
karakteristik individual adalah belajar yang merupakan rangkaian proses
pengalaman yang diperoleh individu melalui pengamatan dan praktek secara
langsung atau tak langsung dalam bentuk aktivitas membaca suatu
pengetahuan (Robbins, 2006).
Atas dasar pandangan Winardi (2004) yang menyatakan bahwa sifat-
sifat dasar yang menandai karakteristik individu akan membentuk budaya
tertentu dalam suatu organisasi dan pandangan Robbins (2006) yang
menyatakan bahwa karakteristik individu mempengaruhi sikap dan perilaku
tertentu. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa indikator yang
direduksi dari beberapa teori seperti; sikap kerja, nilai, kemampuan,
kepribadian, dan pembelajaran sebagai indikator variabel karakteristik
individu. Untuk memahami lebih jelas tentang indikator tersebut, maka berikut
ini penulis mencoba menjelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Sikap
Sikap adalah pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau
tidak menguntungkan mengenai obyek, orang, atau peristiwa. Sikap
mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Sikap tidak
sama dengan nilai, tetapi keduanya saling berhubungan. Ada tiga
komponen yang dapat diketahui dalam memandang suatu sikap yaitu;
pengertian (cognition), keharuan (affect), dan perilaku (behavior). Ketiga
31
komponen tersebut membantu memahami kerumitan sikap dan hubungan
yang potensial antara sikap dan perilaku. Namun, sikap (attitude) itu
sendiri pada hakekatnya merujuk pada bagian afektif dari ketiga
komponen tersebut (Robbins, 2001).
Manusia dilahirkan dengan kecenderungan (predisposisi) terhadap
genetik tertentu. Kemudian lambat laun mencontohi dan memodelkan
sikap menurut sikap orang yang dikagumi atau yang dihormati, bahkan
mungkin pada orang yang ditakuti sekalipun. Dalam kehidupan keluarga,
kelompok sosial dalam masyarakat sampai pada lingkungan organisasi
yang lebih besar selalu mencoba mengamati bagaimana mereka
berperilaku, dan kemudian membentuk sikap dan perilaku agar segaris
dengan mereka.
Dalam organisasi, sikap itu sangat penting artinya, karena sikap
dapat mempengaruhi perilaku kerja. Apabila seorang pekerja merasa
yakin bahwa apa yang dikerjakannya akan memperoleh penilaian dan
prestasi yang baik sehingga memperoleh imbalan yang tinggi dan ternyata
tidak sesuai dengan harapannya, maka dengan sendirinya karyawan
tersebut akan membentuk suatu sikap yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku kerja. Oleh karena itu ada tiga type sikap yakni;
kepuasan kerja, keterlibatan tugas, dan komitmen pada organisasi
(Robbins, 2001).
Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu istilah yang merujuk
pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Apabila
seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan menunjukkan
sikap yang positif terhadap pekerjaannya, demikian pula sebaliknya.
32
Karena itu sikap yang dimaksud adalah sikap yang berhubungan
kepuasan kerja.
Keterlibatan tugas (job involvement) diartikan sebagai suatu derajat
sejauhmana seseorang memihak secara psikologis pada pekerjaannya,
berpartisipasi aktif di dalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi
harga diri. Oleh karena itu karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja
yang tinggi tentunya akan memihak pada jenis kerja yang dilakukannya
karena sangat peduli dengan jenis kerja tersebut. Dengan demikian,
terdapat hubungan yang kuat antara tingkat keterlibatan kerja yang tinggi
dengan kemangkiran dan turnover. Dengan kata lain, semakin tinggi
keterlibatan kerja semakin rendah kemangkiran dan turn over.
Komitmen pada organisasi (organizational commitment) didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu
organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara
keanggotaan dalam organisasi itu. Seorang karyawan yang memiliki
komitmen yang tinggi terhadap suatu organisasi tertentu berarti karyawan
tersebut telah memiliki keberpihakan terhadap organisasi yang
mempekerjakannya. Dengan kata lain karyawan tersebut memiliki loyalitas
yang tinggi sehingga dia merasa bahwa organisasi tempat dimana ia
bekerja adalah miliknya atau merasa memiliki (sense of belonging).
Dengan demikian sikap positif dapat diasumsikan sebagai suatu
perilaku dari seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang oleh karena
pekerjaan tersebut mampu memberi kepuasan baginya, sehingga
pekerjaan tersebut ditekuninya karena dianggapnya pekerjaan tersebut
sebagai sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Akibatnya, karyawan
33
tersebut merasa kerasan dan cocok sehingga timbul keinginan untuk
memihak dan memelihara keanggotaannya untuk mencapai tujuan-tujuan
dalam organisasi. Sebaliknya, sikap negatif adalah perilaku yang timbul
akibat adanya ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang mengakibatkan
berkurangnya minat untuk melakukan pekerjaan tersebut dan mencari
pekerjaan lain yang sesuai yang pada akhirnya akan meninggalkan
pekerjaan lamanya. Akibatnya, keinginan untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi semakin berkurang bahkan hilang
sama sekali. Dengan demikian, sikap sangat menentukan tinggi rendah
motivasi seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang pada akhirnya
berdampak pada kinerja karyawan
2. Nilai
Setiap orang menganut sistem nilai tertentu, yaitu berupa pola
perilaku atau alasan keberadaan seseorang. Sistem nilai pribadi
seseorang biasanya dikaitkan dengan sistem nilai sosial yang berlaku di
berbagai jenis masyarakat dimana seseorang menjadi anggota (Siagian,
1995:109; Robbins, 2006) menyatakan bahwa sebagian besar nilai
seseorang ditentukan secara genetis, sedang sisanya disebabkan faktor-
faktor seperti budaya, orangtua, guru, teman dan lingkungan.
Memahami sistem nilai yang dianut seseorang merupakan hal yang
sangat penting bagi seorang pimpinan, karena pemahaman ini
sesungguhnya meletakkan dasar yang kuat untuk dapat mengerti sikap,
motivasi dn persepsi bawahannya (Siagian, 1995:110). Lebih lanjut
Siagian menyatakan bahwa sumber utama sistem nilai adalah (1) diri
seseorang, (2) orangtua, (3) guru, dan (4) teman. Dalam hubungannya
34
dengan penelitian ini nilai didasarkan pada pekerjaan yang memuaskan
dan dapat dinikmati, hubungan dengan orang-orang, pengembangan
intelektual dan waktu untuk keluarga serta beberapa indikator dari nilai
seperti kejujuran, kebebasan, dan kebersamaan (Robbins, 2001).
Dengan nilai dapat diasumsikan sebagai sesuatu yang berharga
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan yang secara psikologis mampu
member dorongan untjuk membangkitkan motivasi kerja akibat adanya
nilai-nilai yang akan diperoleh dari pekerjaan tersebut. Tidak sedikit
karyawan yang bekerja terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan
kehancuran akibat kurangnya perhatian mereka dalam memelihara moral
dalam bekerja, padahal pekerjaan tersebut adalah merupakan tanggung
jawab sosial yang harus dijunjung tinggi dan dipelihara sebaik mungkin
untuk menciptakan kondisi kerja yang harmonis dan berkesinambungan.
Nilai-nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai-nilai yang
bersangkut-paut dengan kejujuran dalam mengembang tugas, kebebasan
dalam mengatur tugas atau kebebasan dalam mengemukakan ide-ide
atau pandangan-pandangan yang berkaitan dengan tugas. Serta
memelihara kebersamaan dan tanggung jawab serta saling menghargai
sesama rekan kerja.
3. Kemampuan
Setiap individu dalam menjalankan tugasnya baik sebagai pimpinan
maupun sebagai karyawan perlu memiliki kemampuan (ability) tertentu.
Seorang karyawan bagian produksi misalnya, agar dapat bekerja dengan
baik dan dapat menghasilkan kinerja sesuai yang diharapkan, maka
35
karyawan tersebut harus memiliki tingkat kemampuan sesuai dengan
bidang tugasnya. Misalnya kemampuan teknik operator mesin,
komputerisasi, desain produk dan sebagainya. Sedangkan untuk seorang
pimpinan, kemampuan yang harus dimiliki sangat bervariasi, misalnya
kemampuan meramalkan sesuatu, kemampuan dalam mengambil
keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi serta berbagai
kemampuan lainnya.
Keampuan dapat diartikan sebagai suatu kapasitas individu untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 2001:46).
Dalam pengertian di atas menunjukkan bahwa untuk dapat melaksanakan
tugas-tugas dengan baik sesuai bidang keahliannya, maka seorang
karyawan harus memiliki kemampuan tertentu. Dengan kata lain,
kemampuan adalah seberapa besar kekuatan yang dimiliki seseorang
baik fisik maupun mental untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Karena itu
seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua
faktor; yakni kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan mental, seperti kemampuan dalam
menganalisis dan meramalkan suatu kondisi atau keadaan baik ekonomi,
politik, maupun kondisi pasar. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa
untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemampuan intelektual
seseorang dapat dilakukan dalam berbagai pengukuran yang dirancang,
tergantung pada penggunaan hasil pengukuran tersebut. Seseorang yang
memiliki tingkat kemampuan intelektual yang dimaksud merupakan modal
dasar bagi seseorang untuk bertindak sekaligus berperilaku di dalam
36
menghadapi suatu tugas pekerjaannya. Kemampuan intelektual
seseorang pada umumnya dapat memiliki paling tidak ada tujuh indikator,
yaitu; kecerdasan numerik, pemahaman verbal (comprehensive),
kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi
ruang dan ingatan (Robbins, 2001:46)..
Di samping kemampuan intelektual di atas, seorang karyawan juga
memiliki kemampuan fisik yakni kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kekuatan dan ketrampilan
serupa. Berbagai riset mengenai persyaratan-persyaratan yang diperlukan
dalam berbagai jenis pekerjaan, diidentifikasi ke dalam sembilan
kemampuan dasar yang dilibatkan dalam melakukan tugas-tugas jasmani.
Kesembilan dasar tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu; (1) faktor-
faktor kekuatan meliputi; kekuatan dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan
statis, dan kekuatan itu sendiri. (2) faktor-faktor keluwesan meliputi;
keluwesan extent, dan keluwesan dinamis. (3) faktor-faktor lain meliputi;
koordinasi tubuh, keseimbangan, dan stamina (Robbins, 2001).
Kedua bentuk kemampuan di atas, baik kemampuan intelektual
maupun kemampuan fisik, keduanya harus dimiliki seseorang untuk dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik, yang pada gilirannya mampu
membangkitkan semangat dan gairah kerja serta mendorong motivasi
kerja dan akan berdampak pada peningkatan kinerja sekaligus member
kepuasan atas pekerjaannya. Misalnya seseorang yang memiliki suatu
keahlian (skill) tertentu akan berusaha secara maksimal memanfaatkan
kemampuan yang dimilikinya dengan mencurahkan segenap perhatiannya
terfokus pada bidang tugasnya agar mampu menghasilkan output yang
37
sama atau lebih besar dari target yang ditentukan, sehingga karyawan
tersebut akan merasa telah melakukan sesuatu yang terbaik, baik
terhadap organisasi dimana ia bekerja maupun terhadap dirinya sehingga
akan tercapai dua hal yakni adanya prestasi kerja dan terpenuhinya
kepuasan kerja.
Atas dasar itu, maka tugas para pimpinan adalah bagaimana
menjelaskan dan meramalkan perilaku orang-orang ketika melaksanakan
pekerjaan, karena setiap pekerjaan mempunyai tuntutan yang berbeda-
beda terhadap orang yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda
pula. Dengan demikian kinerja karyawan dapat ditingkatkan apabila ada
kesesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan. Kemampuan
intelektual atau kemampuan fisik yang secara khusus diperlukan untuk
peningkatan kinerja yang memadai pada suatu pekerjaan, bergantung
pada persyaratan kemampuan yang diminta dari pekerjaan tersebut. Jika
seorang karyawan kekurangan kemampuan yang disyaratkan oleh
pekerjaannya, maka kemungkinan besar akan mengalami kegagalan
dalam pekerjaannya. Sebaliknya, apabila seorang karyawan memiliki
sejumlah persyaratan yang disyaratkan oleh suatu pekerjaan, maka
kemungkinan besar akan mampu melaksanakan seluruh pekerjaan yang
dibebankan kepadanya. Dalam penelitian ini, tingkat kemampuan yang
disyaratkan perusahaan dalam setiap pekerjaan, lebih berorientasi atau
cenderung pada kemampuan fisik (keahlian, ketrampilan, kecermatan, dan
kecepatan). Alasannya, karena jenis pekerjaan yang dikerjakan lebih
dominan menggunakan fisik daripada non fisik.
38
4. Kepribadian
Berbicara mengenai kepribadian tidak hanya terbatas pada nilai
seseorang karena memiliki wajah yang cantik, gagah dan tampan, senyum
yang menawan dan sebagainya. Akan tetapi menurut para ahli psikologi,
kepribadian yang dimaksud adalah suatu konsep dinamis yang
menggambarkan pertumbuhan dan pengembangan dari system psikologis
secara keseluruhan dari seseorang. Bukan memandang pada bagian-
bagian yang bersufat pribadi, tetapi kepribadian yang memandang secara
keseluruhan yang jauh lebih besar daripada jumlah dari bagian tersebut.
Gordon Allport dalam Robbins (2001) memberi definisi tentang
kepribadian adalah “organisasi dinamis pada masing-masing system
psikofisik yang menentukan penyesuaian terhadap lingkungannya”,
kemudian, Robbins mencoba meredefinisi kepribadian sebagai “total
jumlah dari cara dimana seorang individu beraksi dan berinteraksi dengan
orang lain”. Beberapa riset tentang kepribadian seseorang menunjukkan
bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya kepribadian
seseorang yakni; faktor keturunan, faktor lingkungan dan faktor situasi
(Robbins, 2006:85).
Faktor keturunan merujuk pada faktor-faktor yang ditentukan pada saat
pembuahan sehingga akan menghasilkan karakteristik tertentu misalnya;
daya tarik wajah, kelamin, temperamen, refleksi tingkat energi, ritme
hayati dan masih banyak lagi adalah merupakan karakteristik individu
yang pada umumnya banyak dipengaruhi oleh kedua orangtuanya.
39
Di antara beberapa riset yang telah dilakukan sebelumnya, ada tiga
riset yang berlainan telah menyumbangkan kredibilitas yang mempunyai
argumentasi bahwa keturunan memainkan suatu bagian yang penting
dalam menyelidiki tentang hal yang menentukan kepribadian seseorang.
Ketiga riset tersebut; Pertama, fondasi genetik dari perilaku dan
temperamen manusia di antara anak-anak kecil. Kedua, menangani studi
anak kembar yang dipisahkan sejak lahir, Ketiga, menguji konsistensi
dalam kepuasan kerja sepanjang kurun waktu pada berbagai situasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik genetik yang
diwariskan orangtua kepada anak-anaknya sangat mempengaruhi
kepribadian si anak, hal tersebut memperlihatkan ciri-ciri seperti sifat malu,
rasa takut, murung, tinggi badan, warna rambut dan sebagainya. Di sisi
lain menunjukkan bahwa seorang anak kembar yang dipisahkan juga
memiliki ciri-ciri perilaku yang sama yang tidak lain adalah bersumber
pada faktor genetik. Misalnya, selera dan keinginan yang sama, hobby
yang sama, sikap dan perilaku yang sama. Studi lain adalah kepuasan
kerja individu menunjukkan bahwa kepuasan kerja individu secara
mencolok mantap sepanjang kurun waktu. Dengan kata lain kepuasan
kerja tetap relatif selama hayat, sekalipun pekerjaan itu berubah. Hasil
tersebut menunjukkan konsistensi dengan apa yang diharapkan jika
seandainya kepuasan itu ditentukan oleh sesuatu yang inheren dalam
pribadi dan faktor-faktor lingkungan eksternal. Kesimpulannya adalah
bahwa karakteristik kepribadian seseorang tidak hanya sepenuhnya
ditentukan oleh faktor keturunan melainkan juga oleh lingkungan dan
situasi.
40
Salah satu faktor lingkungan yang menekan pembentukan
kepribadian seseorang adalah budaya dimana mereka dilahirkan dan
dibesarkan, pengkondisian dini, norma-norma keluarga, teman permainan,
kelompok sosial, serta pengaruh-pengaruh lain yang dialami. Oleh karena
itu, faktor lingkungan sangat memegang peran yang cukup besar dalam
menentukan dan membentuk kepribadian seseorang.
Pertimbangan yang seksama dari kedua argumen tersebut
menunjukkan bahwa antara faktor keturunan dan faktor lingkungan adalah
sesuatu yang penting, sebab keduanya merupakan determinan utama
dalam membentuk kepribadian seseorang. Keturunan merupakan
parameter-parameter atau batas-batas luar, tetapi potensi seseorang
sangat ditentukan oleh bagaimana cara menyesuaikan diri pada tuntutan
dan persyaratan lingkungan. Di samping kedua faktor di atas; yakni faktor
keturunan dan faktor lingkungan, maka faktor ketiga adalah faktor situasi.
Faktor situasi mempengaruhi dampak keturunan dan lingkungan terhadap
kepribadian seseorang. Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berlainan
akan memunculkan aspek-aspek yang berlainan dari kepribadian
seseorang. Secara logis kita dapat mengandaikan bahwa faktor situasi
akan mempengaruhi kepribadian seseorang.
Struktur kepribadian berkisar pada upaya untuk mengenali dan
menandai karakteristik abadi yang menggambarkan suatu perilaku
individu. Pada prinsipnya karakteristik individu yang umum dan popular
adalah sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia dan malu-
malu. Semua karakteristik individu ini, bila diperhatikan dalam sejumlah
besar situasi disebut ciri-ciri kepribadian. Makin konsisten karakteristik
41
tersebut dan makin sering terjadi dalam situasi yang berbeda, makin
penting ciri itu dalam menggambarkan individu tersebut.
Dalam beberapa riset yang telah dilakukan mendukung bahwa ada
lima dimensi kepribadian dasar yang mendasari semua dimensi lainnya
(Robbins, 2001:55) yakni: (1) ekstraversi; adalah suatu dimensi
kepribadian yang menggambarkan seseorang yang senang bergaul,
banyak bicara, dan tegas. (2) mampu bersepakat; adalah suatu dimensi
kepribadian yang menggambarkan seseorang yang baik hati, kooperatif,
dan mempercayai. (3) mendengarkan kata hati; adalah suatu dimensi
kepribadian yang menggambarkan seseorang yang bertanggungjawab,
dapat diandalkan, tekun, dan berorientasi prestasi. (4) kemantapan
emosional; adalah suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang
yang tenang, bergairah, terjamin (positif) lawan tegang, gelisah, murung,
dan tak kokoh (negative) (5) keterbukaan terhadap pengalaman; adalah
suatu dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang yang imajinatif,
benar-benar sensitif, dan intelektual.
Kelima dimensi tersebut di atas oleh penulis akan dijadikan dasar
indikator untuk mendukung penelitian ini. Asumsi yang digunakan adalah
bahwa objek yang akan diteliti memiliki sifat kooperatif, imajinatif, dan
fleksibilitas dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada orang
lain dan pekerjaannya. Artinya, seorang karyawan harus memiliki
kepekaan terhadap pekerjaannya tanpa harus bergantung sepenuhnya
pada orang lain dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada
orang lain dan pekerjaannya.
42
5. Pembelajaran
Ada tiga teori pembelajaran yang menjelaskan pola-pola perilaku
yakni; (1) Pengkondisian klasik (classical conditioning), (2) Pengkondisian
operan (operan conditioning), dan (3) Pembelajaran sosial (social
learning). Pengkondisian klasik adalah suatu tipe pengkondisian dimana
seorang individu menanggapi beberapa rangsangan yang tidak akan
selalu menghasilkan respons yang sama. Dalam organisasi kita sering
dapati pengkondisian klasik. Misalnya, dalam suatu pabrik dimana setiap
kali eksekutif puncak dari kantor pusat dijadwalkan berkunjung, maka
manajemen pabrik akan merapikan kantor administrasi dan membersihkan
jendela dan ini berlangsung sekian lama. Pada akhirnya, para karyawan
akan menunjukkan perilaku yang terbaik dan tampak prima serta benar
bilamana jendela dibersihkan, sekalipun peristiwa pembersihan itu tidak
dikaitkan dengan kunjungan pejabat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa
seseorang telah belajar untuk mengkaitkan pembersihan jendela dengan
kunjungan pejabat.
Skinner yang dikutip Luthans (2002) mengembangkan secara luas
tentang pengkondisian operan dimana perilaku diasumsikan ditentukan
dari luar yaitu dipelajari, bukannya dari dalam refleksi atau tidak dipelajari.
Skinner berargumen bahwa dengan menciptakan konsekuensi-
konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti berbagai ragam
perilaku yang khusus, frekuensi dari perilaku tersebut akan meningkat.
Sebagai contoh sederhana, andaikan seorang atasan mengatakan kepada
anda bahwa jika anda mau bekerja lembur selama musim sibuk, anda
akan diberi imbalan untuk penilaian kinerja berikutnya. Tetapi ketika
43
penilaian kinerja itu tiba, ternyata anda tidak diberi penguatan yang positif
untuk lembur anda. Jika suatu saat permintaan atasan tersebut terulang
kembali, apa yang anda lakukan?. Sebagai pembelajaran pada waktu
sebelumnya, maka tentu saja anda akan menolaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa jika suatu perilaku gagal untuk diperkuat secara
positif, kemungkinan besar perilaku itu tidak akan terulang (dilakukan).
Dengan demikian, pengkondisian operan adalah suatu tipe pengkondisian
dimana perilaku sukarela yang diinginkan menyebabkan suatu ganjaran
atau mencegah suatu hukuman.
Selanjutnya, pembelajaran sosial diartikan sebagai orang yang
dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman secara langsung.
Individu-individu juga dapat belajar dengan mengamati apa yang terjadi
pada diri orang lain, atau hanya dengan diberitahu mengenai sesuatu,
maupun dengan mengalami secara langsung. Misalnya, banyak yang
telah kita pelajari yang berasal dari mencontoh berbagai model-model,
orangtua, guru, teman sekerja, atasan dan seterusnya. Semuanya itu
dapat dipelajari dengan baik sekalipun lewat pengamatan dan
pengalaman secara langsung, sehingga disebut “pembelajaran sosial”.
Pengaruh berbagai model pada seorang individu merupakan titik
pandang sentral bagi pembelajaran social. Oleh karena itu, ada empat
proses yang mempengaruhi pembelajaran sosial secara signifikan, yakni :
1. Proses perhatian (attentional process) adalah kecenderungan
seseorang sangat dipengaruhi oleh model-model yang menarik,
44
berulang-ulang ada, penting bagi kita, atau serupa dengan kita dalam
pikiran kita.
2. Proses penahanan (retention process) adalah pengaruh suatu model
akan bergantung pada betapa baik individu mengingat tindakan model
itu setelah model itu tidak ada lagi.
3. Proses reproduksi motor (motor reproduction process) adalah suatu
pembelajaran dimana setelah seseorang melihat suatu perilaku baru
dengan mengamati model itu, pengamatan itu harus diubah menjadi
perbuatan, maka proses ini memperagakan bahwa individu tersebut
dapat melakukan kegiatan model itu.
4. Proses penguatan (reinforcement process) adalah suatu pembelajaran
terhadap individu-individu akan dimotivasikan untuk memperlihatkan
perilaku bermodel jika disediakan rangsangan positif atau ganjaran.
Perilaku-perilaku yang diperkuat akan lebih banyak mendapat
perhatian, dipelajari dengan lebih baik, dan dilakukan dengan lebih
sering. (Robbins, 2001:69).
Setiap orang mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan
kemampuan yang berbeda satu sama lain. perbedaan ini akan terbawa dalam
dunia kerja, yang akan menyebabkan kepuasan satu orang dengan yang lain
berbeda pula, meskipun bekerja di tempat yang sama. Karakteristik individu
ini meliputi : Kemampuan, Nilai, Sikap, Minat.
1. Kemampuan (ability)
Kemampuan (ability) adalah kapasitas seseorang individu untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan Robbins (2006). Dengan
45
kata lain bahwa kemampuan (ability) merupakan fungsi dari pengetahuan
(knowledge) dan keterampilan (skill), sehingga formulanya adalah A : f (K.S).
2. Nilai (value)
Menurut Robbin (2006), nilai seseorang didasarkan pada pekerjaan
uang memuaskan, dapat dinikmati, hubungan dengan orang – orang,
pengembangan intelektual dan maktu untuk keluarga.
3. Sikap (attitude)
Menurut Robbins (2006), sikap adalah pernyataan evaluatif-baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan-mengenai objek, orang, atau
peristiwa. Dalam penelitian ini sikap akan difokuskan bagaimana seseorang
merasakan atas pekerjaan, kelompok kerja, penyedia dan organisasi.
4. Minat (interest)
Minat (interest) adalah sikap yang membuat orang senang akan objek
situasi atau ide – ide tertentu. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan
kecenderungan untuk mencari objek yang disenangi itu. Pola – pola minat
seseorang merupakan salah satu faktor yang menentukan kesesuaian orang
dengan pekerjaannya. Minat orang terhadap jenis pekerjaanpun berbeda-
beda.
46
C. Person Organization Fit
Tepeci (2001), mengatakan bahwa sebuah organisasi dapat berjalan
efektif bila didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM). Pernyataan tersebut
menerangkan bahwa sebuah perusahaan dapat mengalami pertumbuhan
berkelanjutan tergantung pada bagaimana kinerja sumber daya manusianya.
Tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan adalah menarik,
menahan dan mengembangkan karyawannya. Salah satu cara untuk
menghadapi tantangan ini adalah dengan memastikan kesesuaian antara
nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai karyawan. Pemahaman terhadap
Person-Organization Fit (P-O fit) dapat membantu perusahaan untuk memilih
para karyawan dengan nilai dan keyakinan yang sesuai dengan organisasi
dan membentuk pengalaman-pengalaman yang dapat memperkuat
kesesuaian tersebut. Kesesuaian antara individu dengan organisasi telah
menjadi topik yang menarik bagi para peneliti dan praktisi manajemen sumber
daya manusia (MSDM). Pendapat-pendapat tentang memperkerjakan yang
sesuai, pengaruh dari karyawan yang sesuai dengan perusahaan telah
dikembangkan dalam banyak literatur (misalkan, Chatman, 1989, 1991;
Kristof, 1996).
Penelitian-penelitian tentang Person-Organization Fit (P-O fit) telah
memberikan pengertian yang mendalam tentang meningkatkan kesesuaian
antara karyawan dengan perusahaan, mempertahankan karyawan dalam
jangka panjang dengan meningkatkan kepuasan dan komitmen karyawan
terhadap perusahaan, serta meningkatkan outcomes individu yang
berimplikasi pada pertumbuhan strategis berkelanjutan bagi perusahaan
(Kristof, 1996; Chatman, 1991; O’Reilly et al., 1991).
47
Person organization Fit (P-O fit) secara luas didefiisikan sebagai
kesesuaian antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai individu (Kristof,
1996; Netemeyer et al., 1999, Valentine et al., 2002; Vancouver et al., 1994).
Pada penelitian tentang seleksi karyawan, P-O fit dapat diartikan sebagai
kecocokan atau kesesuaian antara calon karyawan dengan atribut-atribut
organisasi (Judge & Ferris, 1992; Rynes & Gerhart, 1990 pada Sekiguchi,
2004). P-O fit didasarkan pada asumsi keinginan individu untuk memelihara
kesesuaian mereka dengan nilai-nilai organisasi (Schneider, Goldstein, &
Smith, 1995). Para praktisi dan peneliti berpendapat bahwa P-O fit adalah
kunci utama untuk memelihara dan mempertahankan komitmen karyawan
yang sangat diperlukan dalam lingkungan bisnis yang kompetitif (Bowen,
Ledrof & Nathan, 1991; Kristof, 1996).
Schneider (1987) menawarkan pendekatan kerangka kerja
(framework) ASA (Attraction-Selection-Attrition) dalam menilai P-O fit, ia
berpendapat bahwa individu dan organisasi saling tertarik manakala terdapat
kesesuaian (compatibility) antara satu dengan yang lain, hal ini sangat
berpengaruh terhadap organisasi dalam merekrut karyawan dan juga sikap
karyawan untuk memilih pekerjaan tersebut. Beberapa bukti empiris
mendukung pernyataan ini (Boxx et al., 1991; Chatman, 1991; O’ Reilly,
Chatman & Caldwell, 1991; Vancouver & Smitt, 1991).
Tingkat kesesuaian individu dengan organisasi sangat bergantung
pada bagaimana organisasi mampu memenuhi kebutuhan karyawan (Cable &
Judge, 1994; Turban & Keon, 1993). Lebih lanjut Kristof (1996) mengatakan
bahwa pemenuhan kebutuhan karyawan oleh organisasi, seperti kompensasi,
lingkungan fisik kerja dan kesempatan untuk maju sangat diperlukan oleh
48
karyawan. Di lain pihak, organisasi membutuhkan kontribusi karyawan dalam
bentuk komitmen, keahlian dan kemampuan mereka.
Beberapa penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa P-O fit
berhubungan dengan reaksi terhadap pekerjaan (Kristoff, 1996; Netemeyer et
al., 1997). Ketika nilai-nilai individu dan organisasi sama, maka hal ini akan
meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja serta akan mengurangi stress kerja
karyawan (Mount & Muchinsky, 1978; Silverthone, 2003).
Person-Organization Fit (P-O fit) juga dihubungkan secara positif
dengan komitmen organisasional (Valentine, Godkin & Lucero, 2002; Kristof,
1996; Chatman, 1991; O’Reilly, 1991). Komitmen organisasional didefinisikan
tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi
yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasional antara lain
adalah loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk
mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan
seseorang dengan tujuan organisasi. (William dan Hazer, 1986; Mowday,
1987). Komitmen karyawan terhadap organisasi akan meningkatkan
perasaan karyawan akan kesesuaiannya terhadap organisasi (Herdorn et al.,
2001).
Bowen et., al (1991) berargumentasi bahwa memilih orang-orang
yang kepribadian sama dengan nilai organisasi akan menciptakan suatu sikap
pekerja yang fleksibel. Di dalam tinjauan ulang Person-Organization Fit (P-O
Fit), Kristof (1996) membuktikan secara empiris bahwa P-O Fit adalah
prediktor kuat kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Boxx, Odom,& Dunn,
1991; Chatman, 1991; O'Reilly, Chatman & Caldwell, 1991).
49
Chadwell dan O’ Reilly (1991) menguji kesesuaian (congruency)
individu dan organisasi dengan kinerja, mereka menemukan bahwa P-O fit
berhubungan positif dan kuat terhadap kepuasan kerja dan kinerja. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh (Barrett, 1995; Tziner, 1987 pada Sekiguchi,
2004). Namun penelitian yang dilakukan oleh Aurthy & Daugherty (2003)
yang menguji hubungan Person-Organization Fit (P-O Fit) dengan kepuasan
kerja pada karyawan warehouse (gudang) di Inggris dan Spanyol dengan
menggunakan LISREL 8.3 menemukan hasil yang tidak signifikan antara
keduanya terutama untuk dimensi kesesuaian (fit) dengan rekan kerja, hal ini
terjadi karena interaksi antara karyawan satu dengan lainnya sangat sedikit
pada pekerjaan ini.
Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Tepeci (2001),
mengidentifikasikan terjadinya kekurangan bukti empiris yang mendukung
hubungan antara nilai individu dengan kinerja karyawan melalui Person-
Organization Fit (P-O fit) sebagai variabel menengah. Penelitian Tepeci
(2001) ini mencoba mencari celah penelitian dengan menggunakan model
individual characteristic dan organizational values pada industri restoran.
Walaupun komitmen organisasional dan kepuasan kerja tidak dimasukkan
sebagai variabel yang berpengaruh pada Person-Organization Fit seperti
yang telah disarankan oleh (O’Reilly, 1991; Sheridan, 1992).
Berdasarkan research gap diatas, penelitian ini mencoba
mengkonfirmasi dan menguji ulang penelitian Chadwell dan O’ Reilly (1991)
dan penelitian Aurty dan Daugherty (2003) dengan mencoba memasukkan
variabel kepuasan kerja dan komitmen organisasional seperti yang telah
disarankan penelitian terdahulu tentang Person-Organization Fit (P-O fit),
50
yaitu Silverthone (2003); Boxx, Odom,& Dunn, (1991); dan Chatman, (1991)
bahwa Person-Organization Fit (P-O fit) merupakan prediktor kuat dari
kepuasan kerja dan komitmen organisasional yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
D. Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan
salah satu bentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola
organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia pada khususnya.
Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang
manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok
dalam filsafat tersebut ialah: kepedulian manajemen tentang dampak
pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para
karyawan dalam pemecahan keputusan teutama yang menyangkut
pekerjaan, karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja.
Pandangan pertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah
sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi. Contohnya: perkayaan
kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja
yang aman. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa kualitas kehidupan
kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman,
secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh dan
berkembang selayaknya manusia (Wayne, 1992 dalam Noor Arifin, 1999).
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran
51
penting dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi
secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja
yang lebih baik (Luthansm, 1995 ).
Sedangkan Prof. Siagian (dalam Noor Arifin, 1999) menyatakan
bahwa QWL sebagai filsafat manajemen menekankan:
1. QWL merupakan program yang kompetitif dan mempertimbangkan
berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
2. QWL memperhitungkan tuntutan peraturan perundang-undangan seperti
ketentuan yang mengatur tindakan yang diskriminan, perlakuan pekerjaan
dengan cara-cara yang manusiawi, dan ketentuan tentang sistem imbalan
upah minimum.
3. QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dan berbagai
perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk dalam hal
upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian pertikaian perburuhan
berdasarkan berbagai ketentuan normative dan berlaku di suatu wilayah
negara tertentu.
4. QWL menekankan pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada
hakekatnya berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik
termasuk penyeliaan yang simpatik.
5. Dalam peningkatan QWL, perkayaan pekerjaan merupakan bagian integral
yang penting.
6. QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab social dari
pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
52
Istilah kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada
Konferensi Buruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapat
perhatian setelah United Auto Workers dan General Motor berinisiatif
mengadopsi praktek kualitas kehidupan kerja untuk mengubah sistem kerja.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja.
Di satu sisi dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah
keadaan dan praktek dari tujuan organisasi (contohnya : perkayaan kerja,
penyeliaan yang demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang
nyaman). Sementara pandangan yang lain menyatakan bahwa kualitas
kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin
merasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu
untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia (Cascio, 1995)
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya
penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan
demikian peran penting dari kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim
organisasi agar secara tehnis dan manusiawi membawa kepada kualitas
kehidupan kerja yang lebih baik (Luthans, 1985).
Kualitas kehidupan kerja merumuskan bahwa setiap proses kebijakan
yang diputuskan oleh perusahaan merupakan sebuah respon atas apa yang
menjadi keinginan dan harapan karyawan mereka, hal itu diwujudkan dengan
berbagi persoalan dan menyatukan pandangan mereka (perusahaan dan
karyawan) ke dalam tujuan yang sama yaitu peningkatan kinerja karyawan
dan perusahaan.
53
Secara umum terdapat sembilan aspek pada SDM di lingkungan
perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan (Nawawi, 2001)
Kesembilan aspek tersebut adalah :
a. Di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai SDM
memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batas-batas wewenang dan
tanggungjawab masing-masing. Komunikasi yang lancar untuk
memperoleh informasi-informasi yang dipandang penting oleh pekerja dan
disampaikan tepat pada waktunya dapat menimbulkan rasa puas dan
merupakan motivasi kerja yang positif. Untuk itu, perusahaan dalam
menyampaikan informasi dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan atau
secara langsung pada setiap pekerja, atau melalui pertemuan kelompok,
dan dapat pula melalui sarana publikasi perusahaan seperti papan buletin,
majalah perusahaan dan lain-lain.
b. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pekerja
memerlukan pemberian kesempatan pemecahan konflik dengan
perusahaan atau sesama karyawan secara terbuka, jujur dan adil. Kondisi
itu sangat berpengaruh pada loyalitas, dedikasi serta motivasi kerja
karyawan. Untuk itu, perusahaan perlu mengatur cara penyampaian
keluhan keberatan secara terbuka atau melalui proses pengisian fomulir
khusus untuk keperluan tersebut. Di samping itu, dapat ditempuh pula
dengan kesediaan untuk mendengarkan review antar karyawan yang
mengalami konflik, atau melalui proses banding (appeal) pada pimpinan
yang lebih tinggi dalam konflik dengan manajer atasannya.
c. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan
kejelasan pengembangan karir masing-masing dalam menghadapi masa
54
depannya. Untuk itu dapat ditempuh melalui penawaran untuk memangku
suatu jabatan, memberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau
pendidikan di luar perusahaan atau pada lembaga pendidikan yang lebih
tinggi. Di samping itu, dapat juga ditempuh melalui penilaian kerja untuk
mengatur kelebihan dan kekurangannya dalam bekerja yang dilakukan
secara obyektif. Pada gilirannya, berikut dapat ditempuh dengan
mempromosikannya untuk memangku jabatan yang lebih tinggi di dalam
perusahaan tempatnya bekerja.
d. Di lingkungan perusahaan, karyawan perlu diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi,
kewenangan dan jabatan masing-masing. Untuk itu, perusahaan dapat
melakukannya dengan membentuk tim inti dengan mengikutsertakan
karyawan, dalam rangka memikirkan langkah-langkah bisnis yang akan
ditempuh. Di samping itu dapat pula dilakukan dengan menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan yang tidak sekedar dipergunakan untuk
menyampaikan perintah-perintah dan informasi-informasi tetapi juga
memperoleh masukan, mendengarkan saran dan pendapat karyawan
e. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap karyawan perlu dibina dan
dikembangkan perasaan bangganya pada tempat kerja, temasuk juga
pada pekerjaan atau jabatannya. Untuk keperluan itu, perusahaan
berkepentingan menciptakan dan mengembangkan identitas yang dapat
menimbulkan rasa bangga karyawan terhadap perusahaan. Dalam bentuk
yang sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan
dan lainnya. Di samping itu rasa bangga juga dapat dikembangkan melalui
partisipasi perusahaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
55
dengan mengikutsertakan karyawan, kepedulian terhadap masalah
lingkungan sekitar dan mempekerjakan karyawan dengan
kewarganegaraan dari bangsa tempat perusahaan melakukan operasional
bisnis.
f. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan harus
memperoleh kompensasi yang adil/wajar dan mencukupi. Untuk itu
diperlukan kemampuan menyusun dan menyelenggarakan sistem dan
struktur pemberian kompensasi langsung dan tidak langsung (pemberian
upah dasar dan berbagai keuntungan/manfaat) yang kompetitif dan dapat
mensejahterakan karyawan sesuai dengan posisi atau jabatannya di
perusahaan dan status sosial ekonominya di masyarakat.
g. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan
keamanan lingkungan kerja. Untuk itu, perusahaan berkewajiban
menciptakan dan mengembangkan serta memberikan jaminan lingkungan
kerja yang aman. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain
dengan membentuk komite keamanan lingkungan kerja yang secara terus
menerus melakukan pengamatan dan pemantauan kondisi tempat dan
peralatan kerja guna menghindari segala sesuatu yang membahayakan
para pekerja, terutama dari segi fisik. Kegiatan lain dapat dilakukan dengan
membentuk tim yang dapat memberikan respon cepat terhadap kasus
gawat darurat bagi karyawan yang mengalami kecelakaan. Dengan kata
lain perusahaan perlu memiliki program keamanan kerja yang dapat
dilaksanakan bagi semua karyawannya.
h. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan
rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya. Untuk itu
56
perusahaan perlu berusaha menghindari pemberhentian sementara para
karyawan, menjadikannya pegawai tetap dengan memiliki tugas-tugas
reguler dan memiliki program yang teratur dalam memberikan kesempatan
karyawan mengundurkan diri, terutama melalui pengaturan pensiun.
i. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan
perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar dapat bekerja secara
efektif, efisien dan produktif. Untuk itu perusahaan dapat mendirikan dan
menyelenggarakan pusat kesehatan, pusat perawatan gigi,
menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan, program rekreasi
dan program konseling/ penyuluhan bagi para pekerja/karyawan.
Kesembilan aspek tersebut sangat penting artinya dalam
pelaksanaan manajemen yang diintegrasikan dengan SDM agar perusahaan
mampu mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya secara kompetitif.
Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu bentuk filsafat yang
diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan
sumber daya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan
kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan
organisasi. Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut adalah : kepedulian
manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi
serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan terutama yang menyangkut pekerjaan, karir,
penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan (Arifin, 1999). Penelitian oleh
Elmuti (1997) menunjukkan bahwa implementasi aided self-manajemen team
(bentuk lain dari kualitas kehidupan kerja) menunjukkan dampak positif pada
kinerja karyawan Ada delapan indikator dalam pengukuran kualitas kehidupan
57
kerja yang dikembangkan oleh Walton (dalam Zin 2004) tetapi dalam
penelitian ini hanya akan digunakan empat indikator saja, yaitu :
1. Pertumbuhan dan pengembangan, yaitu terdapatnya kemungkinan untuk
mengembangkan kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk
menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki karyawan
2. Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi langsung maupun
tidak langsung terhadap pekerjaan
3. Sistem imbalan yang inovatif, yaitu bahwa imbalan yang diberikan kepada
karyawan memungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai
kebutuhannya sesuai dengan standar hidup karyawan yang bersangkutan
dan sesuai dengan standar pengupahan dan penggajian yang berlaku di
pasaran kerja
4. Lingkungan kerja, yaitu tersedianya lingkungan kerja yang kondusif,
termasuk di dalamnya penetapan jam kerja, peraturan yang berlaku
kepemimpinan serta lingkungan fisik
Menurut Whether dan Davis (1996), kepuasan akan kualitas
kehidupan kerja (The quality of work life- QWL) dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu supervisi, kondisi kerja, gaji, tunjangan, dan desain pekerjaan
(dalam Safrizal, 2004).
Riggio (2000) dalam Safrizal (2004) menyatakan bahwa kualitas
kehidupan kerja ditentukan oleh kompensasi yang diterima karyawan,
kesempatan untuk berpartisipasi dalam organisasi, keamanan kerja, desain
kerja dan kualitas interaksi antar anggota organisasi. Kualitas kehidupan kerja
merupakan suatu tingkat dimana anggota dari suatu organisasi mampu
58
memuaskan kebutuhan pribadi yang penting melalui pengalamannya dalam
melakukan pekerjaan pada organisasi tersebut .
E. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja memfokuskan diri pada persepsi individu terhadap
pekerjaan yang diberikan organisasi kepadanya (Barney & Griffin, 1992).
Dengan demikian kepuasan kerja menjadi persoalan yang sangat penting
bagi organisasi karena secara teoritis kepuasan kerja sebagai suatu
rangkaian persepsi individual akan mempengaruhi sikap dan perilaku individu
melaksanakan pekerjaannya (Winardi, 2004). Dengan tingkat kepuasan kerja
karyawan yang tinggi, organisasi akan memperoleh manfaat tidak hanya
untuk memenuhi kepentingan organisasi namun juga dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.
Werther dan Davis (1996), mengemukakan bahwa kepuasan kerja
adalah kondisi kesukaan atau ketidaksukaan menurut pandangan pegawai
terhadap pekerjaannya. Dole dan Schroeder (2001) dalam Koesmono (2005),
mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan
dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya. Testa (1999) dan
Locke (1983) dalam Koesmono (2005) mengemukakan bahwa kepuasan
kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari
penilaian salah satu pekerjaan atau pengalamanpengalaman pekerjaan.
Lebih lanjut Koesmono (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
merupakan penilaian, perasaan atau sikap seseorang atau pegawai terhadap
pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan,
kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial di tempat kerja
59
dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja adalah
dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja
atau bekerja.
Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1990) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota
organisasi dapat dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta
imbalan dan hukuman yang mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan
kerja dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota
organisasi, pergantian pekerjaan anggota organisasi, kemangkiran atau
absensi, keterlambatan, dan keluhan yang biasa terjadi dalam suatu
organisasi.
Robbins (2006:48), mengemukakan bahwa, pekerjaan menuntut
interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan
organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering
kurang dari ideal, dan hal serupa lainnya. Ini berarti penilaian (assesment)
seorang pegawai terhadap puas atau tidak puasnya dia terhadap pekerjaan
merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang
diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain).
Menurut Ramayah (2001) dalam Koesmono (2005: 28)
mengemukakan bahwa seorang manajer akan sangat peduli pada aspek
kepuasan kerja, karena mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat
memberikan lingkungan yang memuaskan kepada pegawainya dan percaya
bahwa perilaku pekerja yang puas akan membuat kontribusi yang positif
terhadap organisasi. Para manajer merasakan usaha dan kinerja mereka
60
berhasil apabila keadilan dalam penghargaan memberikan tingkat kepuasan
kerja dan kinerja.
Situasi pekerjaan yang seimbang akan meningkatkan perasaan
dalam control terhadap kehidupan kerja dan menghasilkan kepuasan kerja.
Sehingga para manajer mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan
kepuasan kerja para bawahannya agar dapat memberikan kontribusi yang
positif pada organisasinya. Davis (1985) dalam Mangkunegara (2005: 117)
mengemukakan bahwa job satisfaction is related to a number of major
employee variables, such a turnover, absences, age, occupation, and size of
the organization in which an employee works. Berdasar pendapat tersebut,
Mangkunegara (2005: 117) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi,
umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan.
Kepuasan kerja berhubungan dengan turnover mengandung arti
bahwa kepuasan kerja yang tinggi selalu dihubungkan dengan turnover
pegawai yang rendah, dan sebaliknya jika pegawai banyak yang merasa tidak
puas maka turnover pegawai tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan
tingkat absensi (kehadiran) mengandung arti bahwa pegawai yang kurang
puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi.
Kepuasan kerja berhubungan dengan umur mengandung arti
bahwa pegawai yang cenderung lebih tua akan merasa lebih puas daripada
pegawai yang berumur relatif lebih muda, karena diasumsikan bahwa
pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan
pekerjaan dan pegawai dengan usia muda biasanya mempunyai harapan
yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya
61
dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan, dapat
menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung
arti, bahwa pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi
cenderung lebih puas dari pada pegawai yang menduduki pekerjaan yang
lebih rendah, karena pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi
menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan
ide-ide serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan
ukuran organisasi perusahaan mengandung arti bahwa besar kecilnya
perusahaan dapat mempengaruhi proses komunikasi, koordinasi, dan
partisipasi pegawai sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja pegawai.
Mangkunegara (2005: 120) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri pegawai
dan faktor pekerjaannya. Faktor yang ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan
(IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan,
pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi,
dan sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur
organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan
keuangan, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.
Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan individu tentang
persepsi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari lingkungan
organisasi dan pekerjaan yang dilakukan (Barney & Griffin, 1992). Davis &
Newstrom (1993) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kesesuaian antara
haraapan seseorang yang timbul dan imbalan yang diterimakan dari
pekerjaan. Pengertian ini mengindikasikan bahwa kepuasan kerja berkaitan
62
erat dengan aspek-aspek keadilan, kontrak psikologis antara individu dengan
organisasi, dan motivasi individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan harapan individu, maka
semakin tinggi tingkat kepuasan kerja yang terjadi dalam organisasi.
Menurut Robbins (2006:48), kepuasan kerja adalah “suatu sikap
umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyak ganjaran yang
diterima seorang pekerja dengan banyaknya yang mereka yakini seharusnya
mereka terima”. Seseorang dengan kepuasan kerja tinggi akan menunjukkan
sikap positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya orang yang tidak puas
dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap kerja tersebut.
Oleh karena itu bila orang berbicara tentang sikap karyawan terhadap
pekerjaannya, maka yang dimaksudkan adalah kepuasan kerja itu sendiri.
Sedangkan kepuasan kerja menurut Tiffin seperti yang dikutip As’ad
(2001:104) “Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari karyawan
terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerja sama antara pimpinan dan
dengan sesama karyawan”.
Spector (1997) menyatakan bahwa “job satisfaction is simply how
people feel about their jobs and different aspects of their jobs. It is the extent
to which people like (satisfaction) or dislike (dissatisfaction) their jobs”.
Kepuasan kerja adalah bagaimana perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Sejauhmana orang menyukai atau tidak menyukai
pekerjaannya. Pada masa lalu, para peneliti melihat kepuasan kerja dari
sudut pandang pemenuhan kebutuhan (need fulfillment) yaitu apakah
pekerjaan itu mampu memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikologis
seseorang. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, pendekatan
63
ini telah mengalami pergeseran karena para peneliti lebih memusatkan
perhatian pada aspek kognitif daripada sekedar pemenuhan kebutuhan.
Wexley dan Yulk (1992:129) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “cara
seorang pekerja merasakan pekerjaannya, merupakan generalisasi sikap-
sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek
pekerjaannya yang bermacam-macam”. Kepuasan kerja adalah keadaan
emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para
karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif
karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di
lingkungan kerjanya (Handoko, 1994). Hal senada dikemukakan oleh
Hasibuan (1995) bahwa kepuasan kerja adalah sebagai sikap emosional
yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh
gairah kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam
pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Menurut
Siagian (1996) kepuasan kerja adalah suatu cara pandang seseorang baik
yang bersifat positif maupun negatif tentang pekerjaannya. Davis (1988:63)
menyatakan kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak
menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja.
Kepuasan kerja adalah suatu sikap umum karyawan terhadap
pekerjaannya dan terikat secara langsung dengan kebutuhan individu
termasuk pekerjaan yang menantang, penghargaan yang layak serta rekan
kerja dan lingkungan kerja yang mendukung (Ostroff, 1992).
Definisi tekstual kepuasan kerja dikembangkan oleh Luthans
(2006:242) yang menyatakan bahwa :
64
Job satisfaction of as a pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experience. Job satisfaction is a result of employee’s perception of how well their job provides those things which are viewed as important
Definisi kepuasan kerja yang dikembangkan Luthans tersebut
menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu bentuk persepsi
karyawan tentang pekerjaan yang diberikan organisasi dengan memberi
pemaknaan penting tidaknya pekerjaan tersebut. Dalam bentuk yang lebih
operasional, Schemerhorn et al., (1991) mengembangkan definisi bahwa
yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah sebagai berikut :
Job satisfaction is the degree to which individuals feel positively or negatively about their jobs. It is an emotional response to one’s tasks, as well as the physical and social conditions of the work place. In concept, job satisfaction also indicates the degree to which the expectations in someone’s psychological contract are fulfilled. Job satisfaction is likely to be higher for persons who perceive an inducements contributions balance in their relationship with the employing organization.
Dari pengembangan definisi tersebut dapat diidentifikasi adanya tiga
dimensi penting dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja pada
dasarnya merupakan suatu tanggapan atau respon emosional individu
terhadap situasi kerja. Kedua, kepuasan kerja ditentukan oleh kesesuaian
antara hasil yang diperoleh dan harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili
beberapa persepsi yang terkait dengan organisasi.
1. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan generalisasi persepsi individu terhadap
pekerjaannya berdasarkan atas aneka ragam tugas dan pekerjaan yang
65
dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Luthans (2006) menyatakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu :
a. Pekerjaan itu sendiri. Isi dari pekerjaan itu sendiri adalah sumber utama
dari kepuasan kerja sebagaimana dikemukakan oleh Luthans (2006) yang
menyatakan bahwa “some of the most important ingredients of a satisfying
job uncovered by surveys include interesting and challenging work, work
that is not boring, and a job that provides status”. Dengan demikian
pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan adalah suatu pekerjaan
yang mampu merepresentasikan peran penting bagi individu.
b. Pembayaran (upah atau gaji). Individu melihat pembayaran sebagai
cerminan organisasi dalam menghargai kontribusinya dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Upah atau gaji merupakan faktor yang
signifikan dalam meningkatkan kepuasan kerja (Long, 1998).
c. Promosi. Kesempatan untuk mendapat promosi bagi individu
mempengaruhi tingkat kepuasan tertentu. Dalam promosi pekerjaan atau
jabatan, di dalamnya terkandung pula sejumlah bentuk lain yaitu misalnya
kenaikan gaji/upah yang menyertai promosi setiap individu.
d. Teman Sekerja (co-workers). Kesetiakawanan, kerukunan dan kesediaan
untuk saling bekerjasama antar teman sekerja merupakan sumber bagi
peningkatan kepuasan kerja. Kelompok kerja yang kohesif mampu
menciptakan suasana lingkungan kerja menjadi lebih menyenangkan.
e. Kondisi Kerja. Faktor ini lebih banyak berkaitan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja. Jika kondisi kerjanya berkualitas baik misalnya tampak
bersih dan menarik, maka individu akan dapat lebih semangat
melaksanakan pekerjaannya. Sebaliknya jika kondisi lingkungan kerja
66
tidak berkualitas baik misalnya kotor, berisik dan panas, maka individu
seringkali tidak betah dan mengeluh dalam bekerja.
f. Pengawasan atau penyeliaan (supervisory). Cara organisasi mengawasi
individu selama bekerja juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja. Individu yang mendapat pengawasan dengan cara yang
lebih manusiawi dan bersahabat akan lebih senang dibandingkan jika
organisasi mengawasinya dengan cara yang sifatnya tidak bersahabat.
As’ad (2001) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja sebagai berikut :
a. Faktor psikologis , merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap
kerja, bakat dan ketrampilan.
b. Faktor sosial , merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial
baik antara sesama karyawan dengan atasannya maupun dengan
karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
c. Faktor fisik , merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan meliputi jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan
karyawan, umur dan sebagainya.
d. Faktor financial , merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan
serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,
jaminan sosial, berbagai macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,
promosi dan sebagainya.
67
Sedangkan menurut Mangkunegara (2001) terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja :
a. Faktor pegawai , yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis
kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi dan sikap kerja.
b. Faktor pekerjaan , yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan sosial, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.
Blum dan As’ad (2001) berpendapat bahwa faktor-faktor yang
memberikan kepuasan kerja meliputi :
a. Faktor individu , meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan
b. Faktor sosial , meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,
kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan kerja, kebebasan berpolitik
dan hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan , meliputi upah, pengawasan, ketentraman
kerja, kondisi kerja, kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan
terhadap kecakapan, hubungan sosial dalam pekerjaan, ketepatan dalam
menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil yang
menyangkut pribadi maupun tugas.
Berbeda dengan pendapat Blum, ada pendapat lain dari Gilmer dalam
As’ad (2001) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
sebagai berikut;
68
a. Kesempatan untuk maju.
Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman
dan peningkatan kemampuan selama kerja.
b. Keamanan kerja
Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi
karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat memengaruhi
perasaan karyawan selama kerja.
c. Gaji
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang
mengepresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang
diperolehnya.
d. Perusahaan dan Manajemen
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan
situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan
kepuasan kerja karyawan.
e. Pengawasan (supervisi)
Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus
atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi.
f. Faktor intrinsik pekerjaan
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu.
Sukar dan mudahnya serta kebanggan akan tugas akan meningkatkan
atau mengurangi kepuasan.
g. Kondisi kerja
Termasuk disini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan
tempat parkir.
69
h. Aspek sosial dalam pekerjaan
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang
sebagai faktor yang mendukung puas atau tidak puas dalam kerja.
i. Komunikasi
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak
dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya
kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui
pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam
menimbulkan rasa puas terhadap kerja.
j. Fasilitas
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan
standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa
puas.
Robbins (2006:181) berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang
turut berperan dalam kepuasan kerja yaitu :
a. Pekerjaan yang penuh tantangan
Pekerjaan yang penuh tantangan menuntut imajinasi, inovasi dan
kreatifitas dalam pelaksanaannya, merupakan salah satu sumber
kepuasan. Pekerja ingin mendapatkan tugas yang tidak terlalu mudah
sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa mengerahkan segala
ketrampilan, tenaga dan waktu, sebab pekerjaan yang terlalu mudah akan
menimbulkan kebosanan yang tinggi, sehingga mengurangi kepuasan
kerja.
70
b. Penerapan sistem penghargaan yang adil
Dalam kehidupan organisasi, masalah keadilan sesungguhnya adalah
masalah persepsi. Dalam organisasi, persepsi tentang keadilan tersebut
dikaitkan dengan pengupahan dan penggajian sefrta sistem promosi.
Masalah keadilan biasanya dilihat dengan perbandingan, perbandingan
dikaitkan dengan harapan seseorang berdasarkan tingkat pendidikan,
pengalaman, masa kerja, jumlah tanggungan, status sosial dan kebutuhan
ekonominya. Perbandingan kedua dikaitkan dengan orang lain dalam
organisasi terutama mereka yang memiliki karakteristik yang serupa
dengan dirinya. Selanjutnya persepsi keadilan tentang sistem promosi,
salah satu kebutuhan nyata seseorang ialah memuaskan kebutuhan maju
dalam karier. Sukar membayangkan adanya pekerja yang akan merasa
puas apabila berada pada tangga karier yang sama sejak ia mulai masuk
dalam organisasi sampai dia meninggalkan organisasi itu.
c. Kondisi kerja yang mendukung
Kondisi kerja yang mendukung meliputi tersedianya sarana dan prasarana
kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan.
Betapapun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam kesetiaan
yang besar, disiplin yang tinggi dan dedikasi yang tidak diragukan, tanpa
sarana dan prasarana kerja ia tidak akan dapat berbuat banyak, apalagi
meningkatkan efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerjanya. Tingkat
keterampilan yang tinggi pun tidak akan banyak artinya apabila tidak
didukung oleh kondisi kerja yang memadai
71
d. Sikap orang lain dalam organisasi
Seperti diketahui bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam
kehidupan organisasi, seseorang mau tidak mau harus melakukan
interaksi dengan orang lain, apakah itu rekan kerja, atasannya, bagi
mereka yang menduduki jabatan manajerial, para bawahan. Keharusan
melakukan interaksi itu timbul karena adanya saling ketergantungan/
keterikatan antara satu tugas dengan tugas lain.
2. Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja
Perilaku dari kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja telah banyak
diteliti dan dikaji. Kepuasan kerja mempunyai dampak terhadap produktivitas,
kemangkiran, tingkat keluarnya karyawan (turnover) dan kesehatan
(Munandar, 2001).
1. Kepuasan kerja
Meskipun banyak orang berasumsi bahwa terdapat hubungan positif
antara kepuasan kerja dan produktivitas, namun bukti-bukti penelitian tidak
menunjukkan hal itu. Para pekerja yang puas belum tentu memiliki tingkat
produktivitas yang tinggi (Luthans, 2002). Salah satu alternatif untuk mengkaji
hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas dikemukakan oleh Porter dan
Lawler (1968). Mereka menegaskan bahwa produktivitas harus dipandang
sebagai salah satu penyebab kepuasan kerja. Dasar pemikiran yang
menyatakan kepuasan kerja yang menimbulkan produktivitas adalah bahwa
produktivitas yang tinggi seringkali menghasilkan penghargaan, seperti upah
yang tinggi, pengharapan, kenaikan jabatan dan pencapaian nilai-nilai kerja
yang penting, seperti keberhasilan dan prestasi.
72
Akhir-akhir ini terdapat pandangan bahwa kepuasan kerja mungkin
merupakan akibat, bukan merupakan sebab dari produktivitas. Menurut Poter
dan Lawler (Robbins, 2006:125), produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa
ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran
ekstrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua-duanya adil dan wajar dan
diasosiasikan dengan unjuk kerja yang unggul. Jika tenaga kerja tidak
mempersepsikan ganjaran intrinsik dan ganjaran ekstrinsik berasosiasi
dengan unjuk kerja, maka kenaikan dalam unjuk kerja tidak akan berkorelasi
dengan kenaikan dalam kepuasan kerja.
2. Kepuasan dan Kemangkiran
Porter dan Steers dalam Munandar (2001) berkesimpulan
kemangkiran dan berhenti bekerja merupakan jenis jawaban-jawaban yang
secara kualitatif berbeda. Kemangkiran lebih spontan sifatnya, dan kurang
mencerminkan ketidakpuasan kerja. Lain halnya dengan berhenti atau keluar
dari pekerjaan. Perilaku ini akan mempunyai akibat-akibat ekonomis yang
lebih besar, maka lebih besar kemungkinannya berhubungan denngan
ketidakpuasan kerja.
Dari penelitian telah ditemukan secara konsisten negatif antara
kepuasan dan kemangkiran, tetapi korelasi itu sedang (biasanya kurang dari
0,40). Sementara tentu masuk akal bahwa karyawan yang tidak puas lebih
besar kemungkinan tidak masuk kerja (Robbins, 2006:185). Sebuah
penelitian telah membuktikan satu hubungan yang signifikan antara kepuasan
kerja dan ketidakhadiran (absenteeisme). Apabila kepuasan kerja tinggi maka
73
ketidakhadiran cenderung rendah, sedangkan apabila kepuasan kerja rendah,
maka ketidakhadiran kerja cenderung tinggi. Dalam hal ini ada variabel-
variabel penengah seperti sejauhmana orang-orang merasakan bahwa
mereka memandang pekerjaannya penting, tidak suka absen masuk kerja
(Luthans, 2002). Sementara itu, para pekerja yang tidak puas mungkin datang
ke tempat kerja secara teratur karena rasa kewajiban dan takut dipecat bila
tidak masuk kerja. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kehadiran di
tempat kerja adalah penghargaan sosial atas pekerjaan, kebutuhan keuangan
dan adanya pekerjaan-pekerjaan lain.
Steers dan Rhodes dalam Munandar (2001) mengembangkan
model dari pengaruh terhadap kehadiran. Mereka melihat adanya dua faktor
pada perilaku hadir, yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan untuk hadir.
Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja
dalam kombinasi dengan tekanan-tekanan internal dan eksternal untuk
datang pada pekerjaan.
3. Kepuasan dan Tingkat Keluarnya Karyawan
Kepuasan dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan
(turnover) dan korelasi itu lebih kuat dari pada apa yang ditemukan pada
kemangkiran. Namun harus juga diperhatikan, faktor-faktor lain seperti
kondisi pasar kerja, pengharapan mengenai kesempatan kerja alternatif, dan
panjangnya masa kerja dalam organisasi itu merupakan kendala yang penting
pada keputusan yang sebenarnya untuk meninggalkan pekerjaan yang ada
(Robbins, 2006).
Berbeda dengan kepuasan dan produktivitas, peneliti menemukan
keterkaitan yang tidak terlalu tinggi antara kepuasan kerja dengan
74
perpindahan karyawan. Kepuasan kerja yang tinggi tidak akan menekan
perpindahan kerja, namun kepuasan kerja bisa membantu meminimalkan.
Sebaliknya, jika kepuasan kerja rendah, perpindahan kerja cenderung
meningkat (Luthans, 2002).
4. Pengaruh lain dari kepuasan Kerja
Penelitian membuktikan bahwa pekerja yang sangat puas
cenderung mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik,
mengerjakan tugas-tugas lebih cepat, mengalami sedikit kecelakaan kerja
dan tidak banyak mengeluh. Pekerja yang memiliki kepuasan kerja tinggi
cenderung memiliki perilaku yang lebih sosial seperti membantu rekan kerja,
membantu konsumen, dan bersikap lebih bekerjasama (Luthans, 2002).
Menurut Robbi (2006:185), ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja
karyawan dapat diungkapkan ke dalam berbagai macam cara. Misalnya
selain meninggalkan pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang,
mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab
pekerjaan mereka. Ketidakpuasan kerja pada Gambar 1. Ditempatkan pada
sisi berlawanan dengan kepuasan kerja yang diungkapkan lewat perilaku ke
arah meninggalkan organisasi. Dari gambar tersebut menunjukkan empat
kemungkinan jawaban yang berbeda-beda yang terletak pada dua dimensi;
constructiveness-destructiveness dan aktif-pasif.
75
Gambar 1. Empat Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan Karyawan
Aktif
KELUAR MENYUARAKAN
Destructive Constructive
MENGABAIKAN KESETIAAN
Pasif
Sumber : Rusbult dan Lowery, 1985
. Menurut Robbins (2006:185), rasa ketidak puasan karyawan dapat
diungkapkan kedalam berbagai tindakan seperti:
1. Keluar (exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan
meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain.
2. Menyuarakan (voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui
usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk
memberikan saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan
atasannya.
3. Mengabaikan (neglect): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui
sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya,
sering absen, atau datang terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang
dibuat makin banyak.
4. Kesetiaan (loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan
menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk
membela perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa
76
organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk
memperbaiki kondisi (Robbins, 1996).
Perilaku eksit dari pengabaian, meliputi variabel-variabel kinerja dan
hubungannya dengan produktivitas, kemangkiran (absensi), dan keluarnya
karyawan dari pekerjaannya. Model ini menimbulkan respon karyawan untuk
mencakup suara dan kesetiaan, perilaku-perilaku konstruktif yang
memungkinkan individu-individu bertoleransi pada situasi yang tidak
menyenangkan atau menghidupkan kembali kondisi kerja yang memuaskan.
Model ini dapat membantu memahami situasi adanya kepuasan kerja yang
rendah, sementara tingkat keluarnya karyawan yang juga rendah
Ada pendapat menarik mengenai kepedulian manajer tentang
kepuasan kerja dalam organisasi. Menurut Robbins (2006:183), kepedulian ini
sekurang-kurangnya disebabkan oleh : 1) ada bukti yang jelas bahwa
karyawan yang tidak terpuaskan lebih sering meninggalkan kerja dan besar
kemungkinan mengundurkan diri, 2) telah terbukti bahwa karyawan yang
terpuaskan mempunyai kesehatan yang lebih baik dan usia yang lebih
panjang, 3) kepuasan pada pekerjaan terbawa ke kehidupan karyawan di luar
pekerjaan.
Kepuasan kerja yang tinggi, sudah tentu akan mengangkat karyawan
ke posisi yang lebih baik, baik dalam penerimaan finansialnya maupun
jabatan, dan bagi organisasi sendiri akan lebih berhasil guna (Luthans, 2002).
Bagi manajemen, pekerja yang terpuaskan akan memberikan produktivitas
yang lebih tinggi karena gangguan (distrupsi) yang lebih sedikit.
77
Banyak orang percaya pekerja-pekerja yang terpuaskan adalah
pekerja yang produktif. Alasannya pekerja-pekerja yang terpuaskan itu
cenderung melibatkan diri lebih dalam pada pekerjaannya, dan selalu ingin
lebih produktif (Veccio, 2000).
3. Teori-teori tentang Kepuasan Kerja
Lawler (1973) dalam Staw (1991), mengemukakan ada 4 (empat)
pendekatan teoritis yang mendasari kepuasan kerja yang lazim dikenal,
meliputi : 1) Teori Pemenuhan (Fulfillment Theory), 2) Teori Perbedaan
(Discrepancy Theory), 3) Teori Keseimbangan (Equity Theory), dan 4) Teori
Dua Faktor (Two-Facyor Theory).
1. Teori Pemenuhan (Fulfillment Theory)
Kepuasan kerja merupakan refleksi dari pekerjaan yang memberi
nilai positif. Teori ini melihat seseorang puas dengan suatu objek, yang
artinya bahwa objek itu memberikan nilai positif bagi orang tersebut. Teori ini
hanya melihat kepuasan kerja dari objek yang dimiliki seseorang.
2. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter (1961), yang mengukur
kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang
seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke
menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung kepada
discrepancy antara should be (expectation, needs atau values) dengan apa
yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai
melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada
perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan,
78
karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Apabila yang didapat
ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih
puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang
positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar
minimum, sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula
ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya.
3. Teori Kesei mbangan (Equity Theory)
Equity Theory dikembangkan oleh Adam (1963). Prinsip dari teori ini
adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia
merasakan adanya kesimbangan (equity) atau tidak atas suatu situasi.
Perasaan equity dan in equity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun
tempat lain. Ada empat komponen utama dalam teori ini yaitu; 1) Inputs,
adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan
atau pendukung terhadap pekerjaan, misalnya pendidikan, pengalaman,
keahlian dan jumlah jam kerja. 2) Outcomes, adalah segala sesuatu yang
berharga yang dirasakan karyawan sebagai hasil dari pekerjaan, misalnya
gaji, status, pengakuan, kesempatan untuk maju, dan kesempatan untuk
berekspresi. 3) Comparison person, adalah orang dijadikan pembanding dari
input dan hasil yang didapat oleh pegawai. 4) Equity-inequity, adalah
perbandingan antara input dan hasil yang diperoleh seorang karyawan
dengan input dan hasil yang diperoleh karyawan lain. Jika hasil dari
perbandingan tersebut dirasakan cukup seimbang (equity), maka karyawan
tersebut berada dalam kondisi puas. Dengan demikian jika hasil dari
perbandingan tersebut dirasa tidak seimbang tetapi menguntungkan (over
79
compensation inequity), dalam arti hasil yang diperoleh lebih besar daripada
orang lain yang dijadikan pembanding, maka karyawan bisa mengalami
kepuasan atau sebaliknya. Kemudian jika perbandingan itu dirasa tidak
seimbang dan merupakan under compensation inequity, dalam arti hasil yang
diperoleh lebih kecil dari pada orang lain yang dijadikan pembanding, maka
karyawan akan berada dalam kondisi tidak puas.
4. Teori Dua Faktor (Two-Factor Theory)
Teori Dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Dua faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas menurut
Herzberg yaitu faktor pemeliharaan (maintenance factors) dan faktor motivasi
(motivational factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfier, hygiene
factors, job context, extrinsic factors yang meliputi : administrasi dan
kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas,
hubungan dengan bawahan, upah, keamanan kerja, kondisi kerja, dan status.
Perbaikan terhadap kondisi dan situasi dari faktor pemeliharaan ini akan
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan
menimbulkan kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan. Faktor motivasi
disebut pula satisfiers, motivators, job content, intrinsic factors yang meliputi
dorongan berprestasi, pengakuan, kemajuan, pekerjaan itu sendiri,
kesempatan berkembang dan tanggung jawab. Menurut Herzberg, kehadiran
faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidak
selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
Sementara itu menurut Munandar (2001), terdapat tiga teori utama
tentang kepuasan kerja yang meliputi: 1) Teori Pertentangan/perbedaan
80
(Discrepancy Theory), 2) Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (faces
Satisfaction), dan 3) Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory).
1. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)
Teori perbedaan dari Locke (1976) menyatakan bahwa kepuasan
atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan
penimbangan dua nilai yaitu; Pertama, perbedaan yang dipersepsikan antara
apa yang diinginkan seseorang individu dengan apa yang ia terima. Kedua,
pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Menurut Locke dalam
Munandar (2001), seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas
merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan
adanya kesesuaian atau perbedaan antara keinginan-keinginannya dan hasil
keluarnya.
2. Model dari Kepuasan Bidang/Bagian (faces Satisfaction)
Model kepuasan bidang dari Lawler (1973) ini berkaitan erat dengan
teori keadilan dari Adams (1963). Menurut Lawler dalam Munandar (2001),
orang akan merasa puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka
(misalnya; dengan rekan sekerja, atasan, gaji), jika jumlah dari bidang yang
dipersepsikan mereka seharusnya diterima untuk melaksanakan pekerjaan,
sama dengan jumlah yang diterima. Misalnya persepsi seorang tenaga kerja
terhadap jumlah honorarium yang seharusnya ia terima berdasarkan
kinerjanya dengan persepsinya tentang honorarium yang secara aktual ia
terima. Jika individu mempersepsikan jumlah yang ia terima lebih besar dari
pada yang sepatutnya ia terima, ia akan merasa salah dan tidak adil.
Sebaliknya jika ia mempersepsikan bahwa yang ia terima kurang dari yang
sepatutnya ia terima, ia akan merasa tidak puas.
81
3. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Teori proses-bertentangan dari Landy (1978), memandang kepuasan
kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan
yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu
keseimbangan emosional (emotional equilibrium). Teori ini menyatakan
bahwa jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan mereka merasa
senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lemah). Setelah
beberapa saat rasa senang menurun dan dapat menurun sedemikian rupa
sehingga orang merasa sedih sebelum kembali normal. Hal demikian, karena
emosi tidak senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama
(Munandar, 2001).
Kajian Judge et.al., (1992:638) menyatakan bahwa kesuksesan
seorang pemimpin perusahaan dapat dilihat dari sudut pandang kepuasan
kerjanya antara lain; (1) kepuasan dengan penghasilan yang diterima, (2)
kepuasan dengan derajat minat keterlibatan kerja, (3) kepuasan dengan
pembantu kerjanya, (4) kepuasan dengan menggunakan ketrampilan dan
kecakapan, (5) kepuasan dengan pengawasan, (6) kepuasan dengan respek
pada pemberian pekerjaan lainnya, (7) kepuasan dengan kecakapan
mengembangkan gagasan-gagasan kerja, dan (8) kepuasan dengan
keamanan kerja. Sukses karir adalah refleksi kepuasan kerja. Begitu pula
sukses intrinsik sama dengan kepuasan kerja. Dapat ditambahkan bahwa
sukses karir seorang penimpin perusahaan menjadi perdebatan ketika
dikatakan terdiri dari dimensi-dimensi; (i) sukses intrinsik adalah kepuasan
kerja, dan (ii) sukses ekstrinsik adalah penghasilan dan status penempatan di
pekerjaan (Judge et al, 1992:639).
82
Dalam hal ini Jewell dan Siegall (1998) telah meringkas teori-teori
kepuasan kerja sebagaimana nampak pada Tabel 2. berikut ini :
Tabel 2.1. Ringkasan Teori-teori Kepuasan Kerja
Nama/Penjelasan Teori Motivasi Kerja yang berkaitan
Pernyataan Dasar Dukungan Empiris
Dua Faktor atau Motivasi/ Higiene (herzberg, Mausner dan Snyderman, 1959)
Teori Kebutuhan
Kepuasan kerja dan ketidak-puasan kerja adalah isu terpisah; kepuasan kerja hanya datang dari faktor yang intrinsik dari kerja tersebut
Negative
Kepuasan Facet (Lawler, 1973)
Teori Kognitif Kepuasan tergantung pada persepsi masukan jabatannya, karakteristik jabatan dan keluaran jabatan relatif dengan orang lain
Sedikit
Teori Nilai (Locke, 1976)
Teori Kebutuhan
Kepuasan berasal dari keadaan tercapainya hal-hal yang bernilai baginya melalui pekerjaan
Tidak cukup penelitian
Proses Berlawanan (Landy, 1978)
Tidak ada yang langsung berkaitan
Kepuasan bervariasi dengan berjalannya waktu; ada kekuatan yang selalu bekerja untuk menguranginya
Tidak cukup penelitian
Ketidaksesuaian Kebutuhan (Porter, 1961)
Teori Kebutuhan
Kepuasan merupakan hasil ketidaksesuaian yang rendah antara apa yang dibutuhkan orang dan apa yang diberikan jabatannya
Sedikit
Instrumentality (Porter & Lawler, 1968)
Teori Pengharapan
Kepuasan tergantung pada kecocokan antara pengharapan yang diharapkan dan diterima
Sedikit
83
4. Pengukuran Kepuasan Kerja
Ada beberapa isntrumen pengukuran kepuasan kerja, di antaranya;
indeks deskriftif pekerjaan (Job Descriptive Index, JDI), skala kepuasan kerja
berdasarkan analisis ekspresi wajah (Faces Job Satisfaction), dan kuisioner
kepuasan kerja Minnesota (Minnesota Satisfaction Questionnaire)
(Mangkunegara, 2000).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengukuran kepuasan
dengan skala indeks deskripsi pekerjaan. Skala pengukuran kepuasan kerja
ini dikembangkan oleh Smith et al., (1969).Skala indeks yang diukur adalah
sikap pekerja terhadap pekerjaan, pengawasan, upah gaji, dan promosi
jabatan. Indeks deskripsi pekerjaan diuraikan oleh McCormick dan Ilgen
(1985) sebagai berikut : “The Job Description Index develop by Smith et al.,
(1969). In its final form the scale measures attitudes in four areas; work,
sipervision, pay, and promotion’. .
Dengan demikian dalam penelitian ini untuk mengukur kepuasan
kerja karyawan digunakan sikap mereka terhadap pekerjaan, pengawasan,
gaji/upah, dan promosi, dengan alasan bahwa kepuasan kerja lebih berkaitan
dengan perasaan yang dirasakan oleh seorang karyawan terhadap indikator-
indikator tersebut
F. Komitmen Organisasional
1. Definisi Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional adalah suatu sikap yang secara langsung
dihubungkan dengan keikutsertaan karyawan dan niatnya untuk tinggal dalam
84
organisasi dan dihubungkan dengan performance pekerjaan (Mathieu dan
Zajac, 1990). Komitmen organisasi meliputi tiga komponen, yaitu keinginan
(menginginkan untuk tetap tinggal), kelanjutan (butuh biaya hidup) dan
normatif (kewajiban untuk tinggal), komitmen (Meyer dan Allen, 1991). Suatu
studi pada karyawan di Jepang, ditemukan komitmen organisasi dipandang
sebagai suatu konstruksi multidimensional yang diterapkan di Jepang dengan
daftar pertanyaan komitmen organisasi (OCQ) sebagai suatu alat antar
budaya yang efektif untuk mengukur komitmen organisasi.
Sebagai Intervening variables dalam hubungan persepsi – sikap –
perilaku, komitmen organisasional menurut Buchanan (dalam Gibson et al.,
1990) mencakup tiga bentuk sikap yaitu: (1) perasaan manunggal dengan
tujuan organisasi, (2) perasaan terlibat dalam tugas dan kewajiban
keorganisasian, dan (3) perasaan setia kepada organisasi. Sikap yang
demikian ini terbentuk karena adanya nilai investasi karyawan dalam
organisasi seperti senioritas dan keuntungan yang menyebabkan munculnya
pandangan bahwa jika keluar dari organisasi akan mengalami banyak
kerugian (Allen & meyer, 1990).
Bentuk-bentuk komitmen organisasional meliputi sejumlah obyek
yang menjadi sasaran karyawan dalam organisasi. Barney dan Griffin (1992)
mengarahkan komitmen organisasional pada tiga bentuk yaitu: (1) komitmen
terhadap karir yang menekankan pada perkembangan karir individu dalam
organisasi atau sejumlah kegiatan yang dilakukan individu yang berorientasi
pada karir, (2) komitmen terhadap pekerjaan yang menekankan pada aspek
pekerjaan, dan (3) komitmen pada organisasi yang menekankan pada
organisasi secara keseluruhan.
85
Komitmen organisasional yang tumbuh pada sikap karyawan untuk
memenuhi kepentingan organisasi ditunjukkan dalam berbagai bentuk.
Luthans (1985) mengidentifikasi adanya tiga aspek utama komitmen
karyawan terhadap organisasi yaitu: (1) a strong desire to remain a member
of a particular organization, (2) willingness to exert high level of efforton behalf
of the organization, and (3) a definite beliefing and acceptance of the values
and goals of the organization.
Dari beberapa tinjauan teoritis tentang komitmen organisasional, dapat
disimpulkan bahwa komitmen pada dasarnya merupakan orientasi sikap
individu terhadap semua obyek yang terdapat dalam organisasi. Adapun
obyek organisasi sebagai orientasi sikap ini di antaranya meliputi karier,
pekerjaan maupun kebijakan organisasi. Jika orientasi individu berorientasi
pada karier, maka perilaku atau aktivitas dalam organisasi selalu diarahkan
pada perkembangan karier. Sedangkan jika orientasi individu diarahkan pada
pekerjaan dan organisasi, maka segala kegiatan individu akan diarahkan pula
pada kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Terdapat beberapa cara bagi organisasi untuk membangun komitmen
karyawan yang kuat. Kinlaw (1989) mengemukakan adanya empat strategi
yang dapat diadopsi untuk membentuk sikap komitmen yang kuat yang
meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
(1). Clarity
Kejelasan terhadap semua nilai dan pekerjaan yang harus dilakukan
individu harus mendapat perhatian untuk menumbuhkan komitmen. Tujuan
86
organisasi, nilai, norma dan peraturan serta serangkaian tugas dan pekerjaan
harus dapat dipahami dengan baik dan jelas oleh seluruh individu.
(2). Competence
Secara umum individu cenderung tidak menyukai kegagalan dalam
menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Untuk itu, individu berusaha
menghindari pekerjaan yang dinilai tidak mampu untuk ditangani. Dengan
demikian, bekal kompetensi harus diberikan organisasi untuk memberi
penguatan individu agar memiliki komitmen yang kuat terhadap semua tugas
dan pekerjaan yang diberikan organisasi. Dengan kompetensi karyawan akan
terdorong motivasi bekerja serta menumbuhkan keyakinan bahwa semua
tugas dan pekerjaan akan dapat diselesaikan berdasarkan kemampuan dan
kemauannya.
(3). Influence
Komitmen organisasional dapat tumbuh semakin kuat, jika organisasi
memiliki pengaruh yang besar terhadap semua bentuk kegiatan kerja individu.
Setiap karyawan akan memiliki komitmen yang tinggi jika kehadiran atau
keberadaannya dalam organisasi, kemampuan kerjanya, atau kontribusinya
bagi keberhasilan organisasi mendapat perhatian yang proporsional.
Perhatian organisasi secara seksama terhadap semua kegiatan individu akan
dapat mempengaruhi keaktifan dan kepeduliannya terhadap organisasi.
(4) Appreciation
Apresiasi atau penghargaan terhadap semua kegiatan yang dilakukan
individu akan memberi kontribusi yang berarti dalam membangun komitmen
87
organisasional. Dengan sekedar mengunjungi karyawan di ruang kerja
kemudian menyapa dan mengucapkan terima kasih pada akhir kunjungan
akan membawa pengaruh besar bagi tumbuhnya sikap individu yang positif
dalam tugas-tugasnya.
Selain dengan keempat strategi tersebut, komitmen organisasional
dapat ditumbuhkan pula melalui serangkaian kebijakan organisasi yang
positif. Dalam hal ini, Dessler (1994) menyatakan adanya beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk menumbuhkan komitmen organisasional yaitu: (1)
promotion from within, (2) a total selection program, (3) orientation and
socialization, (4) empowering work team, (5) helping employee to self-
actualize, and (6) compensation management.
Adanya promosi dari dalam untuk menempatkan individu pada
jabatan yang lowong dan lebih tinggi dapat menumbuhkan keikatan individu
dalam membangun karier dalam organisasi. Sementara program seleksi
secara total akan menumbuhkan komitmen organisasional, karena individu
merasa mendapat kepercayaan yang tinggi untuk menempati posisi tertentu.
Setiap informasi yang menunjukkan kejelasan akan dapat dipahami individu
sebagai rangsangan yang positif sehingga orientasi dan sosialisasi yang
bertujuan memberikan kejelasan tentang kebijakan organisasi bagi individu
akan dapat meningkatkan komitmen organisasional.
Adapun penguatan atau pemberdayaan tim kerja merupakan sarana
implementasi kebijakan dimana tidak ada satupun pekerjaan yang dapat
deselesaikan secara mandiri atau sendiri. Dengan demikian, kerja tim dapat
pula menumbuhkan komitmen atau keikatan individu kepada organisasi. Nilai
88
lainnya, adalah kesediaan organisasi untuk membantu individu dalam
mengaktualisasikan diri dalam organisasi dengan memberikan pekerjaan-
pekerjaan yang menantang dikombinasikan dengan skema penggajian yang
fair akan dapat pula meningkatkan komitmen organinisasional. Dalam konteks
yang demikian ini, Mill (1992) menyatakan bahwa insentif keuangan memiliki
peran sangat penting untuk membangun komitmen.
Sebagai konsekuensi dari sejumlah determinan, secara teoritis
komitmen organisasional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam hal
ini, Greenberg & Baron (1993) menyatakan bahwa komitmen organisasi
merupakan salah satu bentuk sikap yang dipengaruhi oleh karakteristik
individu atau pekerja, adanya peluang pekerjaan alternatif, dan perlakuan
organisasi.
Atas dasar pandangan tersebut, dalam penelitian ini dikembangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasional yaitu karakteristik
individu, budaya organisasi, dan kepuasan kerja. Pengembangan ini
didasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simmons (2005).
Sementara sebagai faktor determinan, komitmen organisasional
menurut Greenberg & Baron (1993) mempengaruhi sejumlah bentuk perilaku
yaitu kecenderungan absensi tinggi dan turnover rendah, berhubungan
dengan tingkat pengorbanan dan konsekuensi personal yang positif. Dalam
penelitian ini dikembangkan konsekuensi komitmen organisasional dalam
bentuk perilaku inovatif dengan merujuk pada kajian yang dilakukan oleh De
Jong & Kemp (2003). Hal mendasar yang menguatkan argumentasi
penetapan konsekuensi komitmen organisasional dalam bentuk perilaku
89
inovatif disesuaikan dengan tuntutan yang harus dipenuhi organisasi. Untuk
dapat bersaing, semua pelaku harus dapat menunjukkan perilaku yang
inovatif baik dalam hal desain dan proses produksi serta produk yang
dihasilkannya (Tambunan, 2002).
Dari posisi sebagai faktor penentu terbentuknya perilaku kerja yang
positif, komitmen organisasional menurut Barney & Griffin (1992) akan
memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan organisasi. Adapun
keuntungan yang diperoleh organisasi di antaranya adalah peningkatan
angka absensi atau kemangkiran, mengurangi turnover, mengurangi stres
kerja yang berkaitan dengan kesehatan, mengurangi persoalan lingkungan
kerja, meningkatkan inovasi, dan dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan sebagaimana telah diidentifikasikan oleh Ward & Davis (1995).
2. Dimensi Komitmen Organisasional
Para peneliti komitmen organisasional membagi komitmen
organisasional menjadi dua kelompok yaitu yang memandang komitmen
organisasi sebagai sikap dan yang memandang komitmen organisasi sebagai
perilaku (Meyer dan Allen, 1991; Jaros et al., 1993). Meyer dan Allen
menyatakan komitmen sikap sebagai suatu cara yang merasakan dan berpikir
tentang organisasi mereka, sedangkan komitmen perilaku menggambarkan
cara individu memasuki organisasi. Pendekatan sikap menghasilkan
komitmen sebagai suatu sikap karyawan yang merefleksikan sikap dan
kualitas dari hubungan antara karyawan dan organisasi.
Di antara pendekatan sikap, para peneliti telah memulai memandang
komitmen organisasi sebagai konsep multidimensional yang memiliki
90
perbedaan faktor yang berhubungan dengan hasil serta implikasinya untuk
MSDM (Meyer dan Allen, 1997). Meyer dan koleganya banyak meneliti hal
tersebut sebagaimana tertuang dalam Allen dan meyer (1990); Meyer dan
Allen (1991); Meyer dan Allen (1997); Meyer dan Herscofit (2002) dengan
pendekatan multidimensional.
Allen dan meyer (1991) mengindikasikan tiga tema umum dalam
konseptualisasi sikap dan komitmen organisasi, yaitu : pengikatan afektif
(affective attachment), biaya yang dirasakan (perceived cost) dan kewajiban
(obligation). Bentuk ketiga dimensi komitmen tersebut oleh Allen & Meyer
(Ashanasky et al., 2002; dan Brooks, 2002) didefinisikan sebagai berikut :
“The affectivecomponent of organizational commitment … refers to the employee’s emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. The contuance commitment refers to commitment based on the cost that the employees associated with leaving the organization. Finally, the normatif component refers to the employee’s feeling of obligation to remain with the organization”.
Model tiga komponen dari komitmen organisasional yang mencakup :
affective, continuence dan normative sebagai tiga dimensi komitmen
organisasional secara lengkap adalah sebagai berikut :
1. Komitmen Afektif
Allen dan Meyer (1990) menggambarkan komitmen afektif sebagai
pengaturan emosional pegawai, diidentifikasi dengan keterlibatan dalam
organisasi. Komitmen afektif melibatkan tiga aspek yaitu : pembentukan,
pengaturan emosi terhadap organisasi, identifikasi, dan keinginan untuk
mempertahankan keanggotaan organisasi. Selanjutnya, peneliti berargumen
91
bahwa individu akan mengembangkan pengaturan emosinya untuk
organisasi, ketika mengidentifikasi keselarasan antara keinginan organisasi
dan kemauan untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa identifikasi dengan organisasi terjadi ketika nilai-nilai
yang dimiliki oleh organisasi sesuai dengan nilai yang dimiliki karyawan.
Dengan demikian, terdapat identifikasi psikologis yang merupakan
kebanggaan masuk dalam organisasi.
Jaros et al., (1993) menyatakan komitmen afektif merupakan bentuk
yang luas untuk penataan psikologikal terhadap pegawai dalam organisasi.
Meyer dan Hercofits (2001) menyatakan bahwa komitmen afektif ditemukan
memiliki korelasi yang positif dengan hasil seperti; turn over, absensi, kinerja
karyawan dan perilaku anggota organisasi.
2. Komitmen Keberlanjutan
Dimensi kedua dari komitmen organisasi adalah komitmen
keberlanjutan, yang merupakan keinginan individu pada suatu karyawan
dalam organisasi untuk waktu yang lama. Allen dan meyer (1990)
menggambarkan komitmen keberlanjutan sebagai bentuk pengikatan
psikologis pada organisasi yang direfleksikan sebagai persepsi karyawan
untuk tetap bekerja dalam organisasi.
Romzek (1990) dalam Arifin (2009) mendeskripsikan tipe ini sebagai
pengikatan transaksional. Dia berargumentasi bahwa perhitungan karyawan
sebagai investasi dalam organisasi yang didasarkan pada pencapaian yang
diperoleh dari organisasi. Dijelaskan pula bahwa penurunan investasi
disebabkan dari kehilangan alternatif dari yang dirasakan oleh pegawai. Allen
92
dan Meyer (1990) berargumentasi bahwa suatu komitmen individual pada
organisasi dapat didasarkan pada persepsi karyawan dalam menanggapi
lingkungan di luar organisasi, sehingga komitmen keberlanjutan
merefleksikan penghitungan dari biaya untuk meninggalkan organisasi atau
keuntungan bila tetap berada dalam organisasi.
3. Komitmen Normatif
Dimensi ketiga dari komitmen organisasi adalah komitmen normatif,
yang merefleksikan perasaan wajib untuk melanjutkan bekerja. Para
karyawan dengan tingkat komitmen normatif tinggi merasa sejalan dengan
organisasi (Allen & meyer, 1990).
Randal dan Cote (1991) memandang komitmen normatif sebagai
kewajiban moral karyawan pada organisasi. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa
ketika karyawan mulai merasa terjadi pengembangan diri oleh organisasi,
maka merasa wajib untuk tetap bekerja pada organisasi ini. Hal ini didukung
oleh pendapat Jaros et al., (1993) yang menyatakan bahwa komitmen
normatif sebagai kewajiban moral, yang tidak terikat pada pengikatan
emosional karena tidak tergantung pada penghitungan untung rugi secara
personal.
Perbedaan ketiga dimensi komitmen organisasional didasarkan pada motif
yang mendasari karyawan dan hasil yang diterima dari organisasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis membuat variabel
komitmen dengan dimensi komitmen afektif yang diukur dengan indikator
berkarier, rasa memiliki, rasa keterikatan, dan bagian dari keluarga.
93
Sedangkan dimensi komitmen normatif dengan indikator kewajiban pada
orgnisasi, manfaat bagi organisasi, rasa bersalah dan rasa berhutang pada
organisasi. Untuk dimensi komitmen berkelanjutan, dengan indikator tetap
tinggal dalam organisasi, keinginan untuk meninggalkan organisasi dan
keinginan untuk kerja di organisasi lain.
G. Kinerja Karyawan
1. Definisi Kinerja Karyawan
Kekuatan setiap organisasi adalah terletak pada orang-orangnya,
sehingga prestasi suatu organisasi tidak terlepas dari prestasi setiap individu
yang terlibat di dalamnya. Kinerja karyawan atau pegawai pada dasarnya
adalah merupakan hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target,
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama. Tinggi rendahnya kinerja karyawan merupakan ukuran
terhadap efisiensi dan efektivitas suatu organisasi dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek
maupun jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu, kelompok atau
organisasi. Kinerja individu berakibat pada kinerja kelompok yang selanjutnya
memberikan kontribusi pada kinerja organisasi.
Kinerja adalah hasil atau keluaran dari suatu proses, kinerja memiliki
hubungan yang erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam
94
menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang
tinggi dalam suatu organisasi (Soedarmayanti, 2001).
Pada hakikatnya, kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh
seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar dan kriteria
yang ditetapkan untuk pekerjaan tersebut. Kinerja merupakan salah satu
kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja atas tugas yang
diberikan. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan.
Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan. Kinerja merujuk kepada tingkat
keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai
dengan baik, maka kinerja dinyatakan baik dan sukses. Kinerja juga
dinyatakan sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik
yang dilakukan oleh individu, kelompok atau perusahaan. Untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. (Griffin, 1987; Cascio, 1995;
Stoloviych and Keeps, 1992; Schermerhorn et, al., 1991; Donnely et al., 1994;
Hersey and Blanchard, 1993; Rivai, 2005).
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A),
motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu
kinerja = f (A x M x O). Artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan,
motivasi dan kesempatan (Robbins, 1998). Dengan demikian, kinerja
ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.
Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian
merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan
95
karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa
saja ada rintangan yang menjadi penghambat.
2. Penilaian Kinerja
Notoatmodjo dan Soekidjo (1992) menjelaskan bahwa penilaian
kinerja yang baik harus dapat menggambarkan secara akurat tentang apa
yang diukur. Agar penilaian mencapai tujuan ini, maka ada dua hal yang
perlu diperhatikan, yaitu :
1. Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan ( job related),
artinya sistem penilaian itu benar-benar menilai perilaku atau kerja yang
mendukung kegiatan organisasi dimana karyawan itu bekerja.
2. Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standard). Standar
pelaksanaan adalah ukuran yang dipakai untuk menilai kinerja tersebut,
agar penilaian itu efektif, maka standar penilaian hendaknya berhubungan
dengan hasil-hasil yang diinginkan setiap pekerjaan. Dengan demikian
standar pelaksanaan kerja menjadi semacam alat ukur kinerja. Alat ukur
yang baik harus memenuhi sekurang-kurangnya dua kriteria yakni
reliabilitas dan validitas. Alat yang validitasnya tinggi apabila alat itu
mengukur apa yang harus diukur, sedangkan alat yang reliabilitasnya
tinggi apabila alat ukur itu mempunyai hasil yang konsisten.
Pelaksanaan pengukuran atau penilaian terhadap pelaksanaan
kinerja dibutuhkan suatu penilaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Cascio (1995 : 275) menyatakan bahwa syarat-syarat dari sistem penilaian
kinerja meliputi :
96
1. Relevance artinya bahwa suatu sistem penilaian digunakan untuk
mengukur kegiatan-kegiatan yang ada hubungan antara hasil pekerjaan
dan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu
2. Acceptability artinya bahwa hasil dari sistem penilaian tersebut dapat
diterima dari kesuksesan pelaksanaan pekerjaan dalam suatu organisasi
3. Reliability artinya bahwa hasil dari sistem penilaian tersebut dapat
dipercaya. Reliabilitas sistem penilaian dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain; waktu dan frekuensi penilaian
4. Sensitivity artinya bahwa sistem penilaian tersebut cukup peka dalam
menunjukkan kegiatan yang berhasil atau gagal dilakukan oleh seorang
karyawan. Hal ini sangat penting, karena jangan sampat terjadi suatu
sistem tidak memiliki kemampuan membedakan karyawan yang berhasil
dan karyawan yang tidak berhasil
5. Practically artinya bahwa sistem penilaian dapat mendukung secara
langsung tercapainya tujuan organisasi perusahaan melalui peningkatan
produktivitas para karyawan
Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tetapi
berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh
keterampilan, kemampuan dan sifat-sifat individu. Menurut model partner-
lawyer (dalam Rivai, 2005) kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor :
a. Harapan mengenai imbalan
b. Dorongan
c. Kemampuan; kebutuhan dan sifat
d. Persepsi terhadap tugas
e. Imbalan internal dan eksternal
97
f. Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja.
Kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu : (1)
Kemampuan, (2) Keinginan, dan (3) Lingkungan. Oleh karena itu, agar
mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang
tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya. Tanpa mengetahui
ketiga faktor ini, kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan demikian,
kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan
dan kemampuan.
Rivai (2005) menyebutkan faktor-faktor yang menandai kinerja adalah
hasil ketentuan: (1) kebutuhan yang dibuat pekerja; (2) Tujuan yang khusus;
(3) Kemampuan; (4) Kompleksitas; (5) Komitmen; (6) Umpan Balik; (7)
Situasi; (8) Pembatasan; (9) Perhatian pada setiap kegiatan; (10) usaha; (11)
Ketekunan; (12) Ketaatan; (13) Kesediaan untuk berkorban; dan (14) Memiliki
standar yang jelas.
3. Tujuan Penilaian Kinerja
Evaluasi terhadap kinerja meripakan masukan untuk pengambilan
keputusan penting seperti promosi, transfer, dan pemutusan hubungan kerja.
Evaluasi mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan. Evaluasi
berfokus pada keterampilan dan kompetensi karyawan. Nawawi (1997)
mengatakan bahwa penilaian prestasi kerja atau kinerja mempunyai tujuan
yang berindikator luas yaitu sebagai berikut :
98
1. Tujuan Umum.
a. Penilaian kinerja bertujuan untuk memperbaiki pekerjaan para pekerja,
dengan memberikan bantuan agar setiap pekerja mewujudkan dan
menggunakan potensi yang dimilikinya secara maksimal dan
melaksanakan misi organisasi atau perusahaan melalui pelaksanaan
pekerjaan masing-masing.
b. Penilaian kinerja bertujuan untuk menghimpun dan mempersiapkan
informasi bagi pekerja dan para manajer dalam membuat keputusan
yang dapat dilaksanakan sesuai dengan bisnis organisasi atau
perusahaan di tempatnya bekerja.
c. Penilaian kinerja secara umum bertujuan untuk menyusun inventarisasi
SDM di lingkungan organisasi atau perusahaan yang dapat digunakan
dalam mendesain hubungan antara atasan dan bawahan, guna
mewujudkan saling pengertian dan penghargaan dalam rangka
mengembangkan keseimbangan antara keinginan pekerja secara
individual dengan sasaran organisasi atau perusahaan, dan dari hasil
tersebut dapat pula diketahui tentang kepuasan kerja atau sebaliknya.
Di samping itu dapat pula digunakan untuk menyusun program
pengembangan pribadi, pengembangan karier, program pelatihan, dan
lain-lain bagi setiap pekerja
d. Penilaian kinerja bertujuan untuk meningkatkan motivasi kerja yang
berpengaruh pada prestasi para pekerja dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Untuk itu hasil penilaian perlu diketahui oleh pekerja. Dari
satu sisi pengetahuan tentang keberhasilannya akan menjadi motivasi
untuk mempertahankannya dan bahkan untuk lebih meningkatkannya
99
di masa depan. Sebaliknya informasi kegagalan dapat digunakan oleh
organisasi atau perusahaan dalam usaha mendorong pekerja
memperbaiki kekurangan atau kelemahannya agar di masa depan
kinerjanya lebih meningkat, penilaian karya bertujuan untuk
meningkatkan kinerja SDM.
2. Tujuan Khusus
a. Penilaian kinerja bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat
digunakan sebagai dasar melakukan promosi, menghentikan
pelaksanaan pekerjaan yang keliru atau tindakan memperbaiki
(melaksanakan konseling), menegakkan disiplin sebagai kepentingan
bersama, menetapkan pemberian penghargaan atau balas jasa, dan
merupakan ukuran dalam mengurangi atau menambah pekerja melalui
perencanaan SDM.
b. Penilaian kinerja bertujuan untuk menghasilkan informasi yang dapat
dipergunakan sebagai kriteria dalam membuat test yang validitasnya
tinggi. Dengan kata lain, informasi penilaian karya dapat digunakan
untuk keperluan rekruitmen dan seleksi, karena dengan test yang valid
akan diperoleh hasil berupa score (nilai) yang dapat digunakan untuk
memprediksi kemampuan calon pekerja dalam mengisi kekosongan,
sehingga dapat diperoleh pekerja yang berkualitas.
c. Penilaian kinerja menghasilkan informasi sebagai umpan balik
(feedback) bagi pekerja dalam meningkatkan efisiensi kerjanya,
dengan memperbaiki kekurangan atau kekeliruannya dalam
melaksanakan pekerjaan. Pekerja yang berstatus bawahan dapat
100
mempergunakan informasi hasil penilaian karya untuk
mengembangkan diri masing-masing secarav individual.
d. Penilaian kinerja bertujuan untuk menghasilkan informasi yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pekerja dalam
meningkatkan kinerjanya, baik yang berkenaan dengan pengetahuan
dan keterampilan dalam bekerja maupun yang menyentuh sikap
terhafap pekerjaannya. Dengan demikian informasi [enilaian karya
dapat digunakan untuk menetapkan tujuan dan materi di dalam
kurikulum pelatihan tenaga kerja.
e. Penilaian kinerja bertujuan untuk memberikan informasi tentang
spesifikasi jabatan, baik untuk pembidangannya maupun
perjenjangannya dalam struktur organisasi atau perusahaan.
Spesifikasi ini dapat membantu dalam memecahkan masalah-masalah
dalam organisasi atau perusahaan.
f. Penilaian kinerja bertujuan untuk meningkatkan komunikasi sebagai
usaha mewujudkan hubungan manusiawi yang harmonis antara atasan
dan bawahan, terutama jika penilaian dilakukan dengan metode
interview.
3. Manfaat Penilaian Kinerja
Manfaat penilaian kinerja menurut Nawawi (1997), di antaranya adalah :
1. Manfaat bagi karyawan yang dinilai :
a. Meningkatkan kualitas kerja
b. Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan mereka
c. Umpan balik dari kinerja masa lalu yang akurat dan konstruktif
101
d. Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
e. Pengembangan perencanaan untuk meningkatkan kinerja dengan
membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal
mungkin
f. Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas
g. Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi
h. Kesempatan untuk mendiskusikan permasalahan pekerjaan dan
bagaimana mereka dapat mengatasinya
i. Suatu pemahaman jelas dari apa yang diharapkan dan apa yang
perlu dilaksanakan untuk mencapai harapan tersebut
j. Adanya pandangan yang lebih jelas tentang konteks pekerjaan
k. Kesempatan untuk mendiskusikan cita-cita dan bimbingan apapun,
dorongan atau pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi cita-cita
karyawan
l. Meningkatkan hubungan yang harmonis dan aktif dengan atasan
2. Manfaat bagi Penilai (Manajer atau Penyelia)
a. Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan
kecenderungan kinerja karyawan untuk perbaikan manajemen
selanjutnya
b. Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang
pekerjaan individu dan departemen secara lengkap
c. Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan
baik untuk pekerjaan manajer sendiri maupun pekerjaan bawahannya
d. Identifikasi gagasan terhadap peningkatan tentang nilai pribadi
e. Peningkatan kepuasan kerja
102
f. Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut,
rasa grogi, harapan dan aspirasi mereka
g. Meningkatkan kepuasan kerja baik dari para manajer maupun dari
para karyawan
h. Kesempatan untuk menjelaskan tujuan dan prioritas penilai dengan
memberikan pandangan yang lebih baik terhadap bagaimana mereka
dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada perusahaan
i. Meningkatkan rasa harga diri yang kuat di antara manajer dan juga
para karyawan, karena telah berhasil mendekatkan ide dari karyawan
dengan ide dari para manajer
j. Sebagai media untuk mengurangi kesenjangan antara sasaran
individu dengan sasaran kelompok atau sasaran departemen SDM
atau sasaran perusahaan
k. Kesempatan bagi manajer untuk menjelaskan kepada karyawan apa
yang sebenarnya diinginkan oleh perusahaan dari para karyawan
sehingga para karyawan dapat mengukur dirinya, menempatkan
dirinya dan berdaya sesuai dengan harapan dari manajer
l. Sebagai media untuk meningkatkan interpersonal relationship atau
hubungan antar pribadi antara karyawan dengan manajer
m. Dapat sebagai sarana meningkatkan motivasi karyawan dengan lebih
memusatkan perhatian kepada mereka secara pribadi
n. Merupakan kesempatan berharga bagi manajer agar dapat menilai
kembali apa yang telah dilakukan sehingga ada kemungkinan
merevisi target atau menyusun prioritas baru
103
o. Bisa mengidentifikasi kesempatan untuk rotasi atau perubahan tugas
karyawan
4. Ukuran-ukuran Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja karyawan dapat dilakukan terhadap hasil pekerjaan
yang dicapai karyawan dalam kurun waktu tertentu berdasarkan kuantitas dan
kualitas hasil kerja serta kehadiran (presensi) karyawan, seperti dikemukakan
beberapa ahli sebagai berikut :
Penilaian kinerja karywan berkenaan dengan hasil pekerjaan yang
dicapai karyawan dalam kurun waktu tertentu yang diukur berdasarkan
kuantitas maupun kualitas hasil kerja (Mangkunegara, 2000:67)
Meier (dalam As’ad, 1995) menyatakan bahwa yang umum dianggap
sebagai kriteria penilaian kinerja karyawan, antara lain; kualitas, kuantitas,
waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam
menjalankan tugas pekerjaannya. Indikator mana yang lebih penting adalah
berbeda antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya. Untuk
memudahkan pengukuran kinerja ini, Meier membagi pekerjaan menjadi dua
jenis, yaitu :
a. Pekerjaan produksi, dimana secara kuantitatif orang bisa membuat
standar yang obyektif. Hasil produksi seseorang bisa langsung dihitung,
dan mutunya dapat dinilai pula melalui pengujian hasil
b. Pekerjaan non produksi, dimana penentuan sukses tidaknya seseorang di
dalam tugas biasanya didapat melalui human judgements atau
pertimbangan subyektif. Ada beberapa cara yang umum ditempuh antara
104
lain melalui penilaian (rating) oleh atasan, rating oleh rekan kerja, dan self
rating. Karena cara yang demikian ini lebih bersifat subyektif, maka
sedapat mungkin diusahakan adanya standar yang obyektif dan kalau
tidak memungkinkan baru ke langkah yang kedua.
Menurut Gomes (2000 : 72), ada beberapa tipe kriteria penilaian
kinerja yang didasarkan atas deskripsi perilaku yang spesifik di antaranya
adalah :
1. Quantity of work yaitu jumlah kerja yang dihasilkan dalam suatu periode
waktu yang telah ditentukan
2. Quality of work yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat
kesesuaian dan kesiapannya
3. Creativeness yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul
4. Cooperation yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain
(sesama anggota organisasi)
5. Dependability yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran
dan penyelesaian pekerjaan
6. Initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggung jawabnya
7. Personal qualities menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-
tamahan dan integritas pribadi
Robbins (2006) menjelaskan tentang tiga perangkat kriteria yang
populer dalam evaluasi kinerja yakni hasil tugas individual, perilaku dan ciri.
.
105
1. Hasil tugas individual.
Tujuan akhir yang diperhitungkan dan bukannya cara mencapai hasil,
maka manajemen posisi seharusnya mengevaluasi hasil tugas dari
seorang karyawan
2. Perilaku.
Di dalam banyak kasus, sukar untuk mengenali hasil spesifik yang dapat
dikaitkan secara langsung dengan tindakan seorang karyawan, hal ini
sesuai untuk personalia dalam staf dan individu yang tugas kerjanya
merupakan bagian dari intrinsik dari suatu upaya kelompok. Kinerja
kelompok itu mungkin mudah untuk dievaluasi, tetapi sumbangan dari tiap
anggota kelompok akan menjadi sulit untuk dikenali dengan jelas.
3. Ciri.
Perangkat kriteria terlemah namun masih digunakan meluas oleh
organisasi-organisasi adalah ciri individu. Ciri seperti misalnya mempunyai
‘sikap yang baik’ menunjukkan ‘rasa percaya diri’, ‘dapat diandalkan’ atau
‘kooperatif’, ‘tampak sibuk’ atau memiliki ‘banyak sekali pengalaman’ bisa
atau sama sekali tidak bisa dikorelasikan dengan hasil tugas yang positif,
tetapi hanya yang naif akan mengabaikan kenyataan bahwa ciri-ciri
semacam itu sering digunakan sebagai kriteria menilai tingkat kinerja
karyawan
.
106
Tabel 2.2. Teori dan Model Kinerja Karyawan menurut Beberapa Ahli
RobbinsKinerja = f (AxMxO)Artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan
MangkunegaraKinerja karyawan dibangun oleh dua indikator, yaitu kualitas dan kuantitas hasil kerja
MeierKriteria penilaian kinerja karyawan, antara lain; kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaannya
Donnely et al.Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik
SoedarmayantiKinerja adalah hasil atau keluaran dari suatu proses. Kinerja memiliki hubungan yang erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi
GomesKriteria penilaian kinerja, di antaranya adalah: kuantitas kerja, kualitas kerja, kreativitas, kerjasama, kehadiran, inisiatif dan kualitas pribadi
H. Isu Kinerja SDM Jasa Perbankan
Dalam dunia perbankan, sumber daya manusia menjadi ujung tombak
bagi kemajuan perusahaan mengingat sifat usahanya di bidang jasa. Keramahan
dan kecepatan pelayanan terhadap nasabah sangat diutamakan agar dapat
memenangkan persaingan dengan bank-bank lain terutama bank swasta. Untuk
meningkatkan pelayanan terhadap nasabah perlu diupayakan peningkatan
kepuasan kerja karyawan.
Nilai-nilai perusahaan (corporate value) menjadi landasan berpikir,
bertindak serta berperilaku. keberhasilan lembaga perbankan akan sangat
107
dipengaruhi oleh kepuasan nasabah, karena itu bank-bank harus dapat
memenuhi kebutuhan dan memuaskan nasabah dengan memberikan pelayanan
yang terbaik dengan memperhatikan kepentingan perusahaan, dengan dukungan
SDM yang terampil, ramah, senang melayani dan didukung teknologi unggul.
Kesadaran akan nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan fisolofi bisnis Bank BUMN
dan menjadi budaya kerja perusahaan (corporate culture) yang solid dan
berkarakter selalu mengedepankan asas kehati-hatian (prudential banking) dan
komitmen terhadap kepentingan stakeholders, dengan mewujudkan bentuk tata
kelola perusahaan sebagai berikut : (a) Mengintensifkan program budaya sadar
resiko dan kepatuhan kepada setiap pekerja di seluruh Unit Kerja, (b)
Mengintensifkan peningkatan kualitas pelayanan di seluruh unit kerja, (c)
Menjabarkan dan memonitor setiap kemajuan yang dicapai perusahaan ke dalam
rencana tindakan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan oleh setiap
unit kerja.
Nilai-nilai itu meliputi : (1) Integritas, (2) Profesionalisme, (3) kepuasan
nasabah, (4) keteladanan, (5) penghargaan kepada sumber daya manusia, yaitu
BRI sebagai panutan yang konsisten bertindak adil, bersikap tegas dan berjiwa
besar, tidak memberikan toleransi terhadap tindakan-tindakan yang tidak
memberikan keteladanan, dan yaitu bahwa Bank BUMN menghargai SDM
sebagai asset utama perusahaan, karena itu Bank BUMN selalu merekrut,
mengembangkan dan mempertahankan SDM yang berkualitas dan memberikan
penghargaan berdasarkan hasil kerja individu dan kerjasama tim yang
menciptakan sinergi untuk kepentingan perusahaan.
108
I. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu menemukan adanya hubungan antara
karakteristik individu, person-organization fit, kualittas kehidupan kerja dengan
kepuasan, komitmen organisasional, dan kinerja karyawan :
Studi yang dilakukan oleh D’Oddio at al ((2003:1-36) tentang An
Analysis of the Determinant of Job Satisfaction When Individuals Baseline
Satisfaction Levels May Differ. Tujuan penelitiannya untuk menemukan faktor-
faktor penentu kepuasan kerja. Alat analisa yang digunakan adalah Random-
EffectsOrdered Probit dan Fixed-Effects Ordered Logit, dengan menggunakan
estimator Ferrer-i-Carbonel and Frijters pada tahap pertama dan Das and Van
Soest pada tahap kedua. Hasil penelitiannya menemukan bahwa, umur, tingkat
pertumbuhan rata-rata , dan jenis kelamin berpengaruh signifikan terhadap
kepuasan kerja. Sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap
kepuasan kerja
Studi yang dilakukan oleh Feinstein at al (2001) tentang A Study of
Reletionship Betwin Job Satisfaction and Organization Commitment Among
Restaurant. Variabel yang digunakan adalah kepuasan kerja sebagai variabel
bebas dan komitmen organisasi sebagai variabel terikat. Tujuan penelitiannya
mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan
model analisis Unbalanced factorial AANOVA dan one way ANOVA pada tahap
pertama dan menggunakan a step wise regresi berganda pada tahap kedua.
Hasil penelitiannya menemukan bahwa masa kerja berpengaruh signifikan
terhadap kepuasan kerja namun berbentuk kurva U, sedangkan tingkat
pendidikan berpengaruh signifikan secara negatif terhadap kepuasan kerja.
109
Gazioglu dan Tansel (2002:1-15) melakukan penelitian tentang Job
Satisfaction in Britain: Individual and Job Related di Inggeris. Variabel
penelitiannya adalah karakteristik individu karakteristik pekerjaan dan kepuasan
kerja. Tujuan penelitiannya melakukan analisa empirik mengenai hubungan
kepuasan kerja dengan karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan.
Adapun hasil temuannya adalah wanita lebih merasa puas dari berbagai aspek,
usia,tingkat kesehatan, aspek gaji dan ras kulit putih, keamanan kerja, jabatan,
sektor industri, dan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja. Sedangkan pendidikan tinggi, karyawan yang memiliki
pasangan hidup, serta jumlah anggota dalam organisasi berpengaruh negatif
terhadap kepuasan kerja.
Zainal Arifin (2009), melakukan suatu penelitian dengan judul pengaruh
karakteristik individu, stres kerja, kepercayaan organisasional terhadap intention
to stay melalui kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Tujuan penelitiannya
untuk menganalisa pengaruh stres kerja dan komitmen organisasi terhadap
kepuasan kerja, pengaruh karakteristik individu, kepuasan kerja, dan komitmen
organisasi, untuk menganalisis pengaruh kepercayaan organisasi, kepuasan
kerja dan komitmen organisasi terhadap intention to stay. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa, karakteristik individu dan kepercayaan organisasi
berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Karakteristik individu dan stres kerja
berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Stres kerja tidak berpengaruh
terhadap kepuasan kerja dan kepercayaan organisasi tidak berpengaruh
terhadap komitmen organisasi.
Cheney, Paul H (1984), melakukan suatu penelitian mengenai Effect of
Individual Characteristics, Organizational Factors and Task Characteristics on
110
Computer Programmer Productivity and Job Satisfaction. Tujuanpenelitiannya
adalah untuk menganalisis apakah sejumlah faktor karakteristik individu, faktor
organisasi dan karakteristik tugas berpengaruh terhadap produktivitas dan
kepuasan kerja programmer computer. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan kuisioner, sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan least
squares multiple regression. Sampel penelitian 149 pada dua perusahaan
menengah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa karakteristik individu,
maupun faktor organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan
kerja dan produktivitas keja.
Silverthone (2004), melakukan penelitian mengenai pengaruh person –
organization fit dan budaya organisasi terhadap komitmen organisasi dan
kepuasan kerja. Penelitian ini dilakukan di Taiwan, dengan menggunakan
sampel sebanyak 120 orang. Tujuan penelitiannya untuk mengetahui hubungan
P-O Fit dengan budaya organisasi, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, budaya organisasi berpengaruh positif
terhadap kepuasan kerja, person-organization fit berpengaruh positif terhadap
kepuasan kerja, person-organization fit berpengaruh positif terhadap komitmen
organisasional.
. Tepeci (2001), melakukan penelitian mengenai pengaruh nilai individu,
budaya organisasi, person-organizaton fit terhadap kepuasan kerja, keinginan
untuk berpindah, komitmen organisasi, tujuan dari penelitian ini adalah
menyelidiki nilai-nilai individu dan budaya organisasi yang berkembang di
industri restoran, setra menguji apakah person-organization fit berpengaruh
terhadap kepuasan kerja, keinginan untuk berpendah, dan komitmen
organisasional. Alat analisis yng digunakan adalah SEM dengan sofware
111
LISREL. Adapun hasil penelitiannya bahwa, nilai organisasi dan nilai-nilai
individu berpengaruh positif terhadap person-organization fit, sedangkan person
organization fit berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja karyawan, dan
terhadap keinginan untuk berpindah.
Autry and Daugherty (2003:171-191), melakukan penelitian mengenai
pengaruh person-organization fit terhadap kepuasan kerja di Inggeris dan
Spanyol. Tujuan penelitiannya adalah mecoba meneliti pengaruh person
organization fit terhadap kepuasan kerja yang terjadi pada pekerja gudang di
Inggeris dan Spanyol. Sampel yang digunakan sebanyak 667 karyawan dengan
menggunakan metode analisis SEM dengan Software LISREL 8.3. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa, terdapat pengaruh yang kuat antara
dimensi-dimensi P-O Fit (seperti kesesuaian dengan tujuan perusahaan, dan
kesesuaian dengan supervisor) dengan kepuasan kerja, dimensi P-O Fit yaitu
mengenai kesesuaian dengan rekan kerja tidak signifikan mempengaruhi
kepuasan kerja.
Bruce Lau dan Johnson (1999) meneliti mengenai k inerja dan kualitas
kehidupan kerja. membandingkan 88 perusahaan yang diidentifikasi sebagai
perusahaan terbaik di Amerika dengan 88 perusahaan yang tergabung dalam
Standar and Poor’s one Hundred (S&P 100). Sampel dari perusahaan terbaik
mewakili perusahaan dengan praktek kualitas kehidupan yang tinggi
sementara perusahaan dalam S&P 100 digunakan sebagai kelompok
pengendali untuk tujuan perbandingan. Temuan dalam studi empiris mereka
menemukan bahwa perusahaan dengan praktek kualitas kerja yang tinggi
akan menikmati pertumbuhan yang tinggi (yang diukur melalui pertumbuhan
aset dan penjualan selama 5 tahun) dan juga keuntungan (diukur dengan
112
ROA dan ROE selama 5 tahun). Kualitas kehidupan kerja seperti yang
ditunjukkan penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa kualitas
kehidupan kerja juga berpengaruh terhadap kinerja karyawan yang diukur
dengan produktivitas, rendahnya turnover serta meningkatnya kepuasan
kerja. Kontribusinya tidak hanya pada kemampuan perusahaan untuk
merekrut SDM yang handal tetapi juga meningkatkan daya saing perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Elmuti ( 2003 ) mengamati dampak dari
internet aided self-management team pada kualitas kehidupan kerja dan
kinerja menunjukkan adanya hubungan yang positif antara ketiga variabel.
The self-managed work team sendiri merupakan bentuk lain dari program
kualitas kehidupan kerja yang pada intinya adalah memberikan kesempatan
kepada pekerja untuk berpartisipasi dalam pemecahan masalah, memberikan
otoritas untuk bertindak dan mengambil keputusan yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari
Michigan Organizational Assesment Package, ada 8 variabel yang diukur
yaitu suggestion offerred, participation in decission making, work group
communication, meaning, challenge, personal responsibility, accomplishment,
dan advancement. Alat analisis yang digunakan adalah tehnik regresi linear
menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas kehidupan kerja,
kinerja dan program internet aided self-managed teams. Kinerja yang diukur
di sini, tidak hanya kinerja usaha tetapi juga kinerja karyawan, hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya prosentase waktu yang digunakan dalam
produksi aktual dan meningkatnya kualitas produk yang dihasilkan.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Fields dan Thucker (1992)
Hubungan kualitas kehidupan kerja dengan, komitmen organisasional dan
113
komitmen pada Serikat Pekerja serta kepuasan kerja. Penelitian yang
dilakukan menggunakan sampel sebanyak 293 pekerja. Tujuan penelitiannya
mengukur variabel komitmen organisasional, kepuasan kerja, komitmen pada
Serikat Pekerja, serta kualitas kehiduan kerja. Sedangkan metode analisis
yang digunakan adalah multivariate analysis (MANOVA). Hasil temuannya
adalah bahwa kualitas kehidupan kerja berpengaruh signifikan terhadap
kepuasan kerja dan komitmen organisasional.
Zin (2004), melakukan penelitian mengenai pengaruh kualitas
kehidupan kerja dengan komitmen. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis faktor dengan sampel insinyur profesional di Malaysia dengan
mengukur 8 dimensi dalam kualitas kehidupan kerja yang diadaptasi dari
penelitian Wilton (1974) yaitu pertumbuhan dan pengembangan, partisipasi,
lingkungan fisik, pengawasan, upah dan keuntungan, hubungan sosial,
integrasi tempat kerja. Dengan alat faktor analisis diperoleh hasil ada 3
dimensi dalam kualitas kerja yang mempengaruhi affective commitment, yaitu
pengawasan, upah dan keuntungan, serta integrasi tempat kerja. Sementara
variabel yang secara signifikan mempengaruhi normative commitment adalah
pengawasan, upah dan keuntungan serta hubungan sosial. Variabel
partisipasi, pengawasan, upah dan keuntungan serta hubungan sosial secara
signifikan mem pengaruhi continuance commitment.
Ostrof (1992) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepuasan
(meliputi kepuasan kerja , komitmen, penyesuaian dan tekanan), karakteristik
sekolah terhadap kinerja organisasional. Tujuan penelitiannya adalah untuk
menguji hubungan kepuasan dan kinerja pada tingkat organisasional.
Metode analisis yang digunakan adalah regresi dengan sampel sebanyak 364
114
sekolah dari 36 negara bagian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
hubungan kepuasan kerja lemah pada level individual, tetapi menunjukkan
hubungan yang kuat pada level organisasional, sedangkan komitmen
mempunyai hubungan yang kuat terhadap kinerja.
Mc Cue dan Gianarkis (1997) meneliti mengenai pengaruh
kepuasan kerja dengan kinerja karyawan. Metode analisis yang digunakan
adalah regresi linier berganda dan korelasi sperman. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa, tingkat kepuasan profesional merupakan fungsi
korespondensi antara pengharapan, aspirasi, dan kebutuhan dengan tingkat
dimana organisasi dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Lin dan Martin (1989), meneliti mengenai Job satisfaction and
organizational commitment in relation to work performance and turnover
intentions. Penelitian ini dilakukan pada staf profesional rumah sakit dengan
sampel 72 orang, serta teller Bank 71 orang di Amerika Serikat. Variabel
komitmen organisasi diukur dengan menggunakan organizational commitment
questionaire (OCQ), Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen
organisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan,
tetapi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perputaran kerja.