naskah publikasi hubungan antara...
TRANSCRIPT
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI
TERHADAP PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA
KARYAWAN DI
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk
Oleh :
HADIAH NOVA SETIAWATI
HARYANTO FADHOLAN ROSYID
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2005
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI
TERHADAP PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA
KARYAWAN DI
PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing
(Haryanto, FR, Drs., MA)
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI
TERHADAP PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA
KARYAWAN DI PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk
Hadiah Nova Setiawati
Haryanto Fadholan Rosyid
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif
antara kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di PT Telkom. Karyawan yang memiliki kemampuan penyesuaian diri tinggi terhadap pekerjaan maka kecil kemungkinan mengalami stres di dalam bekerja. Sebaliknya karyawan yang memiliki kemampuan penyesuaian diri rendah terhadap pekerjaan maka akan mengalami stres di dalam bekerja. Tambahan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan stres kerja antara karyawan PT Telkom yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan PT Telkom tanpa ada batasan jenis kelamin dan usia. Lama bekerja subjek minimal tiga tahun dan mempunyai status sebagai karyawan tetap. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah hasil modifikasi skala stres kerja dari Haitami (2000) yang berjumlah 79 aitem dan skala kemampuan penyesuaian diri yang berjumlah 60 aitem.
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik Product Moment Karl Pearson untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja. Korelasi Spearman’s Rho menunjukkan r = -0,585 dan p = 0.00 ( p< 0,05 ), yang artinya ada hubungan yang signifikan dan negatif antara kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja, sehingga hipotesis diterima.
Analisis tambahan diuji dengan menggunakan teknik analisis Independent Sample t – test dan didapatkan hasil bahwa nilai t = 0,172 dan p = 0.864 ( p>0.05 ). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan stres kerja antara karyawan PT Telkom yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Kata Kunci: Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pekerjaan, Stres Kerja
Pengantar
Latar Belakang Masalah
Dalam menghadapi era Globalisasi, setiap perusahaan harus tanggap
terhadap persaingan yang semakin ketat baik persaingan antar perusahaan lokal
maupun persaingan antara perusahaan lokal dengan perusahaan asing.
International Telecommunication Union (ITU) dalam World Telecommunication
Development Report 2002 mendeskripsikan sektor telekomunikasi saat ini
dengan empat kata kunci: “private”, “competitive”, “mobile”, dan “global”, yaitu
sektor telekomunikasi di mana pun di muka bumi ini semakin terprivatisasi,
semakin terbuka pada kompetisi, semakin mobile, dan semakin mengglobal baik
dari sisi operasi, regulasi maupun layanannya. Sampai dengan tahun 2002 lalu,
lebih dari setengah negara di dunia telah memprivatisasi sektor
telekomunikasinya dengan menyerahkan sebagian atau bahkan seluruh
kepemilikan incumbent operation-nya (operator utama) kepada sektor swasta.
(Kartajaya, 2004). Kompetisi ini memacu incumbent operation (operator utama)
untuk dapat terus meningkatkan produktifitas dan efektivitas, memperbaiki
efisiensi dan kesehatan organisasi, serta meningkatkan upaya inovasi produk dan
memperbaiki layanan terhadap pelanggan.
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan
besar di Indonesia, yang bergerak di dalam bisnis informasi dan komunikasi.
Menurut undang-undang telekomunikasi pada tahun 1989, disebutkan bahwa
telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh
pemerintah. Tetapi sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 36 tahun 1999 dan
berlaku efektif pada tanggal 8 September 2000, menandai berakhirnya era
monopoli dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia. Undang-
undang tersebut mengatur secara tegas bahwa dalam penyelenggaraan
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para
penyelenggara telekomunikasi. Hal ini meyebabkan PT. Telkom berada pada
persaingan penuh di semua bidang usaha yang dikelolanya (Kartajaya, 2004).
Sebelum berlakunya UU No. 36 Tahun 1999, penyedia jasa sambungan langsung
internasional dipegang oleh indosat sehingga masyarakat terbiasa memutar kode
SLI 001 dan SLI 008. Namun setelah pemerintah melarang kegiatan praktek
monopoli, intensitas kompetisi dalam pasar sambungan langsung internasional
mulai terasa. PT Telkom bekerjasama dengan operator asing mengeluarkan
layanan TELKOMGlobal007 untuk sambungan langsung internasional.
Dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 tahun 1999 secara tidak
langsung memberikan pengaruh terhadap pergeseran mendasar dari rumusan visi-
misi PT. Telkom. Perbedaan rumusan visi-misi sebelum tahun 2000 dan setelah
tahun 2000 terletak pada bidang bisnis yang dimasuki Telkom dan pencakupan
bisnis Telkom. Pada rumusan visi-misi sebelum tahun 2000, bidang bisnis PT
Telkom masih tergolong tradisional yaitu POTS (Plain Old Telephone Service),
sedangkan pada pencakupan bisnis yaitu alokasi sumber daya dan strategi PT.
Telkom cenderung diarahkan untuk menjadi operator telekomunikasi terkemuka
di tingkat nasional dengan standar layanan berkelas dunia. Rumusan visi-misi
mulai berubah ketika Undang-Undang No. 36 tahun 1999 dikeluarkan, kemudian
PT. Telkom mengubah visi-misi Telkom pada tahun 2003. Rumusan visi PT.
Telkom adalah menjadi dominan InfoCom player di kawasan regional, yang
mengandung pengertian bahwa PT. Telkom berupaya untuk menempatkan diri
sebagai perusahaan Infocom yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, yang
kemudian akan berlanjut ke kawasan Asia, dan Asia Pasifik. PT. Telkom
mempunyai dua rumusan misi yaitu memberikan layanan “one stop InfoCom”
dengan kualitas yang prima dan harga kompetitif; dan mengelola usaha dengan
cara yang terbaik dengan mengoptimalkan SDM yang unggul, dengan teknologi
yang kompetitif dan dengan business Partner yang sinergi. Memberikan layanan
“one stop InfoCom” dengan kualitas yang prima dan harga kompetitif
mempunyai arti bahwa PT. Telkom menjamin pelanggan akan mendapatkan
layanan terbaik, berupa kemudahan, kualitas produk, kualitas jaringan, dengan
harga yang kompetitif. Sedangkan mengelola usaha dengan cara yang terbaik
dengan mengoptimalkan SDM yang unggul, dengan teknologi yang kompetitif
dan dengan business Partner yang sinergi mengandung pengertian bahwa PT.
Telkom akan mengelola bisnis melalui praktek-praktek terbaik dengan
mengoptimalkan SDM yang unggul, penggunaan teknologi yang kompetitif, serta
membangun kemitraan yang menguntungkan secara timbal balik dan saling
mendukung secara sinergis. Dari rumusan tersebut dapat dilihat bahwa PT
Telkom memperluas bidang bisnisnya dari hanya sekedar POTS menjadi PMVIS
(Phone, Mobile, View, Internet, dan Service), yang saat ini disederhanakan
menjadi Phone, Mobile, Multimedia (PMM), sedangkan pada pencakupan
bisnisnya dari hanya sebagai pemain terkemuka di tingkat nasional menjadi
pemain terkemuka di tingkat regional. PT Telkom akan menghadapi pesaing yang
begitu banyak baik para operator lokal maupun para operator regional dan global,
seperti Indosat (lokal), NTT dan British Telekom (Global), Korea Telekom, HK
Telekom, SingTel, Malaysia Telekom yang menjadi pesaing terdekat (regional)
(Kristiono, 2003; Kartajaya, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Peters-Waterman, Collins-porras dan
Joyce-Nohria-Roberson mengungkapkan bahwa budaya perusahaan merupakan
salah satu faktor yang menentukan kesuksesan sebuah organisasi (Kartajaya,
2004). Nilai-nilai dasar yang dipegang teguh dan diyakini oleh semua orang di
dalam organisasi terbukti menjadi tulang punggung keunggulan bersaing
perusahaan.
Selama masa kepemimpinan Willy Moenandir yang menduduki jabatan
Dirut Telkom (waktu itu masih bernama PERUMTEL) selama 15 tahun dari
1973-1988, pembangunan budaya perusahaan praktis tidak mendapatkan
perhatian karena posisi monopoli Telkom yang sangat kuat dan tantangan
terbesarnya adalah membangun dasar-dasar infrastruktur dan modernisasi
jaringan yang memang masih sangat terbatas.
Pada kepemimpinan Cacuk Sudarijanto (1988-1992), program 3-2-1
disusun dan diterapkan di Telkom, yang kemudian menjadi budaya korporat
Telkom waktu itu. Satu pencapaian yang dihasilkan di era kepemimpinannya,
yaitu budaya dan perilaku karyawan Telkom yang semakin egaliter.
Upaya yang serius pernah dilaksanakan di masa kepemimpinan
Setyanto P. Santosa (1992-1996) yang waktu itu meluncurkan konsepsi budaya
perusahaan ARTI (Akurat, Responsif, dan Simpatik) yang melengkapi
keberadaan 3-2-1. Namun internalisasi dan aktualisasinya kurang efektif karena
tidak terumus di dalam sebuah program implementasi yang sistematis, konkret,
dan komprehensif. Hal ini terjadi karena manajemen lebih memperhatikan tiga
program yang baru dibentuk yaitu restrukturisasi internal berupa pembentukan 7
Divisi Regional, Program Kerja Operasi (KSO), dan Initial Public Offering
(IPO).
Pada era kepemimpinan A.A Nasution dan Mohammad Nazif (1996-
2002), dikeluarkan program T-2001 tetapi usaha untuk membangun budaya
perusahaan kurang mendapat perhatian, karena pada masa itu PT. Telkom sedang
pada masa-masa kritis karena krisis ekonomi. Akhir tahun 1990-an, PT. Telkom
mulai mengalami pemulihan. Pemilihan struktur organisasi Divisi Regional
terbukti tepat karena setiap Divre lebih otonom dalam merespon berbagai
perubahan lingkungan bisnis secara cepat dan efektif. Namun pemilihan struktur
organisasi tersebut memunculkan persoalan penyatuan organisasi dan pembauran
karyawan. Perbedaan ini telah menyebabkan resistensi, bahkan penolakan, antar
karyawan Divre Telkom dan Mitra KSO; konflik visi dan komunikasi; rasa saling
tidak percaya karena adanya perbedaan cara pandang,dll. Masing-masing Divre
cenderung bergerak sendiri-sendiri karena masing-masing mengembangkan
budayanya sendiri sehingga muncul begitu banyak budaya perusahaan (sub-
culture) dengan jargon dan artefak yang beraneka ragam (Kartajaya, 2004)..
Pada tahun 2002, Kristiono menjabat sebagai Dirut PT. Telkom. PT.
Telkom kemudian menerapkan budaya perusahaan baru yang diberi nama “The
Telkom Way 135” pada tanggal 26 Maret 2003 melalui Keputusan Direksi
Perusahaan Perseroan PT Telekomunikasi Indonesia, TBK dengan nomer:
KD.24/PR180/CTG-00/2003 (Kristiono, 2003).
Budaya perusahaan “The Telkom Way 135” mengandung beberapa
unsur, dimana secara integral harus menjiwai karyawan PT. Telkom, yaitu:
a. Satu asumsi dasar: committed 2U.
b. Tiga nilai inti: customer value, excellent service, dan competent people.
c. Lima langkah perilaku untuk memenangkan persaingan: strech the goals,
simplify, involve everyone, quality is my job, dan reward the winners.
PT. Telkom menempatkan SDM sebagai komponen inti pencapaian visi.
Mengacu pada visi Telkom yang baru, pengembangan SDM Telkom diarahkan
untuk menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kompetensi dan kapabilitas
di bisnis InfoCom; menggunakan paradigma kompetisi, bukan lagi monopoli; dan
memiliki adaptabilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan lingkungan
bisnis telekomunikasi yang cepat (Kartajaya, 2004). Untuk mewujudkan hal
tersebut, PT. Telkom menuntut agar para karyawan dapat mengimplementasikan
budaya perusahaan “The Telkom Way 135” ke dalam masing-masing individu
yang kemudian dapat diterapkan dalam pelaksanaan tugas.
Namun pada kenyataannya, melalui hasil wawancara penulis dengan
beberapa karyawan yang dilakukan pada tanggal 23 Maret 2004 dan 24 Januari
2005 di PT. Telkom Carrier and Interconnection Service Center (CISC) Jakarta,
menunjukkan fenomena bahwa karyawan masih merasa cemas dan bingung pada
saat membuat SKI (Sasaran Kinerja Individu) atau apa yang akan diraih
karyawan di dalam satu tahun ke depan. Pembuatan SKI sudah diterapkan
sebelum dibuat budaya perusahaan Telkom yang baru, namun hal ini menjadi
berbeda pada saat budaya perusahaan The Telkom Way 135 mulai
diimplementasikan, karena selain membuat SKI, karyawan harus dapat
menentukan perilaku di dalam bekerja yang disesuaikan dengan budaya The
Telkom Way 135 agar sasaran yang dibuat dapat terealisasi. Karena karyawan
merasa bingung dengan budaya tersebut maka pada saat membuat SKI ada
beberapa karyawan yang meniru SKI yang dibuat oleh temannya. Bahkan pada
saat bekerja, karyawan cenderung tidak menerapkan perilaku-perilaku yang
sesuai dengan budaya “The Telkom Way 135”, tetapi mereka cenderung bekerja
seperti sebelum budaya “The Telkom Way 135” diterapkan. Pada akhir tahun
akan diadakan penilaian NKI (Nilai Kinerja Individu) terhadap SKI dimana ini
menjadi salah satu di dalam pertimbangan untuk melakukan promosi, kenaikan
gaji, dan sebagainya. Kondisi atau situasi yang berubah tersebut, diduga
menimbulkan perasaan tertekan pada karyawan dan cenderung menimbulkan
stres di dalam bekerja.
Manusia akan cenderung mengalami stres apabila ia kurang mampu
mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang ada,
baik kenyataaan yang ada di dalam maupun diluar dirinya. Penelitian yang
dilakukan Fincham&Rodhes (1988) menyimpulkan bahwa stres adalah hasil dari
tidak atau kurang adanya kecocokan antara individu (kepribadian, bakatnya, dan
kecakapannya) dengan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuan
individu dalam menghadapi berbagai tuntutan secara efektif (Munandar, 2001).
Stres harus dilihat sebagai fungsi dari individu yang menafsirkan situasi,
karena reaksi setiap orang terhadap suatu stimulus berbeda-beda. Stres kerja
adalah suatu kondisi ketegangan yang mengakibatkan ketidakseimbangan fisik
dan psikis, sehingga dapat mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi
seorang karyawan (Rivai, 2004).
Faktor-faktor stres dari Sarafino, Sutherland & Cooper (1990)
mengemukakan enam sumber “managerial stress” yaitu: (dalam Smet, 1994)
a. Stressor yang ada di dalam pekerjaan itu sendiri, meliputi: beban kerja,
fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama
b. Konflik peran: peran di dalam kerja yang tidak jelas, tanggung jawab yang
tidak jelas
c. Masalah dalam hubungan dengan orang lain, seperti: hubungan dengan
atasan, rekan sejawat, dan pola hubungan atasan - bawahan
d. perkembangan karir: under/over promotion, keselamatan kerja
e. Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga
f. Iklim dan struktur organisasi: pembatasan-pembatasan perilaku, iklim budaya
di dalam organisasi
Hal yang penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial
adalah bagaimana para karyawan mempersepsikan dan beradaptasi dengan
kebudayaan, kebiasaan dan iklim dari organisasi. Organisasi menuntut
anggotanya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan suasana, kebijakan, dan
konvensi kelompok. Namun tidak semua kondisi kelompok sesuai dengan
keinginan, harapan, dan kebutuhan individu, sehingga individu tersebut tidak
dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Ketidaksesuaian inilah yang akan
memunculkan konflik dan ketegangan yang kemudian akan menimbulkan stres.
Penyesuaian diri adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk
mengatasi segala permasalahan baik masalah yang timbul karena tuntutan dari
dalam dirinya maupun lingkungannya (Schneider, 1964). Sejalan dengan itu,
Lazzarus (1976) mengartikan penyesuaian diri sebagai perjuangan seseorang
untuk mengatasi hambatan yang ada di lingkungan fisik dan sosialnya agar ia
mampu bertahan hidup di kedua lingkungan tersebut.
Penyesuaian diri mempunyai pengertian yaitu suatu proses mental dan
tingkah laku seseorang dalam merespon, menghadapi masalah baik yang berasal
dari dalam dirinya maupun dari dunia sekitar dengan baik (Schneider, 1964).
Situasi lingkungan dan kondisi organisasi di dalam dunia kerja dapat menjadi
masalah tersendiri bagi para karyawan. Hal ini membutuhkan kemampuan
individu dalam memecahkan masalah secara sehat dan efisien.
Gray (2003) berpendapat bahwa pada saat dihadapkan pada suatu
masalah, laki-laki cenderung berusaha untuk memecahkannya sendiri. Apabila
laki-laki tidak dapat menemukan sebuah solusi, maka untuk mengurangi stresnya,
laki-laki akan sementara melupakan masalah itu dengan terfokus pada hal lain
yang dapat ditangani, seperti rekreasi, dan olah raga. Bagi perempuan yang
sedang menghadapi masalah, reaksi pertama yang dilakukan adalah membuka
diri dan melibatkan orang lain untuk mencari jalan keluar. Perbedaan
karakteristik antara laki-laki dan perempuan dapat menyebabkan karyawan laki-
laki cenderung akan lebih mudah mengalami stres daripada karyawan perempuan
pada saat menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru.
Permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: apakah ada
hubungan antara kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres
kerja pada karyawan di PT Telkom?, dan apakah ada perbedaan stres kerja antara
karyawan PT Telkom yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada
karyawan di PT. Telkom.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat ditinjau secara teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan informasi baru sebagai
bahan untuk memperkaya khasanah psikologi industri.
Sedangkan secara praktis, manfaat penelitian ini adalah apabila ternyata
penyesuaian diri terhadap pekerjaan memiliki hubungan dengan stres kerja pada
karyawan di PT. Telkom, maka sebaiknya perusahaan dapat menggunakan cara
lain untuk mengimplementasi budaya perusahaan yang baru, sehingga dapat
membantu karyawan dalam melaksanakan tugasnya.
Tinjauan Pustaka
Stres Kerja
Pengertian Stres Kerja
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir,
dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan (Rivai, 2004).
Dinamika stres kerja tidak jauh berbeda dengan dinamika stres pada
umumnya. Stres kerja merupakan suatu kondisi yang muncul karena interaksi
manusia dengan pekerjaannya, yang dicirikan oleh terjadinya perubahan dalam
diri individu yang mendorong terjadinya penyimpangan dari fungsi normal
(Beehr dan Newman dalam Luthans,1985)
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang muncul karena interaksi
manusia (kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dengan pekerjaannya
(karakteristik tuntutan pekerjaan dan lingkungan) sehingga dapat mempengaruhi
kondisi fisiologis dan psikologis karyawan tersebut di dalam melaksanakan
pekerjaan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Robbins (1998) menyebutkan bahwa faktor penyebab stres ada tiga
yaitu:
a. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dimaksud ialah keadaan lingkungan secara global.
Meskipun tidak terlibat langsung, tetapi pengaruh lingkungan dapat dirasakan
individu melalui organisasi. Situasi lingkungan yang dapat menyebabkan
stres ialah ketidakpastian lingkungan (environmental uncertainty), seperti
ketidakpastian situasi ekonomi, ketidakpastian politik dan ketidakpastian
teknologi. Ketidakpastian lingkungan ini akan mempengaruhi proses dalam
organisasi, seperti penetapan arah dan kebijakan organisasi, perubahan
strategi organisasi dan keuangan.
b. Faktor Organisasional
1) Tuntutan tugas
Tuntutan tugas meliputi bentuk pekerjaan individu (otonomi, keragaman
tugas, tingkat otomatisasi), kondisi bekerja (temperatur, suara, kondisi
yang membahayakan), dan rancangan fisik pekerjaan.
2) Tuntutan peran
Konflik peran terjadi pada saat karyawan di dalam situasi dimana terdapat
tekanan yang harus diseleseikan dengan tuntutan yang berbeda dan tidak
konsisten (Tosi, Rizzo, Carrol, 1990). Peran yang berlebihan terjadi jka
karyawan diharapkan bekerja lebih dari waktu yang diperbolehkan.
Ketidakjelasan peran terjadi bila karyawan tidak mengerti dengan peran
yang dipegangnya.
3) Tuntutan antar individu
Kurangnya dukungan sosial dari teman sejawat dan lemahnya hubungan
antar individu dapat menyebabkan stres.
4) Struktur organisasi
Struktur organisasi didefinisikan sebagai tingkat perbedaan di dalam
organisasi, derajat kebiasaan dan peraturan, dan pembuatan keputusan
dapat menyebabkan stres.
5) Kepemimpinan organisasi
Cara seorang pemimpin di dalam mengelola organisasi mempunyai
pengaruh terhadap stres para karyawannya. Pemimpin yang membuat
tekanan tidak realistis agar karyawannya melaksanakan tugas dalam
waktu singkat, membuat kontrol yang ketat, dan secara rutin memecat
karyawan yang tidak baik, dapat menimbulkan stres pada karyawan.
c. Faktor Individual
Faktor individu sebagai semua hal yang terdapat dalam kehidupan pribadi
individu di luar pekerjaan, seperti masalah-masalah keluarga, ekonomi dan
karakteristik kepribadian. Masalah pribadi yang terjadi di luar jam kerja
sering dibawa ke tempat kerja, sehingga mengakibatkan konsentrasi bekerja
dapat terganggu, kinerja tidak memuaskan dan individu tidak dapat
memenuhi tuntutan pekerjaannya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang
mempengaruhi stres kerja adalah faktor lingkungan, faktor organisasional, dan
faktor individual.
Tanda-Tanda atau Gejala-Gejala Stres
Tanda-tanda dari adanya stress menurut Everly dan Girdano (1980)
adalah (dalam Munandar,2001) :
a. Tanda-tanda suasana hati (mood), seperti: menjadi overexcited, cemas,
merasa tidak pasti, sulit tidur pada malam hari, menjadi mudah bingung,
gelisah, gugup, uncomfortable.
b. Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal), seperti: jari-jari dan tangan
gemetar, kepala mulai sakit, merasa otot menjadi tegang dan kaku,
menggagap kalau berbicara, leher menjadi kaku, mengembangkan tic, tidak
dapat duduk diam atau berdiri di tempat.
c. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral), seperti: perut terganggu,
merasa jantung berdebar-debar, banyak keringat, tangan berkeringat, merasa
kepala ringan atau akan pingsan, mengalami kedinginan (cold chills), wajah
menjadi panas, mulut menjadi kering, mendengar bunyi berdering di dalam
kuping, mengalami ‘rasa akan tenggelam’ dalam perut (sinking feeling).
Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pekerjaan
Pengertian Kemampuan Penyesuaian Diri
Schneider (1964) menyebutkan bahwa penyesuaian diri ialah suatu
usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi segala permasalahan baik
masalah yang timbul karena tuntutan dari dalam dirinya maupun lingkungannya.
Sejalan dengan itu, Lazzarus (1969) memandang penyesuaian diri sebagai
perjuangan seseorang untuk mengatasi hambatan yang ada di lingkungan fisik
dan sosialnya agar ia mampu bertahan hidup di kedua lingkungan tersebut.
Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai interaksi antara individu
dengan individu tersebut, dengan orang lain, dan dengan dunianya secara terus
menerus (Calhoun dan Ross, 1990).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan penyesuaian
diri adalah suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi segala
hambatan dan permasalahan baik yang timbul karena tuntutan dari dalam dirinya
(fisik) maupun lingkungannya (sosial) yaitu dari orang lain dan dari dunianya.
Karakteristik dalam Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa individu dengan penyesuaian
diri yang baik memiliki karakteristik khusus sebagai berikut:
a. Tidak adanya emosi yang berlebihan
Individu mampu menunjukkan ketenangan emosi dan kontrol sehingga
memungkinkan individu tersebut menghadapi suatu masalah secara intelligen
dan dapat menggunakan berbagai kemungkinan pemecahan masalah.
b. Tidak adanya mekanisme pertahanan diri
Individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik bila individu tersebut
dalam menyelesaikan suatu masalah tidak memakai defence mechanism.
Misalnya saja, penyesuaian diri dikategorikan baik bila individu mengalami
suatu kegagalan, maka individu mengakui kegagalan tersebut dan akan
berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c. Tidak adanya frustrasi personal
Frustrasi dapat menimbulkan kesulitan untuk merespon secara normal
terhadap suatu permasalahan atau situasi. Jika individu mengalami frustrasi
maka akan sulit baginya untuk dapat mengorganisasikan pikiran, perasaan,
motivasi dan tingkah laku untuk menghadapi situasi yang memerlukan
penyelesaian.
d. Memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Individu dengan penyesuaian diri yang baik mampu berpikir dan melakukan
pertimbangan terhadap masalah atau konflik yang sedang dihadapi.
Disamping itu, individu tersebut juga mampu mengorganisasikan pikiran,
tingkah laku, dan perasaannya untuk memecahkan masalah dalam kondisi
yang sulit sekalipun.
e. Memiliki kemampuan untuk belajar
Individu dengan penyesuaian diri yang baik dapat dilihat dari perkembangan
yang diperoleh individu sebagai hasil dari kemampuan individu tersebut
mengatasi situasi konflik dan stres, karena penyesuaian yang baik merupakan
proses belajar yang berkesinambungan.
f. Memanfaatkan pengalaman yang lalu
Individu dapat belajar dari pengalamannya maupun dari pengalaman orang
lain. Individu dengan penyesuaian diri yang baik dapat menganalisis faktor-
faktor apa saja yang dapat membantu dan menggangu penyesuaian diri.
g. Memiliki sikap realistik dan objektif
Sikap realistik dan objektif bersumber dari proses belajar, pengalaman,
pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi atau masalah, dan
keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Tallent (1978) menyatakan bahwa individu dengan penyesuaian diri
yang baik memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Perasaan subjektif yang menyenangkan
Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah individu yang
merasa nyaman secara psikologis dan mengalami sedikit stres. Apabila
individu memiliki suatu masalah yang sulit untuk diselesaikan maka individu
tersebut mampu memilih strategi pemecahan masalah yang tepat sehingga
perasaan negatif yang muncul tidak bertahan berlarut-larut.
b. Pencapaian personal dan sosial
Sudut pandang ini menempatkan aktualisasi diri sebagai hal utama dalam
penyesuaian diri. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu
mencapai kesadaran diri, dapat berhubungan secara aktif dan bertanggung
jawab terhadap orang lain, dan juga mampu mengembangkan potensi yang
dimilikinya sejak lahir.
c. Memiliki kemampuan untuk bekerja
Penyesuaian diri dinilai relatif bagi setiap individu. Bagi sebagian individu
khususnya yang mengalami kelainan fisik maupun mental. Penyesuaian diri
yang baik lebih dinilai pada kemampuan individu tersebut untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu.
d. Tidak diperlukannya institusionalisasi
Dalam kasus pasien yang telah berada di RS Jiwa untuk beberapa tahun,
kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan bermasyarakat
dipandang sebagai kemajuan yang besar. Penilaian tersebut tidak memerlukan
suatu pengesahan dari suatu institusi tertentu.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
individu yang mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang baik memiliki
karakteristik khusus, yaitu tidak adanya emosi yang berlebihan, tidak adanya
mekanisme pertahanan diri, tidak adanya frustasi personal, memiliki
pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, perasaan subjektif
yang menyenangkan, pencapaian personal dan sosial, memiliki kemampan untuk
bekerja, memiliki kemampuan untuk belajar, tidak diperlukannya
institusionalisasi, memanfaatkan pengalaman yang lalu, memiliki sikap realistik
dan objektif.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Faktor yang dapat menentukan penyesuaian diri yang berhubungan
dengan perkembangan kepribadian yaitu: (Crow & Crow, 1960)
a. Faktor kondisi fisik, meliputi keturunan, keadaan fisik, kecemasan, kelenjar,
dan sistem otot, kesehatan, penyakit, dsb
b. Perkembangan dan kematangan, khususnya intellectual, social, moral, dan
kematangan emosi
c. Faktor psikologi, meliputi pengalaman, belajar, penentuan diri, frustrasi dan
konflik
d. Kondisi Lingkungan, khususnya di rumah, keluarga, dan sekolah
e. Faktor Budaya, termasuk agama.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi berhasilnya penyesuaian diri seseorang adalah
kondisi fisik individu; perkembangan dan kematangan intelektual, sosial ,moral
dan emosional; kondisi psikologis; kondisi lingkungan; budaya.
Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Stres Kerja pada Karyawan
Menurut Kartono (1992), ciri-ciri jasmaniah perempuan sangat berbeda
dengan milik kaum laki-laki. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis
menyebabkan perbedaan pula pada pola tingkah laku dan struktur aktivitasnya.
Gray (2003) berpendapat bahwa hal yang paling penting bagi laki-laki
di dunia kerja adalah hasil. Laki-laki selalu melakukan berbagai hal untuk
membuktikan kemampuan mereka dan mengembangkan kekuatan serta
keterampilan. Ini berbeda dengan perempuan pekerja, yang lebih tertarik pada
kualitas hubungan dan lingkungan kerja. Perempuan mencurahkan lebih banyak
waktu serta perhatian untuk saling mendukung, membantu, dan membenarkan.
Pada saat dihadapkan pada suatu masalah, laki-laki cenderung berusaha untuk
memecahkannya sendiri. Apabila laki-laki tidak dapat menemukan sebuah solusi,
maka untuk mengurangi stresnya, laki-laki akan sementara melupakan masalah
itu dengan terfokus pada hal lain yang dapat ditangani, seperti rekreasi, dan olah
raga. Bagi perempuan yang sedang menghadapi masalah, reaksi pertama yang
dilakukan adalah membuka diri dan melibatkan orang lain untuk mencari jalan
keluar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara laki-laki dan
perempuan mengalami perbedaan dari segi biologis, psikologis dan sosial,
sehingga akan berpengaruh terhadap stres kerja pada karyawan di PT Telkom.
Dinamika Psikologis antara Kemampuan Penyesuaian Diri Budaya
Perusahaan dengan Stres Kerja pada Karyawan
Sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 36 tahun 1999 dan berlaku
efektif pada tanggal 8 September 2000, menandai berakhirnya era monopoli
dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia dan menempatkan PT.
Telkom dalam persaingan penuh di semua bidang usaha yang dikelolanya
(Kartajaya, Yuswohadi, Madyani, 2004). Merespon hal tersebut, PT. Telkom
mengubah visi-misi Telkom pada tahun 2000. Untuk merealisasikan visi dan
mendukung pelaksanaaan misi maka PT. Telkom menerapkan budaya perusahaan
baru yang diberi nama “The Telkom Way 135”, melalui Keputusan Direksi
Perusahaan Perseroan PT Telekomunikasi Indonesia, TBK dengan nomer:
KD.24/PR180/CTG-00/2003 (Kristiono, 2003). PT. Telkom menuntut agar para
karyawan dapat mengimplementasikan budaya perusahaan “The Telkom Way
135” ke dalam masing-masing individu yang kemudian dapat diterapkan dalam
pelaksanaan tugas.
Hasil penelitian yang dilakukan Fincham dan Rhodes pada tahun 1988
(Munandar, A.S. 2001), menyimpulkan definisi stres adalah hasil dari tidak atau
kurang adanya kecocokan antara orang (kepribadian, bakatnya, dan
kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya
untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif .
Robbins (1998) meyebutkan bahwa faktor penyebab stres ada tiga yaitu
faktor lingkungan, faktor organisasional, dan faktor individual. Budaya
perusahaan dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
stress, yaitu pada faktor organisasional. Organisasi menuntut anggotanya untuk
bersikap dan berperilaku sesuai dengan suasana, kebijakan, dan konvensi
kelompok. Namun tidak semua kondisi kelompok sesuai dengan keinginan,
harapan, dan kebutuhan individu. Ketidaksesuaian inilah yang akan
memunculkan konflik dan ketegangan. Stres akan bertambah jika tidak ada
mekanisme komunikasi timbal balik yang memadai sehingga kedua belah pihak
(kelompok dan anggota kelompok) tidak dapat saling bertukar pikiran.
Hasil penelitian Hurrel, dkk pada tahun 1988 (Munandar, A.S. 2001)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan stress dalam
pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu faktor-faktor
instrinsik dalam pekerjaan, faktor peran dalam organisasi, faktor pengembangan
karier, faktor hubungan dalam pekerjaan, serta faktor struktur dan iklim
organisasi. Sumber-sumber stres pada faktor struktur dan iklim organisasi adalah
bagaimana para karyawan mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan dan iklim
organisasi. Apabila karyawan dalam mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan,
dan iklim organisasi bersifat negatif maka akan mempengaruhi kemampuan
penyesuaian diri individu di lingkungan organisasi tersebut dan secara tidak
langsung akan menyebabkan timbulnya stres pada karyawan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka dapat disimpulkan
bahwa kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap
stres kerja pada karyawan. Bagaimana individu tersebut menyesuaikan diri
dengan budaya perusahaan yang baru. Semakin tinggi kemampuan penyesuaian
diri individu terhadap pekerjaan maka individu tersebut tidak akan mengalami
stres di dalam bekerja. Sebaliknya semakin rendah kemampuan penyesuaian diri
individu terhadap pekerjaan maka individu tersebut akan mengalami stres di
dalam bekerja.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada
karyawan di PT Telkom. Karyawan yang memiliki kemampuan penyesuaian
tinggi terhadap pekerjaan maka kecil kemungkinan mengalami stres di dalam
bekerja. Sebaliknya karyawan yang memiliki kemampuan penyesuaian diri
rendah terhadap pekerjaan maka akan mengalami stres di dalam bekerja.
Metodologi Penelitian
Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian
Variabel-variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Variabel Tergantung : Stres Kerja Pada Karyawan di PT Telkom
Variabel Bebas : Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pekerjaan
Variabel Moderator : Jenis Kelamin
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Stres Kerja
Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang muncul karena
interaksi manusia (kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dengan
pekerjaannya (karakteristik tuntutan pekerjaan dan lingkungan) sehingga dapat
mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis karyawan tersebut di dalam
melaksanakan pekerjaan.
Aspek-aspek yang dapat mempengaruhi stres kerja adalah aspek
lingkungan, aspek organisasional dan aspek individual.
Stres kerja pada karyawan di PT Telkom akan terlihat melalui skor yang
diperoleh dari skala stres kerja yang disusun penulis dengan memodifikasi alat
ukur yang pernah digunakan Haitami (2000) dengan disertai perubahan kalimat
dan penambahan beberapa aitem yang sesuai dengan situasi dan kondisi di PT.
Telekomunikasi Indonesia. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti
semakin tinggi subjek mengalami stres di dalam pekerjaannya dan sebaliknya
semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah subjek
mengalami stres di dalam pekerjaannya.
2. Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pekerjaan
Kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan adalah suatu usaha
yang dilakukan oleh karyawan untuk mengatasi segala hambatan dan
permasalahan baik yang timbul karena tuntutan dari dalam dirinya (fisik) maupun
dari lingkungannya (sosial).
Kemampuan penyesuaian diri terdiri dari 11 aspek, yaitu: tidak adanya
emosi yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, tidak adanya
frustasi personal, memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan
diri, perasaan subjektif yang menyenangkan, pencapaian personal dan sosial,
memiliki kemampan untuk bekerja, memiliki kemampuan untuk belajar, tidak
diperlukannya institusionalisasi, memanfaatkan pengalaman yang lalu, memiliki
sikap realistik dan objektif.
Aspek-aspek kemampuan penyesuaian diri budaya perusahaan pada diri
subjek terlihat melalui skor yang diperoleh dari skala kemampuan penyesuaian
diri terhadap pekerjaan yang disusun sendiri oleh peneliti. Semakin tinggi skor
yang diperoleh subjek, berarti semakin baik kemampuan penyesuaian diri subjek
terhadap pekerjaan. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek,
berarti semakin buruk kemampuan penyesuaian diri subjek terhadap pekerjaan.
3. Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang didapatkan berdasarkan pengisian identitas responden dalam penelitian.
Subjek Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah karyawan PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk, tanpa ada batasan jenis kelamin dan usia. Karakteristik subjek
penelitian yaitu karyawan telah bekerja minimal tiga tahun dan mempunyai status
sebagai karyawan tetap. Karyawan tetap adalah karyawan yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan dan tidak bekerja di perusahaan lain pada masa
yang sama. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan teknik purposive sampling.
Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan metode pelaporan
diri secara tertulis atau angket. Ada tiga jenis data yang dikumpulkan, yaitu:
1. Identitas Subjek
Identitas diri didapatkan dari isian yang harus ditulis oleh subjek pada
awal proses pengambilan data.
2. Skala Stres Kerja
Skala pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala stres
kerja hasil modifikasi alat ukur yang pernah digunakan Haitami (2000) dengan
disertai perubahan kalimat dan penambahan beberapa aitem yang sesuai dengan
situasi dan kondisi di PT. Telekomunikasi Indonesia.
Skala ini dibuat berdasarkan teori Robbins (1998) yang terdiri atas
enam aspek yang dapat mempengaruhi stres kerja, yaitu: aspek peran, aspek
pekerjaan, aspek hubungan dalam organisasi, aspek lingkungan fisik, aspek
organisasi dan aspek behavior setting.
3. Skala Kemampuan Penyesuaian Diri Terhadap Pekerjaan
Skala kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan, yang disusun sendiri oleh
peneliti. Skala kemampuan penyesuaian diri terhadap pekerjaan meliputi
beberapa aspek, yaitu: tidak adanya emosi yang berlebihan, tidak adanya
mekanisme pertahanan diri, tidak adanya frustasi personal, memiliki
pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, perasaan subjektif
yang menyenangkan, pencapaian personal dan sosial, memiliki kemampan untuk
bekerja, memiliki kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman yang
lalu, memiliki sikap realistik dan objektif.
Validitas dan Reliabilitas
1. Validitas
Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen
pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat dikatakan mempunyai
validitas yang tinggi bila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan dikenakannya pengukuran tersebut
(Azwar, 2004). Pengujian validitas dilakukan dengan mengunakan teknik
korelasi Product Moment Karl Pearson.
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah keajegan (consistency) dari alat ukur tersebut yang
pada prinsipnya menunjukkan sejauhmana pengukuran itu dapat memberikan
hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap
subjek yang sama (Azwar, 2004). Uji coba reliabilitas pada alat pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Alpha Cronbach.
Metode Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
analisis korelasi Product Moment Karl Pearson untuk mengetahui hubungan
antara kemampuan penyesuaian diri budaya perusahaan The Telkom Way 135
dengan stres kerja pada karyawan di PT Telkom. Teknik analisis yang digunakan
untuk mengetahui perbedaan stres kerja antara karyawan PT Telkom yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah Independent Sample t – test.
Hasil Penelitian
Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian
Variabel Empirik Hipotetik Min Maks M SD Min Maks M SD
Stres Kerja Kemampuan Penyesuaian
Diri
73 161 126.5429 15.66653 120 175 139.3714 9.73440
61 244 152.5 30.5 47 188 117.5 23.5
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rerata empirik stres kerja =
126.5429 dibawah rerata hipotetik = 152.5 dengan standar deviasi (SD) =
15.66653. Sedangkan mean empirik kemampuan penyesuaian diri = 139.3714
diatas rerata hipotetik = 117.5 dengan standar deviasi (SD) = 9.73440.
Kriteria klasifikasi berdasarkan pada standar deviasi dan mean empirik
dari skor stres kerja dan kemampuan penyesuaian diri dapat diuraikan untuk
mengetahui keadaan kelompok subyek penelitian.
Tabel 2 Kriteria Kategorisasi Skala Stres Kerja
Kategori Nilai Jumlah % Sangat Tinggi 198 = X 0 0 %
Tinggi Sedang Rendah
Sangat Rendah
168 < X = 198 137, < X = 168 107< X = 137 X = 107
0 19 47 4
0 % 27,14 % 67,14 % 5,71 %
Hasil masing – masing variabel yaitu stres kerja memiliki rentang X =
198.25 untuk ketegori sangat tinggi, 167.75 < X = 198.25 untuk kategori tinggi,
137.25 < X = 167.75 untuk kategori sedang, 106.75 < X = 137.25 untuk kategori
rendah, dan X = 106.75 untuk kategori sangat rendah. Rerata empirik keseluruhan
subjek pada deskripsi data penelitian untuk variabel stres kerja adalah 126.5429
sehingga dapat disimpulkan bahwa stres kerja dalam penelitian ini berada dalam
kategori rendah.
Tabel 3 Kriteria Kategorisasi Skala Kemampuan Penyesuaian Diri
Kategori Nilai Jumlah % Sangat Tinggi
Tinggi Sedang Rendah
Sangat Rendah
153 = X 129 < X = 153 106 < X = 129 82 < X = 106 X = 82
5 57 8 0 0
7,14 % 81,43 % 11,43 %
0 % 0 %
Hasil masing – masing variabel yaitu stres kerja memiliki rentang X =
152.75 untuk ketegori sangat tinggi, 129.25 < X = 152.75 untuk kategori tinggi,
105.75 < X = 129.25 untuk kategori sedang, 82.25 < X = 105.75 untuk kategori
rendah, dan X = 82.25 untuk kategori sangat rendah. Rerata empirik keseluruhan
subjek pada deskripsi data penelitian untuk variabel kemampuan penyesuaian diri
adalah 139.3714 sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan penyesuaian
diri dalam penelitian ini berada dalam kategori tinggi.
Pembahasan
Analisis data untuk menguji hipotesis didapatkan hasil bahwa ada
hubungan negatif yang sangat signifikan antara kemampuan penyesuaian diri
terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di PT. Telkom. Hipotesis
tersebut diterima dengan ditunjukkan oleh nilai r = -0.585 dan p = 0.00 ( p<0.05).
Adanya hubungan yang negatif antara kemampuan penyesuaian diri
terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di PT. Telkom senada
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fincham & Rhodes (1988) (dalam
Munandar, 2001), bahwa stres merupakan hasil dari tidak atau kurang adanya
kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya)
dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi
berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif. Stres juga dapat menciptakan
adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang dapat mempengaruhi emosi,
proses berpikir , dan kondisi seorang karyawan. (Rivai, 2004). Stres yang terlalu
besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan,
yang pada akhirnya mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya, sehingga
mengganggu prestasi kerjanya (Martoyo, 1995). Karyawan yang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya maka karyawan tersebut akan
mampu menghadapi berbagai tuntutan pekerjaan secara efektif baik secara fisik
dan psikis.
Kemampuan penyesuaian diri individu terhadap lingkungan merupakan
salah satu faktor yang dapat menimbulkan stres kerja. Hasil penelitian Hurrel
pada tahun 1988 (dalam Munandar,2001) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
dapat menimbulkan stres dalam pekerjaan dapat dikelompokkan ke dalam lima
kategori, yaitu faktor instrinsik dalam pekerjaan, faktor peran dalam organisasi,
faktor pengembangan karier, faktor hubungan dalam pekerjaan, serta faktor
struktur dan iklim organisasi. Sumber-sumber stres pada faktor iklim dan
organisasi adalah bagaimana para karyawan mempersepsikan dan beradaptasi
dengan kebudayaan, kebiasaan dan iklim dari organisasi. Organisasi menuntut
anggotanya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan suasana, kebijakan, dan
konvensi kelompok. Namun tidak semua kondisi kelompok sesuai dengan
keinginan, harapan, dan kebutuhan individu. Ketidaksesuaian inilah yang akan
memunculkan konflik dan ketegangan.
Tidak adanya perbedaan stres kerja yang signifikan antara karyawan PT
Telkom yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang ditunjukkan melalui
t = 0.172 dengan p = 0.864 ( p>0.05 ). Hasil penelitian ini menguatkan penelitian
Oktasela (1999) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan stres kerja yang
signifikan antara karyawan pria dan wanita.
Gray (2003) berpendapat bahwa untuk mengelola stres secara efektif,
perusahaan dapat menyediakan program pengayaan hidup, jadwal kerja yang
fleksibel, kegiatan rekreasi serta olah raga, guna membantu pegawai untuk
mendapatkan dukungan emosional yang mereka perlukan di luar tempat kerja.
Cara ini terbukti dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi stres kerja.
PT. Telkom memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk
mengembangkan karir setinggi-tingginya tanpa ada pembedaan jenis kelamin.
Rencana pengembangan karir, training, promosi, dan kompensasi memungkinkan
tidak ada perbedaan stres kerja pada karyawan laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan
Hasil analisis data penelitian dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini terbukti sehingga didapatkan hasil bahwa ada
hubungan negatif yang sangat signifikan antara kemampuan penyesuaian diri
terhadap pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di PT. Telkom. Karyawan
yang memiliki kemampuan penyesuaian tinggi terhadap pekerjaan maka kecil
kemungkinan mengalami stres di dalam bekerja. Sebaliknya karyawan yang
memiliki kemampuan penyesuaian diri rendah terhadap pekerjaan maka akan
mengalami stres di dalam bekerja.
Adapun dari penelitian ini diperoleh hasil tambahan yang menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan stres kerja antara karyawan PT Telkom yang berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
Saran
1. Kepada Perusahaan
a. Perusahaan diharapkan mempertimbangkan kemampuan penyesuaian diri
pada calon karyawan dalam melakukan proses rekruitmen, sehingga
karyawan tersebut kecil kemungkinan akan mengalami stres pada saat
menghadapi perubahan lingkungan.
b. Perusahaan diharapkan mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif
bagi karyawan sehingga mampu meminimalisir terjadinya stres pada
karyawan.
2. Kepada Subjek Penelitian
Para karyawan diharapkan tetap melakukan penyesuaian diri terhadap
kondisi lingkungan sekitarnya agar dapat memperkecil kemungkinan terjadinya
stres kerja yang dapat mengganggu dalam pelaksanaan tugas karyawan.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya diharapkan mempertimbangkan faktor-faktor lain
yang diperkirakan dapat mempengaruhi stres kerja, seperti: religiusitas,
komunikasi interpersonal, kepemimpinan organisasi, dan sebagainya.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan tambahan metode
dalam pengambilan data, seperti: wawancara dan observasi.
c. Peneliti selanjutnya diharapkan memperluas subjek penelitian untuk
mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2004. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationships. Third Edition. New York: Mc.Graw-Hill Publishing Company.
Crow, L. D. & Crow, A. C. 1960. Reading in Abnormal Psychology. New Jersey: Littlefield Adams & Co.
Gray, J. 2003. Mars and Venus in The Workplace. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Haitami, R. M. 2000. Hubungan antara Pemahaman Konsep Kebermaknaan Hidup dengan Stres Kerja Karyawan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Kartajaya, H. & Yuswohady. & Madyani, D. 2004. on Becoming a Customer-Centric Company: Transformasi Telkom Menjadi Perusahaan Berbasis Pelanggan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kartono, K. 1992. Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja & Wanita Dewasa. Jilid 1. Bandung: CV Mandar Maju.
Kristiono. 2003. The Telkom Way 135: Budaya Korporasi sebagai Jiwa, Insan Telkom dalam Berkiprah untuk Memenangkan Kompetisi. Bandung: PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Lazzarus, R. S. 1969. Pattern of Adjustment and Human Effectiveness. New York: Mc.Graw-Hill Book Company.
Luthans, F. 1998. Organizational Behavior. Eight Edition. New York: Mc.Graw-Hill Companies, Inc.
Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Oktasela, D. 2001. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Rivai, V. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Robbins, S. P. 1998. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart and Winston.
Tallent. 1978. Psychology of Adjustment: Understanding Ourselves and Others. New York: Mc.Graw-Hill Book Company.