pcl definisi pu
DESCRIPTION
semoga bermanfaatTRANSCRIPT
-
17
BAB II
MONEY POLITIC MENURUT HUKUM
A. Pengertian dan Hukum Money Politic
Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam
buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.1 Suap dalam bahasa
arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywah
yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air. Al-rosyi adalah
orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang
menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat
kesemuanya pihak.
Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza
Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa
pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip
oleh Indra Ismawan2 kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya
dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau
penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit
dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur.
Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk
mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada
yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah
proses politik dan kekuasaan.
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi kedua, 1994, hlm. 965 2 Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit
Media Presindo, 1999. hlm. 4.
-
18
Pemahaman tentang money politic sebagai tindakan membagi-bagi
uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money
politic sebagi praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu
kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan
keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politic itu
dilakukan secara sadar oleh pelakunya.
Praktik money politic dapat disamakan dengan uang sogok alias suap,
tapi tidak semua kalangan berani secara tegas menyatakan haram. Menurut
Pendapat Rusdjdi Hamka, praktik money politic tidak berbeda dengan suap,
karena itu haram hukumnya.3
Money politic seseorang juga biasa menyebutnya dengan politik uang,
karena keduanya merupakan pemberian uang demi kepentingan pribadi atau
kelompok yang berimplikasikan pada kekuasaan.
Adapun pengertian politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/
kebijakan/keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi
sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai.4
Politik uang dalam pemilu legislatif bisa dibedakan berdasarkan faktor
dan wilayah operasinya yaitu: Pertama, Lapisan atas yaitu transaksi antara elit
ekonomi (pemilik uang) dengan elit politik (pimpinan partai / calon presiden)
yang akan menjadi pengambil kebijakan /keputusan politik pasca pemilu
nanti. Bentuknya berupa pelanggaran dana perseorangan! Penggalangan dana
perusahaan swasta, pengerahan dana terhadap BUMN / BUMD. Ketentuan
yang terkait dengan masalah ini berupa pembatasan sumbangan dana
3 Ibid., hlm. 7-8. 4 Didik Supriyanto, Koordinator Pengawasan Panwas Pemilu, htp :// www Panwaslu,
Jumat
-
19
kampanye.Kedua, Lapisan tengah yaitu transaksi elit politik (fungsi onaris
partai) dalam manentukan calon legislatif/eksekutif dan urutan /pasangan
calon. Bentuknya berupa uang tanda jadi caleg, uang harga nomor, uang
pindah daerah pemilihan dan lain-lain. Sayangnya tidak satu pun ketentuan
peraturan perundangan pemilu yang memungkinkan untuk menjerat kegiatan
tersebut (politik uang). Semua aktivitas disini dianggap sebagai masalah
internal partai.Ketiga, Lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik (caleg
dan fungsionaris partai tingkat bawah) dengan massa pemilih. Bentuknya
berupa pembagian sembako, Serangan fajar, ongkos transportasi kampanye,
kredit ringan, peminjaman dan lain-lain. Dalam hal ini ada ketentuan
administratif yang menyatakan bahwa calon anggaota DPRD /DPD (pasangan
calon presiden dan /atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dana dan
/atau memberi materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan
pencalonannya oleh KPU.5
B. Dasar Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana, Menurut Simon: kemampuan
bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,
yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat
dari sudut umum maupun orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab,
jika jiwanya sehat, yakni apabila: Ia mampu unttuk mengetahui atau
menyadari bahwa perbuatan nya bertentangan dengan hukum. Ia dapat
menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
5 Ibid.,
-
20
Menurut Van Hamel: kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu
keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3
(tiga) kemampuan: Pertama; mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri. Kedua; mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya
itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. Ketiga; mampu untuk
menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.
Van Bemmelen: Seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah
orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.6
Masalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana yang
diputuskan oleh hakim. Menurut Pomple ini merupakan pengertian yuridis
bukan medis. Memang medikus yang memberi keterangan kepada hakim yang
memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid)
itu berkaitan dengan kesalahan (schuld). Orang yang dapat menyatakan dapat
dipertanggungjawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (schuld).7
Menurut Pomple selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan bukanlah
merupakan bagian inti (bestanddeel) tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana.
Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat
dipertanggungjawabkakn merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, Ia berpendapat sesuai
dengan ajaran dua tahap hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea)
kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur kesalahan.
6 Sudarto, Hukum Pidana I, cet Ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a fakultas undip
Semarang, 1990, hlm. 93-94.. 7 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 199, hlm.123.
-
21
Ia mengikuti pendapat Van Hattum, bahwa jika terjadi keraguan
apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana 8
Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang normal mampu
bertanggung jawab, ia mampu menilai bahwa perbuatan itu dilarang, artinya
tidak dikehendaki oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau
perasaannya itu. Dalam KUHP Buku satu Bab III pasal 44 ayat (1)
menyebutkan Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Ketentuan Undang-undang diatas yang dimaksud dengan jiwanya cacat
karena pertumbuhan atau terganggu karena penyakit adalah dalam keadaan itu
pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatannya. Jadi alasan tersebut si-pembuat tidak
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Disamping pasal 44 KUHP, yang menyebut dasar tidak dapat
dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum
dewasa) yang berada dibawah hypnose, tidur sambil berjalan.9
Kesimpulannya, bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab adalah
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk yang
sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal), kemampuan untuk
menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya
perbuatan itu (faktor perasaan atau kehendak).
8 Ibid, hlm. 124 9 J.E Jongker, yang ditulis kembali oleh Andi Hamzah, Ibid., hlm 126
-
22
Kemampuan bertanggungjawab ini dapat disamakan keadaan dengan
unsur sifat melawan hukum. Sebab dua-duanya merupakan syarat mutlak,
yang satu bagi dilarangnya perbuatan (adanya sifat melawan hukum) dan yang
lain bagi adanya kesalahan.Berhubungan dengan adanya itu, dalam KUHP ada
alasan penghapusan pidana yaitu dalam pasal 49, 50 dan 51 (alasan pembenar)
dan dalam dalam pasal 44 (tak mampu bertanggungjawab).10
C. Sanksi Hukum Money Politic
Dalam pemaparan berikut sanksi hukum money politic adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang adanya sanksi terhadap tindak
pidana money politic.
Tindak pidana money politic itu sendiri juga merupakan tindak pidana
jenis pelanggaran terhadap Undang-undang yang telah disusun oleh KPU. Dan
tindak pidananya merupakan delik aduan. Karena money politic adalah delik
aduan maka pelanggaran tersebut hanya bisa ditindak lanjuti apabila ada pihak
yang dirugikan. Maka berdasarkan asas hukum Lex Specialis De raget Lex
Generalis, artinya bahwa peraturan khusus dapat mengenyampingkan
peraturan umum dan juga atas pertimbangan tujuan lahirnya Undang-Undang
yang baru (Undang-Undang Pemilu), maka terhadap Tindak Pidana Pemilu
yang setelah Undang-Undang Pemilu lahir (sejak tanggal 17 Desember 1969,
untuk pertama sejak Orde Baru), yang akan diterpkan adalah Undang-Undang
Pemilu, bukan KUHP.11
Hubungan antara ketentuan pidana dalam Pemilu dan tindak pidana
yang diatur dalam KUHP; Jikalau Undang-Undang diubah setelah perbuatan
10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; PT Rinekaq Cipta, 2000, hlm. 168. 11 Sintang Silaban, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapa, 1992. hlm.57.
-
23
itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang
menguntungkan baginya berarti jika perbuatan dilakukan setelah Undang-
Undang yang baru lahir, tidaklah perlu dipertimbangkan ketentuan yang mana
yang lebih menguntungkan si tersangka. Sejalan dengan asas hukum Lex
Posteriori Derogat Lex Priori, yang artinya Undang-Undang yang datangnya
kemudian boleh menyimpang dari Undang-Undang yang dahulu.
Dari keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa perlu adanya
hukuman yang lebih berat bagi pelanggar tindak pidana. Hal ini sesuai dengan
peristiwa yang terjadi di Desa Jungsemi, Kec. Kankung, Kab. Kendal.
Pelanggaran terhadap tindak pidana pemilu legislatif 2004 ini yang dilanggar
adalah Undang-Undang pemilu pasal 139 ayat (2) UU RI No. 12 tahun 2003
tentang pemilu di dalam ketentuan pidana. Undang-Undang tersebut
menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya,
atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan
cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua bulan) atau paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau
paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Dalam ketentuan administratif pasal 77 UU No.12 tahun 2003 tentang
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa
calon anggota DPRD/DPD (pasangan calon presiden dan/atau tim kampanye
yang terbukti menjanjikan dana dan /atau memberi materi lainnya untuk untuk
mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU, sedangkan
-
24
ketentuan pidananya pasal 139 ayat 2 UU No.12 tahun 2003 menyatakan,
bahwa "setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya,
atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan
cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam pidana 2-12
bulan penjara dan/atau denda Rp 1 Rp 10 juta" .12
Dalam Materi Sosialisasi Persiapan Pelaksanaan Pemilu 2004
Kabupaten Kendal juga menyebutkan Selama masa kampanye sampai
dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPD, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Calon yang terbukti
melakukan pelanggaran tersebut dinyatakan batal sebagai calon oleh
KPU/KPU Provinsi/KP Kabupaten/Kota. (UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 77
ayat 1-2) tentang kampanye pemilihan umum.13
UU RI No 23 tahun 2003 Pemilihan Umum Presidan dan Wakil
Presiden 2004 tentang kampanye dan dana kampanye dalam pasal 42 ayat 1
yang intinya menyebutkan bahwa "Pasangan calon dilarang menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih". Dan
diperjelas ayat 2 yang dimaksudkan apabila terbukti melakukan pelanggaran
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai
sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.14
12 http://www.panwaslu.org/index.php?fuseaction=news.detail&id=1930&jenis=4 13 Seminar,Bulan maret 2004 di Kendal. 14 UU RI No.23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, 2004,
Lembaga Informasi Nasional, hlm.35.
-
25
Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 90 ayat 2 Bab XII Ketentuan
Pidana UU RI No.23 pemilihan umum presiden dan wakil presiden berbunyi
Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau
materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau
memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan
atau denda paling sedikit RP 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak
Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).15
Pasal 149 KUHP pada Bab IV tentang kejahatan terhadap melakukan
kewajiban hak dan kenegaraan, menyebutkan Barangsiapa pada waktu
diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya
atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah. Dan pada ayat 2 nya pidana yang sama diterapkan
kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.16.
Cara tersebut ini biasanya berupa memilih seorang yang dicalonkan oleh yang
menyuap itu.
Pasal diatas diperjelas lagi oleh KUHP pasal 103 yang
menyebutkanpasal-pasal dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku
bagi perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
15 Ibid., hlm. 76.
16 KUHAP dan KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm 52.
-
26
Kesimpulan diatas, selain undang-undang khusus (lex specialis) yang
telah disusun oleh KPU, dalam KUHP juga diperjelas oleh pasal diatas.
Dari segi hukum kasus money politic belum tentu dapat dipersalahkan
karena harus dibuktikan dari pengadilan, tetapi ada kaidah normatif yang
mengagnggap money politic sesuatu yang negatif karena dapat merusak
sistemdemokrasi yang sedang dibangun.
Menurut Romo Mudji money politic bukan saja secara moral salah dan
menurut agama dilarang. Tetapi juga memiliki dampak kedepan yang sangat
berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah
kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat
sendiri
D. Money Politic Dalam Perspektif Hukum Islam
Seperti yang telah penulis paparkan diatas bahwa money politic dalam
bahasa Indonesia adalah suap, dan suap dalam bahasa arab adalah rishwah
atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywa yang artinya sebuah tali
yang menyambungkan sesuatu sesuatu ke air. Ar-rosyi adalah orang memberi
sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Ar-raisy
adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak.
Money politic dapat dikategorikan sebagai uang sogok atau suap,
perbuatan seperti itu (money politic) sangat dilarang dalam Islam dan
disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari
hasil tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS.2, 188) :
-
27
) , (
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagiaan yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiaan daripada harta benda yang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Al-Baqaroh, 188).17
Maksud jalan batil ayat diatas adalah sesuatu yang tidak hak, tidak
dibenarkan oleh hukum, serta tidak sejalan dengan tuntunan Ilahi walaupun
dilakukan atas dasar kerelaan yang berinteraksi. Salah satu yang terlarang dan
sering dilakukan masyarakat adalah menyogok atau menyuap.
Akan tetapi para pemikir politik dan agama (Islam) sependapat bahwa
tidak ada ayat Al-Quran yang secara eksplisit menjelaskan tentang money
politic berikut hukum syara-nya. Kalaupun hukumnya mau dicari, paling-
paling metode analogi (qiyas) yang sering digunakan Imam Syafii saja yang
bisa digunakan. Misalnya money politic dianalogikan sebagai sogok18.
Dari argumen tersebut penulis menyimpulkan bahwa ayat al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan hujjah karena yang dimaksud jalan yang batil adalah
jalan yang tidak dibenarkan oleh hukum dan Allah pun telah melaknat hal
yang tidak sejalan dengan jalan Ilahi.
Dalam kitab bulughul maram, pengertian dan hukum money politic :
: ( ) : , ) ( , (
17 Alquran dan terjemahan, 1424 H. hlm.46. 18 Indra Ismawan, Op. Cit, hlm. 8.
-
28
19 .
Dari Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw melaknat orang yang memberi suap dan penerima suap. Kitab Nihayah rosyi adalah orang yang memberi sesuatu dengan maksud dan tujuan kebatilan. Murtasyinya adalah penerimanya. (Dalam kitab al-Hikam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat periwayat lain, dan hadits yang dihasankan oleh Turmudzi, dan dihasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad menambahkan ((Al-Rosyi)) adalah orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima, meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima upah dan besar dosanya jika menerima upah.
Hadist Larangan menyuap :
: ( (
Artinya Abu Hurairah berkata Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum (HR Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).20
Dalam hadits yang lain Rasulullah Bersabda :
, :
) (
Artinya : Allah melaknat orang yang memberi, yang menerima suap dan orang yang berposisi sebagai perantara keduanya. (HR. Ahmad ).21
Dalam hadits lain juga menerangkan bahwa Rasulullah melaknat para
pelaku suap, baik yang menyuap atau yang disuap, seperti dalam hadits
19 Imam Muhammad bin Ismail al-Khailani, Subbulussalam Sarah Bulughul Maram, Jilid
2, Bairut: Darul Fikri,. hlm 124. 20 SyafiI rahmad, Al-Hadis Aqidah, ahlaq, Sosial dan Hukum, Bandung: Penerbit Setia
Pustaka bandunmg, 2000. hlm.151. 21 Muhammmad Abdurrouf al-manawi, Faidhul Al-qodir syarah jamiusshoghir, jilid
5,makkatulmukarromah: Tanpa tahun, hlm. 268.
-
29
Rasulullah yang diriwatakan oleh Abdullah bin Amr yang artinya Rasulullah
SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap.
: ) (
Artinya: Dari Abdillah bin Amr, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap (HR. Tirmidzi)
Menurut pendapat Asy-Syaikani sesungguhnya keharaman suap adalah
mutlak dan tidak dapat ditaskhih. Karena pada dasarnya agama tidak
membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari orang lain kecuali
dengan hati yang tulus. Apakah mereka memberi itu tulus? Seseorang telah
membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu. Korupsi dalam Islam
terdapat empat kategori, yakni Risywah, Ghulul, Maksud dan Khiyama lebih
spesifik ke suap (risywah).22
Hadiah dan suap ibarat dua sisi yang sulit dipisahkan. Keduanya
masuk dalam kategori pemberian yang hanya dibedakan dalam niatan saja.
Dalam fiqh hadiah memang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun sering
kali keikhlasan hadiah direduksi oleh beragam kepentingan dan tujuan
pemberiannya, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum hibbah tersebut
karena sewaktu-waktu hibbah dapat berubah menjadi risywah, tidak ada
batasan yang jelas diantara keduanya, melainkan niat yang letak
tersembunyi dalam kalbu yang bersifat abstrak.
Tidak semua hadiah harus diterima. Sebab realitas historis yang
berjalan masa rasul berbeda dengan historis sekarang. Umar bin Abdul Aziz
22 Ibid., hlm. 154-155
-
30
berkeyakinan bahwa hadiah pada masa Rasulullah benar-benar murni tanpa
tendensi. Namun masa sekarang hadiah berbeda tipis dengan dahulu.23
Dalam setiap pemilu uang sebagai instrumen penting untuk
mendapatkan dukungan dari pelbagai segmen politik. Karena itu dana tersebut
juga di distribusikan kepada berbagai segmen penting dalam masyarakat,
seperti tokoh agama, ulama atau tokoh kepemimpinan dan lain-lain.
Perbutan kekuasaan dalam pemilu dengan jalan batil sepeti itu sangat
dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram.
Harta yang diterma dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang
diperoleh melalui jalan batil.
Jadi sekian banyak argumentasi yang terdiskripsi diatas, maka dapat
dikonklusikan dikotomi antara suap dan hadiah dalam konsep idealitas fiqh
politik (fiqh al-siyasah). Bahwa semua hadiah melebihi tendensi adalah suap.
Ketika beberapa agamawan mengatakan bahwa money politic itu
haram, penilaian beberapa agamawan yang lain tidak seekstrim itu. Menteri
agama tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktek money politic
haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukum dengan dalil-dalil yang jelas
berkaitan langsung dengan soal ini, Saya kira, kita tidak bisa mengatakan
kategori sogok, karena (money politic) itu dalam konteks politik, seperti
pemilihan lurah desa. Dalam pemilihan itu ada hal-hal seperti itu katanya.24
Prof Dr Azyumardi Azra, tidak secara tegas mengatakan praktek
money politic adalah haram, sebagaimana dikutip dalam tabloit, dia hanya
berkata Tentunya tidak setelah itu (haram!). Bisa kita bilang hukumnya al-
23 Lihat Shohih bukhori kitab Al-Hibbah 24 Indra Ismawan, op. cit, hlm 8
-
31
Rasyi Walmurtasyi Finnar. Artinya, yang disogok dan yang nenyogok masuk
neraka.
Menurut Azyumardi, praktik money politic telah terjadi sejak zaman
Rasulullah. Tapi waktu itu bentuknya tidak eksplisit politik, tetapi berupa
hubungan-hubungan sosial. Pasca Nabi, pada zaman dinasti praktek suap
untuk kekuasaan pernah merajalela, terutama pada zaman dinasti Umayyah
dan Abbasyiah.25
Pendapat Azyumardi diatas dapat penulis menyimpulkan, dia tidak
berani secara tegas mengatakan bahwa praktek money politic haram akan
tetapi masuk neraka. Kalau masuk neraka berarti melakukan hal yang dilarang
oleh agama atau bisa disebut melakukan hal yang haram. Jadi Azyumardi jelas
mengatakan money politic adalah tidak diperbolehkan bisa jadi haram, akan
tetapi tidak secara tegas mengatakan haram.
Islam memberikan perspektif bahwa money politic adalah Rosyi wal
murtasyi. Rosyi artinya orang yang memberi suap dengan tujuan kebatilan,
sedangkan adalah penerimanya dan hukumnya adalah haram.
Dari Abi Hurairah ra barkata, Rasulullah saw melaknat orang yang
memberi suap dan orang yang menerima suap. Dalam kitab Nihayah Rosyi
adalah orang yang memberi sesuatu yang dimaksud dengan tujuan kebatilan.
Murtasyinya" adalah penerimanya. (Dalam kitab al-Hikam yang
diriwayatkan oleh Turmudzi, dan hasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad
menambahkan (al-Rasyi) adalah orang yang menjadi perantara diantara
keduanya, orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima,
25 Indra Ismawan, op. cit, hlm 9
-
32
meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima dan lebih besar dosanya
jika ia menerima upah.26
Dari hadits Abdillah bin Umar dan Imam empat kecuali al Nasai itu
hanya disebutkan dalam kitab al-Hikam, juga diriwatkan Abi Daud tidak
disebutkan dan al-Turmudzi meriwayatkan juga, bahwa suap adalah haram
haram menurut kesepakatan ulama, baik itu untuk qodhi (hakim)atau orang
yang menerima atau orang yang memberi suap baik itu wujudnya pemberian
ataupun yang lainnya.27
Lenyapnya sifat kepemimpinan (leadership) ternyata bukan hanya
memiliki sejumlah umum partai, namun juga telah menular atau sudah
menjadi kecenderungan disebagian besar politisi yang telah dinobatkan
partainya sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Hal ini, paling tidak
tercermin dari praktik penyalah-gunaan kekuasaan dengan menggunakan
jabatan untuk memperkaya diri atau kelompoknya dengan cara-cara yang tidak
halal (KKN). Seperti yang dapat kita lihat atau dengan dari pemberitaan media
masa.28
Perilaku menyimpang pemimpin atau para elit membuat wajah
lembaga terhormat menjadi menyebalkan dimata masyarakat. Tingakah laku
yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan menjadi kecenderungan
disebagian besar anggota legislatif di Jakarta, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten /Kota.
26 Imam Muhammad, Op. Cit. hlm 124. (15) 27 Ibid. hlm 124. (16) 28 Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta, LP3ES, 2003. hlm
306.
-
33
Para pelaku dan komonitas Politik sebaiknya kembali pada prinsip atau
panduan dasar Islam yang seharusnya dijadikan pegangan, seperti yang
diungkapkan khususnya oleh Nurcholis Madjid sejak 1970 an, bahwa loyalitas
masyarakat itu hendaknya diberikan kepada nilai-nilai luhur dan bukan
institusi, kepada pandangan-pandangan dengan baik bukan individu. Dalam
konteks demikian, sebenarnya kita tidak boleh memberikan kepada hal-hal
yang tidak baik; hal-hal yang dirumuskan sebagai KKN itu. Artinya,
keburukan harus diberantas, meskipun kejengkelan kita dalam hal itu tidak
membolehkan kita berlaku tidak adil. Kalau kita sendiri justru menjadi bagian
dari konsepsi dan struktur sosial-ekonomi dan politik yang tidak baik itu,
maka sebenarnya secara etika, pengakuan atas tidak kesalahan, itulah yang
pertama-tama harus dilakukan, bahkan justru manjahui, melepas seluruh
ikatan, atau bahkan melakukan hujatan.29
Dari perspektif hukum Islam money politic atau yang disebut dengan
rosyi wal murtasyi beserta hukumnya, penulis menyimpulkan bahwa
seseorang dapat dikenai pembebanan pertanggungjawaban hukuman apabila
sudah mukallaf.
Pengertian Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah
pembebasan seseorang dengan akibat perbuatan (ada atau tidak ada perbuatan)
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-
maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Adanya perbuatan yang dilarang
29 Bahtiar Effendi, RE Politisasi Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, hlm. 188.
-
34
2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.30
Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui
bahwa yang bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang
berakal dewasa, dan berkemauan sendiri. Demikian juga orang yang belum
dewasa tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.
Tidak ada pertanggungjawaban bagi anak-anak, orang yang sudah
hilang kemauannya (akalnya). Sesuai dengan hadits Nabi :
31 .) (
Artinya Tidak dicatat dari tiga hal, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga ia
waras.(HR Abu Daud).
Uraian diatas menyatakan bahwa seseorang dapat dikenai pertanggung
jawaban adalah apabila memenuhi syarat diatas, yaitu orang tidur hingga
bangun, anak-anak yang belum baliq dan orang gila.
30 A. Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hlm. 154-
155. 31 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz IV, Beirut: Daar Al Fikr, tth., hlm. 140