bab 2 tinjauan pustaka 2.1. diabetes mellitus...

21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus (DM) 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (Animesh, 2006). (ADA, 2012). World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2009). 2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus telah dikategorikan sebagai penyakit global oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Jumlah penderita DM ini meningkat di setiap negara. Berdasarkan data dari WHO (2006), diperkirakan terdapat 171 juta orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030.

Upload: trinhdan

Post on 03-Sep-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus (DM)

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit

metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja

insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan

dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai

organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah

Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan

hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya

hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan.

Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara

metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan

glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika

dibutuhkan (Animesh, 2006).

(ADA, 2012).

World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa

DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang

jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan

problema anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat

defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari,

2009).

2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus telah dikategorikan sebagai penyakit global oleh

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Jumlah

penderita DM ini meningkat di setiap negara. Berdasarkan data dari WHO (2006),

diperkirakan terdapat 171 juta orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2000

dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030.

Sekitar 4,8 juta orang di dunia telah meninggal akibat DM. Setengah dari

penderita DM ini tidak terdiagnosis.

Sepuluh besar negara dengan prevalensi DM tertinggi di dunia pada tahun

2000 adalah India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil,

Italia, dan Bangladesh. Pada tahun 2030 India, Cina, dan Amerika diprediksikan

tetap menduduki posisi tiga teratas negara dengan prevalensi DM tertinggi.

Sementara, Indonesia diprediksikan akan tetap berada dalam sepuluh besar negara

dengan prevalensi DM tertinggi pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, et al,

2004).

Indonesia menduduki posisi keempat dunia setelah India, Cina, dan

Amerika dalam prevalensi DM. Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang

menderita DM adalah sebesar 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat pada

tahun 2030 menjadi 21,3 juta jiwa. Data ini menunjukkan bahwa angka kejadian

DM tidak hanya tinggi di negara maju tetapi juga di negara berkembang, seperti

Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun

2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis

oleh tenaga kesehatan dan adanya gejala adalah sebesar 1,1%. Sedangkan

prevalensi berdasarkan hasil pengukuran kadar gula darah pada penduduk umur

lebih dari lima belas tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7% (Depkes,

2008).

2.1.3. Klasifikasi Diabetes Mellitus

1.

Menurut American Diabetes Association (ADA,2013), klasifikasi diabetes

meliputi empat kelas klinis :

Diabetes Mellitus tipe 1

2.

Hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi

insulin yang absolut.

Diabetes Mellitus tipe 2

Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar

belakang terjadinya resistensi insulin.

3. Diabetes tipe spesifik lain

4.

Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan

yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

Gestational Diabetes Mellitus

Pada beberapa pasien tidak dapat dengan jelas diklasifikasikan sebagai

diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perkembangan penyakit bervariasi

jauh dari kedua jenis diabetes. Kadang-kadang, pasien yang dinyatakan memilki

diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis. Demikian pula, pasien dengan

tipe 1 diabetes mungkin memiliki onset terlambat dan memperlambat

perkembangan penyakit walaupun memilki fitur penyakit autoimun. Kesulitan

seperti itu pada diagnosis mungkin terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa.

Diagnosis yang benar dapat menjadi lebih jelas dari waktu ke waktu.

Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi (ADA, 2012) :

1. Diabetes Mellitus tipe 1 (Kehancuran sel β, biasanya menyebabkan

defisiensi insulin yang absolut).

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

2. Diabetes Mellitus tipe 2 (Resistensi insulin terutama dengan kekurangan

insulin relatif yang didominasi gangguan sekresi insulin dengan resistensi

insulin).

3. Tipe spesifik lainnya

a. Gangguan genetik fungsi sel β

1. Kromosom 12, HNF-1α (MODY3)

2. Kromosaom 7, glukokinase (MODY2)

3. Kromosom 20, HNF-4α (MODY1)

4. Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4)

5. Kromosom 17, HNF-1β (MODY5)

6. Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)

7. DNA mitokondria

8. Lainnya

b. Gangguan genetik dalam kerja/aksi insulin

1. Insulin resisten tipe A

2. Leprechaunism

3. Sindrom Rabson-Mendenhall

4. Diabetes Lipoatrophic

5. Lainnya

c. Penyakit eksokrin pankreas

1. Pankreatitis

2. Trauma/Pankreatektomi

3. Neoplasia

4. Fibro kistik

5. Hemochromatosis

6. Pancreatopathy fibrocalculosus

d. Endokrinopati

1. Akromegali

2. Sindroma Cushing

3. Glukagonoma

4. Pheochromasitoma

5. Hiperthiroidism

6. Somatostatinoma

7. Aldosteronoma

8. Lainnya

e. Induksi obat atau bahan kimia

1. Vacor

2. Pentamidin

3. Asam Nikotinat

4. Glukokortikoid

5. Hormon tiroid

6. Diazoxide

7. Agonist β-adrenergik

8. Thiazides

9. Dilantin

10. G-interferon

11. Lainnya

f. Infeksi

1. Rubella kongenital

2. Cytomegalovirus

3. Lainnya

g. Bentuk jarang dari diabetes yang diperantarai imun

1. “Stiff-man” sindrom

2. Antibodi anti reseptor insulin

3. Lainnya

h. Sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes

1. Sindroma Down

2. Sindroma Klinefelter

3. Sindroma Turner

4. Sindroma Wolfram’s

5. Friedreich ataksia

6. Huntington chorea

7. Sindroma Laurence-Moon-Biedl

8. Distrofi miotonik

9. Porfiria

10. Sindroma Prader-Willi

11. Lainnya

4. Gestational Diabetes Mellitus

2.1.4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Faktor risiko DM tipe 2 antara lain adalah (Powers, 2010):

• Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara

kandung dengan DM tipe 2)

• Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2

• Aktivitas fisik

)

• Ras/etnis

• Gangguan Toleransi Glukosa

• Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir

> 4 kg

• Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)

• Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar

trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L)

• Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans

• Riwayat kelainan darah

2.1.5. Patogenesis Diabetes Mellitus

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor

imunologi yang pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel β pankreas dan

defisiensi insulin. DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan

faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah terhadap kerusakan sel β pankreas

dan insulin defisiensi. Massa sel β kemudian menurun dan sekresi insulin menjadi

semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal dipertahankan (Powers,

2010).

DM tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun. Diabetes yang

tipe ini hanya 5-10% dari penderita diabetes. Tanda dari penghancuran imun sel β

termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk

GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b. DM

tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa

individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang lain (terutama

dewasa). Beberapa pasien, terutama anak-anak dan remaja, dapat hadir dengan

ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Namun orang lain, terutama

orang dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel β sisa yang cukup untuk

mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, orang tersebut akhirnya menjadi

tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis.

Pada tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin

sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-peptida di dalam plasma.

DM tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi bisa terjadi

pada usia berapapun, bahkan dalam dekade 8 dan 9 kehidupan. Kehancuran

autoimun sel β memiliki beberapa kecenderungan genetik dan juga terkait dengan

faktor lingkungan yang masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas ketika

mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak bertentangan

dengan diagnosis. Pasien-pasien ini juga rentan terhadap gangguan autoimun

lainnya seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo,

celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa (ADA,

2012).

Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal, disebut

dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini memiliki

insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti

autoimun (ADA, 2012).

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,

produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak.

Obesitas, khususnya visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio

pinggul/pinggang), sangat umum di DM tipe 2. Pada tahap awal gangguan,

toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-

sel β pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.

Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, pankreas pada individu

tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. IGT, ditandai

dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih lanjut,

penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik

menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel β

mungkin terjadi (Powers, 2010).

A. Gangguan metabolisme otot dan lemak

Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak efektif

pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), adalah fitur yang menonjol

dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas.

Resistensi insulin adalah relatif, tingkat supernormal insulin yang beredar akan

menormalkan glukosa plasma. Kurva insulin dosis-respon menunjukkan

pergeseran ke kanan, menunjukkan sensitivitas berkurang, menunjukkan

penurunan secara keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60%

lebih rendah dibandingkan orang normal). Resistensi insulin menyebabkan

kegagalan penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan

output glukosa hepatik meningkat, kedua efek ini berkontribusi untuk

hiperglikemia. Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang

peningkatan tingkat FPG, sedangkan hasil penggunaan glukosa perifer menurun

menyebabkan postprandial hiperglikemia. Dalam otot rangka, ada yang lebih

besar penurunan dalam penggunaan glukosa non-oxidatif (pembentukan glikogen)

dibandingkan metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. Mekanisme

molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2 belum

dijelaskan. Tingkat insulin reseptor dan aktivitas tirosin kinase di otot berkurang,

tetapi perubahan ini kemungkinan sekunder untuk hiperinsulinemia. Kemudian,

gangguan postreseptor pada regulasi insulin fosforilasi/defosforilasi dapat menjadi

peran dominan dalam resistensi insulin. Misalnya, gangguan PI-3-kinase dapat

mengurangi translokasi GLUT 4 ke membran plasma. Ketidaknormalan lainnya

termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapt merusak fosforilasi

oksidatif mitokondria dan mengurangi stimulasi insulin mitokondria

memproduksi ATP. Gangguan oksidasi lemak dan akumulasi lipid dalam miosit

dapat menghasilkan oksigen reaktif seperti lipid peroksida (Powers, 2010).

Obesitas menyertai DM tipe 2, dianggap bagian dari proses patogenik.

Peningkatan massa adiposit mengarah ke peningkatan tingkat sirkulasi asam

lemak bebas dan lemak lainnya. Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan

pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin dan

menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan juga hati. Adiposit dan

adipokin juga memproduksi keadaan inflamasi dan mungkin menjelaskan

mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif sering meningkat

pada DM tipe 2 (Powers, 2010).

B. Gangguan Sekresi Insulin

Sekresi insulin dan sensitivitas insulin adalah saling terkait. Pada DM tipe

2, sekresi insulin meningkat pada awalnya mengkompensasi resistensi insulin

untuk menjaga toleransi glukosa normal. Awalnya, sekresi insulin mengalami

defek ringan dan selektif melibatkan stimulasi glukosa untuk sekresi insulin.

Menanggapi sekretagogues non-glukosa lain, seperti arginin masih dipertahankan.

Akhirnya defek sekresi insulin berkembang menjadi keadaan sekresi insulin

sangat tidak memadai. Alasan untuk penurunan kapasitas sekresi insulin di DM

tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah defek genetik pada resistensi insulin

menyebabkan kegagalan sel β. Terbentuk amiloid polipeptida pada pulau

langerhans, sehingga berdampak negatif terhadap fungsi pulau langerhans.

Tingginya kadar asam lemak bebas dan lemak makanan juga dapat memperburuk

fungsi sel β (Powers, 2010).

C. Peningkatan Produksi Glukosa Hepar

Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar merefleksikan kegagalan

hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi

hiperglikemia dan penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa

pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa

awal diabetes, meskipun sepertinya setelah onset gangguan sekresi insulin dan

resistensi insulin pada otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada

jaringan adiposa dan obesitas, asam lemak bebas dari adiposit meningkat, yang

menyebabkan peningkatan sintesis lemak (VLDL dan trigliserida) dalam

penyimpanan hepatosit lemak. Steatosis dalam hati dapat menyebabkan penyakit

lemak hati non alkohol dan tes fungsi hati yang abnormal. Hal ini juga

bertanggung jawab untuk dislipidemia yang ditemukan dalam DM tipe 2 (Powers,

2010).

Jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh.

Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan

produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan

glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin barperan melalui efek

inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara

berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan

inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin

tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2009).

2.1.6. Biosintesis, Sekresi, dan Kerja Insulin

A. Biosintesis Insulin

Insulin diproduksi di sel β pankreas da berfungsi dalam proses masuknya

glukosa dari darah ke dalam sel. Hal ini awalnya disintesis sebagai rantai tunggal

86-prekursor asam amino polipeptida, preproinsulin. Kemudian pemrosesan

proteolitik menghilangkan amino-terminal sinyal peptida, sehingga menimbulkan

proinsulin.

Proinsulin adalah struktural yang berhubungan dengan faktor pertumbuhan

seperti insulin I dan II, yang mengikat lemah dengan reseptor insulin. Pembelahan

dari sebuah fragmen 31-residu internal dari proinsulin menghasilkan peptida C

dan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan

oleh disulfida bonds. Molekul insulin yang matang dan peptida C disimpan

bersama-sama dalam sel β. Karena peptida C dibersihkan lebih lambat dari

insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan memungkinkan

diskriminasi endogen dan eksogen sumber insulin dalam evaluasi hipoglikemi

(Powers, 2010).

B. Sekresi Insulin

Glukosa adalah kunci pengatur sekresi insulin oleh sel β pankreas,

meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastrointestinal, dan

neurotransmiter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L

(70 mg/dL) meransang sintesis insulin, terutama dengan meningkatkan translasi

protein dan pengolahan. Glukosa menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan

transportasi ke dalam sel β oleh GLUT 2 (Gambar 2.1). Glukosa difosforilasi oleh

glikokinase adalah langkah untuk membatasi sekresi insulin. Metabolisme lebih

lanjut glukosa 6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat

aktivitas dari kanal K+ . Kanal sensitif ATP terdiri dari dua protein yang terpisah.

Penghambatan kanal K+

Pankreas manusia menyekresikan 40-50 unit insulin per hari yang

mewakili sekitar 15-20% hormon yang disimpan di dalam kelenjar. Sekresi

insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem

mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel β pada pulau Langerhans. Faktor yang

mempengaruhi sekresi insulin antara lain peningkatan kadar glukosa darah,

hormon, dan preparat farmakologik (Granner, 2003).

ini menginduksi depolarisasi membran sel β., yang

membuka saluran kanal kalsium (menyebabkan masuknya kalsium) dan

meransang sekresi insulin (Powers, 2010).

Gambar 2.1. Sekresi Insulin

C. Kerja Insulin

Setelah insulin disekresi ke dalam sistem vena portal, 50% didegradasi

oleh hati. Insulin tanpa diekstraksi memasuki sirkulasi sistemik dimana insulin

mengikat reseptor di lokasi target. Insulin mengikat reseptor yang meransang

aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke reseptor autofosforilasi dan

merekrut sinyal molekul intraseluler, seperti Insulin Reseptor Substrates (IRSs)

(Gambar 2.2). IRS dan protein lainnya menginisiasi kaskade kompleks fosforilasi

dan reaksi defosforilasi, sehingga menghasilkan metabolisme luas dan efek

mitogenik dari insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari phosphatidylinositol-3-kinase

(PI-3-kinase) meransang translokasi transporter glukosa (misalnya, GLUT 4) ke

permukaan sel, suatu peristiwa yang sangat penting untuk ambilan glukosa oleh

otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin lainnya menginduksi

sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan pengaturan berbagai gen dalam

sel respon insulin.

Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi

glukosa di hati dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatanya. Insulin

adalah regulator yang paling penting dari keseimbangan metabolik ini, tetapi input

saraf, sinyal metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon) mengakibatkan

integrasi kontrol dari pasokan glukosa dan pemanfaatannya. Dalam keadaan

puasa, level insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa hepatik dengan

mengaktifkan glukoneogenesis dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan

glukosa dalam jaringan sensitif terhadap insulin (otot rangka dan lemak), sehingga

menyebabkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam amino dan asam lemak

bebas (lipolisis). Glukagon disekresikan oleh sel α pankreas ketika glukosa darah

atau kadar insulin rendah, meransang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh

hati dan medulla ginjal. Setelah makan, beban glukosa memunculkan kenaikan

insulin dan glukagon rendah, menyebabkan kebalikan dari proses ini. Insulin,

hormon anabolik, meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis

protein (Powers, 2010).

Insulin umumnya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme protein,

yaitu meransang sintesis protein dan memperlambat penguraian protein. Insulin

menstimulasi ambilan asam amino netral oleh otot, yaitu suatu efek yang tidak

berkaitan dengan ambilan glukosa atau dengan penyatuan selanjutnya asam amino

ke dalam protein. Efek insulin terhadap sintesis protein yang umum di dalam otot

rangka serta jantung dan hati diperkirakan terjadi pada tingkat translasi mRNA

(Granner, 2003).

Gambar 2.2. Kerja Insulin

2.1.7. Gejala Klinis Diabetes Mellitus

Manifestasi utama penyakit DM adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat

(1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; (2) berkurangnya

penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan; dan (3) peningkatan produksi glukosa

(glukoneogenesis) oleh hati.

Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalori

memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Kadar glukosa plasma

jarang melampaui 120 mg/dL pada manusia normal, kadar yang jauh lebih tinggi

selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa

plasma dicapai (pada manusia pada umumnya >80 mg/dL), taraf maksimal

reabsorpsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan

diekskresikan ke dalam urine (glukosuria). Volume urine meningkat akibat

terjadinya diuresis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat

yang bersamaan (poliuria) : kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi

(hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum

(polidipsia). Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1

kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar); kehilangan ini,

jika ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa, akan

mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat meskipun terdapat peningkatan

selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang normal atau meningkat (Granner,

2003).

2.1.8. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus

Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan

tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji

diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya

positif untuk memastikan diagnosis definitif.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti

dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).

Tabel 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan

Penyaring dan Diagnosis DM

Bukan

DM

Belum

pasti DM

DM

Kadar Glukosa Darah

Sewaktu (mg/dL)

Plasma vena <110 110-199 ≥200

Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar Glukosa Darah

Puasa (mg/dL)

Plasma vena <110 110-125 ≥126

Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemah,

kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva

pada pasien wanita (Purnamasari, 2009).

Menurut American Diabetes Association, kriteria diagnostik untuk DM

sebagai berikut :

• Gejala diabetes disertai kadar glukosa darah ad random ≥ 11,1

mmol/L (200 mg/dL), atau

• Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (126 mg/dL), atau

• Kadar glukosa darah dua jam pascaprandial ≥ 11,1 mmol/L (200

mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral (Powers, 2010)

2.1.9. Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik.

1. Komplikasi Akut

Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik

(KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra

regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada

jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan

produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi

badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan

keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat

(3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih

banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo,

2009).

2. Komplikasi Kronik

Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan

terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun

makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik DM bisa berefek pada

banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian,

yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi

menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan

makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit

serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu

gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010).

2.2 Anemia

2.2.1. Definisi Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa

eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia

ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.

Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala

berbagai penyakit macam penyakit dasar (Bakta, 2009).

Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) :

a) Laki-laki dewasa

• kadar hemoglobin darah <130 g / L (<13 g / dL)

b) Wanita dewasa

• kadar hemoglobin darah <120 g / L (<12 g / dL)

Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan

jumlah eritrosit dan hematokrit tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada

beberapa pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal (dan berdasarkan

definisi menderita anemia). Perubahan volume plasma sirkulasi total dan massa

hemoglobin sirkulasi total menentukan konsentrasi hemoglobin. Berkurangnya

volume plasma (seperti pada dehidrasi) dapat menutupi kondisi anemia, atau

bahkan menyebabkan (pseudo) polisitemia. Sebaliknya, peningkatan volume

plasma (seperti pada splenomegali atau kehamilan) dapat menyebabkan terjadinya

anemia bahkan dengan jumlah eritrosit sirkulasi total dan massa hemoglobin yang

normal (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

2.2.2. Derajat Anemia

Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO :

1. Ringan sekali Hb 10,00 g / dL -13,00 g / dL

2. Ringan Hb 8,00 g / dL -9,90 g / dL

3. Sedang Hb 6,00 g / dL -7,90 g / dL

4. Berat Hb < 6,00 g / dL

2.2.3. Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam

penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

(hemolisis) (Bakta, 2009).

Tabel 2.2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiologi

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

• Anemia defisiensi besi

• Anemia defisiensi asam folat

• Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan pengguanaan (utilisasi) besi

• Anemia akibat penyakit kronik

• Anemia sideroblastik

3. Kerusakan Sumsum tulang

• Anemia aplasti

• Anemia mieloplastik

• Anemia pada keganasan hematologi

• Anemia diseritropoietik

• Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia pasca perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemoliti intracorpuskular

• Gangguan membran eritrosit (membranopati)

• Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi

G6PD

• Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia,

hemoglobinopati struktural (Hb S, Hb E, dll)

2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular

• Anemia hemolitik autoimun

• Anemia hemolitik mikroangiopatik

• Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang

kompleks

(Bakta, 2009)

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran

morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam

klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:

1. Anemia hipokromik mikrositer ( MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg)

• Anemia defisiensi besi

• Thalassemia major

• Anemia akibat penyakit kronik

• Anemia sideroblastik

2. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl)

• Anemia pasca perdarahan akut

• Anemia aplastik

• Anemia hemolitik didapat

• Anemia akibat penyakit kronik

• Anemia pada gagal ginjal kronik

• Anemia pada sindrom mielodisplastik

• Anemia pada keganasan hematologik

3. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)

• Bentuk megaloplastik (defisiensi asam folat, defisiensi vitamin

B12)

• Bentuk non-megaloblastik (pada penyakit hati kronik,

hipotiroidime, sindrom mielodisplastik) (Bakta, 2009).

2.2.4. Gambaran Klinis Anemia

Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular

(dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardia) dan pada kurva disosiasi

O2

hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia yang cukup berat, mungkin tidak

terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan

mungkin mengalami kelemahan berat. Ada atau tidaknya gambaran klinis dapat

dipertimbangkan menurut empat kriteria utama :

1. Kecepatan awitan

Anemia yang memburuk dengan cepat menimbulkan lebih banyak gejala

dibandingkan anemia awitan lambat, karena lebih sedikit waktu untuk adaptasi

dalam sistem kardiovaskular dan kurva disosiasi O2

2. Keparahan

hemoglobin.

Anemia ringan sering kali tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejala

biasanya muncul jika hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Bahkan anemia berat

(hemoglobin serendah 6,0 g/dL) dapat menimbulkan gejala yang sangat sedikit

jika awitansangat lambat pada subyek muda yang sehat.

3. Usia

Orang tua menoleransi anemia dengan kurang baik dibandingkan orang muda

karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika terjadi gangguan

kompensasi kardiovaskular normal (peningkatan curah jantung akibat

peningkatan volume sekuncup dan takikardia).

4. Kurva disosiasi hemoglobin O

Anemia umumnya disertai peningkatan 2,3-DPG dalam eritrosit dan

pergeseran kurva disosiasi O

2

2 ke kanan sehingga O2 lebih mudah dilepaskan ke

jarinagn. Adaptasi ini sangat jelas pada beberapa macam anemia yang

mengenai metabolisme eritrosit secara langsung, misalnya pada anemia akibat

defisiensi piruvat kinase (yang menyebabkan peningkatan konsentrasi 2,3-DPG

dalam eritrosit), atau yang disertai dengan hemoglobin berafinitas rendah,

misal HbS (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

2.2.5. Gejala dan Tanda Anemia

Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,

khususnya pada saat berolahraga, kelemahan, letargi, palpitasi, dan sakit kepala.

Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejal gagal jantung, angina pektoris,

klaudikasio intermiten, atau kebingungan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat

perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat khususnya yang

awitannya cepat.

Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda

umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin

kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat

diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat,

kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran

gagal jantung kongestif mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua.

Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis

anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan

anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan

anemia hemolitik lain, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia

hemolitik kongenital lain yang berat.

Gejala-gejala anemia yang disertai infeksi berlebihan atau memar spontan

menunjukkan adanya kemungkinan netropenia atau trombositopenia akibat

kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

2.3. Anemia pada Diabetes Mellitus

Keadaan anemia sering ditemukan pada pasien DM. Anemia merupakan

komplikasi umum dan lebih sering terjadi pada orang dengan diabetes

dibandingkan orang tanpa diabetes. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Rani, Raman, Rachepalli, et al. (2010), prevalensi anemia pada penderita DM tipe

2 adalah sebesar 12,3%. Untuk pasien DM yang berusia 40-49 tahun, prevalensi

anemia lebih tinggi pada wanita (26,4%) dibandingkan dengan pria (10,3%).

Hampir 1 dari 4 (23%) pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2 mengalami

anemia.

Anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta

pelepasan eritropoietin dari ginjal, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan

juga adanya faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting

Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadiya anemia pada penyakit ginjal kronik

berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtrarion Rate (GFR) dan keadaan

ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan di sistem

kardiovaskular (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).

Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hb (Hemoglobin)

yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal

serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam uji klinis terkontrol,

pengobatan anemia dengan Erythropoietin Stimulating Agents (ESA)

menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup, tetapi belum menunjukkan hasil

yang lebih baik (Mehdi dan Toto, 2009).