autism

17
PENDAHULUAN Autistik merupakan suatu gangguan bentuk pikir. Bentuk pikir (form of thought) adalah cara bagaimana buah pikiran terhubungkan. Pikiran yang normal adalah bertujuan dan terangkai berurutan dengan hubungan yang logis. Bentuk pikir autistik adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki preokupasi terhadap dunianya sendiri, mengakibatkan penarikan diri dari realitas dunia luar. Bentuk pikir autistik berokupasi pada ide yang egosentris, pikiran tidak logis, dan telah mengalami distorsi. Orang autistik selalu hidup dalam alamnya atau dunianya sendiri, dan secara emosional terlepas dari orang lain. Pikiran autistik sebenarnya masih normal, tergantung pada jenis kepribadian yang dimiliki oleh masing- masing individu, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Pada orang-orang yang pemalu, akan terjadi perkembangan pikiran autistik yang berlebihan sebagai kompensasi terhadap kekecewaan hidupnya (Sadock BJ et al, 2010). Bentuk pikir secara normal merupakan bagian dari proses pikir yang melibatkan banyak sinyal yang menjalar secara bersamaan pada sebagian besar korteks serebri, talamus, sistem limbik, dan formasio retikularis batang otak. Keterlibatan rangsangan sinyal dari berbagai bagian sistem saraf secara bersamaan menghasilkan suatu pola dalam bentuk “pikiran”. Proses ini disebut teori holistik pikiran (Guyton AC et al, 2008). Apabila terjadi ketidakharmonisan sistem

Upload: agnesia-naathiq

Post on 19-Dec-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Autisme

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Autistik merupakan suatu gangguan bentuk pikir. Bentuk pikir (form of thought) adalah cara bagaimana buah pikiran terhubungkan. Pikiran yang normal adalah bertujuan dan terangkai berurutan dengan hubungan yang logis. Bentuk pikir autistik adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki preokupasi terhadap dunianya sendiri, mengakibatkan penarikan diri dari realitas dunia luar. Bentuk pikir autistik berokupasi pada ide yang egosentris, pikiran tidak logis, dan telah mengalami distorsi. Orang autistik selalu hidup dalam alamnya atau dunianya sendiri, dan secara emosional terlepas dari orang lain. Pikiran autistik sebenarnya masih normal, tergantung pada jenis kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Pada orang-orang yang pemalu, akan terjadi perkembangan pikiran autistik yang berlebihan sebagai kompensasi terhadap kekecewaan hidupnya (Sadock BJ et al, 2010).Bentuk pikir secara normal merupakan bagian dari proses pikir yang melibatkan banyak sinyal yang menjalar secara bersamaan pada sebagian besar korteks serebri, talamus, sistem limbik, dan formasio retikularis batang otak. Keterlibatan rangsangan sinyal dari berbagai bagian sistem saraf secara bersamaan menghasilkan suatu pola dalam bentuk pikiran. Proses ini disebut teori holistik pikiran (Guyton AC et al, 2008). Apabila terjadi ketidakharmonisan sistem tersebut, maka akan timbul ketidaksesuaian, dan salah satunya adalah autisme.

PENDAHULUAN

A. Etiologi Autisme terinduksi orang tua (Parentally Induced Autism)Orang tua dengan sifat cenderung tidak peduli dan tidak memiliki perasaan dingin, terutama ibu, berpotensi menyebabkan anaknya menunjukkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan autisme. Hal tersebut didukung oleh penelitian bahwa anak autistik lahir dari orang tua dengan pola sifat cenderung autistik. Kejang, epilepsiSuatu penelitian menunjukkan bahwa kejadian epilepsi lebih tinggi ketika berkaitan dengan autisme. Hal tersebut dikarenakan risiko epilepsi meningkat pada autisme. Studi menunjukkan hubungan kausatif antara epilepsi dan autisme, meskipun masih banyak perdebatan di antara peneliti dan ilmuwan (Spence SJ et al, 2009). Namun telah diketahui, pasien gangguan spektrum autisme (Autistic Spectrum DisorderASD) dengan epilepsi dibandingkan dengan pasien hanya ASD, memiliki beberapa perbedaan seperti misalnya pasien ASD dan epilepsi lebih banyak berjenis kelamin perempuan, memiliki gangguan motorik lebih berat, dan keterhambatan perkembangan serta masalah perilaku. Defisiensi fenosulfertransferase (FST)Fenosulfertransferase penting dalam proses pemecahan dan pembuangan beberapa racun dari dalam tubuh manusia. Postulat Waring menyatakan bahwa ketidakmampuan metabolisme beberapa komponen fenolik amin tertentu secara efektif, akan menyebabkan racun pada sistem saraf pusat, dan menyebabkan terjadinya perilaku autistik secara luas (Maski KP et al, 2011). Otak dan trauma otakAutisme kemungkinan disebabkan trauma atau luka pada korteks serebri, yaitu berkaitan dengan gangguan pada amigdala sehingga memperjelas sebab terjadinya perilaku visual pada autisme. Selain itu, neurotoksisitas, gangguan neurotransmisi, neurotransmiter yang salah, dan terganggunya hubungan saraf (neuro-connectivity), berperan terhadap kerusakan otak. Suatu penelitian menjelaskan bahwa peningkatan volume total otak, volume lobus parietotemporal, dan hemisfer serebelar, terjadi pada autisme. Ukuran amigdala, hipokampus, dan korpus kalosum pun abnormal (Yamasaki T et al, 2013). Sistem aktivasi retikular (Reticular Activating SystemRSA)Studi menunjukkan bahwa ada gangguan pada RSA dan target postsinaptik talamus di penderita autisme. Pasien autisme terjadi gangguan pada penerimaan stimulus, dengan RSA bertanggung jawab terhadap peningkatan tersebut. Hubungan sebab-akibat yang jelas tetap belum diketahui pasti. GenetikPenelitian mengenai anak kembar dengan salah satu anak autistik, maka anak satunya kemungkinan 82% akan terpengaruhi. Kembar fraternal hanya 10% kemungkinan terpengaruhi. Sementara pada kakak dan adik kandung dengan salah satunya autistik, kemungkinan terkena autisme sekitar 2 8 %. Simptomologi seperti-autistik (autistic-like) terjadi lebih sering pada orang tua, anak perempuan, atau anak laki-laki dengan autisme, dibanding pada keluarga tanpa riwayat ASD (Taub EJ, 2008). Penelitian genetika menyatakan sekitar 90% fenotip autistik berkaitan dengan genetik yang diturunkan. Menurut Muhle, gen yang berpengaruh terhadap kejadian autistik setidaknya terdapat 10 gen. Kromosom 7 adalah kromosom yang direplika menjadi gen predisposisi autisme. Gen ini nantinya akan menghasilkan protein neurexin yang berperan terhadap mekanisme komunikasi sel otak. Kelainan lokus gen lainnya yang berpotensi menyebabkan autistik ditemukan pada lokus 15q11-q13.

B. PatofisiologiAutisme adalah sebuah kelainan dengan penyebab yang tidak spesifik oleh karena itu mekanisme dari patofisiologi dari autisme sulit untuk dimengerti. Tidak ada dua orang yang memiliki penyakit autisme yang sama. Autisme adalah kelainan perkembangan otak yang terjadi seumur hidup. Seorang anak dengan autisme, memiliki orang tua, terutama ibu, yang dingin terhadap anaknya. Maksud dari orang tua yang dingin adalah orang tua yang mengabaikan anaknya, terutama mengabaikan anak secara emosi. Orang tua mungkin memperhatikan anak dengan memberinya kebutuhan sehari-hari berupa makanan dan minuman, namun tidak memenuhi secara hubungan emosional. Kiasan untuk menggambarkan kondisi ini adalah orang tua seperti kulkas, yaitu hanya menyediakan makanan, namun terasa dingin dan tidak hangat (Stace H, 2010).Sebuah studi menunjukkan, autistik terjadi dikarenakan suatu reaksi dari pengabaian berat orang tua terhadap anaknya. Bukan pengabaian secara fisik seperti kebutuhan makan dan minum, namun pengabaian secara emosi. Hal ini terjadi dikarenakan seorang ibu sebenarnya tidak menginginkan anak tersebut ada. Teori ini telah lama ditinggalkan dikarenakan telah diperbaharui teori autistik dengan teori modern, yaitu teori mengenai genetika dan patofisiologi yang bisa mencetuskan terjadinya autistik. Namun, teori mengenai orang tua yang dingin, mengabaikan anak, kurang memperhatikan secara emosi, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan anak secara emosi, memang bisa mempengaruhi perkembangan anak sejak kecil, dikarenakan hubungan seorang anak dengan orang tuanya menjadi dasar dan model dalam berhubungan dengan orang lain (Stace H, 2010). Anak menjadi tidak dapat berinteraksi dengan orang tuanya, tidak dapat berhubungan secara emosi dengan orang tua, dan tidak dapat mengerti mengenai orang lain selain dirinya sehingga anak menarik diri dari dunia luar dan hidup di dalam dunianya sendiri dan terjadilah autistik. Hal ini didukung oleh penelitian Mahler, yaitu anak dengan autistik sebagai mekanisme pertahanan diri dikarenakan anak tidak dapat merasakan pengalaman ibunya sebagai obyek yang hidup. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Arieti, yaitu anak tidak merasakan proses normal dari sosialisasi terhadap hubungan orang tua dan anak yng normal. Proses normal sosialisasi orang tua terhadap anaknya berupa sikap orang tua yang mengasihi anaknya dan tidak mengabaikan anaknya. Hal ini dikarenakan hubungan orang tua-anak sebagai hubungan sosial pertama anak, yang menjadi arahan hubungan sosial anak, serta menstimulus anak untuk menerima atau menolak lingkungan sosialnya (Stace H, 2010).Studi lain menunjukkan bahwa autisme mungkin disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sel eksitasi dan inhibisi di sistem saraf termasuk korteks. Tiga kelainan yang didapatkan dalam autisme: batang otak dan otak kecil, sistem limbik (amigdala dan hippocampus), dan korteks (Ratajczak HV, 2011).Pada sebuah penelitian menyebutkan bahwa area diotak yang terlibat adalah batang otak yang memiliki fungsi paling dasar yaitu bernafas, makan, keseimbangan, koordinasi motorik dan sebagainya. Banyak perilaku pada autisme, seperti bahasa, perencanaan dan interpretasi isyarat-isyarat sosial, yang dikontrol oleh tingkat yang lebih tinggi dari daerah otak, seperti pada bagian korteks serebral di otak bagian depan dan hippocampus. Tingkat aktivitas pada area eksitatorik di batang otak ditentukan sebagian besar oleh jumlah dan jenis sinyal-sinyal sensoris yang memasuki otak dari perifer. Aktivitas area eksitatorik ini khususnya ditingkatkan oleh sinyal-sinyal nyeri sehingga dnegan kuat pula merangsang kewaspadaan otak (Guyton AC et al, 2008).Sinyal-sinyal eksitasi dari area eksitatorik bulboretikular batang otak tidak hanya berjalan ke korteks serebri, tetatpi ada juga umpan balik dari korteks serebri ke area yang sama. Hal ini merupakan umpan baik positif yang memungkinkan setiap aktivitas yang bermula di korteks serebri tetap dapat mendukung aktivitas lainnya sehingga menghasilkan pikiran waspada (Guyton AC et al, 2008).Lesi bilateral pada hipotalamus lateral akan menyebabkan berkurangnya hasrat minum dan nafsu makan sehingga sering menimbulkan mati kelaparan. Lesi ini menimbulkan sikap pasif yang ekstrim disertai dengan hilangnya sebagian besar dorongan bertindak. Hal ini dapat terjadi pada orang autism (Guyton AC et al, 2008).Sebuah studi membuktikan adanya implikasi dari sistem glutamatergic dan GABAergic serta serotonergik. Sistem serotonergik mungkin mengalami disregulasi pada autisme, kadar serotonin pada awalnya lebih rendah dari normal tetapi secara bertahap meningkatkan ke tingkat yang lebih tinggi melebihi orang dewasa saat umur 2-15 tahun (Ratajczak HV, 2011).Pergeseran yang cepat dalam perhatian dan modulasi masukan sensorik telah dikaitkan dengan otak kecil. Interaksi antara sistem kekebalan tubuh dan sistem saraf dimulai dari awal kehidupan, dan suksesnya perkembangan saraf tergantung pada respon imun yang seimbang. Beberapa agen seperti virus dan bakteri telah didokumentasikan dapat hidup dalam monosit pada individu dengan autisme. Agen tersebut dapat menginduksi respon imun dan menghasilkan inflamasi neural, reaksi autoimun, dan cedera pada otak. Karena reaktivitas dari imun sistem berubah dari keseimbangan sel dan aktivitas antibodi untuk mendukung, patogen lebih mampu bersembunyi di dalam sel untuk waktu yang lama dan kemudian sesekali merangsang respon imun selama siklus replikasi sehingga pola penyakit kronis inflamasi (Ratajczak HV, 2011).

C. Kriteria DiagnosisMenurut PPDGJ-III, seseorang yang mengalami autisme ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal-balik dan dalam pola komunikasi, serta minat dan aktivitas yang terbatas, stereotipik, berulang. Kelainan kualitatif ini menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi individu dalam semua situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya. Autisme dibagi menjadi autisme pada masa anak-anak dan autisme yang tidak khas (Maslim R, 2013).Autisme Masa Kanak Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan/ atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelaianan fungsi dalam tiga bidang, yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat didiagnosis pada semua kelompok umur. Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan/ atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial, buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan khususnya kurangnya respons timbal balik sosio-emosional. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial, hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantasi dalam proses pikir yang relatif kurang, kurangnya respons emosional terhadapa ungkapan verbal dan non-verbal orang lain, hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai modulasi komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau memberi arti tambahan dalam komunikasi lisan. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, berulang, dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, ini biasannya berlaku untuk kegiatan baru dan juga kebiasaan sehari-hari serta pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak yang dini, dapat terjadi kelekatan yang khas terhadap benda-benda yang aneh, khususnya benda yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin dalam ritual yang sebetulnya tidak perlu, dapat terjadi preokupasi yang stereotipik terhadap suatu minat seperti tanggal, rute atau jadwal, sering terdapat stereotipi motorik, sering menunjukkan minat khusus terhadap segi-segi non-fungsional dari benda-benda (misalnya bau atau rasanya), dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam detil dari lingkungan hidup pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah). Semua tingkatan IQ dapat sitemukan dalam hubungannya dengan autisme, tetapi pada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

Autisme Tak Khas Gangguan perkembangan pervasif yang berbeda dari autisme dalam hal usia onset maupun tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik sebelumnya. Jadi kelainan dan atau hendaya perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun, dan/ atau tidak cukup menunjukkan kelainan dalam satu atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autisme (interaksi sosial timbal-balik, komunikasi, dan perilaku terbatas, stereotipik, dan berulang) meskipun terdapat kelainan yang khas dalam bidang lain. Autisme tak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat, yang sangat rendah kemampuannya, sehingga pasien tidak mampu menampakkan gejala yang cukup untuk menegakkan diagnosis autisme. Ini juga tampak pada individu dengan gangguan perkembangan yang khas dari bahasa reseptif yang berat.

D. TatalaksanaAlergi terhadap gluten dan kasein terjadi karena enzim utama (DPP-1V) untuk mencerna subtansi tersebut tidak ada (karena genetik) atau tidak aktif (mekanisme autoimun) yang menyebabkan terjadinya akumulasi opioid. Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Ketika protein yang diserap hanya dicerna sebagian, yang tertinggal adalah rantai peptida yang lebih panjang. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid. Terdapat korelasi antara jumlah opioid di dalam tubuh anak-anak autis dengan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi di dalam tubuh mereka. Penumpukan dan akumulasi dari substansi-substansi ini menyebabkan anak seperti tidak sadar (spaced out) atau kecenderungan tidak peduli dengan orang lain dan terlihat seperti hidup di dunianya sendiri.Saat gluten dari gandum atau biji - bijian dicerna, gluteomorphins yang dibentuk di dalam perut. Kasein pun juga mengalami hal yang serupa saat dicerna, yaitu membentuk Peptida casomorphime. Kedua zat tersebut memiliki sifat opioid. Oleh karena itu, pola makan bebas gluten dan kasein (ditambah bebas kedelai karena kedelai sering mendatangkan reaksi alergi) merupakan satu-satunya tindakan yang paling efektif.Berikut ini adalah makanan makanan yang harus dihindari penderita autis dalam diet gluten dan kasein berdasarkan Soenardi & Soetardjo (2010). : Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya. Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus lainnya, serta lada bubuk, yang dimungkinkan juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan campuran. Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu. Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi. Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan gizi penderita autis dalam diet gluten dan kasein, disarankan mengkonsumsi makanan makanan sebagai berikut : Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena, bihun, soun, dan sebagainya. Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya. Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat, wortel, timun, dan sebagainya. Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk, semangka, dan sebagainya.

E. PrognosisPrognosis atau hasil yang didapat pada autisme (Coplan J, 2000):1. Beberapa anak dengan autisme dapat memperbaiki pada usia 4-6 tahun terutama mereka dengan autisme ringan yang telah dirawat di usia dini. Anak-anak yang meningkatkan mungkin dapat menyertakan diri di antara rekan-rekan normal mereka. 2. Hasil dari survei menunjukkan bahwa 49% orang dewasa dengan autisme masih tinggal bersama orang tua dan hanya sekitar 12% memiliki pekerjaan penuh waktu.3. Orang dewasa autis didiagnosis sebagai anak-anak autis dengan IQ di atas 50 di Inggris menemukan bahwa orang dewasa autis 12% mencapai tingkat tinggi kebebasan sebagai orang dewasa. 10% memiliki kehidupan sosial dan pekerjaan beberapa tapi diperlukan beberapa dukungan, 19% memiliki kebebasan beberapa tapi tinggal di rumah. 46% diperlukan penyediaan spesialis perumahan dan 12% membutuhkan tingkat tinggi perawatan di rumah sakit.4. Prognosis juga tergantung pada penyakit yang berdampingan dengan autisme. Gangguan genetic seperti sindrom Fragile X, sindrom Down, dll. Sekitar 10-15% kasus autis memiliki kelainan kromosom dapat diidentifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Coplan, J. 2000. Counseling Parents Regarding Prognosis in Autistic Spectrum Disorder. American Academyof Pediatrics (edisi online). Available from: http://pediatrics.aappublications.org/content/105/5/e65.full.pdf Accessed on April 15, 2015.

Guyton, AC dan John EH. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Maski, KP dan Jeste SS et al. 2011. Common Neurological Co-Morbidities In Autism Spectrum Disorders. Curr Opin Pediatr (edisi online). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4229811/pdf/nihms-358810.pdf Accessed on April 15, 2015.

Maslim, R. 2013. Gangguan Perkembangan Pervasif. Dalam Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Rajatczak, HV. 2011. Theoretical Aspects Of Autism: CausesA Review. Journal of Immunotoxicology (edisi online). Available from: http://www.rescuepost.com/files/theoretical-aspects-of-autism-causes-a-review1.pdf Accessed on April 15, 2015.

Sadock, BJ dan Sadock VA. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.

Spence, SJ dan Schneider MT. 2009. The Role of Epilepsy and Epileptiform EEGs in Autism Spectrum Disorders. Pediatrics and Developmental Neuroscience Branch, National Institute of Mental Health, NIH, Bethesda, Maryland (edisi online). Available from: http://www.nature.com/pr/journal/v65/n6/pdf/pr2009132a.pdf Accessed on April 15, 2015.

Stace, H. 2010. Mother Blaming; Or Autism, Gender And Science. Womens Studies Journal (edisi online). Available from: http://www.wsanz.org.nz/journal/docs/WSJNZ242Stace66-70.pdf Accessed on April 15, 2015.

Taub, EJ. 2008. Autism And The Courts What Does The Recent Settlement Really Mean. Journal of Behavioral Optometry (edisi online). Available from: http://oepf.org/sites/default/files/19-3%20Taub.pdf Accessed on April 15, 2015.

Yamasaki, T dan Fujita T et al. 2013. Electrophysiological Assessment of Visual Function in Autism Spectrum Disorders. Neuroscience and Biomedical Engineering (edisi online). Available from: http://www.researchgate.net/profile/Takao_Yamasaki/publication/249804397_Electrophysiological_Assessment_of_Visual_Function_in_Autism_Spectrum_Disorders/links/00b7d51e6c54458cd2000000.pdf Accessed on April 15, 2015.