sila kelima daripada pancasila
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

SILA KELIMA DARIPADA PANCASILA
A. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Dibandingkan dengan sila-sila yang lain, sila kelima ini mempunyai keistimewaan
didalam rumusnya, yaitu didahului oleh kata-kata, yang menegaskan bahwa keempat sila
yang mendahuluinya adalah “untuk mewujudkan” apa yang terkandung dalam sila yang
kelima, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Tempatnya didalam Pancasila sebagai sila yang terakhir itu adalah karena menjadi
tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya, menjadi tujuan bangsa kita dengan
bernegara. Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana adalah
keadilan sosial yang berketuhanan yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
1. Cita-cita keadilan sosial pada proklamasi kemerdekaan.
Tempat terdapatnya pancasila sebagai dasar filsafat negara kiata adalah pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 didalam kalimatnya yang keempat. Di dalam kalimat yang
kedua disebutkan, bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat
Indonesia kedepan pintu kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.” Dari kata-kata yang terakhir “adil dan makmur” terlihatlah dengan lebih
tegas lagi tujuan bangsa kita dengan proklamasi kemerdekaan untuk bernegara. Di lain
tempat didalam pembukaan, yaitu kalimat yang keempat dinyatakan juga, bahwa
pembentuk pemerintah Indonesia adalah pula untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dengan adanya keadilan sosial sebagai sila kelima dari dasar filsafat negara kita, maka
berarti bahwa didalam “negara adil dan makmur” dan “kesejahteraan umum” itu harus
terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial menurut pembukaan UUD dimaksudkan tidak bagi rakyat
Indonesia sendiri, akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Ditentukan dalam kalimat
keempat Pembukaan, bahwa pembentukan “suatu Pemerintah Negara Indonesia ...
(adalah juga untuk) ikut melaksanakan ketertiban duniayang mendasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Di dalam pembukaan terkandung pokok-pokok
pikiran “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas Persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat
Indonesia...............................................................................................................................
...
Dalam pembukaan ini, diterima aliran pengertian negara Persatuan negara yang
melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala
paham golongan, mengatasi segala paham, perseorangan... Negara, menurut pengertian
Pembukaan, itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia sepenuhnya.
Keadilan sosial dapat dikembalikan pula kepada sifat kodrat manusia monodualis
atau kesatuan sifat kodrat perseorangan dan sifat kodrat makhluk sosial dalam
keseimbangan yang dinamis, yaitu mana yang dititik beratkan tergantung dari keadaan
dan jaman, sehingga keadilan sosial adalah sesuai pula dengan sifat hakikat negara kita
sebagai negara monodualis. Tentang keadilan sosial dalam lapangan Internasional, dapat
kita ketemukan dalam pokok-pokok pikiran mengenai tak dapat terpisahkannya
kebangsaan dari Internasionalisme.
Sebagai catatan dapat dikatakan juga, bahwa dasar daripada hubungan pertalian
antara nasionalisme dan internasionalisme yang demikian tadi dapat dikembalikan
kepada sifat kodrat monodualis daripada manusia, yang diperalihkan sebagai
penjelmaannya kepada negara. Didalam hal nasionalisme atau kebangsaan, kita tidak
mempunyai sifat chauvinisme, akan tetapi merupakan rangkaian kesatuan dengan
internasionalisme itu, adalah dapat dikembalikan pula kepada sifat hakikat Negara kita
sebagai negara monodualis.
Berhubung dengan keadilan sosial itu dapat dikembalikan kepada sifat kodrat
monodualis manusia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam keadilan sosial
terkandung pula kesatuan yang statis tak berubah daripada kepentingan perseorangan
atau kepentingan khusus dan kepentingan umum dalam keseimbangan yang dinamis.
“Dengan demikian maka lapangan tugas bekerjanya negara dalam hal memlihara
(keadilan sosial) dapat dibedakan menjadi :
1. Memelihara kepentingan umum, yang khusus mengenai kepentingan negara
sendiri sebagai negara;
2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama daripada para
warga negara, yang tidak dapat dilakukan oleh para warga negara sendiri;

3. Memelihara kepentingan sendiri daripada warga negara perseorangan, yang
tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan dari
negara;
4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan, yang tidak
seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan dari
negara; adakalanya negara memelihara seluruhnya kepentingan perseorangan
(fakir/miskin, anak terlantar);
5. Tidak Cuma bangsa Indonesia dalam keseluruhannya harus dilindungi, juga
suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, warga negara perseorangan;
6. Tidak cukup ada kesejahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi
seluruh bangsa, juga harus ada kesejahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi setiap
suku bangsa, setiap golongan warga negara, setiap keluarga, setiap warga negara
perorangan.
Pemeliharaannya baik diselenggarakan oleh negara maupun oleh perseorangan
sendiri, tidak dengan atau dengan bantuan negara.”
2. Sila kelima daripada Pancasila mengandung cita-cita kemanusiaan yang memenuhi
hakekat daripada adil.
Dari cita-cita dan pokok-pokokk pikiran itu, bahwa sila kelima keadilan sosial itu
unsur-unsurnya dapat dikembalikan kepada sifat kodrat monodualis daripada manusia
atau kodrat perseorangan dan sifat kodrat makhluk sosial dalam keseimbangan yang
dinamis. Jadi adanya sila keadlian sosial, baik sebagai dasar nasional maupun sebagai
dasar dalam lapangan internasional, adalah sesuai pula dengan sifat hakekat negara kita
sebagai negara monodualis. Cita-cita dan pokok-pokok pikiran serta pedoman-pedoman
pokok yang tersimpul didalamnya itu sekarang kita perhatikan lebih lanjut intinya yang
terdalam, yaitu sebagaimana tekandung didalam istilah keadilan sosial.
Dalam hal ini hendaknya kita ingat, pertama bahwa sila kelima ini berlandaskan
kepada adil dan dalam arti bahwa segala sifat dan keadaan daripada dan di dalam negara
adalah sesuai dengan hakekat adil dan bahwa disinilah letak daripada isi arti sila kelima
yang terdalam dan yang terluas, yaitu yang bersifat abstrak, umum, universil, tetap tidak
berubah. Kedua, ketika kita membicarakan tentang hakekat daripada manusia didalam
pembicaran kita mengenai sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, kita
mengetahui bahwa sudah menjadi bawaan daripada hakekat manusia atau merupakan

keharusan yang mutlak bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan baik yang ketubuhan
maupun yang kejiwaan, baik dari diri sendiri maupun daripada orang lain.
Maka oleh karena itu menjadi jelaslah, bagaimana duduknya perkara dan memang
sudah setepatnya didalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab itu, terkandung
prinsip perikemanusiaan atau internasionalisme, terjelma didalam hubungan dan
penghargaan baik antara semua bangsa dan semua negara, sehingga kebangsaan atau
nasionalisme daripada bangsa dan negara indonesia tidak chauvinistis, tidak sempit
mengandung harga diri yang berlebihan.
Yang dimaksud dengan adil terhadap diri sendiri ialah terlaksananya penjelmaan
daripada unsur-unsur hakikat manusia, yaitu jiwa raga, akal-rasa-kehendak sert sifat
perseorangan dan makhluk sosial, lagipula kedudukan pribadi berdiri sendiri dan
makhluk Tuhan yang Maha Esa atau causa prima, dalam kesatuan majemuk-tunggal atau
mono pluralis. Karena sifat persatuan dan kesatuan daripada pancasila, maka didalam
sila keadilan sosial terkandung pula sila kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga
segala sesuatu tentang keadilan yang terkandung didalam sila kemanuisaan yang adil dan
beradab itu terjadi dengan sendirinya terjelma didalam sila keadilan sosial.
Hakekat daripada adil menurut pengertian klasik ilmiah tadi, yaitu dipenuhiinya
segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak didalam hidup bersama sebagai sifat
hubungan antara satu dengan yang lain, mengakibatkan bahwa memenuhi tiap-tiap hak
didalam hubungan antara satu dengan yang lain adalah wajib. Hidup bersama antara
manusia dimana ada organisasi sebagai kesatuan daripada warga-warganya seperti
halnya didalam masyarakat, bangsa dan negara, maka ada hubungan keadilan segitiga.
Segi pertama, masyarakat, bangsa dan negara adalah pihak yang berwajib memenuhi
keadilan terhadap warganya. Segi kedua, warga masyarakat, warga bangsa, warga negara
lah yang menjadi pihak yang mempunyai wajib memenuhi keadilan terhadap
masyarakatnya, bangsanya, negaranya. Segi ketaga adalah berupa hubungan keadilan
diantara sesama warga masyarakat, warga bangsa, warga negara dalam arti ada wajib
timbal balik untuk saling memenuhi keadilan.
Wajib keadilan segi pertama disebut wajib keadilan membagi-bagikan (distributif),
wajib keadilan segi kedua disebut wajib keadilan untuk bertaat, dan wajib keadilan segi
ketiga disebut wajib keadilan sama-sama timbal balik atau komutatif didalam hidup
bersama. Pengertian hakekat manusia tersimpul hubungan kemanusiaan selengkapnya,
yaitu terhadap diri sendiri dan antara sesama manusia terhadap Tuhan atau causa prima.

Inti daripada keadaan sosial, mengandung cita-cita kemanusiaan yang memenuhi
hakekat daripada adil. Isi arti dari keadilan sosial yang terdalam dan yang terluas,
bersifat abstrak, umum, universil, tetap tidak berubah.
Kecuali mengenai hak dan kewajiban dan wajib ini semuanya telah diketahui
penjelasannya, yaitu pertama, bahwa lingkungan dari keadilan sosial adalah hidup
bersama kemanusiaan, terutama dalam bentuk masyarakat, bangsa, negara, nasional dan
internasional, dengan segala penggolongan yang terdapat didalamnya masing-masing.
Kedua, bahwa pihak-pihak yang berwajib menyelenggarakan keadilan sosial ialah
masyarakat, bangsa, negara serta golongan-golongan yang terdapat didalamnya terhadap
para warganya masing-masing, juga sebaliknya para warga masyarakat, para warga
bangsa dan para warga negara wajib menyelenggarakan keadilan sosial.
Ketiga, kita peringatkan kepada diri sendiri, bahwa ada kepentingan dan kebutuhan
hidup yang mutlak dan penting, yang karena diluar kemampuan orang perseorangan
hanya dapat dipenuhi bersama-sama dalam kerja sama.
Keempat, didalam hidup bersama semua kepentingan dan kebutuhan hidup harus
terpelihara dengan keadilan sosial, jadi termasuk juga kepentingan dan kebutuhan hidup
dalam lingkungan hubungan hidup terhadap diri sendiri dan terhadap diri sendiri dan
terhadap Tuhan atau causa prima.
Maka dari itu ada tiga kesimpulan yang dapat diambil, yaitu :
a. Pertama, bahwa didalam hidup bersama itu harus ada keadilan sosial, karena hanya
dengan demikian kepentingan dan kebutuhan hidup setiap warga hidup bersama
dipenuhi sama-sama atau dengan lain perkataan, keadilan sosial adalah bawaan kodrat
dari adanya kepentingan dan kebutuhan hidup mutlak, jadi inilah yang menjadi
pangkal dasar daripada keadilan sosial;
b. Kedua, bahwa demikian itu bawaan kodrat, maka tertanam didalam hati sanubari
manusia;
c. Ketiga, bahwa keadilan sosial adalah bawaan daripada sifat kodrat monodualis
manusia atau kesatuan sifat kodrat perseorangan dan sifat kodrat makhluk sosial.
Intinya hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan barang sesuatu yang
semestinya diterima atau dilakukan, melulu oleh pihak tertentu, tidak dapat oleh
siapapun juga, yang dalam prinsipnya dapat dituntut dengan paksaan olehnya. Adapun
wajib pada umumnya atau intinya adalah beban untuk memberikan atau membiarkan

barang sesuatu yang semestinya diberikan atau dibiarkan, melulu oleh pihak tertentu,
tidak dapat oleh siapapun juga, yang dalam prinsipnya dapat dituntut dengan paksaan
daripadanya.
Berbagai asal mula itu ialah dalam pokoknya dapat digolongkan sebagai berikut :
asal mula kodrat, yaitu mutlak tertanam pada diri pribadi setiap manusia sebagai unsur
kodrat-nya; asal mula moral, yaitu terlekat pada diri pribadi manusia sebagai suatu hal
yang layak atau baik dalam arti mutlak bagi hakekat manusia atau kodrat manusia; asal
mula hukum; asal mula idiil, yaitu timbul atas dasar kepercayaan akan kekuasaan gaib;
asal mula adat istiadat dalam arti luas, yaitu timbul sebagai hasil perkembangan sejarah,
yang tergantung dari keadaan-keadaan alam, ketubuhan dan kejiwaan dalam segala
lingkungan, sosial ekonomis, kulturil, religius, kesusilaan, waktu, tempat dan manusia
yang bersangkutan.
Sesuai dengan adanya berbagai asal mula itu, maka ada hak dan wajib idiil, yang
dalam realita dapat berbentuk hak dan wajib religius dan ada hak dan wajib adat-istiadat
atau kebiasaan diambil dari arti luas sebagai diterangkan tadi.
Demikian lah pula keadaannya dengan hak dan wajib dalam keadilan sosial dan
asal mulanya, ada yang kodrat, ada yang moral ada yang idiil atau dalam bentuk
realisasinya yang ideologis dan dalam bentuk tertentu konkrit yang polotik, ada yang
religius dan ada yang adat-istiadat atau kebiasaan.
Pertanggungan jawab daripada revolusi kemerdekaan adalah sebagaimana
tercantum dalam naskah penjelmaan proklamasi kemerdekaan kita Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, kalimat pertama, yang berbunyi, bahwa “sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Dari penggunaanistilah “sesungguhnya” sebagai sifat hak kemerdekaan segala bangsa
dan penggunaan “perikemanusiaan” serta “perikeadilan” sebagai alasan bagi hapusnya
segala penjajahan , maka dapat disimpulakan, bahwa hak kemerdekaan segala bangsa,
jadi juga dari bangsa Indonesia adalah hak kodrat dan hak moral. Selanjutnya kareana
kemerdekaan adalah hasil perjuangan sebagai puncak perkembangan sejarah, maka hak
kemerdekaan bangsa Indonesia adalah hak idiil, hak ideologis, hak politik, dan begitu
juga hak adat-istiadat atau kebiasaan dan dalam hal ini kebiasaan perjuangan, jadi hak
kemerdekaan kita adalah juga hak revolusi. Kemampuan bangsa untuk berevolusi yang
berhasil itu menurut kalimat ketiga dari pembukaan adalah “Atas berkat rakhmat Tuhan

Yang Maha Kuasa”, jadi hak kemerdekaan bangsa adalah lengkap, juga hak yang
religius.
Prmbicaraan tentang sila kelima daripada Pancasila, dasar filsafat Negara adalah
sosial, karena sebagai mana telah diketahui, inti daripada keadilan sosial ialah
kesesuaiaan dengan hakekat daripada adil. Diantara unsur-unsur daripada hakikat adil,
maka hak serta wajib inilah yang peliang mempunyai peranan pokok di dalam
terwujudnya adil dan keadilan sosial. Dengan tidak adanya hak serata wajib, maka segala
sesuatu di dalam hubungan antara satu dengan lainnya di dalam hidup bersama
masyarakat, bangsa dan negara akan sama sekali tergantung dari sekehendak orang dari
semau-maunya orang, dari nafsu orang dalam segala bentuk dan ragam serta gaya.
Di dalam masalah hak dan wajib itu masih ada soal lagi yang perlu di perhatikan ,
yaitu mana yang peling penting, hak atau wajibkah? Jawabannya tidak sukar, kalau
diumpamakan, bagaimanakah keadaannya seandainya yang ada hanya salah satu dari
padanya. Umpamanya yang ada hanya hak saja, dan tidak ada wajib untuk
memenuhinya, maka mudah dimengerti, bahwa hak yang demikian itu sama sekali tidak
mempunyai arti. Sebaliknya andaikata yang ada hanya wajib saja, dan tidak ada hak yang
memberi wewenang untuk menuntutnya. Apabila demikian itu keadaannya, maka mudah
dapat dimengerti dan digambarkan pula, bahwa asal saja setiap warga hidup bersama
memenuhi wajibnya, hidup bersama akan baik-baik juga, artinya kepentingan dan
kebutuhan hidup yang memerlukan kerjasama itu akan terpenuhi juga, sama saja halnya
seperti ada hak untuk menuntutnya. Maka dari itu kesimpulannya, apabila dibandingkan
satu dengan lainnya, maka diantara hak dan wajib yang lebih penting adalah wajib.
Kalau demikian itu halnya, apakah sebenarnya adanya hak itu lalu ada perlunya.
Pertanyaan ini penting juga dipandang dari sudut kenyataan hidup, bahwa apabila di
dalam suatu masyarakat hak itu sangat ditonjol-tonjolkan, maka lalu dapat menimbulkan
berbagai kesukaran dan rintangan bagi kelancaran perjalannan pertumbuhan dan
perkembangan, baik dalam hidup kebangsaan dan kenegaraan. Seandainya tidak ada hak,
akan menjadi berkuranglah kesulitan dan rintangan hidup didunia ini. Pengalaman
sebenarnya sudah cukup banyak mengandung kesukaran dan malapetaka.
Jawaban ataspertanyaan ini tidak sukar. Kalau melihat pada pengalaman hidup,
nampak jelas, bahwa dipenuhinya wajib oleh setiap orang itu adalah sebuah
kemustahilan. Maka oleh karena itu memerlukan adanya jaminan akan terlaksananya itu,
dan haklah yang memberikanjaminan itu. Dasar yang lebih penting, karena mutlak dan
kodrat, ialah yang sudah acap kali dapat diketahui sebagai sumber berbagai hal, ialah

sifatkodrat monodualis daripada manusia, sifat kodrati perseorangan dan sifat kodrat
makhluk sosial dalam kesatuan. Hak itu sebenarnya tidak lain daripada penjelmaan dari
pada sifat kodrat perseorangan di dalam hidup bersama dengan fungsinya untuk
menjamin dipenuhinya kepentingan dan kebutuhan hidup perseorangan di dalam hidup
bersama. Adapun wajib adalah tidak lain daripada penjelmaan dari sifat kodrat makhluk
sosial, dan fungsinya ialah untuk menjamin agar supaya setiap warga hidup bersama
memberikan kepada para sesama warga apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan
hidup masing-masing.pendek kata adanya hak dan wajib di dalam hubungan hidup
bersama adalah mutlak, agar supaya dipenuhinya baik kepentingan dan kebutuhan hidup
dari semuanya bersama.
Apakah yang dari semuanya bersama, itulah tergantung dari keadaan dan kehendak
jaman. Yang demikian itu dapat diambil kesimpulan, bahwa sudah semestinya diantara
hak dan wajib itu adalah wajib yang perludiutamakan. Kenyataan daripada sejarah
kehidupan bangsa kita menunjukkan sikap hidup yang demikian itu, jadi mengutamakan
wajib adalah termasuk kepribadian bangsa Indonesia.
3. Cita-cita keadilan sosial dalam bentuk perwujudannya sebagaimana terjelma
dalam pokok-pokok pikiran mengenai Sosialisme Indonesia atau tata-masyarakat-
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sekarang kita melihat bagaimana penjelmaan daripada cita-cita keadilan sosial itu
di dalam pokok-pokok pikiran mengenai Sosialisme Indonesia atau tata masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila, sebagaimana pernah dirumuskan oleh Depernas dan
MPRS. Maksudnya disini ialah untuk mengutip yang mengenai soal-soal pokok daripada
hakekat adil dan keadilan sosial. Tidak lain daripada guna menunjukkan perlunya dan
amanfaatnya pengetahuan teori utuk dapat benar-benar memahami arti dan maksud serta
hubungan antara satu dengan yang lainnya dari segala sesuatu hal dalam praktik hidup.
Pengertian tentang keadilan, bahwa “Yang dimaksud dengan Keadilan ialah
Kebajikan, yang menggerakan dan meringankan cipta, rasa dan karya manusia untuk
senantiasa memberikan kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi hak pihak lain,
atau yang semestinya harus diterima pihak lain itu, sehingga masing-masing pihak
mendapat kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa rintangan.
Di dalam kenyataan tata kehidupan dan penghidupan manusia, keadilan itu
menampakan diri sekurang-kurangnya dalam tiga macam perwujudan, yaitu:

1. Di dalam hubungan antar manusia sebagai orang seorang terhadap sesamanya.
2. Di dalam hubungan antara masyarakat dengan masyarakat
3. Di dalam hubungan antara masyarakat dengan warganya.
Guna mewujudkan perlunya dan manfaat pengetahuan teori untuk benar-benar
memahami arti dan maksud serta hubungan antara satu dengan lainya dari segala sesuatu hal
dalam praktik hidup, di dalam uraian yang sudah mengenai sila kelima daripada Pancasila,
dasar Filsafat Negara kita, yaitu Keadilan Sosial.
Secara teori telah dikemukakan, bahwa adil dan keadilan sosial adalah bawaan
daripada sifat kodrat monodualis manusia atau bersifat kodrat perseorangan dan sifat kodrat
makhluk sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa “dasar dan tujuan revolusi Indonesia untuk
mewujudkan Sosialisme Indonesia adalah Keadilan Sosial... dan lain-lain perwujudan dari
Budi dan Hati Nurani, yang menunjukkan derajat dan mutu Kemanusiaan” dan “bahwa
Keadilan Sosial adalah tuntutan budi murni yang universal...”.
Secara teori telah kita ketahui juga bahwa diantara unsur-unsur daripada hakekat adil,
maka unsur hak serta wajib adalah mempunyai peranan pokok di dalam terwujudnya adil dan
keadilan sosial. Adapun hak dan wajib, beberapa asal mula yang menyebabkan adanya
berbagai macam hak serta wajib pula, yaitu unsur kodratnya dan yang moral terlekat pada diri
pribadi manusia sebagai suatu hal yang layak atau baik dalam arti mutlak bagi hakekat
manusia.
Pengertian dan dasar sosialisme Indonesia yang terpokok, yaitu Amanat penderitaan
rakyat Indonesia. demikian pula hak sera wajib dan asal mulanya yang bersifat adat luas
sebagai hasil perkembangan sejarah, tesimpul di dalam rumusan yang pernah diadakan oleh
Depernas dan MPRS tentang Amanat penderitaan rakyat Indonesia sebagai berikut. “Amanat
untuk menciptakan dan mewujudkan tata kehidupan dan penghidupan yang diliputi oleh
Keadilan dan Kesejah tteraan atau ”Masyarakat adil dan makmur lahir batin berdasarkan
sifat-sifat Kepribadian Indonesia sendiri seperti terlukis dalam rumusan Pancasila”.
Kemudian tentang masalah lainnya lagi mengenai adil dan keadilan sosial yang secara
teori, yaitu bahwa diantara hak wajib yang lebih penting adalah wajib, kita dapatkan pula
penjelmaan di dalam ketentuan-ketentuan yang pernah diadakan oleh Depernas dan MPRS
tentang unsur-unsur pokok dan sendi pokok Sosialisme Indonesia. Dikatakan bahwa “unsur-
unsur pokok Sosialisme Indonesia meliputi cita-cita tentang kemanusiaan, politik,
perekonomian, dan kemasyarakatan Indonesia”.

“cita-cita tentang manusia. Sosialis Indonesi berisi gambaran tentang seorang
manusia, yang mendasarkan cipta, rasa, karsa dan karyanya atas landasan-landasan. Perihal
cita-cita perekonomian ditentukan, bahwa “Ekonomi-Sosialis-Indonesia berpedoman pada
pokok-pokok pikiran”, antara lain bahwa “segala kegiatan produksi, baik yang diusahakan
oleh Negara maupun Swasta, harus ditujukan pada pengabdian pada kepentingan rakyat
terutama pada kebutuhan hidup pokok, agar setiap warga negara dapat hidup layak sebagai
manusia yang merdeka”. Bersangkutan dengan cita-cita kemasyarakatan Indonesia dikatakan,
bahwa “Cita-cita tentang masyarakat Sosialis-Indonesia menggambarkan suatu masyarakat,
yang tertib, aman tentram dan sejahtera, dimana orang-orangnya ramah tamah, berjiwa
kekeluargaan dan bersemangat gotong royong serta berkesadaran berkerja. Selain dari pada
itu ada beberapa hal mengenai sendi pokok. Begitulah dikatakan ,bahwa ada “Catur-upaya
empat laku Manusia-Sosialis-Indonesia, yang menjadi wujud dari empat sifat sendi-pokok
keadilan dalam Pancasila, (yaitu) Keadilan, Cinta kasih, Kepantasan dan keberanian
berkorban”.
Keadilan dan Cinta-kasih merupakan suatu dwi-tuggal yang saling isi-mengisi, karena
tanpa Cinta-kasih, pelaksanaan keadilan melalui atas dasar hak dan hukum sahaja, menjadi
keras dan kejam. Diantara keadilan dan Cinta-kasih terdapat sendi-pokok kelakuan manusia,
yang di dalam perwujudannya menampakan diri sebagai daya serta karya Budi dan Hati-
Nurani manusia untuk mempertimbangkan, dan dimana perlu memberanikan diri guna
mengurangi hak-haknya sendiri, untuk melaksanakan keadilan dan cinta-kasih, yaitu yang
disebut sendi: Kepantasan.
Kutipan rumusan Depernas dan MPRS tentang asas-asas gotong royong dan
kekeluargaan dalam pembangunan sosialisme Indonesia sebagai berikut. “Yang dimaksud
dengan asas gotong royong adalah: keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan
serta menanggung akibat dari sesuatu karya, terutama yang besar-bersar, secara bersama-
sama, serentak dan beramai-ramai tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungn bagi
dirinya sendiri, melainkan selalu untuk kebahagiaan bersama, seperti terkandung dalam
istilah: Gotong. Adapun “Asas kekeluargaan mengajarkan (antara lain), bahwa kepentingan
dan kesejahteraan bersamalah yang harus diutamakan, dan bukan kepentingan atau
kesejahteraan orang-seseorang. Di dalam segala usaha dan karya, Cinta-kasih dan
kewajibanlah menjadi pendorong dan bukan hak serta nafsu tutntutan yang berkuasa. Di
dalam tata masyarakat dan perekonomian yang berasaskan kekeluargaan, hak-milik
perseorangan tetap diakui, namun dalam penggunaannya dibatasi oleh kepentingan bersama.
Demikianlah dinyatakta sebagaian, bahwa Hak-milik perseorangan berfungsi sosial”

Ikhtisar isi arti keadilan sosial, sila kelima daripada Pancasila, yang abstrak umum
universil, dan kesimpulan yang dapat diambil daripadanya, ialah:
1. Bahwa sifat-sifat dan keadaan-keadaan daripada dan di dalam Negara kita sebagai cita-cita
yang terkandung dalam sila keadilan sosial pada proklamasi kemerdekaan dan
pelaksanaan perwujudannya dalam Sosialisme Indonesia telah benar-benar sesuai dengan
hakekat daripada adil, yaitu dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang telah
merupakan sesuatu hak di dalam hubungan hidup, di mana wajib lebih diutamakan
daripada hak :
a. Dalam pada itu ada hubungan keadilan segi tiga, yaitu antara masyarakat, bangsa dan
negara tehadap warga-warganya, dapat disebut keadilan membagi (distributif), dan
sebaliknya dapat disebut keadilan bertaat (logal) serta anatara warga-warganya
masyarakat, bangsa dan negara, dapat disebut keadilan sama-sama timbal-balik
(komutatif);
b. Hubungan keadilan itu tersimpul hungan kemanusiaan selengkapya, pertama terhadap
diri senndiri, kedua antara sesama manusia serta ketiga terhadap Tuhn atau causa
prima, sehinga ada wajibmemenuhi, baik kepentingadiri seniri, maupu
kepeningansesama manusia atau kepentingan sosial, yang kebutuhan dan yan kejiwaan,
serta kepentingqan religius;
c. Di dalam kepentingan sosial itu tercakup kepentingan negara sebagai negara,
kepentingan umum para warga negara bersama, kepentingan bersama, dan kepentingan
khusus dari pada warga negara per-seorangan, keluarga, suku bangsa dan setiap
golongan warga negara;
2. Bahwa keadilan sosial adalah mengenai hubungan hidup dan hubungan keadilan diantara
sesama manusia, akan tetapi di dalamnya seharusnya ada pul dan terselenggara keadilan
dalam hubungan hidup manusia terhadap Tuhan atau causa prima jadi keadilan religius,
serta pula keadilan dalam hubungan hidup manusia terhadap diri sendiri atau keadilan
pribadi, agar supaya terlaksana penjelmaan daripada segenap unsur hakekat manusia
dalam kesatuan majemuk-tunggal atau monopluralis, yaiu jiwa-raga, akal-rasa-kehendak
serta sifat perseorangan dan mahkluk sosial;
3. Bahwa keadilan sosial unsur-unsurnya dapat dikembalikan kepada sifat kodrat monodualis
daripada manusia atau sifat kesatuan kodrat perseorangan dan sifat kodrat mahkluk sosial
dalam keseimbangan yang dinamis dan baik sebagai dasar nasional maupun sebagai dasar
dalam lapangan internasional adalah sesuai dengan sifat Negara kita sebagai negara
monodualis:

a. Bahwa sudah menjadi bawaan daripada hakekat manusia atau merupakan keharusan
yang mutlak bagi manusia untuk memenuhi kepentingan hidup baik yang kebutuhan
maupun yang kejiwaan, baik daripada diri sendiri maupun daripada orang lain,
semuanya itu dalam hubungan kemanusiaan selengkapnya;
b. Maka dari itu keadilan sosial mempunyai sifat dasar kesusilaan, sehingga pada manusia
seharusnya selalu ada kemampuan untuk menyelenggarakan keadilan sosial sehingga
menjadi watak saleh adil.
4. Bahwa di dalam keadilan sosial tersimpul sebagai salah satu unsur pokoknya hak dan
wajib yang bersifat kodrat, yang bersifat moral, yang bersifat idiil atas dasar cita-cita,
termasuk yang ideologis dan politik, yang bersifat religius dan dasar firman Tuhan atau
atas dasar kepercayaan akan kekuasaan gaib dan yang bersifat adat-istiadat dalam arti luas,
yaitu timbul sebagai hasil perkembangan sejarah, yang tergantung dari keadaan, keadaan
dalam segala lingkungan.
a. Hak kemerdekaan segala bangsa dan hak kemerdekaan serta proklamasi kemerdekaan
kita bangsa Indonesia
b. Rumusan yang pernah diadakan oleh Depernas dan MPRS tentang hal bersendi
pokoknya Sosialisme Indonesia pada ciri-ciri pokok kepribadian Indonesia yang
merupakan perwujudan dari budi dan hati-nurani kemanusiaan yang universil, serta
tentang hal pengertian dan dasar Amanat pernderitaan rakyat Indonesia;
5. Bahwa sila keadilan sosial adalah tujuan daripada empat sila yang mendahuluinya;
6. Bahwa sila keadilan sosial sebagai tujuan daripada empat sila yang merndahuluinya itu
dan berkat sifat persatuan dan kesatuan daripada Pancasila adalah keadilan sosial yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yan adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia dan yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
7. Bahwa sila keadilan sosial, sesuai dengan hakekat adil, mengenai unsur-unsurnya yang
mempunyai peranan pokok, yaitu hak serta wajib;
a. Lebih mementingkan wajib daripada hak, dan dalam penyelengaraannya, sesuai dengan
sifat kodrat monodualis kemanusiaan dan sikap hidup bangsa Indonesia sepanjang
masa;
b. Dan hal ini ternyata terwujud pula di dalam unsur-unsur pokok Sosialisme Indonesia,
yaitu cita-cita kemanusiaan berupa Manusia-Sosialis-Indonesia, cita-cita politik berupa
Politik-Sosialis-indonesia, cita-cita perekonomian berupa Ekonomi-Sosialis-Indonesia
dan cita-cita kemasyarakatan berupa Tata-Masyarakat-Sosialis-Indonesia

8. Bahwa sila keadilan sosial disamping merupakan penjelmaan daripada sila ke-empat
kerakyatan dan seterusnya, sebagai bawaan daripada sifat persatuan dan kesatuan daripada
Pancasila, mempunyai hubungan istimewa dengan sila ke-empat itu, yang tidak terdapat
dalam hubungannya dengan tiga sila lainnya, ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia, yaitu:
a. Di dalam pengertian kerakyatan terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-
ekonomi atau demokrasi fungsionil, dengan cita-cita kefilsafatan demokrasi politik
sebagai dasar syaratnya;
b. Bahwa sila ke-lima keadilan sosial bersama-sama dengan sila ke-empat kerakyatan dan
seterusnya, sebagai cita-cita kefilsafatan, mendapatkan penjelmaannya dalam dasar
politik Negara, sehingga dasar politik negara berkedaulatan rakyat mengandung dua
macam demokrasi, yaitu demokrasi politik dan demokrasi fungsioniil.
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro. 1995. PANCASILA SECARA ILMIAH POPULER. Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
IX.