makalah gbs
TRANSCRIPT
MAKALAH
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
“ASKEP GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI I
ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah II.
Disusun Oleh :
Kelompok 17
Deshy Lia S. (09060035)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat dengan tujuan
memenuhi tugas Keperawatan Medikal Bedah III.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :
1.Team dosen mata kuliah KMB selaku dosen pembimbing mata kuliah.
2.Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya makalah ini.
Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat memahami dan
mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di aplikasikan untuk
mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri
menerima berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome
2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome
2.3 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome
2.4 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
2.5 Diagnosa Banding Guillain Barre Syndrome
2.6 Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome
2.7 Komplikasi Guillain Barre Syndrome
2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome
2.9 Pencegahan Guillain Barre Syndrome
2.10 Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang,
kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-
rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun
dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam,
5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun)
dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-
rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian
musim hujan dan kemarau.
Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada
usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena
terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. GBS biasanya mempunyai
prognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/
defisit neurologis.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre
Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu Guillain Barre Syndrome?
1.2.2 Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrome?
1.2.3 Seperti apa patofisiologi Guillain Barre Syndrome?
1.2.4 Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome?
1.2.5 Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrome?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome?
1.2.7 Apa saja komplikasi Guillain Barre Syndrome?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome?
1.2.9 Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome?
1.2.10 Bagaimana Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre
Syndrome.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.2 Untuk mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.4 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.5 Untuk mengetahui diagnosa banding Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.9 Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre Syndrome.
1.3.2.10 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome.
1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre Syndrome.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome.
Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut
Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS
yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS.
Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis
GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali
dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.
Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.
Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf
perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan
cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih
sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik
dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak
sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks
Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit
dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler
terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome.
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.
2. Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,
Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola,
hepatitis inf, coxakie)
3. Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
a) Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa
infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan
yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai
persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang
terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.
Pada dasarnya guillain barre adalah “Self Limited” atau bisa timbuh dengan
sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang
meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu
nafasnya.
Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat menyebabkan
GBS. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih
diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih
merupakan penyakit menular yang besar.
Tabel 1: Jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS
2.3 Patofisiologi Guillain Barre Syndrome.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan
jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf
tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang
paling sering adalah infeksi virus.
a. Teori-teori Imun.
Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi
makrofag). Berbagai laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid,
termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain, seluruh komponen membran
akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler
endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks
sampai akhiran saraf distal (poliradikuloneuropati) .
Gullain Barre Syndrome diduga juga disebabkan oleh kelainan system imun
lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody
mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang
berubah responya terhadap antigen.Limfosit yang berubah responnya menarik
makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga
selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus
terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya
merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau
hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah
mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya
dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi. GBS menyebabkan
inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena
itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
(AIDP).
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.
b. Peran Imunitas Seluler.
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada
limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa
TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.
Sumber lain mengatakan ,infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri
maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian
mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini
mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi
spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun
tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi
myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
c. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke
empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada
hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada
hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre
Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada
saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih
ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian
depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan
akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput
myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf
tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya
hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan
mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami
gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat
dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin
juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya
nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena
itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik
mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin
saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian
bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi
lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret',
hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi,
seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan
dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu,
akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik,
sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak
adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien
berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan
cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau
kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya
anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan
kanan.
Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik.
Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola
penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik.
Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi
gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot
pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik
oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu.
Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun,
dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi
paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya
pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya
akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis
terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan
tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah
infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu.
Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu
muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam
waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses
penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.
Gambar 1: Sistem imunopathologi saraf pada SGB 4
Kasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia.
Gambar 2: Skema klasifikasi SGB
2.4 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian
pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya
bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius
yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan
dismotilitas Gastrointestinal.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Gejala Utama:
- Terjadinya kelemahan yang progresif.
- Hiporefleksi
II. Gejala Tambahan:
a. Ciri-ciri klinis:
- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
- Relatif simetris
- Gejala gangguan sensibilitas ringan
- Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan
otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot
ekstraokuler atau saraf otak lain
- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor.
- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial.
- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
- Varian:
a. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala.
b. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal.
d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis.
- Kelemahan yang sifatnya asimetri
- Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
- Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
- Gejala sensoris yang nyata
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari
anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal,
kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot pernafasan juga terjadi.Kelemahan terjadi
akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas. Penyebaran
hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari
kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal.
Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien GBS inap
membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII, VI, III, V,
IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas
a. Abnormalitas motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan -
10% dimulai dengan kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan bisa
dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial) Kelemahan wajah terjadi pada
setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral - Refleks: hilang / pada sebagian
besar kasus
b. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking
sensation, simetris, tak jelas batasnya - Nyeri bisa berupa mialgia otot panggul,
nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar, kesemutan, tersetrum - Ataksia
sensorik krn proprioseptif terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus.
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine
Gambar 2: fase perjalan klinis.
Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna
a. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul.
b. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. Mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
c. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg
d. Bertambah berat sampai maksimal
e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-demyelinating
polyradiculoneuropathy (CIDP)
d. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
e. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Tabel 2: Gejala klinis GBS
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat
ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks
fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf
motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif ,
dalam hitungan jam, hari maupun minggu,ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.
Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang
menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus,
biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara
signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.
Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai
dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi
tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi. Terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal
pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat
menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau
hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak
terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien
sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.Kerusakan pada susunan saraf pusat
dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara,dan yang paling
sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.Gejala gejala tambahan yang biasanya
menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi,
konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas
dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).
2.5 aDiagnosa Banding Guillain Barre Syndrome
a. Kelainan batang otak
- Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
- Ensefalomielitis batang otak
b. Kelainan medulla spinalis
- Mielitis transversa.
- Mielopati nekrotik akut.
- Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum.
- Mielopati akut lain.
c. Kelainan sel kornu anterior
- Poliomielitis
- Rabies
- Tetanus
d. Poliradikulopati.
- Difteri
- Paralisis Tick
- Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas.
- Keracunan organofosfat.
- Heksakarbon (neuropati penghirup lem).
- Perhexiline.
- Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin.
- Critical illness polyneuropathy
e. Kelainan transmisi neuromuskuler
- Myastenia gravis
- Botulismus
- Hipermagnesemi
- Paralisis yang diinduksi antibiotika
- Bisa gigitan ular
f. Miopati
- Polimiositis
- Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
g. Abnormalitas metabolik
- Hipokalemi
- Hipermagnesemia
- Hipofosfatemia
h. Lain-lai
- Histeri
- Malingering
2.6 Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome
a. LCS
a. Disosiasi sitoalbumin.
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan
dari sel < 10 limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu
bernilai 5 Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV, membantu
menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
b. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.
c. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.
d. Cairan serebrospinal (CSS).
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat
penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.
e. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS
kurang dari 60% normal.EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor
unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
f. Pemeriksaan Darah .
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.Dapat dijumpai respon
hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin
IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang
karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
g. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
h. Tes Fungsi Respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
i. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal.
Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat
bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
2.7 Komplikasi Guillain Barre Syndrome
a. Paralisis menetap
b. Gagal nafas
c. Hipotensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia Jantung
g. Ileus
h. Aspirasi
i. Retensi urin
j. Problem psikiatrik
k. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
l. Tetraparese oleh karena penyebab lain.
m. Hipokalemia
n. Miastenia Gravis
o. Adhoc commite of GBS
p. Tick Paralysis
q. Kelumpuhan otot pernafasan.
r. Dekubitus
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka
waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan
biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien
maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk
mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung
selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar
pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih
sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal
GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator.
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi
ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain
yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa
bronchial.
2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome
A. Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang
unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang
pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien
membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan
pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem
menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan
penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan
fungsional.
Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan
satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan
penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian
problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi
tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting
baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik
adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari
gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah
mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa
melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu
maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi
pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap
memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.
b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif,
bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri
anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian
kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya
fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam
fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang
diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam
menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati.
Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan
motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan
anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang
terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien.
Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah
gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot
yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati
tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan
terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan
merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya
ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi
pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi,
untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya
terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan
lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase
sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot.
Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu
berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif
seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif
dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat
menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan
kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya
fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat,
seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan,
hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah
memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan
otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau
mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran
kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama
kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan
penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya
berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran
pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala,
misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun
penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan
menjadi motivasi keduanya.
c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS
secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk
menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal
yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2
sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk
mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah
pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.
Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya
disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer
pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari
waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan
fungsional yang maksimal.
d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar
otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya
melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk
mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band,
sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut
penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh.
Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada
aktivitas penderita bila sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot
tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan.
Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti
fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal
itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang
otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila,
duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan
cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa
digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena
biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru
dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus
GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena
berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat
melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.
Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan
menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga
saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang
juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.
f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak
bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan
bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume
sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi
meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga
memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS
persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,
rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan
diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan.
Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual
hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka
latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus
memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam
sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita
diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.
g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi
saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari
sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila
sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka
diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan.
Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup
volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang
menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan
sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan
akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang,
sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan
yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan
bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka
panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar
pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran
pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan
manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu
memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih
proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita
harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda
gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau
saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih
batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan
pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-
dua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila
kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga
latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.
h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin
tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan
menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi
dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu
sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke
saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien
mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan
sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot
pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan
melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu
dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak
banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program
fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila
otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita
belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah
teratasi.
i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila
kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni
cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal
yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-
gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak
sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan
mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi,
misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh
karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama
memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi
tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan
input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila
terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati
tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan
darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan
digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat.
Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita,
atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.
j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,
kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta.
Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa
disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya
gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-
sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang,
maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa
nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan
sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang
sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi,
tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih
spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang
tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan
komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur
pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan
akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan
sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam,
dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.
B. Medikamentosa
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital.Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.
Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan
vasoaktive juga harus disiapkan .Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat
hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas
cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang
mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga.
Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang
terjadi maupun mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen
standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine
sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan
septikemia adalah kontraindikasi dari PE .
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan
IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg. Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas otot setelah paralisa.Heparin dosis
rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala. 2
c. Terapi fisik: - alih baring
1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2) Hidroterapi
d. Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c).
e. Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang
sangat,penelitian random control trial mendukung penggunaan
gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB
fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun
harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efeksamping denervasi
otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol,
gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk
penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang.
Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric,
isotonic, isokinetic, dan manual serta latihan secara progresif.
Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan
nutrisi yang sesuai.
C. Pemulihan
1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan
2. 15% pulih sempurna
3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL
4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap
5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat
berlangsung >2 tahun
6. Mortalitas: 3-5%
7. Relaps: 2-10%
8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy) 4
D. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik:
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan
keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun
2.9 Pencegahan Guillain Barre Syndrome
2.10 Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome
1. B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas
vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
2. B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
3. B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara
turun), fluktuasi suhu badan.
4. B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat
berkemih.
5. B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,
konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
6. B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan
motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,
prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi aksonal,
dan umur pasien.
GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang
cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12% tidak dapat
berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien
akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling
efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga
dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan
memberikan prognosis yang lebih baik.
3.2 Kritik
Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga
kami mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan
makalah kami yang selanjutnya.
3.3 Saran
Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam
menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas.serta melakukan tugas dengan penuh
tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri