pcl definisi pu

18
17 BAB II MONEY POLITIC MENURUT HUKUM A. Pengertian dan Hukum Money Politic Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok. 1 Suap dalam bahasa arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywah yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air. Al-rosyi adalah orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak. Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan 2 kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur. Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi kedua, 1994, hlm. 965 2 Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo, 1999. hlm. 4.

Upload: selvia-elga

Post on 19-Nov-2015

221 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

semoga bermanfaat

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    MONEY POLITIC MENURUT HUKUM

    A. Pengertian dan Hukum Money Politic

    Money politic dalam Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap dalam

    buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.1 Suap dalam bahasa

    arab adalah rishwah atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywah

    yang artinya sebuah tali yang menyambungkan sesuatu ke air. Al-rosyi adalah

    orang memberi sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang

    menerima. Al-raisy adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat

    kesemuanya pihak.

    Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza

    Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa

    pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip

    oleh Indra Ismawan2 kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya

    dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau

    penyambung adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit

    dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur.

    Secara umum money politic biasa diartikan sebagai upaya untuk

    mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada

    yang mengartikan money politic sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah

    proses politik dan kekuasaan.

    1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

    Balai Pustaka, Edisi kedua, 1994, hlm. 965 2 Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit

    Media Presindo, 1999. hlm. 4.

  • 18

    Pemahaman tentang money politic sebagai tindakan membagi-bagi

    uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money

    politic sebagi praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu

    kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan

    keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politic itu

    dilakukan secara sadar oleh pelakunya.

    Praktik money politic dapat disamakan dengan uang sogok alias suap,

    tapi tidak semua kalangan berani secara tegas menyatakan haram. Menurut

    Pendapat Rusdjdi Hamka, praktik money politic tidak berbeda dengan suap,

    karena itu haram hukumnya.3

    Money politic seseorang juga biasa menyebutnya dengan politik uang,

    karena keduanya merupakan pemberian uang demi kepentingan pribadi atau

    kelompok yang berimplikasikan pada kekuasaan.

    Adapun pengertian politik uang adalah pertukaran uang dengan posisi/

    kebijakan/keputusan politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi

    sesungguhnya demi kepentingan pribadi/kelompok/partai.4

    Politik uang dalam pemilu legislatif bisa dibedakan berdasarkan faktor

    dan wilayah operasinya yaitu: Pertama, Lapisan atas yaitu transaksi antara elit

    ekonomi (pemilik uang) dengan elit politik (pimpinan partai / calon presiden)

    yang akan menjadi pengambil kebijakan /keputusan politik pasca pemilu

    nanti. Bentuknya berupa pelanggaran dana perseorangan! Penggalangan dana

    perusahaan swasta, pengerahan dana terhadap BUMN / BUMD. Ketentuan

    yang terkait dengan masalah ini berupa pembatasan sumbangan dana

    3 Ibid., hlm. 7-8. 4 Didik Supriyanto, Koordinator Pengawasan Panwas Pemilu, htp :// www Panwaslu,

    Jumat

  • 19

    kampanye.Kedua, Lapisan tengah yaitu transaksi elit politik (fungsi onaris

    partai) dalam manentukan calon legislatif/eksekutif dan urutan /pasangan

    calon. Bentuknya berupa uang tanda jadi caleg, uang harga nomor, uang

    pindah daerah pemilihan dan lain-lain. Sayangnya tidak satu pun ketentuan

    peraturan perundangan pemilu yang memungkinkan untuk menjerat kegiatan

    tersebut (politik uang). Semua aktivitas disini dianggap sebagai masalah

    internal partai.Ketiga, Lapisan bawah yaitu transaksi antara elit politik (caleg

    dan fungsionaris partai tingkat bawah) dengan massa pemilih. Bentuknya

    berupa pembagian sembako, Serangan fajar, ongkos transportasi kampanye,

    kredit ringan, peminjaman dan lain-lain. Dalam hal ini ada ketentuan

    administratif yang menyatakan bahwa calon anggaota DPRD /DPD (pasangan

    calon presiden dan /atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan dana dan

    /atau memberi materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan

    pencalonannya oleh KPU.5

    B. Dasar Pertanggungjawaban Pidana

    Pengertian pertanggungjawaban pidana, Menurut Simon: kemampuan

    bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,

    yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat

    dari sudut umum maupun orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab,

    jika jiwanya sehat, yakni apabila: Ia mampu unttuk mengetahui atau

    menyadari bahwa perbuatan nya bertentangan dengan hukum. Ia dapat

    menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

    5 Ibid.,

  • 20

    Menurut Van Hamel: kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu

    keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3

    (tiga) kemampuan: Pertama; mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat

    perbuatannya sendiri. Kedua; mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya

    itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan. Ketiga; mampu untuk

    menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.

    Van Bemmelen: Seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah

    orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.6

    Masalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana yang

    diputuskan oleh hakim. Menurut Pomple ini merupakan pengertian yuridis

    bukan medis. Memang medikus yang memberi keterangan kepada hakim yang

    memutuskan. Menurutnya dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid)

    itu berkaitan dengan kesalahan (schuld). Orang yang dapat menyatakan dapat

    dipertanggungjawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (schuld).7

    Menurut Pomple selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan bukanlah

    merupakan bagian inti (bestanddeel) tetapi tidak dapat

    dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana.

    Moeljatno, meskipun juga mengatakan bahwa dapat

    dipertanggungjawabkakn merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali

    kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, Ia berpendapat sesuai

    dengan ajaran dua tahap hukum pidana (maksudnya: actus reus dan mens rea)

    kemampuan bertanggungjawab harus sebagai unsur kesalahan.

    6 Sudarto, Hukum Pidana I, cet Ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a fakultas undip

    Semarang, 1990, hlm. 93-94.. 7 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 199, hlm.123.

  • 21

    Ia mengikuti pendapat Van Hattum, bahwa jika terjadi keraguan

    apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana 8

    Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang normal mampu

    bertanggung jawab, ia mampu menilai bahwa perbuatan itu dilarang, artinya

    tidak dikehendaki oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau

    perasaannya itu. Dalam KUHP Buku satu Bab III pasal 44 ayat (1)

    menyebutkan Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

    dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan

    atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

    Ketentuan Undang-undang diatas yang dimaksud dengan jiwanya cacat

    karena pertumbuhan atau terganggu karena penyakit adalah dalam keadaan itu

    pembuat tidak punya kebebasan kehendak dan tidak dapat menentukan

    kehendaknya terhadap perbuatannya. Jadi alasan tersebut si-pembuat tidak

    dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

    Disamping pasal 44 KUHP, yang menyebut dasar tidak dapat

    dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum

    dewasa) yang berada dibawah hypnose, tidur sambil berjalan.9

    Kesimpulannya, bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab adalah

    kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk yang

    sesuai hukum dan yang melawan hukum (faktor akal), kemampuan untuk

    menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya

    perbuatan itu (faktor perasaan atau kehendak).

    8 Ibid, hlm. 124 9 J.E Jongker, yang ditulis kembali oleh Andi Hamzah, Ibid., hlm 126

  • 22

    Kemampuan bertanggungjawab ini dapat disamakan keadaan dengan

    unsur sifat melawan hukum. Sebab dua-duanya merupakan syarat mutlak,

    yang satu bagi dilarangnya perbuatan (adanya sifat melawan hukum) dan yang

    lain bagi adanya kesalahan.Berhubungan dengan adanya itu, dalam KUHP ada

    alasan penghapusan pidana yaitu dalam pasal 49, 50 dan 51 (alasan pembenar)

    dan dalam dalam pasal 44 (tak mampu bertanggungjawab).10

    C. Sanksi Hukum Money Politic

    Dalam pemaparan berikut sanksi hukum money politic adalah

    ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang adanya sanksi terhadap tindak

    pidana money politic.

    Tindak pidana money politic itu sendiri juga merupakan tindak pidana

    jenis pelanggaran terhadap Undang-undang yang telah disusun oleh KPU. Dan

    tindak pidananya merupakan delik aduan. Karena money politic adalah delik

    aduan maka pelanggaran tersebut hanya bisa ditindak lanjuti apabila ada pihak

    yang dirugikan. Maka berdasarkan asas hukum Lex Specialis De raget Lex

    Generalis, artinya bahwa peraturan khusus dapat mengenyampingkan

    peraturan umum dan juga atas pertimbangan tujuan lahirnya Undang-Undang

    yang baru (Undang-Undang Pemilu), maka terhadap Tindak Pidana Pemilu

    yang setelah Undang-Undang Pemilu lahir (sejak tanggal 17 Desember 1969,

    untuk pertama sejak Orde Baru), yang akan diterpkan adalah Undang-Undang

    Pemilu, bukan KUHP.11

    Hubungan antara ketentuan pidana dalam Pemilu dan tindak pidana

    yang diatur dalam KUHP; Jikalau Undang-Undang diubah setelah perbuatan

    10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; PT Rinekaq Cipta, 2000, hlm. 168. 11 Sintang Silaban, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta, Pustaka Sinar Harapa, 1992. hlm.57.

  • 23

    itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang

    menguntungkan baginya berarti jika perbuatan dilakukan setelah Undang-

    Undang yang baru lahir, tidaklah perlu dipertimbangkan ketentuan yang mana

    yang lebih menguntungkan si tersangka. Sejalan dengan asas hukum Lex

    Posteriori Derogat Lex Priori, yang artinya Undang-Undang yang datangnya

    kemudian boleh menyimpang dari Undang-Undang yang dahulu.

    Dari keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa perlu adanya

    hukuman yang lebih berat bagi pelanggar tindak pidana. Hal ini sesuai dengan

    peristiwa yang terjadi di Desa Jungsemi, Kec. Kankung, Kab. Kendal.

    Pelanggaran terhadap tindak pidana pemilu legislatif 2004 ini yang dilanggar

    adalah Undang-Undang pemilu pasal 139 ayat (2) UU RI No. 12 tahun 2003

    tentang pemilu di dalam ketentuan pidana. Undang-Undang tersebut

    menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau

    menjanjikan uang kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya,

    atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan

    cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan

    pidana penjara paling singkat 2 (dua bulan) atau paling lama 12 (dua belas)

    bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau

    paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

    Dalam ketentuan administratif pasal 77 UU No.12 tahun 2003 tentang

    pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa

    calon anggota DPRD/DPD (pasangan calon presiden dan/atau tim kampanye

    yang terbukti menjanjikan dana dan /atau memberi materi lainnya untuk untuk

    mempengaruhi pemilih dapat dibatalkan pencalonannya oleh KPU, sedangkan

  • 24

    ketentuan pidananya pasal 139 ayat 2 UU No.12 tahun 2003 menyatakan,

    bahwa "setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang

    atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya,

    atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan

    cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam pidana 2-12

    bulan penjara dan/atau denda Rp 1 Rp 10 juta" .12

    Dalam Materi Sosialisasi Persiapan Pelaksanaan Pemilu 2004

    Kabupaten Kendal juga menyebutkan Selama masa kampanye sampai

    dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPD, DPD, DPRD Provinsi,

    dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang

    atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Calon yang terbukti

    melakukan pelanggaran tersebut dinyatakan batal sebagai calon oleh

    KPU/KPU Provinsi/KP Kabupaten/Kota. (UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 77

    ayat 1-2) tentang kampanye pemilihan umum.13

    UU RI No 23 tahun 2003 Pemilihan Umum Presidan dan Wakil

    Presiden 2004 tentang kampanye dan dana kampanye dalam pasal 42 ayat 1

    yang intinya menyebutkan bahwa "Pasangan calon dilarang menjanjikan atau

    memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih". Dan

    diperjelas ayat 2 yang dimaksudkan apabila terbukti melakukan pelanggaran

    berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai

    sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.14

    12 http://www.panwaslu.org/index.php?fuseaction=news.detail&id=1930&jenis=4 13 Seminar,Bulan maret 2004 di Kendal. 14 UU RI No.23 Tahun 2003 Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, 2004,

    Lembaga Informasi Nasional, hlm.35.

  • 25

    Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 90 ayat 2 Bab XII Ketentuan

    Pidana UU RI No.23 pemilihan umum presiden dan wakil presiden berbunyi

    Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau

    materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau

    memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara

    tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana

    penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan

    atau denda paling sedikit RP 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak

    Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).15

    Pasal 149 KUHP pada Bab IV tentang kejahatan terhadap melakukan

    kewajiban hak dan kenegaraan, menyebutkan Barangsiapa pada waktu

    diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau

    menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya

    atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana

    penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat

    ribu lima ratus rupiah. Dan pada ayat 2 nya pidana yang sama diterapkan

    kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.16.

    Cara tersebut ini biasanya berupa memilih seorang yang dicalonkan oleh yang

    menyuap itu.

    Pasal diatas diperjelas lagi oleh KUHP pasal 103 yang

    menyebutkanpasal-pasal dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku

    bagi perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam

    dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.

    15 Ibid., hlm. 76.

    16 KUHAP dan KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm 52.

  • 26

    Kesimpulan diatas, selain undang-undang khusus (lex specialis) yang

    telah disusun oleh KPU, dalam KUHP juga diperjelas oleh pasal diatas.

    Dari segi hukum kasus money politic belum tentu dapat dipersalahkan

    karena harus dibuktikan dari pengadilan, tetapi ada kaidah normatif yang

    mengagnggap money politic sesuatu yang negatif karena dapat merusak

    sistemdemokrasi yang sedang dibangun.

    Menurut Romo Mudji money politic bukan saja secara moral salah dan

    menurut agama dilarang. Tetapi juga memiliki dampak kedepan yang sangat

    berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah

    kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat

    sendiri

    D. Money Politic Dalam Perspektif Hukum Islam

    Seperti yang telah penulis paparkan diatas bahwa money politic dalam

    bahasa Indonesia adalah suap, dan suap dalam bahasa arab adalah rishwah

    atau rushwah, yang yang berasal dari kata al-risywa yang artinya sebuah tali

    yang menyambungkan sesuatu sesuatu ke air. Ar-rosyi adalah orang memberi

    sesuatu yang batil, sedangkan murtasyinya adalah yang menerima. Ar-raisy

    adalah perantara keduanya sehingga Rasulullah melaknat kesemuanya pihak.

    Money politic dapat dikategorikan sebagai uang sogok atau suap,

    perbuatan seperti itu (money politic) sangat dilarang dalam Islam dan

    disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari

    hasil tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil.

    Firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS.2, 188) :

  • 27

    ) , (

    Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagiaan yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiaan daripada harta benda yang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Al-Baqaroh, 188).17

    Maksud jalan batil ayat diatas adalah sesuatu yang tidak hak, tidak

    dibenarkan oleh hukum, serta tidak sejalan dengan tuntunan Ilahi walaupun

    dilakukan atas dasar kerelaan yang berinteraksi. Salah satu yang terlarang dan

    sering dilakukan masyarakat adalah menyogok atau menyuap.

    Akan tetapi para pemikir politik dan agama (Islam) sependapat bahwa

    tidak ada ayat Al-Quran yang secara eksplisit menjelaskan tentang money

    politic berikut hukum syara-nya. Kalaupun hukumnya mau dicari, paling-

    paling metode analogi (qiyas) yang sering digunakan Imam Syafii saja yang

    bisa digunakan. Misalnya money politic dianalogikan sebagai sogok18.

    Dari argumen tersebut penulis menyimpulkan bahwa ayat al-Qur'an

    tersebut dapat dijadikan hujjah karena yang dimaksud jalan yang batil adalah

    jalan yang tidak dibenarkan oleh hukum dan Allah pun telah melaknat hal

    yang tidak sejalan dengan jalan Ilahi.

    Dalam kitab bulughul maram, pengertian dan hukum money politic :

    : ( ) : , ) ( , (

    17 Alquran dan terjemahan, 1424 H. hlm.46. 18 Indra Ismawan, Op. Cit, hlm. 8.

  • 28

    19 .

    Dari Abi Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw melaknat orang yang memberi suap dan penerima suap. Kitab Nihayah rosyi adalah orang yang memberi sesuatu dengan maksud dan tujuan kebatilan. Murtasyinya adalah penerimanya. (Dalam kitab al-Hikam yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat periwayat lain, dan hadits yang dihasankan oleh Turmudzi, dan dihasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad menambahkan ((Al-Rosyi)) adalah orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima, meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima upah dan besar dosanya jika menerima upah.

    Hadist Larangan menyuap :

    : ( (

    Artinya Abu Hurairah berkata Rasulullah saw melaknat penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum (HR Ahmad dan Imam yang empat dan dihasankan oleh Turmudzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).20

    Dalam hadits yang lain Rasulullah Bersabda :

    , :

    ) (

    Artinya : Allah melaknat orang yang memberi, yang menerima suap dan orang yang berposisi sebagai perantara keduanya. (HR. Ahmad ).21

    Dalam hadits lain juga menerangkan bahwa Rasulullah melaknat para

    pelaku suap, baik yang menyuap atau yang disuap, seperti dalam hadits

    19 Imam Muhammad bin Ismail al-Khailani, Subbulussalam Sarah Bulughul Maram, Jilid

    2, Bairut: Darul Fikri,. hlm 124. 20 SyafiI rahmad, Al-Hadis Aqidah, ahlaq, Sosial dan Hukum, Bandung: Penerbit Setia

    Pustaka bandunmg, 2000. hlm.151. 21 Muhammmad Abdurrouf al-manawi, Faidhul Al-qodir syarah jamiusshoghir, jilid

    5,makkatulmukarromah: Tanpa tahun, hlm. 268.

  • 29

    Rasulullah yang diriwatakan oleh Abdullah bin Amr yang artinya Rasulullah

    SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap.

    : ) (

    Artinya: Dari Abdillah bin Amr, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap (HR. Tirmidzi)

    Menurut pendapat Asy-Syaikani sesungguhnya keharaman suap adalah

    mutlak dan tidak dapat ditaskhih. Karena pada dasarnya agama tidak

    membolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari orang lain kecuali

    dengan hati yang tulus. Apakah mereka memberi itu tulus? Seseorang telah

    membantu si penerima untuk memperoleh sesuatu. Korupsi dalam Islam

    terdapat empat kategori, yakni Risywah, Ghulul, Maksud dan Khiyama lebih

    spesifik ke suap (risywah).22

    Hadiah dan suap ibarat dua sisi yang sulit dipisahkan. Keduanya

    masuk dalam kategori pemberian yang hanya dibedakan dalam niatan saja.

    Dalam fiqh hadiah memang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun sering

    kali keikhlasan hadiah direduksi oleh beragam kepentingan dan tujuan

    pemberiannya, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum hibbah tersebut

    karena sewaktu-waktu hibbah dapat berubah menjadi risywah, tidak ada

    batasan yang jelas diantara keduanya, melainkan niat yang letak

    tersembunyi dalam kalbu yang bersifat abstrak.

    Tidak semua hadiah harus diterima. Sebab realitas historis yang

    berjalan masa rasul berbeda dengan historis sekarang. Umar bin Abdul Aziz

    22 Ibid., hlm. 154-155

  • 30

    berkeyakinan bahwa hadiah pada masa Rasulullah benar-benar murni tanpa

    tendensi. Namun masa sekarang hadiah berbeda tipis dengan dahulu.23

    Dalam setiap pemilu uang sebagai instrumen penting untuk

    mendapatkan dukungan dari pelbagai segmen politik. Karena itu dana tersebut

    juga di distribusikan kepada berbagai segmen penting dalam masyarakat,

    seperti tokoh agama, ulama atau tokoh kepemimpinan dan lain-lain.

    Perbutan kekuasaan dalam pemilu dengan jalan batil sepeti itu sangat

    dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram.

    Harta yang diterma dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang

    diperoleh melalui jalan batil.

    Jadi sekian banyak argumentasi yang terdiskripsi diatas, maka dapat

    dikonklusikan dikotomi antara suap dan hadiah dalam konsep idealitas fiqh

    politik (fiqh al-siyasah). Bahwa semua hadiah melebihi tendensi adalah suap.

    Ketika beberapa agamawan mengatakan bahwa money politic itu

    haram, penilaian beberapa agamawan yang lain tidak seekstrim itu. Menteri

    agama tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktek money politic

    haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukum dengan dalil-dalil yang jelas

    berkaitan langsung dengan soal ini, Saya kira, kita tidak bisa mengatakan

    kategori sogok, karena (money politic) itu dalam konteks politik, seperti

    pemilihan lurah desa. Dalam pemilihan itu ada hal-hal seperti itu katanya.24

    Prof Dr Azyumardi Azra, tidak secara tegas mengatakan praktek

    money politic adalah haram, sebagaimana dikutip dalam tabloit, dia hanya

    berkata Tentunya tidak setelah itu (haram!). Bisa kita bilang hukumnya al-

    23 Lihat Shohih bukhori kitab Al-Hibbah 24 Indra Ismawan, op. cit, hlm 8

  • 31

    Rasyi Walmurtasyi Finnar. Artinya, yang disogok dan yang nenyogok masuk

    neraka.

    Menurut Azyumardi, praktik money politic telah terjadi sejak zaman

    Rasulullah. Tapi waktu itu bentuknya tidak eksplisit politik, tetapi berupa

    hubungan-hubungan sosial. Pasca Nabi, pada zaman dinasti praktek suap

    untuk kekuasaan pernah merajalela, terutama pada zaman dinasti Umayyah

    dan Abbasyiah.25

    Pendapat Azyumardi diatas dapat penulis menyimpulkan, dia tidak

    berani secara tegas mengatakan bahwa praktek money politic haram akan

    tetapi masuk neraka. Kalau masuk neraka berarti melakukan hal yang dilarang

    oleh agama atau bisa disebut melakukan hal yang haram. Jadi Azyumardi jelas

    mengatakan money politic adalah tidak diperbolehkan bisa jadi haram, akan

    tetapi tidak secara tegas mengatakan haram.

    Islam memberikan perspektif bahwa money politic adalah Rosyi wal

    murtasyi. Rosyi artinya orang yang memberi suap dengan tujuan kebatilan,

    sedangkan adalah penerimanya dan hukumnya adalah haram.

    Dari Abi Hurairah ra barkata, Rasulullah saw melaknat orang yang

    memberi suap dan orang yang menerima suap. Dalam kitab Nihayah Rosyi

    adalah orang yang memberi sesuatu yang dimaksud dengan tujuan kebatilan.

    Murtasyinya" adalah penerimanya. (Dalam kitab al-Hikam yang

    diriwayatkan oleh Turmudzi, dan hasankan oleh Ibnu Hibban dan Ahmad

    menambahkan (al-Rasyi) adalah orang yang menjadi perantara diantara

    keduanya, orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerima,

    25 Indra Ismawan, op. cit, hlm 9

  • 32

    meskipun orang itu tidak mengambil atau menerima dan lebih besar dosanya

    jika ia menerima upah.26

    Dari hadits Abdillah bin Umar dan Imam empat kecuali al Nasai itu

    hanya disebutkan dalam kitab al-Hikam, juga diriwatkan Abi Daud tidak

    disebutkan dan al-Turmudzi meriwayatkan juga, bahwa suap adalah haram

    haram menurut kesepakatan ulama, baik itu untuk qodhi (hakim)atau orang

    yang menerima atau orang yang memberi suap baik itu wujudnya pemberian

    ataupun yang lainnya.27

    Lenyapnya sifat kepemimpinan (leadership) ternyata bukan hanya

    memiliki sejumlah umum partai, namun juga telah menular atau sudah

    menjadi kecenderungan disebagian besar politisi yang telah dinobatkan

    partainya sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Hal ini, paling tidak

    tercermin dari praktik penyalah-gunaan kekuasaan dengan menggunakan

    jabatan untuk memperkaya diri atau kelompoknya dengan cara-cara yang tidak

    halal (KKN). Seperti yang dapat kita lihat atau dengan dari pemberitaan media

    masa.28

    Perilaku menyimpang pemimpin atau para elit membuat wajah

    lembaga terhormat menjadi menyebalkan dimata masyarakat. Tingakah laku

    yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan menjadi kecenderungan

    disebagian besar anggota legislatif di Jakarta, DPRD Provinsi dan DPRD

    Kabupaten /Kota.

    26 Imam Muhammad, Op. Cit. hlm 124. (15) 27 Ibid. hlm 124. (16) 28 Zaenal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta, LP3ES, 2003. hlm

    306.

  • 33

    Para pelaku dan komonitas Politik sebaiknya kembali pada prinsip atau

    panduan dasar Islam yang seharusnya dijadikan pegangan, seperti yang

    diungkapkan khususnya oleh Nurcholis Madjid sejak 1970 an, bahwa loyalitas

    masyarakat itu hendaknya diberikan kepada nilai-nilai luhur dan bukan

    institusi, kepada pandangan-pandangan dengan baik bukan individu. Dalam

    konteks demikian, sebenarnya kita tidak boleh memberikan kepada hal-hal

    yang tidak baik; hal-hal yang dirumuskan sebagai KKN itu. Artinya,

    keburukan harus diberantas, meskipun kejengkelan kita dalam hal itu tidak

    membolehkan kita berlaku tidak adil. Kalau kita sendiri justru menjadi bagian

    dari konsepsi dan struktur sosial-ekonomi dan politik yang tidak baik itu,

    maka sebenarnya secara etika, pengakuan atas tidak kesalahan, itulah yang

    pertama-tama harus dilakukan, bahkan justru manjahui, melepas seluruh

    ikatan, atau bahkan melakukan hujatan.29

    Dari perspektif hukum Islam money politic atau yang disebut dengan

    rosyi wal murtasyi beserta hukumnya, penulis menyimpulkan bahwa

    seseorang dapat dikenai pembebanan pertanggungjawaban hukuman apabila

    sudah mukallaf.

    Pengertian Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah

    pembebasan seseorang dengan akibat perbuatan (ada atau tidak ada perbuatan)

    yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri dimana ia mengetahui maksud-

    maksud dan akibat dari perbuatannya itu.

    Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 (tiga) hal, yaitu:

    1. Adanya perbuatan yang dilarang

    29 Bahtiar Effendi, RE Politisasi Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, hlm. 188.

  • 34

    2. Dikerjakan dengan kemauan sendiri

    3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.30

    Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui

    bahwa yang bisa dibebani pertanggungjawaban pidana hanya manusia yang

    berakal dewasa, dan berkemauan sendiri. Demikian juga orang yang belum

    dewasa tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.

    Tidak ada pertanggungjawaban bagi anak-anak, orang yang sudah

    hilang kemauannya (akalnya). Sesuai dengan hadits Nabi :

    31 .) (

    Artinya Tidak dicatat dari tiga hal, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga ia

    waras.(HR Abu Daud).

    Uraian diatas menyatakan bahwa seseorang dapat dikenai pertanggung

    jawaban adalah apabila memenuhi syarat diatas, yaitu orang tidur hingga

    bangun, anak-anak yang belum baliq dan orang gila.

    30 A. Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hlm. 154-

    155. 31 Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz IV, Beirut: Daar Al Fikr, tth., hlm. 140